13 | Tertangkap Basah
Tanpa kehadiran asisten rumah tangga, kediaman Cakra tergolong rapi dan bersih. Wangi yang Ratna tangkap dari kasur pria itu juga dia dapatkan di sofa ruang keluarga. Ketika Ratna bertanya, Cakra langsung mengakui bahwa dia penyuka kebersihan dan keteraturan, nyaris mendekati misofobia.
Kenyataan lagi-lagi menampar Ratna. Apartemen Ratna yang awalnya berantakan terasa jauh lebih segar setelah Cakra membersihkannya. Perlahan dan pasti, Cakra telah menyusup masuk dalam ruang pribadi Ratna.
Selain jago bersih-bersih, Cakra juga mahir memasak. Cakra mempunyai alasan khusus. Dia bercerita dulu Raga sakit-sakitan dan susah naik berat badan. Demi putranya, Cakra rela meluangkan waktu untuk belajar memasak. Hingga kini Cakra selalu bangun lebih pagi supaya sempat membuatkan Raga menu sarapan dan bekal makan siang.
Ratna menunjukkan kekaguman pada sosok Cakra saat bekerja sebagai seorang ayah. "Kamu memang nggak ada sisi jeleknya, ya?"
"Ayah pelupa, Tante." Raga-lah yang menyahut nyinyir. "Ayah sering kehilangan headset sama jam tangan gara-gara pikun. Ayah sudah tua."
"Ayah belum tua. Coba bandingkan sama ayah teman-teman kamu. Pasti Ayah paling ganteng!" Cakra membela diri.
Ratna menimbrung. "Ganteng dan tua nggak ada hubungannya, Cak."
"Aku setuju sama Tante" Raga mengangkat jempol. "Ayah ganteng tapi tua."
Suasana meja makan tak pernah seramai ini. Cakra membiarkan dirinya jadi bahan olok-olokan Raga dan Ratna. Jarang-jarang putranya mengeluarkan tanduk pertanda permusuhan pada orang baru. Diam-diam pria itu menikmati kedekatan yang keduanya tunjukkan.
Selain itu, Cakra bersyukur. Ratna sudah tak canggung lagi setelah Raga mengajaknya bicara.
"Tapi, Tante juga pikun.” Raga berujar spontan. "Tante pakai baju Ayah. Tante lupa nggak bawa baju padahal mau tidur di tempat teman." Raga terus bicara sambil mengumpulkan butiran-butiran nasi di piring. "Aku punya teman namanya Ikal. Waktu itu kita menginap bareng-bareng di rumah Marsel. Ikal lupa nggak bawa baju renang, jadinya pinjam baju Marsel, deh."
Ratna dan Cakra saling memandang. Ratna tertawa kikuk tak tahu harus berkata apa. Kasus di antara mereka berdua sama sekali berbeda dengan kasus Ikal dan Marsel.
"Raga mau tambah lauk?"
Pertanyaan Cakra mengalihkan perhatian Raga. Dia sangat mengenal putranya. Pertanyaan Raga akan terus terlempar hingga keingintahuannya terpuaskan, jenis pertanyaan beruntun.
"Aku mau nasi sama gurita asam manis lagi," jawab Raga sambil menyodorkan piring ke arah Cakra. Dia mencuri pandang pada isi piring Ratna yang masih banyak. "Aku mau nungguin Tante makan sampai habis."
Wajah Cakra berseri-seri. "Nah, gini, dong! Kalau kamu makannya banyak, pasti makin jago latihan taekwondo."
"Bosen, ah, Yah! Aku mau berhenti les taekwondo.”
"Lho, kenapa?" Cakra bertanya sambil meletakkan piring di depan Raga setelah mengisinya ulang.
Raga mengangkat bahu. "Nggak berguna. Capek doang."
"Berguna, kok," sela Ratna. "Tante latihan karate dari kecil. Setelah besar, Tante jadi bisa melindungi diri sendiri."
