28 | Bukan Salah Ratna

"Setelah dipikir-pikir lagi, kenapa kita harus membicarakan Dewa, sih? Hubungan kita sudah bagus tanpa ada dia."

Cakra meringis. Ratna terlihat jengkel sekali. Kekuatan menyembunyikan perasaan di balik topeng senyum ala Ratna sepertinya menghilang begitu saja sejak mereka berbagi kehangatan di ranjang. Cakra lantas mencium kening Ratna sebagai penebusan perasaan bersalah.

"Kemarin Doni kasih tahu aku, ada surat nyasar ke tempat kerja dia. Nggak ada nama pengirimnya. Setelah dibuka, isinya justru foto-foto aku dan kamu yang diambil candid. Objek ketiga foto itu cuma kita berdua."

Ratna menyipitkan mata. "Kalau begitu, kenapa dikirim ke Doni?"

"Nah, itulah letak permasalahannya." Cakra menggelengkan kepala. "Andai ada orang yang benci aku, pasti bakal lebih efisien kalau dia langsung mengirim ke kantorku. Oleh karena itu, aku dan Doni beranggapan pelakunya masih berhubungan dengan kasus punya Doni, yaitu kasus kamu. Kami menyimpulkan bahwa Dewa-lah yang mengirim surat itu. Aku, kamu, dan Doni, kita bertiga disatukan dalam kasus yang sama-sama berkaitan dengan Dewa."

Ratna tercengang. Mukanya perlahan memucat. "Itu sebabnya kemarin kamu sangat berhati-hati sama aku dan Raga?"

Cakra mengangguk sebagai jawaban. Dia segera menangkap pergelangan tangan Ratna yang berniat menjauh. Cakra mendesis sambil menggeleng. "Kamu nggak salah apa-apa, Sayang. Aku sama Raga baik-baik saja. Nggak usah cemas."

"Tapi ... aku ... Dewa ...." Ratna terperangkap dalam kegundahan. Koleksi kata-katanya menghilang. Mata Ratna nanar menatap Cakra.

Seperti tengah menenangkan bayi, atau justru isyarat untuk tak terus bicara, Cakra mendekap erat Ratna. Guncangan kengerian yang Ratna rasakan berangsur-angsur berkurang. Tekanan yang Cakra berikan di sekujur tubuh terasa lebih nyata dan memaksa kesadaran Ratna untuk tetap bersamanya. Setelah getaran di tubuh Ratna berkurang, sebelah tangan Cakra bergerak ke balik kepala wanita itu, lantas memberikan usapan lembut.

"Kayak ... Haiyan ...," kata Ratna lirih, yang terdengar sangat jelas di telinga Cakra. "Dulu Dewa pakai cara yang sama, mengancam aku bahwa dia bakalan sakitin keluarga Haiyan. Dewa sekarang pakai cara itu supaya aku menjauhi kamu."

Cakra menarik napas panjang. Pelukannya mengetat. "Jangan pernah menjauh dari aku, Na! Keputusan kamu menjauhi Haiyan setelah perceraian itu terjadi, jangan kamu lakukan juga ke aku!"

"Tapi–"

"Ratna, lihat aku!" Cakra sedikit menjauh dan meremas lembut kedua bahu wanitanya. "Siklus ini akan berulang kalau kamu terus merasa takut sama Dewa. Inilah yang Dewa inginkan, membuat kamu tunduk pada kemauannya. Kalau terus begitu, apa gunanya kamu mati-matian ingin bercerai? Cepat atau lambat, Dewa bisa menangkap kamu lagi."

"Nanti kamu celaka." Air mata Ratna mengucur tanpa jeda. "Aku nggak mau bikin siapa pun celaka karena aku."

Sisi Ratna yang kuat, juga yang lemah, dibentuk atas tindakan Dewa. Ratna mengetahui betapa kejamnya Dewa. Maka dari itu, hal terakhir yang Ratna inginkan adalah orang lain terlibat nasib sial oleh ulah Dewa. Dewa bukan orang jahat biasa. Dia suka menyiksa dan memainkan rasa takut orang lain.

Setengah memaksa, Cakra menyudahi pembicaraan sore ini. Cakra menilai Ratna terlalu emosi untuk berpikir jernih. Dia tak mau Ratna hancur sekali lagi, oleh pelaku yang sama.

***

Pada akhirnya, Ratna tertidur karena kelelahan. Meski sudah ikut berguling-guling di sebelah Ratna, Cakra tak kunjung mengantuk. Dia menyerah dan memilih memandangi wajah damai kekasihnya yang lelap.

Cakra pernah melihat Ratna terlelap, bahkan pernah beberapa kali tidur bersamanya. Namun, ini pertama kalinya dia tahu bahwa Ratna memiliki bulu mata lentik nan panjang. Saat terpejam, rima matanya membentuk lengkungan seolah tengah tersenyum.

