RED: Whatever it takes
Etjiaa nungguin ~
Hahahaha , update dong ... dan seperti biasa bacanya pelan-pelan, kali ini hampir 3.000 kata ... buat ngebales kangen kemarin seminggu libur yha kan ~~
| happy reading, team RaRe |
RED: Whatever it takes
--
"Kalian memelihara tupai bersama? Manis sekali..." kata Ayudia.
"Kami masih mencari pemiliknya, mereka ditemukan di Pasque House."
Ayudia menegakkan tubuh, jelas terkejut. "Kok bisa?"
"Aku juga heran..." Aku beranjak membawa kandang tupainya.
"Oh, soal pertemuan kita, menurutmu Rave akan salah paham atau enggak?"
"Salah paham?" ulangku sebelum menggeleng. "Rave akan bertanya kalau ada hal yang mengganggunya."
"Kayaknya cuma kamu lelaki yang janjian dengan mantan pacar di tempat yang sama dengan pacarnya sekarang menginap?"
Aku tertawa dan kembali menggeleng, "Aku enggak janjian dengan mantan pacar, aku janjian dengan Ayudia Chandra... ace dari Capital Chandra dan aku ingin bekerja sama dengannya."
"Nice answer." Ayudia mengangguk dan mendahuluiku beranjak ke pintu keluar. "Sampai jumpa setelah rencanamu mendapatkan persetujuan."
"Just prepare yourself," balasku dan berbelok untuk mengambil sisa barang yang kutitipkan pada front office. Aku belum sempat pulang ke rumah, begitu mendarat langsung menghubungi Ayudia untuk membicarakan rencana kerja sama. Kami minum kopi bersama di café hotel sebelum aku menemui Rave. Aku memastikan barangku tidak tertinggal ketika memperhatikan Rave tampak berlari mendekati pintu keluar, dia seperti mencari-cari dan raut wajahnya sedikit panik.
"Rave..." panggilku.
Dia menoleh, begitu melihatku langsung berlari kembali. Aku meletakkan ransel dan kandang tupai sebelum membiarkannya menubruk dadaku.
"Hei... kenapa?" tanyaku, antara bingung dan senang secara bersamaan.
"I don't know." Jawaban Rave hampir tidak jelas terdengar karena teredam dadaku.
Karena senang dengan apa yang terjadi, aku memilih membiarkan posisi kami bertahan lebih lama. Rave punya wangi yang mirip dengan Mama, wangi yang manis dan sedikit menyegarkan, seperti vanilla bercampur dengan lemon.
"Rave... kamu tiba-tiba turun la—" Suara Hiza terdengar terjeda sebelum ganti bertanya dengan nada serius. "Kalian ngapain?"
Mendengar pertanyaan itu, tubuh Rave terasa kaku dan bergegas melepaskan diri, menjauh dariku dengan raut gugup, "Eng... aku, tadi cuma—"
Aku meraih tangan Rave, menggenggamnya. "Malam, Hiza... aku baru kembali dari Singapura dan barusan memeluk Rave karena kangen."
Rave menolehku, melongo dengan ekspresi wajah lucu sebelum segera berdeham. "Ekhm... y-ya, kami dua hari enggak ketemu."
Hiza memandang kami berdua bergantian lalu melangkah lebih dekat, "Jangan konyol, aku melihatmu di café hotel bersama Ayudia Chandra kurang lebih sejam yang lalu... dan sekarang—"
"Aku tahu kok, aku sudah ketemu sama Ayudia juga." Rave menyela dengan cepat.
Aku hampir tertawa menyadari usaha pembelaan itu, "Aku dan Ayudia ada urusan bisnis, memang sengaja mengajaknya bertemu di sini."
"Orang tuaku ada di atas," kata Hiza.
Rave melepas genggaman tanganku dan beralih ke samping Hiza, "Ya, Ayah dan Ibu udah istirahat, Red juga harus pulang."
"Ada beberapa hal yang saat ini masih menyibukkanku, tapi enggak lama lagi, aku akan memberi salam pada mereka." Aku menjanjikan itu dengan raut serius.