Ucapan Ratna membuat Raga dan Cakra menoleh. Mata bundar keduanya menyala penuh rasa ingin tahu. Raga bertanya macam-macam pada Ratna. Di sisi lain, Cakra hanya diam memperhatikan ekspresi wanita itu ketika bercerita.
Tampaknya Ratna tidak berbohong. Cakra hanya heran. Ratna sangat mandiri dan kuat. Kenapa wanita itu pernah membiarkan tubuhnya jadi samsak tinju mantan suaminya? Apakah cinta benar-benar membutakan dan membuat bodoh? Ratna berani bercerai dari suami beracunnya setelah membina rumah tangga sepuluh tahun lamanya. Kalau dari cerita Ratna, sepertinya wanita itu mendapat keberanian setelah bertemu kembali dengan Haiyan.
Cakra tidak munafik. Ada perasaan tak suka bercokol di hatinya. Dia sedikit membenci Haiyan karena pria itu menjadi batu loncatan penting dalam kegelapan hidup Ratna.
Entahlah. Dibandingkan tak suka, sepertinya perasaan ini lebih tepat disebut cemburu. Akan tetapi, kenapa Cakra cemburu pada Ratna? Sesama teman tidak berhak merasa cemburu.
Di tengah percakapan seru antara Raga dan Ratna, bel rumah berbunyi nyaring. Cakra berlalu ke pintu depan dan terkejut dengan apa yang dia lihat. Orang tuanya datang berkunjung!
"Mama sama Papa kapan sampai Surabaya?"
Cakra bertanya harap-harap cemas. Kehadiran orang tuanya benar-benar tak terduga. Terlebih lagi, ini bukan waktu yang bagus. Ratna ada di rumahnya, memakai baju Cakra pula.
"Belum lama," jawab Aster. "Kita parkir mobil di rumah mbak kamu. Mama sama Papa sempat sarapan bareng di sana juga. Karena Raga nggak ada di rumah Citra, berarti hari ini kamu nggak kerja dan nggak perlu nitipin anak. Kita jadi main ke sini, deh."
"Iya, Ma. Tapi, hari ini teman aku lagi–"
"Oma!" Teriakan antusias Raga menghempaskan penjelasan Cakra yang belum rampung. "Aku punya teman baru! Teman Ayah juga! Namanya Tante Ratna."
Cakra sudah menduga. Telinga ayah dan ibunya selalu peka dengan nama wanita. Pernyataan blak-blakan Raga menarik tatapan menyelidik. Teman sedekat apa yang pagi hari begini sudah berkunjung ke rumah? Selain itu, tidak sembarang orang mampu meluluhkan hati Raga hingga bisa tersenyum lebar seperti sekarang.
"Cakra, mana orangnya?" desak Aster. "Mama mau kenalan."
"Papa nggak mau kejadian lama terulang lagi," sela Singgih sambil menyipitkan kedua mata. "Kalau memang kalian sudah ngapa-ngapain, mendingan langsung nikah."
"Ma, Pa, Ratna cuma teman biasa. Dia–"
"Tante! Sini kenalan sama Oma! Ada Opa juga!"
Raga berteriak heboh. Lagi-lagi Raga menyabotase kesempatan bicara ayahnya. Bocah berambut model mangkuk itu menarik tangan kedua tamu penting untuk berlalu ke ruang makan.
Sungguh pertemuan pertama yang mencengangkan. Ratna belum mandi, baru sebatas cuci muka dan sikat gigi. Wanita itu buru-buru membersihkan bibir dengan tisu saat melihat kedatangan orang tua Cakra. Pakaian yang melekat di tubuh Ratna tentu sangat janggal dan mengundang banyak pertanyaan.
Cakra menggeleng pelan pada Ratna. Lewat sorot mata, Cakra meminta maaf karena tanpa sengaja menarik Ratna masuk ke dalam masalahnya.
Siap tak siap, Ratna menjawab pertanyaan bertubi-tubi dari orang tua Cakra. Setiap ada perbincangan yang menjurus ke ranah pribadi, Cakra langsung menyangkal. Sesungguhnya, Ratna tak terlalu mengambil pusing. Dia bisa membela diri sendiri. Nyatanya, mereka memang berteman. Kalau Cakra terlalu gugup, orang tuanya justru bakalan makin curiga.
