25 | Menebak Dalam Gelap

Kedatangan Doni ke kantor Cakra pagi ini benar-benar menjadi beban pikiran. Sebagai bentuk pencegahan, Cakra langsung menelepon wali kelas putranya untuk memastikan bahwa Raga aman terjaga. Cakra juga menghubungi Ratna dan mengatur janji temu saat jam istirahat makan siang.

Cakra bukan mengalami ketakutan berlebihan. Dengan adanya foto-foto itu, Cakra mengetahui bahwa ancaman tersebut nyata dan berada di dekat mereka. Cakra cuma ingin melindungi orang-orang terdekatnya.

"Ada apa, Cak?" tanya Ratna sambil menenteng kotak bekal di tangan kanannya. Bekal buatan Cakra. "Biasanya juga makan di pantry kantor masing-masing."

Cakra tersenyum simpul. Dia tidak bisa mengelak bahwa saat ini dirinya tengah dalam mode siaga penuh. Sejauh mata memandang, tidak terlihat tanda-tanda mereka sedang diawasi. Cakra segera meraih pergelangan tangan Ratna dan membawanya menuju tempat yang lebih tertutup.

"Lho, aku kira kamu mau ajak aku makan siang bareng," ucap Ratna keheranan ketika mereka justru bersembunyi di balik pilar bulat, membaur dengan para nasabah bank. Lantai pertama gedung perkantoran mereka memang ditempati oleh kantor bank yang selalu ramai.

"Aku cuma butuh beberapa menit untuk bicara. Habis ini kamu bisa lanjut makan."

Ratna menjadi sama waspadanya dengan Cakra. Dia menarik Cakra melipir ke kursi panjang yang berada di pinggir ruangan, tetapi posisinya tetap cenderung tertutup. Wanita itu menumpukan kedua telapak tangan di atas kotak bekal. Dia siap mendengarkan.

"Pertama-tama, aku mau kasih kamu ini. Aku sekalian beli waktu ada kerjaan di luar dan pas banget lewat apotek. Aku ingat semalam kita main tanpa pengaman. Habis ini langsung diminum, ya."

Tanpa perlu diperjelas, Ratna tahu jenis obat apa yang diberikan Cakra untuknya. Ratna tak pernah meminum pil kontrasepsi darurat sebelumnya karena selalu berada dalam situasi menginginkan kehamilan. Dia jadi berandai-andai. Apakah jika tidak meminum ini, benih Cakra akan tumbuh di rahimnya?

"Halo? Kamu melamun?" Cakra melambaikan tangan di depan hidung Ratna. Sontak wanita itu melepaskan tatapan dari strip obat di tangannya. "Kamu lagi mikirin apa?"

"Nggak, kok," kilah Ratna. Dia memasukkan obat itu ke dalam saku. "Tadi kamu mau ngomong apa lagi?"

Kesepuluh jemari Cakra terangkai di pangkuan. Ratna sedikit gentar melihat keseriusan dalam tatapan Cakra. Tidak biasanya Cakra begini padanya.

"Tolong jawab jujur. Apa kamu masih sering mendapat teror pesan kayak dulu?"

Ratna menggeleng patah-patah. "Sejak apartemen aku kebobolan, pesan itu nggak pernah datang lagi." Karena Cakra tak kunjung menimpali, sudut mata Ratna sedikit berkerut. "Ada apa, Cak? Kamu seram kalau begini."

Cakra tak mendapati gerak-gerik mencurigakan dari Ratna. Kekasihnya sedang berbicara jujur. Dia menurunkan ketegangan. Dugaan awal Cakra memang terlalu mengada-ngada. Ratna tentu tak mungkin menyembunyikan informasi penting jika itu menyangkut keselamatan mereka bersama. Ratna bukanlah orang jahat.

"Maaf kalau bikin kamu takut," ujar Cakra. Senyum manisnya kembali menghiasi bibir. "Siang ini aku ada jadwal kerja di luar. Kayaknya nggak bisa pulang bareng." Cakra meraih dan meremas sebelah tangan Ratna. "Nanti langsung pulang ke rumah, ya. Begitu sampai rumah, tolong kabarin aku. Tetap waspada selama perjalanan, nggak boleh sambil main HP."

"Kamu nggak mau jelasin apa-apa?"

Cakra melepaskan genggaman tangan dan berdiri lebih dulu. "Aku pergi dulu."

Pertanyaan Ratna kentara sekali diabaikan. Cakra bahkan langsung melenggang pergi tanpa menoleh sedikit pun ke arah Ratna. Keanehan tersebut membuat Ratna curiga. Sekuat apa pun berusaha menggali, Ratna tak menemukan petunjuk.

***

Cakra baru tiba di rumah ketika hari sudah terlalu larut. Kelelahan menerpanya tanpa ampun. Akan tetapi, begitu dia membuka pintu dan menemukan jejak kehidupan di dalam rumah, Cakra sedikit merasa lebih segar. Saat dulu Ratna belum tinggal di sini, rumah selalu kosong tiap Cakra pulang terlambat. Raga pasti terlelap di rumah Citra. Eksistensi Ratna mengubah sebagian hidup Cakra.