Hiza terdiam sejenak, menggandeng Rave dan menghela napas ketika menariknya pergi. "Ini sudah malam, hati-hati di jalan."
"Thanks," kataku lalu mengulas senyum ketika Rave masih berusaha menoleh, melambaikan tangan dengan raut senang yang malu-malu. Aku balas melambaikan tangan lalu mengucap terima kasih tanpa suara. Berkat pelukan Rave tadi, rasanya ada tambahan energi untukku menghadapi Purp dan Papa.
***
Aku masih memilih pakaian sewaktu mendengar suara ketukan di pintu kamarku.
"Ya, masuk..." sahutku.
Handel pintu bergerak lalu terdorong dan Mama mengulas senyum, mengangkat hanger dengan setelan kemeja warna biru muda dan jas warna navy, tanpa dasi. Itu jenis setelan tidak formal, meski memang merupakan kombinasi pakaian kerja favoritku.
"Mama beli ini waktu belanja kemarin." Mama mendekat lalu menyodorkannya.
Aku menerimanya, membandingkan dengan pilihan setelan yang ada di tempat tidurku. "Aku padahal berpikir untuk tampil formal, pakai dasi dan sepatu kulit."
Mama tertawa, "Just be yourself, Papa memilihkan ini kemarin."
Sebelah alisku terangkat karena di tangan kiri Mama ternyata ada paperbag, berisi kotak sepatu. Ia mengeluarkan kotak tersebut lalu membukanya. Aku tersenyum melihat sepasang sneaker putih, merk kesukaanku yang ternyata berkolaborasi dengan salah satu rumah mode pakaian asal Prancis. Papa dan Purp menyukai produk rumah mode tersebut.
"Aku yakin Papa memilihkannya atas saran dari Mama," tebakku.
"Papa memilih sendiri dan ini custom size." Mama menunjukkan bagian samping kotak sepatu dan memang ada keterangan ukuran. Ukuran kakiku memang agak ajaib, 42.7 dan seringnya harus memesan khusus. Ada satu hal lagi yang membuat sepatuku berbeda, jenis karet anti slip yang digunakan. Aku mengelus bagian bawah sepatuku, karena masih baru tekstur anti slipnya masih terasa.
"He's still making sure about those things," kata Mama.
Aku mengangguk, kecelakaan dulu sempat mempengaruhi keseimbangan tubuhku, pada masa-masa awal pemulihan karena respon tanganku belum memungkinkan untuk menahan atau berpegangan, aku sering terjatuh. Salah satu alternatif untuk memastikanku berjalan dengan aman adalah memperbarui jenis anti slip di sepatuku. Sekarang aku sudah sepenuhnya pulih dan tidak pernah terjatuh lagi, tapi Papa masih selalu memeriksa sepatuku.
"Papa sudah berangkat?" tanyaku.
"Ya, Purp tiba-tiba mengajaknya sarapan bersama..." Mama kemudian membantuku memakai kemeja. "Purp sepertinya bisa memperkirakan langkahmu hari ini."
"She's smart," kataku, tidak heran dengan itu.
"She's amazing," ralat Mama lalu kami tertawa bersama. "Kadang ini bisa sangat lucu, tapi seringnya begitu menyebalkan, Papamu dan Purp."
"Haruskah aku khawatir jika rencanaku berantakan?" tanyaku sambil menyelipkan ujung kemeja ke dalam celanaku, merapikannya ketika Mama beralih mengambilkan jas.
"Rencanamu enggak berantakan," ucap Mama dengan nada yakin.
Aku menyelipkan lengan kananku ke dalam jas sebelum Mama beralih hingga aku bisa lebih mudah menyelipkan lengan kiri. "Kenapa Mama begitu yakin?"
"Karena kamu punya asalan untuk berjuang." Mama kemudian merapikan kelepak jasku.
Jawaban itu membuatku tersenyum, "Aku merasa harus melakukan ini, dan sekalipun enggak bertemu Rave, aku akan tetap melakukannya."