Mungkin ini juga yang membuat Cakra lengah. Ratna di mata Cakra adalah sosok mandiri dan kuat. Kecantikannya paripurna. Tebaran energi positif mengelilingi Ratna. Akan tetapi, di balik itu semua, tersimpan rasa sakit dan luka. Tidak sembarang orang bisa melihatnya.

Kadang Cakra berandai-andai. Kalau dia tidak memberanikan diri melewati batas dengan cara mencium Ratna, apakah wanita itu akan tetap sendirian merawat luka? Cakra mendesah. Hanya dengan memikirkan kemungkinan itu saja, dia sudah resah.

Embusan napas Cakra terlalu berisik. Tidur Ratna terusik. Ratna mengerjap beberapa kali, sebelum akhirnya menyapa Cakra.

"Baru setengah jam," kata Cakra lembut sambil berguling mendekat. "Mau tidur lagi?"

"Mata aku pegal banget gara-gara habis nangis langsung tidur."

Cakra tertawa kecil, kemudian mengusap area di antara kedua alis Ratna dengan ibu jari. "Waktu masih bayi, Raga suka banget aku beginikan biar cepat ngantuk."

"Kamu, tuh, sering memperlakukan aku kayak Raga," sahut Ratna seraya menyingkirkan tangan Cakra dari wajahnya.

"Tapi, kamu suka?" Cakra melebarkan senyum saat Ratna tak kunjung memberi jawaban. "Mungkin, deep down inside, ada diri kamu versi anak kecil yang mau mendapat kasih sayang kayak gini."

Mata Ratna kembali berkaca-kaca. Ambang batas cengeng Ratna hari ini sedang anjlok. Apa saja yang menyentuh ruang hatinya dapat mengundang banjir air mata.

"Cak, jangan bilang gitu." Ratna mencebikkan bibir, menahan hasrat menangis "Kamu bikin aku goyah."

Cakra menyangga kepala dengan sebelah lengan. "Goyah gimana?" tanya Cakra.

"Sebelum tidur, aku berpikir untuk menyudahi hubungan kita. Aku nggak mau merepotkan kamu, apalagi Raga pernah minta sosok ibu sebagai hadiah ulang tahunnya. Aku kayaknya nggak siap untuk itu."

"Ratna, pelan-pelan aja mikirnya," balas Cakra. Kunci utama menghadapi rengekan Ratna adalah ketenangan. "Sekarang yang paling utama adalah menangkap Dewa biar kamu benar-benar putus hubungan dari dia. Setelah selesai, baru kita bicarakan mau dibawa ke mana hubungan kita." Cakra meraih pipi Ratna dan mengusapnya. "Aku, kan, sudah minta supaya kamu nggak dorong aku. Kita sama-sama menyelesaikan kasus ini. Oke?"

Ratna menarik tubuhnya ke atas. Kepala kasur menjadi tempatnya bersandar. Cakra mengikuti apa yang kekasihnya lakukan. Keduanya sama-sama terdiam untuk sementara waktu.

"Kasus cyberstalking ini menemui jalan buntu," kata Ratna dengan raut wajah sangat serius. Keningnya jatuh ke bahu Cakra. "Sesuai yang kamu sarankan, kita mencari celah kesalahan Dewa lainnya. Bagaimana kalau kita mulai mengusut dari laporan kasus KDRT terdahulu? Tapi, please, jangan bawa-bawa bukti CCTV."

"Alat bukti ada banyak macamnya, Na. Kalau di kasus biasa, bukti surat medis mungkin cukup. Tapi, lawan kita Dewa. Kita perlu bukti yang lebih kuat, yang langsung menunjuk bahwa Dewa-lah pelakunya." Cakra mengerutkan kening dan mengusap dagu. "Ini semua bakalan mudah kalau kita punya saksi mata. Kamu pernah cerita tentang hal ini ke teman atau saudara, nggak?"

Ratna terdiam. Setelah beberapa saat berpikir, desahan panjang keluar dari bibirnya. Ratna memejamkan mata rapat-rapat.

Cakra menyadari kegundahan hati kekasihnya. "Ada?"

"Aku pernah cerita hal ini ke satu orang. Tapi, kayaknya lebih baik nggak menjadikan dia sebagai saksi."

Berbeda dengan Ratna yang terlihat kalut, Cakra langsung bersemangat. "Siapa?"

Ratna menunduk. Tenggorokannya tiba-tiba terasa kering. Saat Cakra melempar pertanyaan untuk kedua kalinya, barulah Ratna memberi jawaban yang mencengangkan.

"Haiyan," jawab Ratna.

Dalam sekejap, bintang-bintang di mata Cakra menghilang. Semangatnya juga ikut hilang.

***

Note:

Sudah hampir setengah jalan cerita, nih! Kasih applause dulu, dong! 👏🏻😍

Presensi dulu, siapa yang masih ikutin cerita ini? Komen, yuk. As usual, aku mau bagi-bagi hadiah untuk pembaca setia 😌

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top