21 | Kencan Pertama

Ternyata ada untungnya kantor Ratna dan Cakra berada dalam satu gedung. Mereka bisa berangkat bersama-sama. Perjalanan sejam lamanya jadi tak terasa melelahkan karena Cakra punya teman berbincang.

"Nanti sore pulang bareng, ya," kata Cakra setelah mengunci pintu mobil. "Hari ini agendaku nggak banyak. Menjelang jam empat, aku bakal kasih kabar."

Ratna tak mengerti apakah ini salah satu taktik pendekatan Cakra padanya. Namun, dia selalu merasa aman saat bersama pria itu. Meski awalnya ragu untuk membuka hati, Ratna tak bisa memungkiri bahwa akumulasi perhatian Cakra selama ini adalah gebrakan besar dalam kehidupan romansanya. 

Batu pun bisa terkikis oleh tetesan air yang terus-menerus, bukan? Kurang lebih seperti itulah kondisi engsel pintu hati Ratna yang berkarat. Dia akan membiarkan Cakra melakukan segala upaya untuk mengetuk, bahkan menggedor hatinya, agar terbuka.

Keluarga Ratna, dalam hal ini adalah ayahnya, tak pernah memberi perhatian lembut. Sejak kecil Ratna mendapat tuntutan untuk selalu sempurna dalam bidang akademik. Di tengah perjalanan kariernya sebagai pengacara, ayah menyodorkan pernikahan dengan anak dari pebisnis penting di Surabaya. Pernikahannya dengan Dewa sempat terasa manis, tidak seperti sebuah paksaan. Namun, ketika tuntutan untuk memiliki anak terus bergaung, Dewa tak ada bedanya dengan monster.

Perhatian manis dari juniornya saat berkuliah dulu membuat Ratna menyadari bahwa pernikahannya tak bisa diselamatkan. Ratna sempat serakah ingin memiliki Haiyan yang telah beristri. Jadi simpanan pun Ratna akan menerima. Dia hanya butuh tempat bersandar ketika lelah. Tidak lebih, tidak kurang.

Akan tetapi, Haiyan mundur teratur sebelum Ratna bisa bermimpi lebih jauh. Ratna lagi-lagi ditinggalkan. Tiba-tiba saja Cakra datang di hidupnya sebagai penyelamat.

Cakra tidak membuat Ratna kesepian. Cakra tidak membiarkan Ratna kesusahan sendiri. Pria itu mengurusnya penuh kasih, bahkan menawarkan sebuah hubungan romantis. Bukankah memang ini yang Ratna butuhkan?

"Jangan lupa dimakan bekalnya! Biar kamu nggak perlu keluar kantor istirahat siang nanti."

Peringatan Cakra membuat pikiran Ratna kembali dari nostalgia masa silam. Wanita itu mengangguk sambil menunjukkan tas kotak bekal di tangan kirinya. Entah kapan terakhir kali Ratna memegang kotak bekal seperti anak sekolahan, tetapi perasaannya menghangat karena bentuk perhatian tak biasa begini.

"Kamu jadi kayak ngurus dua anak ya, Cak?" kelakar Ratna sembari mengikuti langkah Cakra menaiki undak-undakan. Ratna sempat tersenyum kecil pada petugas keamanan yang menjaga pintu masuk. Dia melanjutkan, "Kamu antar-jemput dan bikinin aku bekal. Kan, aku jadi nggak ada bedanya sama Raga."

"Beda, dong! Aku antar Raga cuma ke depan rumah, terus Raga dijemput sama mobil sekolah."

"Maksudku bukan gitu!" kata Ratna lirih. Cakra memang suka sekali membuat Ratna geregetan.

Cakra tertawa kecil, lantas berkata, "Kalau gitu, nanti sore kita mampir belanja bahan-bahan makanan, ya! Biar kamu nggak merasa kayak anak, tapi kayak istri." Mata Cakra berbinar-binar saat tersenyum. "Anggap saja sebagai percobaan pertama kita jalan bareng dan saling mengenal."

Ratna mengiakan. "Boleh. Langsung, ya, habis pulang kantor?"

Selagi mereka mengobrol sambil jalan, tiba-tiba saja seseorang menabrak Ratna dari belakang. Tubuh Ratna terhuyung. Untung saja Cakra sigap menangkap lengannya sebelum Ratna jatuh membentur lantai.

"Hati-hati, dong, ka–"

"Maaf, Na! Aku nggak sengaja!"

Cakra tak jadi naik pitam. Ternyata orang yang menabrak kenal dengan Ratna. Karena melihat orang tersebut benar-benar merasa bersalah, dan Ratna pun tidak terlalu mempermasalahkan, Cakra akhirnya urung membentak.

"Kopiku tumpah jadi kena baju kamu," kata pria itu panik.

"Seharusnya kalau lagi bawa kopi jangan lari-lari!" Cakra terlihat lebih kesal ketimbang Ratna. Suara beratnya lebih mirip geraman anjing penjaga.

"Sudah, Cak. Bisa aku cuci nanti di kamar mandi." Ratna mengeluarkan sapu tangan dari dalam tas, kemudian mengusapkannya ke bagian yang kotor. "Nggak apa-apa, Andre. Santai aja!"

Teman sekantor Ratna sekali lagi meminta maaf. Dia terbebas dari pelototan Cakra berkat bantuan Ratna. Di sisi lain, diam-diam Cakra mengamati hingga pria itu berjalan menjauh. Meski setengah berlari, Cakra mendapati caranya mengangkat kaki tampak janggal.

"Yuk, antre lift!" kata Ratna setelah pakaiannya agak lebih bersih. 