"I know..." Mama tersenyum saat memeriksa lenganku. "Menyenangkan punya seseorang yang mendukungmu, tapi yang menentukan tetaplah tekadmu sendiri."
"Apakah ini berarti Mama akan memasak makanan favoritku untuk makan malam?"
"Papa sepertinya mengantisipasi soal permintaanmu ini, dia sudah membuat reservasi untuk kami makan malam di luar, just the two of us..."
"Ack! Sial," keluhku sebelum Mama tertawa dan memelukku.
"Kamu bisa makan malam sama Rave."
"Aku mengajaknya lusa, keluarganya masih tinggal di Jakarta dan Rave terlihat senang menghabiskan waktu bersama mereka. Ayahnya jelas orang yang sibuk."
Mama mendongak menatapku, "Ah, kamu sudah tahu?"
Aku mengangguk, "Aku sadar waktu bertemu Uncle Zhao."
"Oh..." Mama mengangguk lalu beralih menyodorkan sepatu baruku. "Uhm, ada beberapa hal terjadi waktu kamu di Singapura, tapi sebaiknya kamu fokus dulu terhadap rencanamu hari ini."
Aku menerima sepatuku sambil mengerutkan kening, "Hal apa? Apakah penting."
"Yeah, quite important... tapi bisa menunggu."
"Okay." Aku beralih duduk di pinggiran tempat tidur untuk memakai kaus kaki dan sepatu.
Mama merapikan sisiran rambutku, "Apapun yang akan menjadi pilihanmu hari ini, dan bagaimana pun Papamu nanti memberikan penilaian, kamu tetaplah Red Alexander Pasque yang selalu membuat Mama bangga."
Sejenak aku terhenti dari kegiatanku mengikat tali sepatu, kembali memandang Mama.
"Hari ini, aku pasti berhasil," kataku sambil tersenyum, bukan satu atau dua kali saja aku berhasil melalui sesuatu karena dukungan dan doa Mama, karena itu hari ini juga... aku yakin semuanya akan berjalan lancar.
***
Pak Edwin mengulas senyum ketika melihatku keluar dari lift, "Sudah ditunggu..."
"Purp sudah datang juga?" tanyaku.
"Ya, lima belas menit yang lalu dan tampak percaya diri, as always."
Aku mengangguk, memandang berkas di tanganku lalu berjalan ke pintu yang otomatis membuka. Purp terlihat keluar dari ruang kerja Papa, tersenyum ketika melihatku.
"Yes! Aku menang, aku tahu kamu bakal datang lima menit lebih awal," kata Purp.
"Kamu buat taruhan remeh semacam itu, sama Papa?" tanyaku, memperhatikannya tertawa ketika membuka gelas tumbler dan mengisi air mineral. Di dalam ruangan, Papa masih bertelepon, hanya menunjuk kursi sofa ketika melihatku masuk.
"Jangan mengadu ke Mama," kata Purp ketika aku duduk.
Alasan dia berkata begitu karena ada cangkir kopi kosong di meja, "Cangkir ke berapa?" tanyaku sambil menoleh ke arah Papa yang sekarang fokus memperhatikan layar komputer.
"Dua, sepertinya... ini hari yang sibuk."
"Kalian sarapan bersama pagi ini."
"Aku menyerahkan surat resign."
Aku jadi paham alasan kesibukan Papa, "Om Yoshua sudah tahu?"
"Tentu saja, kami meeting sampai sebelum makan siang."
"Papa belum makan siang?" tanyaku saat menyadari satu hal.
"Belum, makanya aku minta Pak Edwin belikan sesuatu..."
"Briliant," sebutku, meski Purp memang selalu peduli terhadap hal-hal semacam itu.
Purp tersenyum lalu memandangku, "Kamu sepertinya enggak terkejut dengan apa yang kulakukan pagi ini."
"You have a plan, so do I."
"Rencanamu cukup bagus, tapi aku harap sesempurna dugaanku."
