3 | Tanggung Jawab Cakra
⚠️Mature content⚠️
***
Di bawah remang-remang lampu berwarna kuning, Cakra menggeram rendah. Tubuh bagian bawahnya bergerak dalam tempo yang sama. Pendingin ruangan seakan tak berfungsi menenangkan pergolakan membara di setiap pembuluh darahnya.
"Sayang, cepat.”
Permintaan itu membuat Cakra kesal. Cakra tak suka diperintah oleh sembarang orang. Dia membayar dan dialah raja di ranjang ini.
Seakan tak cukup mengganggu dengan suaranya, wanita di bawah kungkungan Cakra justru mengangkat kepala. Cakra yang terkejut berkelit cepat. Telapak tangan pria itu hinggap dan membekap bibir lawan mainnya.
"No kissing. Itu aturan mainnya." Cakra mengingatkan dengan suara serak akibat menahan gairah.
Si wanita mendesah begitu mendapat tamparan pedas di salah satu buah dadanya. Dia segera menuruti permintaan Cakra untuk menungging. Sebagai ganti tak bisa meraih rambut hitam tebal si pria, wanita itu meremas pelapis kasur dengan jemari lentiknya.
Cakra tak ingin berlama-lama. Dua kali entakan kuat, lantas permainannya selesai. Energi Cakra berkurang, seolah-olah ikut mengalir keluar bersama lelehan cairan yang tertampung di ujung karet pelindung. Cakra berhenti menyentuh tubuh yang tak lagi menggiurkan baginya.
"Satu kali lagi, Sayang?"
Pertanyaan tersebut dijawab angin. Cakra bungkam dan memilih telentang. Denyut di pangkal pahanya terlalu nikmat untuk diabaikan. Cakra biarkan wanita itu menyentuh dadanya, hingga berangsur-angsur menjelajah ke bagian lain. Si pria kembali mengerang lirih ketika kejantanannya terbebas dari jeratan kondom.
"Tunggu!" cegah Cakra. Tatapan tajam pria itu melayang pada wanita yang tengah beraksi menjulurkan lidah, siap memulai permainan baru. "Saya mau istirahat dulu."
Dering ponsel menyelamatkan Cakra dari usapan seduktif si wanita bayaran. Dia segera menyingkir dari kasur. Dengan satu usapan ringan, panggilan telepon pun terjawab.
"Halo? Ada apa, Mbak?" sapa Cakra setelah membaca nama si penelepon.
"Masih tanya?" Suara Citra melengking di seberang sana, membuat Cakra refleks menjauhkan ponsel dari telinga. "Sudah jam berapa ini?"
Cakra menatap penunjuk waktu di layar ponsel. Rambutnya yang sudah acak-acakan makin berantakan akibat ulah Cakra sendiri. Sial! Dia bermain sampai lupa waktu.
"Raga gimana? Sudah makan malam? Ada PR, nggak? Dia cari-cari aku nggak, Mbak?"
Pertunjukan panas di atas kasur sama sekali tidak menarik perhatian Cakra. Pria itu memunguti helai demi helai pakaiannya yang terserak mulai dari kaki kasur hingga depan pintu kamar hotel. Tak heran Cakra terlena. Wanita bayarannya malam ini terlalu agresif dan bisa mengimbangi gaya bermain Cakra. Hasrat Cakra yang terpendam sebulan lamanya berhasil tersalurkan dalam dua ronde permainan panjang.
"Kalau mau tahu, buruan jemput anak kamu!"
Omelan Citra mengembalikan akal sehat Cakra untuk berhenti main-main. Sambil menjepit ponsel di antara bahu dan telinga, Cakra mengambil beberapa lembar uang berwarna merah dari dalam dompet dan meletakkannya di atas nakas. Bola mata Cakra bergerak-gerak sebagai bahasa isyarat. Dia mengusir wanita setengah telanjang yang masih asyik berlenggak-lenggok menyentuh tubuh sendiri supaya segera angkat kaki dari kamar.
"Iya, bentar lagi aku pulang, Mbak."
Cakra berdesis kaget ketika kecupan ringan mendarat di tengkuknya. Wanita genit itu sudah melanggar batas. Namanya telah tercoret. Cakra tak akan menyewanya lagi.
Untung saja Citra tak menangkap suara-suara aneh. Kakak semata wayang Cakra itu terlalu bawel untuk mendengarnya. Mulut Citra tak berhenti memberi kuliah ini dan itu supaya Cakra tak lagi-lagi menelantarkan Raga.
"Aku kerja, Mbak," kata Cakra berbohong. "Bentar lagi aku pulang. Ini mau mandi dulu."
"Mandi?"
Cakra mengumpat tanpa suara. "Maksudnya, aku mau ke kamar mandi dulu." Tak ingin keceplosan hal yang tidak-tidak, Cakra segera menyudahi percakapan dengan sang kakak.
***
Raga mendapat warisan ketampanan dari ayahnya. Mata bulat Raga menampilkan kesan ramah ketika diiringi senyum, tetapi bisa berubah mengintimidasi saat memberengut. Dulu Raga sering merajuk hanya karena isi mangkuk makanannya tidak hangat. Namun, di usianya yang hampir menginjak tujuh tahun, Raga lebih sering merengek jika sang ayah tak memberi perhatian.
Di ruang tengah, tepatnya duduk berhadapan di kursi plastik warna merah muda milik saudara sepupu Raga, ayah dan anak itu saling diam. Kaki jenjang Cakra menekuk canggung demi mempertahankan keseimbangan supaya tetap bisa duduk di kursi mungil. Meja jamuan teh ala tuan putri yang memisahkan mereka terlihat seperti meja para hakim di mata Cakra. Di sini Raga-lah si pemegang kekuasaan tertinggi.
