24 | Kian Pelik
Ciuman bagaikan makanan pembuka yang berfungsi membangkitkan selera. Maka dari itu, hidangan setelahnya menjadi lebih menggiurkan. Setiap sel tubuh Cakra dan Ratna memanggil satu sama lain karena ingin mencecap lebih puas, tak cukup bila berhenti pada tahap pertama.
Ratna pernah mencicipi ciuman Cakra sebelumnya. Bibir pria itu bergerak lembut di awal, tetapi makin menuntut seiring waktu. Entah berapa kapasitas paru-parunya, Cakra mampu mengerjai bibir Ratna dalam waktu yang lama. Erangan dan desahan Ratna laksana oksigen yang menyulut api Cakra supaya tak padam.
"Cakra." Ratna tersengal. Dia berhasil menyebut nama kekasihnya setelah tautan bibir mereka terlepas.
Akan tetapi, Cakra tak butuh waktu lama untuk beristirahat. Kecupannya menjalar ke garis rahang Ratna, terus naik hingga daun telinga. Ratna dikerjai habis-habisan oleh embusan napas dan sentuhan Cakra.
Cumbuan Cakra terlalu memabukkan. Ratna berusaha menahan desahan supaya tak keluar dari mulut. Namun, dia justru semakin jauh terperosok dalam jurang kenikmatan karena berbuat demikian. Hanya dengan ciuman, sedikit remasan di payudaranya yang masih berbalut bra, dan usapan lembut di beberapa titik, Ratna telah mendapat pelepasan pertamanya.
Cakra terpaku, tak menyangka bahwa perbuatannya bisa menghadirkan pemandangan seindah ini. Ratna tampak kacau. Kacau yang cantik.
Cakra membiarkan kekasihnya menikmati surga dunia. Secara perlahan Cakra mengusap bulir keringat di pelipis Ratna selagi menunggu getaran tubuh wanita itu sedikit mereda.
"Welcome back, Angel!" sapa Cakra ketika perlahan kelopak mata Ratna terbuka menatapnya. "How is heaven?"
Ratna tersipu. Perasaan ini sangat asing baginya. Ratna jarang sekali mencapai puncak kenikmatan. Dulu, tiap bersetubuh, Ratna semata-mata berpikir untuk segera hamil. Tuntutan orang tua dan mertua membuat Ratna tak pernah benar-benar menikmati prosesnya. Hal yang lebih parah, ketika Dewa berubah menjadi setan pemarah, kegiatan ranjang bagaikan siksa neraka.
"Malu." Ratna mengakui sambil mengangkat tangan ke depan wajah. "Berhenti lihat aku pakai tatapan itu!"
"Kamu cantik," kata Cakra sambil menurunkan sebelah tangan Ratna. Kecupannya mendarat di pipi. "Nggak perlu malu. Aku suka lihatnya."
Pergumulan kembali terjadi. Ratna tak kuasa mencegah ketika Cakra memberondongnya dengan ciuman dan sentuhan panas. Ketika tangan pria itu bergerilya ke balik punggung dan melepas kaitan bra, Ratna tersentak.
"Jangan di sini," pinta Ratna lirih. Dia melirik sekitar. Meski tak ada yang melihat, Ratna merasa tak nyaman bercinta di ruang terbuka. "Ke kamar aja," lanjutnya sambil membalas tatapan Cakra.
Cakra menggandeng, sedikit menarik, tangan kekasihnya menuju kamar terdekat. Itu kamar Ratna. Tanpa perlu melihat, Cakra bisa menutup pintu di balik punggungnya. Dia hanya ingin memenuhi lapang pandangnya dengan bayangan Ratna yang berbaring lebih dulu di kasur.
Kini bukan hanya wajah Ratna yang memanas karena terus mendapat perhatian Cakra. Seluruh tubuhnya seperti terbakar. Tangannya bergerak sendiri memeluk leher Cakra ketika kekasihnya itu kembali memulai ciuman. Ratna tidak mengingat jelas bagaimana kaus dan bra miliknya telah terlepas. Lebih-lebih, selagi Cakra melepas penutup bagian bawah, cumbuannya tak meninggalkan kulit Ratna barang sedetik pun. Ratna terlalu terlena.
"Indah," bisik Cakra tepat di muka Ratna.
