11 | Tidak Tepat

Tidur Cakra terganggu oleh getaran ringan di atas nakas. Tangannya meraba-raba. Dia pikir alarm bangun pagi telah berdering, rupanya ada telepon masuk dini hari.

Cakra mengeluh. Akan tetapi, kelopak matanya langsung melebar begitu mendapati nama Ratna terpampang di layar ponsel. Sudah lama sekali Cakra menunggu telepon dari wanita itu. Lebih tepatnya, setelah kejadian mereka tidur bersama, Ratna jadi lebih sering menyeruak masuk ke pikiran Cakra.

"Halo? Na?"

Sapaan Cakra dibalas oleh suara laki-laki dan ingar bingar musik. Penjelasan orang di seberang sana membuat kesadaran Cakra cepat terkumpul. Katanya, Ratna mabuk di kelab, sendirian.

Setelah mendapatkan alamat kelab yang dimaksud, Cakra segera bersiap-siap menjemput Ratna. Dia harus bergerak cepat. Bayangan kelakuan Ratna ketika mabuk kembali hadir. Cakra tak bisa membiarkan Ratna menjadi penari striptis di muka umum.

Langkah Cakra berhenti saat matanya hinggap di pintu kamar Raga yang sedikit terbuka. Apa yang harus Cakra lakukan pada Raga? Di rumah ini mereka hanya tinggal berdua. Meskipun Citra tinggal tepat di seberang rumahnya, Cakra tak enak hati untuk membangunkan kakaknya pagi buta begini.

"Cuma sebentar. Raga bakalan baik-baik aja," ucap Cakra lirih pada diri sendiri. Sugesti itu Cakra tanamkan dalam kepala. 

Dia menyetir secepat yang dia bisa untuk menjemput Ratna. Cakra beruntung. Setelah sampai sana, ternyata Ratna tidak banyak berulah. Kepalanya menelungkup di atas tumpukan lengan. Ratna pulas tertidur biarpun suasana di sekitarnya ramai.

"Ratna," panggil Cakra sambil menepuk-nepuk bahunya. Dari sudut mata, Cakra dapat melihat bartender di balik meja sesekali melirik ke arah mereka. Sebab tak mau dianggap tidak akrab, Cakra segera mengganti panggilannya. "Sayang, Ratna, bangun, yuk! Kita pulang."

“Cakra?” Kedua alis Ratna menukik. Hal berikutnya yang dia lakukan adalah menangis tersedu-sedu. “Cakra. Aku payah banget.”

Cakra bingung bukan kepalang. Dia khawatir orang-orang mulai berpikiran aneh padanya. Salah-salah, justru Cakra yang dikira membuat Ratna merengek seperti ini.

Pria itu lantas merunduk supaya wajahnya sejajar dengan wajah Ratna. Dengan penuh kelembutan, dia usap pipi dan kepalanya. “Kamu nggak payah. Kamu hebat. Jadi, berhenti nangis, ya.”

“Aku payah banget, Cak.” Ratna mulai cegukan. Kini rona merah di kedua pipinya menjalar hingga ke telinga dan ujung hidung. “Ini semua demi anak kamu. Anak Haiyan. Aku gagal bikin Dewa–”

Dengan sigap, Cakra membekap mulut Ratna. Bisa gawat urusannya bila Ratna menyebutkan nama itu di muka umum. Lebih-lebih, bukannya tidak mungkin saat ini ada seseorang yang mengawasi Ratna. 

“Kita cerita setelah pulang,” bisik Cakra sambil mengedarkan pandangan ke sekitar.

Ratna menepis tangan Cakra. Wanita itu mengerumiti bibir bawahnya, lantas berkata, "Aku juga gagal bikin kamu mau dengarin cerita aku. Aku gagal, payah, nggak pantas didengar."

Dalam kondisi mabuk, Ratna benar-benar seperti orang yang berbeda. Cakra dibuat frustrasi olehnya. Pertama, karena apa yang Cakra katakan malah disalahpahami Ratna. Kedua, meski sedikit kewalahan, entah kenapa seperti ada gerimis lewat di hati Cakra yang gersang saat melihat Ratna bertingkah manja begini. Ketiga, gerakan Ratna barusan membuat Cakra selama sesaat tak bisa melepaskan pandangan dari sepasang bibir merah mudanya.

Sejak bercerai, Cakra tak pernah mau berciuman dengan wanita mana pun. Namun, tiba-tiba saja keinginan itu datang di saat yang tidak tepat. Sialnya, pada orang yang tidak tepat pula.

Cakra kembali meluruskan punggung. Dia lepas jaket dari tubuhnya, kemudian menyampirkannya di bahu Ratna. Kehangatan yang datang tiba-tiba itu membuat si wanita berhenti menangis.

Ratna mendongak. "Kenapa? Bukannya aku payah? Kamu nggak mau pergi?"

"Nggak. Kamu nggak payah." Cakra menangkup kedua pipi Ratna. "Aku janji bakal dengar cerita kamu setelah sampai rumah."

"Rumah?"

"Iya, rumah," jawab Cakra tandas.

Cakra meraih tas Ratna dan menyelempangkan talinya di pundak. Pria itu dengan sabar membimbing Ratna untuk berdiri. 

Selama Cakra mengurus Ratna, tiba-tiba saja Ratna berhenti meracau. Wanita itu justru menatap Cakra lekat-lekat seakan tidak percaya bahwa dirinya pantas mendapat perlakuan sebaik ini.