Ada sofa yang lebih nyaman diduduki. Namun, Raga memilih tempat ini. Kalau Cakra tidak menuruti, putranya pasti akan lebih marah lagi.
"Ayah minta maaf ya, Raga." Sudah dua kali Cakra mengucapkan kalimat serupa, tetapi Raga tetap mogok bicara. "Besok-besok Ayah bakal pulang lebih cepat. Kalau nggak bisa pulang sampai jam delapan malam, Ayah pasti kasih kabar dulu."
“Lego.”
Cakra mendelik. Apakah Raga baru saja memalaknya? Kening Raga terlihat makin berkerut saat Cakra tak kunjung bersuara. Sejujurnya Cakra ingin mengeluh. Namun, dia sadar diri. Raga jadi begini akibat ulah Cakra sendiri.
“Minggu lalu kita sudah beli Lego.” Cakra bergumam panjang. Dia sedang mengingat-ingat tumpukan mainan lain yang bisa menggantikannya. “Bagaimana kalau kita ganti Gundam? Ayah punya Gundam yang belum dirakit. Kita bisa main bareng.”
Kedua alis Raga terangkat. Anak laki-laki itu mulai tertarik. Setelah sok-sokan masih merajuk, akhirnya Raga pun mengangguk. Dia menurut ketika Cakra menyuruhnya membereskan barang-barang dari rumah Citra dan bersiap-siap pulang.
“Mbak, makasih, ya,” kata Cakra sembari menghampiri Citra yang sedari tadi mengamati persidangan kecil dari area dapur. “Lain kali aku nggak bakal telat jemput Raga, kecuali kalau memang ada kebutuhan kerja mendesak.”
“Yang tadi itu bukan kerjaan mendesak?”
Cakra tersedak ludah sendiri. Menampilkan poker face adalah keterampilan tak tertulis yang harus pengacara kuasai. Namun, di depan Citra, Cakra sudah pasti kalah. Citra sering kali menginterogasi segalak para penyidik. Untuk lepas dari jebakan ini, Cakra harus pintar-pintar mengalihkan perhatiannya tanpa kentara.
“Tadi itu aku kelewat asyik belajar kasus,” jawab Cakra sambil menuang air minum. “Omong-omong, Mas Arya mana? Biasanya Mas Arya tidur terlambat.”
Helaan napas panjang Citra menjawab pertanyaan Cakra. Sontak, sang adik menoleh. Apakah ada masalah antara kakaknya dan kakak iparnya?
“Kayaknya kamu nggak bisa lagi sering-sering pulang terlambat untuk jemput Raga.”
Cakra meletakkan gelas hingga menimbulkan bunyi berdenting. Dia tidak jadi minum. "Kenapa?" tanyanya dengan kening berkerut.
"Masmu itu cemburu. Dia bilang, anak pertamaku justru Raga, bukan Lintang." Citra meraih punggung tangan Cakra dan mengusapnya lembut. "Mbak bilang begini bukan berarti mau berhenti menyayangi Raga. Nggak, sama sekali nggak. Sejak Raga lahir, Mbak juga sudah dekat sama dia. Mbak nggak bisa tiba-tiba jauh dari Raga."
Cakra menunduk dalam-dalam. Citra tidak sedang berbohong. Kakaknya itu memang menyayangi Raga layaknya anak sendiri. Citra-lah garda terdepan yang bersedia memeluk Raga ketika rumah tangga Cakra karam. Citra juga yang selama ini menemani Raga selagi Cakra sibuk mendapatkan posisi aman di firma hukum tempatnya bekerja.
Segala kenyamanan ini membuat Cakra terlena. Hingga kakaknya menikah, bahkan sudah punya anak sendiri, Cakra terlalu menggantungkan pengawasan Raga padanya. Meskipun tidak bisa menyediakan keluarga yang utuh, Cakra tidak ingin menjadi ayah kurang ajar untuk Raga.
Cakra menarik tangannya hingga genggaman Citra terlepas. "Anakku jadi beban di keluarga kalian."
"Cakra." Panggilan Citra diakhiri desahan pasrah.
"Mas Arya benar, Mbak. Raga bukan tanggung jawab Mbak."
Citra menarik kursi di sebelah adiknya. Dengan sifat keibuan, wanita yang lebih tua tiga tahun dari Cakra itu mengangsurkan segelas air mineral. Suasana hati Cakra sedang buruk, Citra tahu itu. Namun, kapan lagi mereka punya kesempatan bercakap-cakap jika bukan sekarang?
"Kapan kamu mau mencarikan sosok ibu buat Raga, Cak?" tanya Citra hati-hati.
"Mbak," balas Cakra dengan nada kesal. "Cukup Papa dan Mama yang tanya hal itu terus-terusan. Mbak nggak usah ikut-ikutan."
"Kamu masih–"
"Aku belum siap, Mbak," potong Cakra tegas. "Daripada mendapatkan ibu yang nggak tepat buat Raga, lebih baik aku berlama-lama melajang. Berurusan dengan orang yang salah dalam ikatan pernikahan sama sekali nggak ada di rencanaku."
"Ayah."
Cakra dan Citra serempak menoleh. Raga muncul dengan ranselnya di punggung. Sebelah tangannya menjinjing tas berisi kotak bekal. Anak laki-laki itu terlihat menjaga jarak dari tempat duduk Cakra dan Citra.
"Mbak, aku sama Raga pulang dulu," ucap Cakra memutuskan keheningan yang sempat terjadi. Dia melanjutkan dengan volume suara yang lebih rendah. "Jangan bahas soal cari calon istri atau pun calon ibu di depan Raga! Itu tanggung jawabku. Mbak nggak perlu ikut campur."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top