26 | Tentang Masa Lalu

Malam merangkak naik. Kota seakan tertidur. Untuk sebagian orang, malam hari adalah waktu yang tepat untuk bicara dari hati ke hati. Tak terkecuali bagi Cakra dan Ratna saat ini.

"Di usia 23 tahun, aku jadi seorang ayah. Aku dan mantan istri menikah karena kebobolan. Umur segitu aku masih magang, belum jadi pengacara kayak sekarang. Kayak yang kamu tahu, dan juga mengalaminya, proses menjadi pengacara nggak mudah. Aku nggak punya cukup waktu untuk mengurus keluarga karena sibuk mengejar karier."

Cakra menghentikan ceritanya sejenak. Dadanya mengembang saat menarik napas panjang. Itu masa-masa paling susah yang pernah Cakra rasakan. Mengingatnya sama artinya dengan membuka luka lama.

"Waktu itu istriku lebih muda lagi. Dia mahasiswi tahun ketiga. Karena hamil, dia ambil cuti satu semester. Kehidupan masa mudanya terenggut oleh kehamilan itu. Sayangnya, ketika dia benar-benar membutuhkan sosok suami di sampingnya, aku justru sedang kebingungan mengumpulkan tabungan." Cakra mendengkus kecil. "Ya, gaji anak magang berapa, sih? Cuma cukup untuk biaya hidup satu orang. Kalau mau hemat, bisa untuk berdua, sih. Tapi, ibu hamil itu butuh makanan bergizi. Belum lagi persiapan uang lahiran dan kebutuhan anak."

Ratna meraih sebelah tangan Cakra guna meredakan sedikit amarah dalam nada bicaranya. Ratna bisa membayangkan kesusahan yang menimpa Cakra. Harga diri Cakra sebagai kepala keluarga pada masa itu tengah dipertaruhkan.

"Aku kerja keras bagaikan nggak ada hari esok, dengan anak dan istri sebagai alasan. Raga sakit pun, aku nggak ikut mengantarnya periksa ke dokter. Aku hampir sama sekali absen mengurus Raga pada setahun pertama kehidupannya. Lalu, tiba-tiba saja ibu Raga mengaku selingkuh. Dia minta cerai dan nggak mau mengurus Raga. Sampai situ, aku baru sadar. Aku bekerja keras bukan untuk keluarga, tetapi untuk memenuhi egoku sendiri."

Cakra menoleh ke arah Ratna. Senyumnya mengembang melihat raut wajah wanita itu. Ratna terlalu bersimpati sampai menangis, padahal Cakra-lah yang merasa sakit hati.

"Cerita selanjutnya bisa ditebak. Aku jadi duda di saat teman-temanku baru pada mau menikah. Aku kerepotan mengurus anak yang sakit-sakitan di tengah persiapan ujian advokat. Kalau mengingat masa itu, aku benar-benar menyesal." Cakra tertunduk dalam. "Aku mencintai Raga, tapi aku juga yang menariknya ke dalam penderitaan. Andai bisa menahan diri sedikit lebih lama, aku dan Raga pasti bertemu di saat kondisi finansialku lebih stabil untuk menghidupinya."

Ratna melepas untaian tangan mereka supaya bisa mengusap air matanya sendiri. Ujung hidungnya memerah seperti bekas terkena cubitan keras. Keadaan terbalik. Kini jadi Cakra yang berusaha menghibur Ratna dengan tepukan-tepukan ringan di punggung.

"Sekarang aku dan Raga baik-baik aja. Ada untungnya aku kerja di law firm besar, yang sering menangani masalah orang-orang besar juga. Aku jadi bisa menabung dan memberikan fasilitas terbaik untuk pertumbuhan Raga." Cakra mengangkat dagu Ratna supaya membalas tatapannya. "Jadi, kamu nggak perlu takut berlebihan. Aku dan Raga dibuang oleh mantan istriku. Nggak ada ruang buat dia masuk ke dalam hubungan kita, apalagi sampai mengganggu kamu."