Di sisi lain, Cakra agak tak enak hati pada temannya. Cakra belum berhasil mengulik permasalahan apa yang menimpa Ratna semalam, sampai-sampai wanita itu memilih mabuk. Cakra takut kalau orang tuanya terus menekan Ratna begini, Ratna akan kabur sebelum menjadi lebih terbuka pada Cakra.
"Raga, kamu punya mainan baru di tempat Budhe, kan?" Cakra melempar umpan.
Interogasi dadakan itu diselesaikan secara sepihak. Cakra membujuk Raga untuk bermain di rumah Citra, yang tentu saja itu berarti sambil menyeret sang nenek. Cakra juga mengirim sinyal supaya Ratna masuk ke kamar untuk berbenah. Sialnya, Singgih masih bertahan di ruang tengah kediaman Cakra.
"Kalian berdua sudah ngapain aja?" tanya Singgih. Pertanyaan itu terus terulang baik secara implisit maupun eksplisit. Setelah tinggal mereka berdua tersisa, Singgih bisa menekan anak bungsunya untuk menjawab. "Kamu laki-laki dewasa, seorang ayah. Papa nggak mau kamu mengulang kebodohan yang sama!"
Cakra menghela napas panjang. Dia tahu kesalahannya. Kehadiran Raga di dunia terjadi akibat kelakuan bodoh Cakra di masa lalu. Namun, Cakra tak pernah bermain dengan Ratna. Tidak akan ada Raga jilid dua.
"Aku nggak bohong waktu bilang Ratna itu temanku. Semalam Ratna butuh bantuanku, yang akhirnya bikin dia bermalam di sini." Cakra melirik pintu kamarnya yang masih tertutup. "Baju yang dipakai Ratna, itu memang bajuku. Dia cuma pinjam. Nggak ada kelakuan melanggar batas di antara kami," lanjutnya sedikit berdusta.
Singgih meneliti wajah putranya. Tak lama kemudian, pria berambut kelabu itu mengangguk. Kali ini bahasa tubuhnya terlihat lebih santai.
"Papa bukannya nggak suka kamu dekat-dekat sama Ratna. Papa cuma mengingatkan bahwa kamu sudah dewasa. Perbedaan orang yang dewasa dan tidak adalah tanggung jawabnya."
"Iya, Pa," jawab Cakra kalem.
Singgih menepuk bahu Cakra penuh wibawa. "Kalau kamu memang suka, jangan sungkan untuk memulai hubungan kembali. Papa dengar dari Citra. Katanya, kamu kerepotan mengurus Raga sendiri, sedangkan Citra juga dapat teguran dari suaminya. Selama ini Raga nggak cocok sama mbak pengasuh, tapi tadi Papa lihat dia dekat sama Ratna."
"Pa, kalau aku dekati Ratna cuma karena intensi begitu, sama aja aku memperlakukannya semata-mata sebagai pengasuh anak." Cakra tersenyum tipis. "Aku bisa urus masalah ini. Janji."
"Papa ingin yang terbaik untuk keluarga kamu."
Cakra mengangguk. Dia sendiri masih bingung dengan perasaannya. Cakra terjebak dalam labirin masa lalu. Pasalnya, membangun rumah tangga tidak semudah menjalankan permainan The Sims.
Mengubah ikatan pertemanan menjadi hubungan romantis pasti bakalan melalui lika-liku bernama kecanggungan. Selain itu, Ratna pernah gagal berumah tangga. Pun begitu Cakra. Perjalanan menuju titik final bernama pernikahan, untuk yang kedua kalinya, tentu tidak akan mudah.
Lagi pula, Cakra ragu. Apakah Cakra benar-benar serius membutuhkan pendamping baru di sisa hidupnya? Bukankah lebih nyaman baginya jika menjalin hubungan tanpa merasa dikejar-kejar waktu dan tanggung jawab?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top