Suara langkah terdengar sebelum Papa berujar, "Jangan memulainya tanpa Papa, pembicaraan apapun itu."
Purp tertawa, "Aku pikir Papa akan terus tertahan dengan telepon itu."
"Karena sudah menyerahkan surat resign, sekarang kamu enggak segan-segan lagi menunjukkan ketidaksabaran." Papa menghela napas meski tetap tersenyum dan menolehku, "Nah, sehubungan dengan posisi yang kakakmu tinggalkan, kapan kamu berencana untuk mengisinya, Red?"
Aku menarik napas, mengembuskannya perlahan lalu menggeleng, "Aku enggak punya rencana untuk mengisinya."
Purp menarik sebelah alis sementara Papa bersedekap.
"You're not your grandpa, Red... Opamu memang bisa menjadi pimpinan dengan beranjak dari tempatmu berada sekarang, tapi kamu bukanlah dirinya," ucap Papa, sepertinya bisa menduga alasanku ke Singapura dan bertemu dengan Opa.
"Aku memang bukan Opa, aku juga bukan Papa, atau Purp... aku adalah Red Pasque."
"Fine, let me know about your plan, Mr. Red Pasque..." ujar Purp dan terlihat menunggu.
Aku menyodorkan bendel pertama berkasku, membiarkan Purp dan Papa sama-sama membacanya. "Pertama, aku sudah menyelesaikan setiap proses uji kelayakan produk pada DMD Power-wheelchair dan produkku dinyatakan aman, aku sudah mengurus legalitas produk tersebut dan percaya diri untuk membawanya ke Hospital Expo akhir tahun nanti."
"MoveIt membuat produk serupa dan lebih canggih." Purp mengingatkan.
"Mereka masih harus menyempurnakan robotic arms, waktunya enggak akan cukup."
Papa menyipitkan mata, "MoveIt bekerja sama dengan Showa Intermedical, mereka akan melakukan segalanya agar bisa membawa produk tersebut ke Hospital Expo."
"Kalau perlu melakukan perbandingan produk, aku percaya diri melakukannya."
"Why?" tanya Papa.
"Because mine is simple, safety and special." Aku mengendik pada halaman berkas yang dibuka oleh Purp, dia mematung memandangi rencana promosi yang kubuat, gambar dokumentasi yang termuat.
Papa ikut memandanginya, membaca seluruh rencana itu selama beberapa menit. "Ini..."
"Begitu lolos uji kelayakan, aku membawanya ke pusat rehabilitasi, meminta pasien DMD mencoba menggunakan produkku... itu benar-benar ulasan nyata yang mereka berikan." Aku kembali mengendik ketika Purp membuka halaman terakhir berkas. "Dan itu adalah rencana penjualan pertamaku, aku enggak akan menjualnya secara bebas, aku menyasar organisasi dan badan amal yang selama ini concern terhadap perkembangan medis untuk para penderita DMD."
"Nice," sebut Purp setelah selesai membaca.
Papa menolehnya, "Menurutmu begitu?"
"Ya, itu bisa menjadi bentuk kolaborasi yang bagus, ada nilai eksklusif juga yang bisa ditonjolkan." Purp menutup berkasku dan mengangguk, "Kamu jelas menyadari bahwa harga produk buatanmu akan terbilang mahal, karena itu kamu menyasar target organisasi dan badan amal besar, it's good... mereka memang punya dana untuk dimanfaatkan."
Aku tersenyum, Purp memang pintar dan ini merupakan bidang yang dikuasainya. "Aku sudah terhubung dengan satu badan amal besar di San Francisco, mereka punya anggaran pengadaan satu setengah juta dollar... aku berencana mengundang perwakilan mereka ke Hospital Expo."
"Kalau MoveIt berhasil menyempurnakan produk mereka, targetmu bisa beralih, Red."
Aku seperti memahami kekhawatiran Papa, "Belum tentu juga."
Purp menghela napas, "Kenapa kamu merasa produkmu lebih baik dari MoveIt?"