"Maaf, aku sudah menuduh yang nggak-nggak," ucap Ratna sambil mengedipkan-ngedipkan matanya yang kabur. "Makasih juga kamu mau terbuka sama aku."

Cakra menggeleng tak setuju. "Sudah seharusnya aku membicarakan ini sama kamu. Sebagai orang yang sama-sama memiliki kegagalan pernikahan di masa lalu, aku paham bagaimana nggak percaya dirinya untuk memulai hubungan baru." Cakra mengulas senyum. "Tapi, aku bersedia menanggung itu semua, kalau kamu memang mau terus berada di sisi aku. Aku bukan pebisnis kaya raya kayak mantan suamimu, tapi aku bersedia berjuang untuk kelanggengan hubungan kita."

Seumur hidupnya, Ratna tak pernah mengalami kesulitan finansial. Dia besar dalam keluarga yang memiliki ambisi untuk menimbun kekayaan dan memperluas koneksi. Ratna juga bisa melihat pola umum di keluarga besarnya. Kalau tidak menikah dengan orang penting di pemerintahan atau orang yang memiliki relasi kuat di bidang hukum, anggota keluarganya pasti menikahi pebisnis ulung. Bagi mereka, masa depan terjamin aman dalam gelimang harta dan asuransi proteksi hukum.

Cakra sama sekali berbeda. Ratna tak menyesal mengenalnya, bahkan terlibat hubungan asmara dengannya. Entah bagaimana, di mata Ratna, Cakra terlihat lebih manusiawi dengan segala keterbatasannya.

"Aku nggak masalah sama hal-hal sejenis itu, Cak. Aku dekat sama kamu, ya, karena aku mau," balas Ratna.

Cakra menegakkan tubuh. Raut wajahnya yang semula lembut, berubah serius. Dia bicara dengan hati-hati.

"Na, Dewa nggak ganggu kamu lagi, kan?" tanya Cakra memastikan. Pembicaraan tentang mantan membuat Cakra teringat dengan alasan di balik kegelisahannya seharian ini.

"Kalau maksud kamu teror pesan, kayak yang aku bilang tadi siang di kantor, aku nggak pernah dapat pesan lagi." Ratna mengambil ponselnya yang tergeletak di nakas, lantas mengangsurkannya pada Cakra. "Kamu boleh periksa. Ini HP aku satu-satunya."

Cakra menerimanya. Bersama-sama mereka meneliti pesan tersebut satu per satu. Ini pertama kalinya Cakra terlibat langsung dengan kasus cyberstalking Ratna. Dia membelalak tak percaya saat mengetahui betapa banyaknya pesan yang masuk, pun begitu, isinya mampu menggetarkan bulu kuduk di seluruh tubuh. Pesan-pesan terbarunya banyak berisi umpatan dan ancaman. Cakra seolah-olah bisa mendengar Dewa sendirilah yang mengatakannya.

"Kamu–"

Kata-kata Cakra terhenti. Saat menoleh, dia baru menyadari wajah Ratna terlalu dekat dengannya. Cakra tak bisa berkedip menatap kecantikan Ratna begitu pekat. Namun, dia tidak mau salah fokus. Diam-diam Cakra beringsut menjauh seraya mengembalikan ponsel pada si empunya.

"Kamu pernah balik ke apartemen, nggak?" tanya Cakra. Dia berhasil menyuarakan pikirannya, walau sempat terjebak dalam perasaan kagum pada bibir Ratna yang berisi.

"Nggak. Barang-barang terpenting ada semua di sini." Ratna menelengkan kepala. "Kenapa?"

"Bukannya waktu apartemen kamu dibobol, kamu juga dapat surat secara tertulis? Pesan di ponsel memang sudah berhenti, tapi kita nggak tahu apa yang terjadi dengan pesan tertulis. Besok sore aku mau ke sana."

Ratna menggeleng kuat. Dia mengalungkan tangan di lengan Cakra, bermaksud menahan. "Bahaya, Cak!"

