20 | Hari Pertama

Karena kedatangan Ratna di rumah ini sama sekali di luar perhitungan, Cakra tak punya waktu untuk mempersiapkan kamar tamu. Maka dari itu, begitu Cakra membuka pintu, debu-debu langsung beterbangan menyapa. Dia terbatuk, lantas menghalau serangan debu menggunakan kibasan tangan. Cakra melindungi area hidung dan mulut menggunakan lengan bagian dalam. 

"Ayah siap, nggak? Aku nunggu aba-aba, nih!"

Cakra menoleh ke belakang. Raga tampak semangat menenteng kemoceng dan sapu. Rambut putranya ditutupi shower cap. Setengah wajah Raga terbenam dalam masker. Cakra telah memberi perlindungan maksimal pada Raga yang ngotot mau ikut membersihkan kamar tamu.

"Kita nggak lagi main perang-perangan," balas Cakra. "Tunggu sebentar di situ! Ayah mau buka jendela dulu."

Ratna menarik senyum melihat kelakuan keduanya. Selain Cakra dan Raga, dia pun menawarkan bantuan. Ratna tak enak hati jika asal menumpang saja.

Acara bersih-bersih dimulai. Ruangan itu tidak terlalu besar atau pun kecil. Setidaknya kamar cukup diberi kasur ukuran queen size, lemari baju, dan meja hias. Di sisi lain ada pintu menuju kamar mandi dalam. Sesungguhnya keseluruhan interior kamar memiliki nuansa cerah, tetapi kali ini terlihat agak kusam karena sudah lama tak terawat.

"Raga sama Tante Ratna bersihin kamar. Ayah bersihin kamar mandi."

"Aye, aye, Sir!" balas Raga patuh.

Cakra terkekeh melihat tingkah putra semata wayangnya. Saat berjalan melewati Ratna, Cakra mencuri kesempatan untuk berbisik rendah. "Tolong jaga Raga, ya!"

Ratna terkejut karena tindakan Cakra yang terlalu tiba-tiba. Suara Cakra yang ceria saat berbicara pada Raga, berubah menjadi berat dan sangat maskulin saat berbisik. Dualisme yang … menarik. Kalau Cakra terus begini, Ratna bisa gila.

Kegiatan pembersihan kamar itu dilakukan secara menyeluruh. Karena diawasi Cakra si penyuka kebersihan, setiap sudut kamar harus terlihat kinclong. Di tengah kegiatan, Raga mengibarkan bendera putih. Dia bilang lelah, tetapi sepertinya lebih cocok disebut bosan. Tinggal tersisa Cakra dan Ratna yang masih bekerja dengan tubuh berpeluh.

"Kalau kamu capek, boleh berhenti, kok," kata Cakra saat melihat Ratna tengah menyeka bulir keringat di dahi.

Ratna menggeleng. "Sebentar lagi selesai. Lagian kamar ini, kan, bakal jadi kamarku nanti."

Cakra tak bisa memaksa Ratna. Jadi, dia membiarkan wanita itu menyelesaikan apa yang telah dimulai.

Cakra masih mengingat raut wajah syok Citra tadi siang, saat mendengar penuturannya tentang kondisi Ratna. Sesuai dugaan Cakra pada kakaknya yang baik hati. Citra langsung memeluk Ratna, memberinya dukungan supaya tidak terlalu takut pada teror yang mengancam. 

Citra sempat menawarkan supaya Ratna tinggal di rumah Citra dan Arya. Namun, Cakra sadar bahwa Arya tak senang dengan keputusan itu. Karena tidak mau memberatkan, Cakra kembali menegaskan bahwa dialah yang bertanggung jawab atas Ratna. Supaya kakaknya yakin, Cakra bahkan mengaku sebagai kekasih Ratna.

Ratna terkejut, apalagi Citra dan Arya. Terakhir kali bertemu Ratna, Citra dan Arya mendengar pengakuan bahwa mereka tak memiliki hubungan lebih dari teman.

"Cak, tentang percakapan di rumah kakak kamu tadi," Ratna membuka topik pembicaraan biar tidak terlalu hening, "kamu kenapa bilang kita ini pacaran dan mau tunangan?"

"Biar lebih meyakinkan," balas Cakra. Dia berhenti mengelap meja rias dan memandang balik mata Ratna. "Aku juga bilang hal yang mirip-mirip ke Doni. Dia tahunya kita ini punya love relationship."

Ratna menghela napas panjang. Wanita itu merasa bersalah karena telah menginfiltrasi kehidupan orang lain. Ratna lebih nyaman sendiri. Dia terbiasa begitu.

Tak ada balasan. Saat Cakra menoleh, Ratna tengah menunduk dalam-dalam. Cakra seakan dapat memahami apa yang Ratna pikirkan hanya dari raut muka dan gerak-gerik tubuhnya.

"Mereka tahu alasan yang sebenarnya. Soal hubungan aku dan kamu cuma sebagai bumbu biar lebih meyakinkan. Tenang aja. Aku melakukan ini sebagai bantuan." Cakra meluruskan punggung dan melakukan peregangan. "Jadi, santai. Kamu boleh menganggap sedang kontrak di sini, kalau memang itu membuat kamu nyaman. Jangan merasa utang budi. Ke depannya aku bakal sering minta tolong kamu buat ngurusin Raga."

"Eh?" Ratna sontak mengangkat wajah.

Cakra tertawa melihat reaksi terkejut Ratna. "Raga lebih suka main sama kamu. Aku kalah skor."