"Aku enggak bilang produkku lebih baik, MoveIt memang selalu berusaha membuat produk yang canggih, it's cool... tapi sejak awal aku ingin membuat produk yang sesuai untuk pengguna. Pasien dengan keterbatasan gerak dan perlemahan otot, mendapat produk yang sederhana, ringkas, mudah digunakan dan aman adalah pilihan yang terbaik."
Papa menutup berkas di tangannya lalu mengangguk, "Fine, rencanamu untuk Hospital Expo meyakinkan untuk dijalankan... dan meski kamu percaya diri dengan produk buatanmu, Papa berharap MoveIt tetap tertinggal selangkah di belakangmu seperti sekarang."
"Jangan khawatir, robotic arms enggak semudah itu dikembangkan." Aku tahu karena sudah mencoba membuatnya, sekalipun berhasil harga produksinya akan sangat mahal, terlalu berisiko untuk dijual ke publik, mengingat jumlah pasien DMD yang masih disebut langka.
"Ini bisa disebut langkah awal yang bagus untuk membuktikan hasil kerjamu, tapi belum cukup untuk bisa meyakinkan komisaris dan para pemegang saham... juga belum sepenuhnya meredakan kegelisahanku, kepemimpinan Pasque harus tetap berlanjut." Purp mengingatkan dengan nada pelan.
"Aku menyadari satu hal ketika bicara pada Opa, bagaimana ia yang merupakan seorang kepala produksi mampu memimpin Pasque Techno selama dua dekade sebelum diambil alih Papa."
"How?" tanya Purp.
Aku menarik selembar kertas dari saku, "He has an amazing team."
Papa memandangku lekat, menunduk pada selembar kertas yang kusodorkan. "Kamu..."
"Wah!" sebut Purp sebelum tertawa.
"Aku sadar ada krisis serius di direktorat keuangan, karena mustahil membuat Oma Inggrid kembali muda dan menangani divisi keuangan kita, aku menyodorkan Ayudia, cucunya untuk mengatasi kegentingan itu."
Papa masih tampak terkejut, "Kamu serius? Ayudia bersedia melakukannya?"
"Dia akan selalu menjadi nomor dua di Capital Chandra, aku bilang dia punya peluang sebagai nomor satu di Pasque Techno..."
"Dasar licik," ucap Purp sambil terkekeh.
"I learned it from you," balasku lalu memandang Papa. "Seenggaknya dengan begini, akan ada jalinan yang cukup kuat lagi, antara Pasque Techno dan Capital Chandra, mengamankan sebelas persen saham tanpa harus menikahinya."
"Tapi akan jadi masalah jika Ayudia berpikir dia lebih baik darimu dalam memimpin Pasque Techno, dia bisa saja menyingkirkanmu dengan mudah, keuangan adalah divisi krusial," kata Papa lalu menggelengkan kepala perlahan. "Rencanamu terlalu berisiko."
"Kami bisa membuat kesepakatan kerja sama," kataku.
"It's not enough... dia juga pintar untuk membuat pasal tertentu sebagai celah." Papa mengendik ke arah Purp. "Itulah sebab Purp mengusulkan perjodohan, karena dengan begitu posisimu akan terus memungkinkan didukung olehnya."
"Didukung karena aku suaminya, bukan karena mengetahui aku bekerja dengan baik," kataku lalu menggeleng, "Itu bentuk dukungan semu, yang enggak akan membantuku menjadi lebih baik."
"Red," tegur Purp.
"I want to be a true leader... I know it's a great privilege being your heir, thank you for that. Tapi aku mau menunjukkan bahwa aku pantas menjadi pemimpin karena aku juga bekerja keras, punya potensi dan mengerti akan nilai-nilai yang dijunjung oleh Pasque Techno." Aku memejamkan mata sejenak, mengatur napas. "Aku tahu bahwa enggak mudah, untuk bisa menjadi seperti Papa atau Purp... tapi aku juga enggak bermaksud menyerah atas perusahaan ini. Bahkan jika Ayudia berusaha menggeser posisiku, jika dia mampu melakukannya, jika itu merupakan hal terbaik untuk mempertahankan Pasque Techno, I'll let her doing the job."