Ratna tengah sibuk mencuci piring di dapur ketika Cakra pulang. Wanita itu tidak menyapa, tersenyum saja enggan. Ratna masih kesal atas perlakuan Cakra padanya siang tadi.

"Raga sudah tidur?" tanya Cakra tak menyadari suasana hati Ratna memburuk. Pria itu meletakkan tas di atas meja makan, lantas melonggarkan ikatan dasi dan menggulung lengan kemeja sampai siku. "Hari ini Raga ada PR, nggak?"

Gemericik air menjawab Cakra. Ratna tetap memberi punggung. Aksi mogok bicara Ratna berlanjut.

"Na?" Cakra mulai mencium sesuatu yang tak beres. "Kamu kenapa?"

Ratna cuma bergumam panjang. Dia mengelap tangan dan meninggalkan area dapur.

"Sayang," panggil si pria.

Langkah Ratna terhenti karena tarikan Cakra. Tubuhnya berputar dan tahu-tahu saja Ratna masuk dalam dekapan Cakra. Ratna tersentak. Dia bisa mencium aroma parfum maskulin yang terasa samar dari area leher pria itu.

"Kamu kenapa?" Cakra menyampirkan sejumput rambut Ratna ke balik daun telinga. "Cerita sama aku."

"Seharusnya itu jadi kata-kata aku." Ratna menempatkan telapak tangannya di dada Cakra supaya mereka bisa sedikit terpisah. Akan tetapi, usahanya sia-sia. Pinggul Ratna tertahan dalam kungkungan kuat lengan kekasihnya. "Kamu punya cerita dan kamu harus cerita ke aku."

"Maksudnya?"

"Masalah tadi siang." Ratna mendongak berani. "Waktu aku pulang jemput Raga di rumah depan, Citra cerita kalau kamu suruh dia hari ini jemput Raga langsung ke sekolah, nggak pakai mobil antar jemput kayak biasa. Kamu bilang supaya mereka nggak keluar rumah atau membukakan pintu untuk orang asing. Hari ini kamu juga terlihat lebih waspada di dekat aku."

Cakra memejamkan mata. Dia melepaskan Ratna. Pria itu berbalik memunggungi Ratna dan mendesah panjang.

"Mantan istri kamu balik lagi?"

Kekonyolan pembahasan ini membuat kening Cakra berkerut. Dia menoleh cepat. Apa-apaan pertanyaan Ratna itu?

"Kamu jadi overprotective sama aku dan Raga." Ratna mengangkat bahu, berusaha terlihat santai, meskipun ada badai di hatinya. "Jadi, aku tebak, mantan istri kamu balik lagi dan dia mengancam hal yang nggak-nggak. Mungkin dia mau mencelakai aku, atau malah mau mengambil Raga dari kamu. Selama kamu nggak cerita, aku nggak bakal tahu kebenarannya."

"Sayang," Cakra menahan tawa, "kamu lagi cemburu?"

Ratna mengelak. Kakinya mengentak-entak tanah ketika memasuki kamar. Untung saja pintunya tak ikut dibanting. Cakra segera mengejar Ratna demi mendapat jawaban.

"Mantan istri aku nggak gila kayak Dewa," ucap Cakra.

"Oh, belain mantan, nih?" Ratna memutar bola mata. Dia meraih kucir rambut dan mulai mengumpulkan rambutnya jadi satu. "Wajar, sih. Dia, kan, ibu dari Raga."

"Sayang, omongan kamu melantur ke mana-mana." Cakra terkekeh. Dia memeluk Ratna dari belakang dan melihat pantulan mesra mereka di cermin meja rias. "Ini semua nggak ada hubungannya sama mantan istri aku. Lagian, nggak semua mantan sejahat mantan kamu."

"Jadi, aku yang salah?"

"Sssttt." Cakra mengetatkan pelukan dan menyandarkan pipi di pelipis Ratna. "Aku bakal cerita. Tapi, kamu jawab dulu pertanyaan aku. Kamu cemburu?"

Ratna menghela napas panjang sebelum berucap, "Kemarin kita baru saja melalui malam yang panas. Terus, hari ini kamu malah belain mantan kamu di depan aku. Selain itu, kamu tahu masa lalu aku, tapi aku nggak tahu apa-apa tentang mantan istri kamu."

"Kenapa nggak tanya kalau memang penasaran?" Cakra mengecup pelipis Ratna dua kali.

"Aku percaya kamu bakal cerita dengan sendirinya. Tapi, aku salah. Aku malah makin kepikiran karena nggak tahu apa-apa." Ratna mencoba mengurai rangkaian jemari Cakra di depan perutnya. Gagal. Suara Ratna kian lirih. "Terus, aku jadi bertanya-tanya. Apakah mantan kamu lebih cantik? Apakah mantan kamu lebih muda dan energik? Apakah mantan kamu lebih memuaskan dalam urusan ranjang? Apa mantan kamu–"

Ucapan Ratna berhenti. Cakra memutar tubuhnya pelan hingga kini mereka berhadapan. Tatapannya yang begitu lembut menyentuh hati Ratna yang tengah meragu.

"Mantan ada di masa lalu, sedangkan kamu wanitaku di masa sekarang." Ibu jari Cakra mengusap tulang pipi Ratna. "Aku bakal cerita semuanya. Demi hubungan kita."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top