Ratna berusaha mengingat-ingat. Setelah tiga kali bertemu Raga, termasuk pertemuan hari ini, Ratna sama sekali tak mengalami kesusahan dalam memahami keinginannya. Mungkin itulah mengapa Raga senang menghabiskan waktu bersama Ratna. Pikiran itu membawa ide baru di kepala Ratna.

"Kalau gitu, kita bagi-bagi pekerjaan rumah juga. Kamu, kan, nggak menerima uang sebagai balasan. Sebagai gantinya, aku bisa bantu mengerjakan banyak hal." Ratna memberi usul.

Berbagi pekerjaan rumah. Bukankah itu yang dilakukan pasangan suami istri pada umumnya? Cakra merona sendiri membayangkannya. Dia seperti sedang diajak main rumah-rumahan oleh orang yang disuka.

"Gimana?" Ratna masih menunggu jawaban.

"Oke," balas Cakra menyetujui. Senyumnya tersimpul di bibir. "Asal kamu nggak keberatan, boleh. Aku suka."

***

Pagi pertama dimulai. Alarm ponsel belum berbunyi, tetapi ada suara lain yang membangunkan Ratna. Wanita itu mengucek mata dan melihat jam. Masih ada setengah jam untuk tidur. Setelah mengingat ini bukan rumahnya sendiri, Ratna pun menghalau perasaan kantuk.

Dia mencuci muka dan menyikat gigi, lantas berlalu ke luar kamar. Harum nasi tanak hinggap di ujung saraf penghidu. Suara-suara dari dapur menambah hangat suasana. Bagi Ratna yang terbiasa melewatkan sarapan, ini adalah pengalaman baru.

"Selamat pagi!" sapa Cakra. Berbeda dengan Ratna, Cakra sudah segar. "Aku berisik, ya?"

Ratna menggeleng. Dia menggelung rambutnya jadi satu ke atas, kemudian mendekati Cakra.

"Aku bisa bantu apa?"

Cakra salah fokus, sedangkan Ratna tampak masih tidak menyadari kesalahannya. Indra penglihatan Cakra menangkap bayangan dua segitiga meruncing yang tidak terlindungi dengan baik oleh selembar kain tipis. Cakra pun paham bahwa melepas bra sebelum tidur adalah kebiasaan Ratna, terlepas wanita itu sedang mabuk atau tidak.

Cakra harus membuktikan bahwa dirinya bukan pria berengsek seperti yang Doni bilang kemarin. Dia tidak akan berpikir terlalu jauh.

"Kamu mandi dulu aja," sahut Cakra sambil mengambil alih pisau dari tangan Ratna. Pria itu berusaha keras tidak mencuri pandang lebih bawah dari batas dagu. "Aku bisa masak sendiri."

"Aku, kan, sudah bilang mau bantu."

"Aku bakal sangat terbantu," Cakra mengangguk kecil, kemudian mengedikkan dagu, "kayaknya lebih baik kamu mandi dan siap-siap dulu sebelum gabung kerja bareng aku di dapur."

Ratna heran karena Cakra terus menyuruhnya mandi. Cakra pun terlihat enggan menatapnya berlama-lama, seolah-olah Ratna telah melakukan kesalahan. Ratna jadi sakit hati.

"Kenapa?" tanya Cakra saat Ratna justru memandangnya dengan kening sedikit berkerut. Bibir Ratna melengkung ke bawah. Cakra belum pernah melihat jenis tatapan itu di mata Ratna.

"Kalau aku ada salah, ngomong."

Cakra kelabakan. Apakah saat ini Ratna sedang merajuk? Namun, diam-diam Cakra menikmati guratan emosi di wajah Ratna. Hanya dalam satu hari Cakra berhasil membuat Ratna jadi begini.

"Kamu nggak suka kalau aku invasi dapur kamu?" tanya Ratna. Nada bicara wanita itu meninggi karena melihat Cakra justru tersenyum, terkesan meremehkan kekesalannya.

"Bukan gitu, Na." Cakra menggeleng untuk membatalkan ucapannya. "Bukan gitu, Sayang."

Sayang. Karena satu kata tersebut, Ratna balik dibuat salah tingkah.

"Aku sudah pernah lihat, sih. Dua kali malah," kata Cakra sambil menahan tawa. Ekspresi Ratna yang berubah-ubah terlalu sayang untuk dilewatkan. "Tapi, ini masih pagi. Aku harus siapin sarapan dan bekal makan siang Raga. Aku cuma takut nggak fokus, Sayang."

"Berhenti panggil aku sayang!" Ratna meregangkan kelima jarinya membentuk isyarat berhenti. "Kesepakatannya, kita harus saling mengenal dulu untuk mulai pacaran."

"Iya, aku tahu."

Ratna mengangguk paham, tetapi kegugupannya belum sirna. "Jadi, maksud kamu nggak fokus itu apa?"

Karena tak mau membuat Ratna lebih malu dari ini, Cakra menjawab dengan lirikan mata. Ratna tak langsung paham. Namun, setelah Cakra menunjuk tempat yang sama untuk kedua kalinya, Ratna buru-buru menyilangkan tangan di depan dada.

Ratna berderap kabur. Mau ditaruh mana mukanya nanti? Belum sampai seminggu, Ratna sudah punya gunungan rasa malu.

"Persiapannya jangan terlalu lama!" kata Cakra mengingatkan sambil setengah berteriak. "Kita berangkat ke kantor bareng!"

Ratna tak bisa berpikir jernih. Alih-alih menjawab, dia justru membanting pintu kamarnya hingga tertutup kembali.

***

Apa reaksi kamu kalau jadi Ratna? Kalau aku, sih, begini: 😳🫣😣

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top