Sesungguhnya, pikiran Cakra terbagi antara Raga dan Ratna. Sebagai win-win solution, Cakra membawa Ratna ke rumahnya. Lagi pula, tempat tinggal Cakra jauh lebih dekat dibandingkan apartemen Ratna. Apa yang Cakra lakukan bisa saja membuat Ratna murka saat bangun nanti. Akan tetapi, inilah jalan terbaik untuk semuanya.

"Ratna, sudah sampai," bisik Cakra sambil menepuk pipi temannya. Dia tak bisa menahan senyum melihat tatapan nanar dan bingung si wanita. "Ayo, tidur di tempat yang lebih nyaman!"

"Aku mau bicara."

Cakra mengangguk-angguk. Namun, dia tidak sebodoh itu untuk menurutinya. Saat ini hal yang paling Ratna butuhkan adalah istirahat, bukan berbincang.

"Kita bicara di kamar," sahut Cakra.

Susah payah Cakra membimbing Ratna menaiki tangga menuju kamar utama. Setelah beberapa kali hampir jatuh bergulingan bersama, dia membuat keputusan ekstrem. Cakra mengalungkan lengan Ratna di lehernya sendiri, kemudian membopong Ratna, membawanya merapat ke poros tubuh. 

Cakra tak tahu apa yang ada di pikiran Ratna sekarang. Akan tetapi, jantung Cakra jumpalitan tak karuan saat Ratna menjadi lebih tenang dan berusaha menyamankan posisi muka di bahu Cakra. Hingga Cakra menurunkan Ratna ke kasur dan menyelimutinya, tidak ada kericuhan yang terjadi.

"Panas banget. Gerah."

Cakra menoleh cepat mendengar gerutuan si wanita. Cakra kira Ratna sudah sadar. Namun, Ratna justru menyibak selimut yang belum sampai lima detik lalu Cakra lebarkan.

Ratna terhuyung-huyung menjauhi kasur dan tampak kebingungan. "Lemari bajuku hilang?"

Cakra paham. Kebiasaan Ratna ketika mabuk mulai muncul. Wanita itu butuh ganti baju supaya bisa tidur.

"Kamu tunggu sini," kata Cakra lembut sambil menarik Ratna supaya duduk di pinggir kasur. "Aku ambilin baju ganti dulu."

Cakra bergegas pergi ke walk in closet. Dia mengambil kaus tipis dan celana olahraga panjang miliknya untuk Ratna. Saat kembali ke kamar, Cakra tertegun. Ratna sudah memulai aksinya bertelanjang dada.

"Ratna, ini bajunya," kata Cakra sambil berjalan mundur. Tangannya terjulur mengangsurkan pakaian bersih yang baru diambil. "Aku tunggu di luar kamar, ya."

"Susah," keluh Ratna seolah tak mendengar ucapan Cakra. Ratna mengeluarkan gerutuan imut sembari kakinya menjejak tanah tak sabaran. "Celananya susah lepas."

Cakra menelan ludah susah payah. Dia mengintip pada Ratna yang tengah bergulat dengan kancing celana. Bibir Ratna yang mencebik keluar mengundang senyum Cakra. Sejujurnya, setelah putranya sudah bisa ganti baju sendiri, Cakra nyaris tak pernah lagi membongkar baju dari tubuh orang lain.

Cakra tak pernah mau repot melepas pakaian para wanita bayarannya.

“Aku bantu.” 

Cakra akhirnya mendekat. Dia menahan napas. Selain bau alkohol, aroma tubuh Ratna membuatnya pusing. Ratna wangi, hanya saja keringatnya seakan mengandung feromon. Cakra pusing karena alasan yang berlainan.

"Nah, kancingnya sudah lepas. Kamu bisa–"

Kelakuan Ratna benar-benar tak bisa diprediksi. Wanita itu menarik lepas celananya tanpa menunggu Cakra pergi. Cakra dibuat kalang-kabut. Bagaimana bisa Cakra tahan disodori tubuh wanita dewasa begini?

Cakra terbata-bata. Sepertinya cara termudah menangani orang mabuk adalah ikut-ikutan mabuk. "Ini … baju … celana …."

Ratna menyambar kaus Cakra dan memakainya dengan mudah. Cakra tak mengira kaus putih polosnya bisa terlihat sangat seksi di tubuh Ratna, padahal itu bukan lingerie.

"Panas! Tebal banget!"

Ratna kembali melepas celana olahraga dari sepasang kaki kurusnya. Tubuh bagian bawah Ratna benar-benar terbuka, hanya ditutupi celana dalam. Kaus kebesaran Cakra pun tidak mampu menutupi setengah paha Ratna.

"Aku cari celana lain," sahut Cakra gugup.

Pencarian Cakra tidak memakan waktu lama. Namun, saat tiba di kamar, dia melihat Ratna sudah naik lagi ke tempat tidur. Wanita itu tampak nyaman berbaring tengkurap tanpa penutup area pinggang ke bawah.

Diam-diam Cakra menghela napas panjang. Cakra meletakkan celana baru di sisi kasur, kemudian menyelimuti tubuh Ratna perlahan. Tak ketinggalan pria itu memunguti pakaian Ratna yang tercecer di lantai.

Sebelum menutup pintu kamarnya, sekali lagi Cakra melihat ke arah Ratna. Sepertinya, Cakra harus membatalkan rencana menumpang tidur di kamar anaknya. Pintu kamar Raga dilewati. Tujuan utama Cakra adalah kamar mandi.

Ada urusan lain yang harus Cakra tuntaskan. Kalau tidak, niscaya Cakra bakalan pening hebat.

Terima kasih. Vote dan komenmu sangat berarti ❤️🥰

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top