"Aku cuma mau memastikan apakah permainan Dewa sudah selesai." Cakra menepuk-nepuk pelan jemari Ratna. "Aku bakal hati-hati."

Cakra punya agenda lain. Kalau memang Ratna tidak mendapatkan ancaman apa-apa lagi, ada kemungkinan pemberi pesan ancaman pada Cakra melalui perantara Doni bukanlah Dewa. Namun, Cakra belum bisa tenang sampai benar-benar memastikan identitas pelaku sesungguhnya.

"Aku ikut." Keputusan Ratna tak tergoyahkan. "Kalau kamu lupa, biar aku ingatkan lagi. Aku nggak pernah meninggalkan pertarungan, bagaimana pun hasil akhirnya nanti. Andai pesan itu benar ditemukan di apartemen aku, berarti Dewa nggak berhenti begitu saja meski aku sudah menarik surat aduan dari kepolisian. Pertarungan ini belum berakhir."

"Terlalu berbahaya."

"Bukannya lebih baik memeriksa berdua daripada sendirian? Itu bakal lebih aman."

Ratna dan kepala batunya memang paling ampuh membuat Cakra mengurut kening. Ratna masih melemparkan berbagai argumen yang kian membuat Cakra pening. Pada akhirnya, Cakra mengalah dan membiarkan Ratna ikut dengannya besok.

"Oh ya, Na." Cakra kembali bicara sebelum bangkit berdiri. "Doni pernah minta bukti-bukti kekerasan Dewa dulu. Setelah aku pikir ulang, kayaknya lebih baik kalau kita membuka semua kebejatan Dewa untuk memenjarakannya. Kalau hanya menggunakan bukti dari kasus penguntitan ini, pasti bakal kurang."

"Kamu mau bikin bukti palsu?"

"Bukan gitu." Cakra melembutkan cara bicara supaya kekasihnya luluh. Pasalnya, Ratna tengah melotot padanya. "Kita tangkap Dewa pakai kasus lain. Kasus KDRT kamu, misalnya. Aku bisa buka kasus lama kamu dan mulai semuanya dari awal. Toh, kita punya rekaman CCTV dan laporan medis."

"Nggak! Aku bilang jangan pakai rekaman itu!" Suara Ratna melengking tinggi. Dia sampai berdiri saking marahnya. "Aku pernah bilang supaya kamu simpan semua rahasia aku! Setelah kita dekat begini, kamu pikir kamu bisa bujuk aku untuk menggunakan bukti-bukti itu? Mau ditaruh mana mukaku nanti, Cak?"

Cakra berusaha meraih tangan Ratna, tetapi Ratna langsung menepisnya. Wanita itu terlampau marah untuk dibujuk. Karena ingin segera menyelesaikan masalah, Cakra sampai melupakan hal terpenting lain: perasaan korban.

Rekaman CCTV yang Ratna simpan erat-erat, sesungguhnya adalah rekaman kekejaman yang Dewa lakukan. Dewa menyetubuhi Ratna layaknya binatang; setelah bercinta meninggalkan Ratna tergolek kesakitan begitu saja. Walau Ratna bukan pihak yang bersalah, rekaman itu adalah aib terbesarnya.

"Maaf," kata Cakra. Lagi-lagi uluran tangannya ditolak. "Aku nggak bermaksud mempermalukan kamu. Aku cuma–"

"Berambisi untuk menyelesaikan ini semua?" potong Ratna menggebu-gebu. Dia mendengus keras dan melengos saat Cakra tak memberikan penyangkalan. "Ternyata kamu dan Dewa sama saja. Dewa berambisi untuk punya anak dari aku, sedangkan kamu berambisi untuk membereskan masa lalu aku." Ratna melempar tatapan antipati. "Aku salah menilai kamu."

Cakra seperti baru saja disiram bergalon-galon air es tepat di kepala. Laki-laki itu membeku di tempat. Otaknya tak berfungsi untuk berpikir jernih. Namun, satu hal yang pasti, Ratna jadi membenci Cakra.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top