Ratna berpaling ke samping sambil berusaha menutupi buah dadanya dengan kedua tangan. Namun, dia salah perhitungan. Ratna justru mendapati bayangan menggiurkan di cermin lemari. Di sana dia mengamati Cakra telah melepas seluruh pakaian dan memosisikan diri di antara kedua kaki Ratna yang terbuka.
"Sayang," panggil Cakra sambil membelai pipi Ratna. Dia bergerak lembut saat menyingkirkan tangan Ratna. "Aku bakal pelan-pelan," katanya sambil menurunkan tubuh.
Cakra menggeram rendah. Bibir Cakra mencecap kulit leher Ratna. Dia berusaha keras berhati-hati memperlakukan Ratna, tak seperti pada para wanita bayarannya.
Namun, kelembutan tersebut tak berlangsung lama. Akal sehatnya benar-benar hilang.
Dalam setiap gerakannya, Cakra berusaha mencari kepuasan. Dia bahkan melupakan fakta bahwa saat ini mereka bermain tanpa pengaman. Kenikmatan dari pangkal pahanya menjalar ke seluruh tubuh. Cakra nyaris ambruk menimpa tubuh Ratna, kalau saja tidak refleks menahan bebannya sendiri dengan lengan.
Cakra tak langsung berhenti. Entakan pinggulnya memelan, seakan tak ingin segera memisahkan diri. Cakra mengecup pipi Ratna sekali, barulah dirinya menyadari lelehan air mata di sana.
"Kenapa?" tanya Cakra panik saat melihat tangis di pelupuk mata Ratna. "Ada yang sakit?" Cakra segera berguling ke samping.
"Nggak," kata Ratna sambil menggeleng kecil. "Aku cuma bingung sama perasaan ini." Ratna menahan tangan Cakra supaya tak menjauh. Ratna mengecup pergelangan tangan pria itu, di mana titik nadi kehidupan berdenyut. "Maaf, Cak. Bisa-bisanya aku membandingkan kelakuan kamu dan Dewa di saat seperti ini. Aku bejat banget. Maaf."
Cakra baru menyadari tubuh Ratna sedikit menggigil. Tangan Ratna pun bergetar. Ratna terlihat begitu rapuh, tetapi juga cantik.
Pria itu menyambar selimut tebal dan menyampirkannya di atas tubuh mereka berdua. Dengan kedua tangan, dia merengkuh tubuh Ratna, membuat dada mereka beimpitan saling menyalurkan panas tubuh. Berkali-kali kecupan ringan mendarat di kening Ratna. Usapan Cakra di punggung telanjangnya yang sedikit berkeringat lambat laun menenangkan Ratna.
"Dewa juga main tangan di atas kasur?" tanya Cakra penuh perhitungan. "Dia selalu berlaku kasar tanpa kenal waktu?"
"Dia sering gelap mata dan nggak pernah mendengarkan mau aku. Dia bahkan nggak peduli aku kesakitan. Tapi, setelah mendapat apa yang dia mau, dia biasanya minta maaf dan bilang cinta." Ratna melirik Cakra. "Aku kira aku sudah kebal dengan semua itu. Ternyata nggak. Saat kamu mulai penetrasi, aku gugup setengah mati."
Sial! Seharusnya Cakra mendahulukan kenyamanan kekasihnya.
"Kamu nggak perlu minta maaf, Sayang." Cakra tersenyum meyakinkan. "Aku bukan mantan suamimu. Terus, kamu perlu ingat satu hal. Dalam hubungan seks, kita harus sama-sama enak. Kalau memang kamu nggak nyaman, kamu bisa bilang."
Ratna mengangguk. Keningnya menempel di dada Cakra. Degup jantung kekasihnya menemani Ratna dalam perenungan panjang.
Tidak seharusnya Ratna meragukan perasaan Cakra. Hanya karena Cakra bermain sedikit terburu-buru, apakah Ratna dapat langsung menilainya egois? Ratna pun tahu dari awal dirinyalah yang menawarkan bantuan untuk menuntaskan keinginan pria itu. Terlebih, sesungguhnya Cakra telah lebih dulu memberinya kepuasan walau tanpa penetrasi.
"Cak," panggil Ratna seraya sedikit mendongak. "Cakra."
"Hm." Cakra gelagapan. Rupanya dia nyaris tertidur. "Maaf, Sayang. Ada apa?"
"Kamu tidur?"