Panas hati Cakra mereda saat Ratna menarik tangannya untuk sedikit maju. Sentuhan kulit itu terjadi sebentar dan sangat cepat, tetapi berefek besar bagi suasana hati Cakra.

Cakra dan Ratna memasuki lift yang sama. Cakra berusaha menarik Ratna ke sisi yang aman. Sayangnya, kebersamaan mereka berakhir di lantai lima, tempat kantor Cakra berada.

"See you!" bisik Cakra sambil memainkan alisnya naik turun.

Ratna tertawa kecil melihat tingkah Cakra. Wanita itu membalasnya dengan lambaian tangan. Sebelum pintu lift benar-benar menutup, Ratna bahkan sempat melihat Cakra mengedipkan sebelah mata padanya.

Ini baru hari pertama. Lumayan menyenangkan juga melihat Cakra yang bisa bersikap genit dan manja seperti itu, pikir Ratna.

***

Cakra menyukai kegiatan belanja mingguan. Kalau belanja bulanan adalah perburu peralatan rumah tangga, belanja mingguan artinya mengisi stok makanan. Di dalam kepalanya Cakra telah merancang berbagai resep makanan untuk seminggu ke depan.

Ratna melirik pasangan lain yang sepertinya tidak jauh berbeda dari mereka, sama-sama berbelanja masih mengenakan pakaian formal. Si pria mendorong troli, sedangkan wanitanya sibuk memilih aneka buah. Cakra dan Ratna memainkan peran yang berkebalikan dari pasangan tersebut.

"Kamu lebih suka tuna atau salmon?" tanya Cakra.

Ratna meringis. Baginya, kedua ikan itu hanya berbeda warna daging. Ketika matang nanti, rasanya akan sama di lidah Ratna.

"Aku bisa makan apa aja, kok," balas Ratna kikuk.

Cakra mengangguk, lalu memasukkan potongan ikan tuna ke dalam keranjang. Dari caranya menjatuhkan hanya pada satu pilihan, tidak membeli keduanya sekaligus, Ratna tahu Cakra bukanlah sosok yang suka menghambur-hamburkan uang.

Pengetahuan Ratna seolah-olah sedang diuji. Cakra terus-menerus menanyakan preferensi makanan. Untuk orang yang makan asal kenyang, Ratna tak pernah berpikir macam-macam. Kalau ditanya apa makanan favorit wanita itu, jawabannya sudah pasti makanan cepat saji.

Ratna jadi malu. Dia sepuluh tahun menjadi istri, tetapi pengetahuannya tentang pekerjaan rumah tangga sangatlah minim. Dewa tak pernah menuntut Ratna untuk memenuhi standar kualifikasi istri ala orang Indonesia. Kelebihan Ratna sepertinya memang hanya dalam perihal hukum.

"Kamu ada kebutuhan yang mau dibeli?" tanya Cakra sembari mengambil alih troli belanja.

"Kayaknya nanti bisa aku beli sendiri."

"Sekalian aja, Na. Mumpung sudah di sini."

Ratna meringis. "Nanti aja. Itu barang-barang cewek."

"I'm okay." Cakra tak terlihat keberatan. "Aku paham ada beberapa kebutuhan dasar perempuan yang berbeda dari laki-laki."

"Tapi," pipi Ratna mulai memerah, "aku malu."

"Malu?"

Ratna mengangguk patah-patah. "Kamu pernah cuciin bra aku. Kamu tahu kebiasaan aku lepas bra saat tidur. Aku bakal lebih malu lagi kalau kamu tahu merek dan ukuran pembalut yang biasa aku pakai."

"Kenapa harus malu, Ratna?" Tatapan Cakra melembut. Dia menepuk pelan punggung tangan Ratna. "Itu semua manusiawi, memang kodratnya wanita punya fungsi organ yang berbeda. Aku sudah tiga puluh tahun dan pernah punya istri. Hal-hal dasar seperti itu, aku paham."

"Oh … istri …."

"Poin pentingnya bukan di situ, Sayang," ucap Cakra gemas sambil mencubit pelan pipi Ratna. "Intinya, aku paham kebutuhan wanita dewasa dan aku nggak punya masalah akan hal itu."

Ratna terdiam. Lagi-lagi hatinya tersentuh. Bukankah syarat utama pasangan biar langgeng adalah saling memahami?

"Jadi, kamu mau beli pembalut?" tanya Cakra. "Kita coba cari di daerah sana." Cakra mengedikkan dagu, kemudian mulai mendorong keranjang belanja.

Ratna mengikuti di sisi Cakra. Dia tak bisa berhenti melirik wajah pria itu. Akhirnya, satu kalimat terucap, "Makasih, ya, Cak. Kamu berusaha keras bikin aku nyaman."

"Nevermind," balas Cakra. Dia mengetuk-ngetuk sisi pegangan keranjang belanja. "Tangan kamu taruh sini."

Ratna menuruti permintaan Cakra dengan kening berkerut. Wanita itu tak menyangka Cakra akan meletakkan tangannya di atas punggung tangan Ratna. Ini seperti gandengan tangan, bedanya, mereka melakukannya sambil mendorong keranjang belanja.

"Jangan lupa," Cakra mengerling jenaka, "kita lagi shopping date."

Detak jantung Ratna meningkat. Dia takut tangannya akan berkeringat. Namun, di sisi lain dia tak ingin melepaskan genggaman tangan mereka. Kencan pertama mereka bisa dibilang sukses besar.

Ratna tak yakin alur kehidupan mereka akan seperti apa nantinya. Namun, wanita itu memiliki keinginan baru. Dia ingin memahami Cakra sama besarnya dengan yang pria itu lakukan untuknya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top