Cakra berusaha menahan kelopak matanya supaya batal terpejam. Rasanya susah. Energi Cakra habis sesudah mengalami ejakulasi hebat. Sensasi bercinta dengan orang tersayang memang berbeda. Cakra cepat terpuaskan.
"Aku capek banget," ujar Cakra jujur. Matanya yang kuyu membalas tatapan Ratna. "Tadi kamu mau ngomong apa?"
"Nggak jadi."
Ratna menelan pil kekecewaan. Dia berbalik memunggungi Cakra.
"Sayang, jangan ngambek," rayu Cakra.
Tangan kanannya menyelusup masuk ke celah di bawah leher Ratna. Tangannya yang lain mengusap naik-turun perut rata kekasihnya, lantas meremas pelan kedua puncak dada Ratna. Gerakannya begitu lembut. Ratna sempat berharap mereka akan melanjutkan permainan, tetapi elusan Cakra terasa kian pelan.
"Cak? Cakra."
"Eh? Hm? Maaf," kata Cakra lagi. Tangannya berhenti main-main di payudara Ratna. Cakra berganti memeluk pinggangnya. "Sayang, kasih aku waktu dua jam untuk tidur dulu. Habis itu aku janji bakal buat kamu mendesah lagi."
Ratna menghela napas panjang. Hatinya luluh. Cakra benar-benar terlihat kelelahan. Akhirnya, dia memberi kecupan di lengan Cakra dan mengucapkan selamat tidur.
***
Cakra menepati janjinya. Dia bangun dan melancarkan serangan fajar. Sebagai penebusan perasaan bersalah, Cakra berfokus pada kepuasan Ratna. Wanita itu mendaki dua kali puncak kenikmatan meski hanya dengan bantuan jari.
Ratna kembali terlelap, sedangkan Cakra mulai bersiap-siap. Pria itu tak melupakan kewajibannya untuk menyiapkan sarapan. Walaupun tidak sempat menyiapkan menu selengkap biasanya, sebab kekurangan waktu, Cakra tidak menyesal. Pagi hari Cakra begitu cerah melihat Ratna malu-malu menyapanya di meja makan. Keduanya bersikap layaknya sepasang pengantin yang baru melalui malam pertama.
Akan tetapi, tidak ada perubahan lain yang terjadi. Tak ada bahan obrolan khusus di meja makan, mengingat di sana ada Raga. Mereka juga berangkat ke kantor bersama. Selain sebagai pasangan, Cakra dan Ratna mampu menempatkan diri dengan baik sebagai sahabat.
"Pak Cakra," sapa Ria saat Cakra melewati meja kerjanya. "Ada tamu buat Bapak."
"Oh, ya? Siapa?" Cakra mengangkat alis kebingungan.
"Pak Doni. Katanya, beliau mau konsultasi kasus."
Cakra paham. Kasus yang dimaksud Doni pasti tentang penguntitan Ratna. Cakra sudah menduga kasus itu tak mudah selesai hanya dengan tindakan penarikan gugatan. Tanpa mengulur waktu lebih lama, Cakra bergegas menuju ruang tamu tempat temannya menunggu.
"Don, ada apa?" sapa Cakra tanpa bahasa formal.
"Bu Ratna masih tinggal di tempat lo?" Doni bertanya tanpa menyahut sapaan. Ada alasan mengapa Doni menemui Cakra pagi-pagi begini. "Dia cerita, nggak, kalau masih suka dapat pesan aneh?"
Kedua alis Cakra nyaris bertemu. "Memangnya masih?"
Doni berdecak. Pria itu mengamati sekitar, lantas menarik sebuah map cokelat dari dalam tas. Tatapan matanya memerintahkan Cakra untuk membuka.
Di dalam map, terdapat beberapa lembar foto. Cakra tercengang menyadari keseluruhan objek gambar tersebut. Ratna tidak sendiri. Selalu ada Cakra di sampingnya.
"Foto-foto ini dikirim secara anonim ke kantor gue." Doni menghela napas panjang mendapati raut wajah temannya yang mengeras. "Gue nggak tahu apa maksudnya. Kalau Bu Ratna masih mendapat teror pesan, besar kemungkinan maksud foto ini adalah ancaman untuknya. Tapi, kalau pesannya sudah berhenti," Doni menunjuk Cakra yang tengah tertawa bahagia bersama Ratna di salah satu foto, "berarti orang itu mengancam lo."
***
Makasih untuk vote dan komennya 🥰
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top