"Pasque Techno bisa jadi bukan lagi Pasque Techno jika jatuh ke tangan orang lain," ucap Purp lalu menghela napas. "Karena itu sebaiknya kamu enggak bicara sembarangan soal—"
"Yang kita pertahankan bukan sekadar nama perusahaan, Purp... it's the people, orang-orang yang selama ini ikut bekerja keras, membangun dan memajukan perusahaan ini. Ketika aku memimpin perusahaan, itu bukan karena warisan posisi semata, tapi tanggung jawab... dan amat penting untukku melakukan setiap hal yang aku rasa perlu untuk menyelamatkan Pasque Techno."
"Whatever it takes?" tanya Papa.
Aku mengangguk, menegaskan hal yang sama, "Whatever it takes."
Papa menghela napas lalu saling pandang dengan Purp, keduanya mengulas senyum secara mencurigakan sebelum tidak lama kemudian menarik sebuah barang dan terdengar suara letusan pelan. Semburan confetti nyaris masuk ke mulutku. Aku masih agak bingung, apa maksudnya ini?
"Yay... kamu lolos uji pemahaman kepemimpinan, Red," ucap Purp dengan nada bangga.
"What?" tanyaku lalu memandang mereka bergantian. "Apa... jadi, kalian, maksudku... sejak awal hanya menguji pemahamanku soal kepemimpinan?"
Papa tertawa, "Memangnya apa lagi yang bisa diuji dari orang yang baru setahun bekerja? Kamu masih new comer, perlu banyak proses untuk sampai ke posisi yang Papa harapkan dan untuk itu perlu adanya pemahaman yang tepat... kenapa kamu harus menjadi pemimpin suatu hari nanti, dan memang benar, itu bukan posisi yang diwariskan begitu saja."
"Dan sekalipun jawabanmu memuaskan tapi tingkat percaya dirimu harus ditingkatkan."
Aku memandang Purp, "Memangnya jawaban yang percaya diri itu seperti apa?"
"Dulu Papa juga bertanya padaku, Pasque Techno bisa jadi bukan lagi Pasque Techno jika jatuh ke tangan orang lain..." Purp tersenyum penuh percaya diri, "Dan aku bilang bahwa itu akan selalu menjadi Pasque Techno, karena aku ikut bekerja keras agar branding ini berhasil, siapapun yang mengelola perusahaan ini akan tetap mempertahankannya."
Itu memang jawaban yang khas Purp... aku menyengir sendiri membayangkannya.
"Bahkan jika harus menyerahkannya kepada orang lain... yakinlah bahwa akan ada generasi Pasque selanjutnya yang mengambil alih kembali, because it belongs to us." Papa memberi tahu dengan senyum tenang. "Ada sejarah panjang tentang perusahaan ini, bukan sekadar perjalanan dan perkembangan usaha, tapi juga tentang kepemimpinannya."
"Aku pasti akan melahirkan cucu yang luar biasa, the next Pasque leader..." sebut Purp.
"Kalau anakmu, nama belakangnya pasti Wedanta, Purp." Aku mengingatkan.
Papa tertawa, "Kalian berdua harus berterima kasih pada Opa, karena berkatnya kita semua bisa terus memakai nama Pasque."
Aku dan Purp saling pandang dengan bingung, "Memangnya kenapa?"
"Itu salah satu sejarah panjang yang suatu hari akan Papa ceritakan... yang jelas, ini sudah merupakan rencana bagus. Good job, Red." Papa mengangguk lega ke berkas rencana Hospital Expo yang kususun. "Yoshua bilang dia bisa bertahan sementara, sambil menunggu kandidat yang tepat untuk mengisi posisi Purp... adanya Ayudia di divisi keuangan akan membawa angin segar. Mendapatkan kerja samanya juga langkah cerdas mengamankan hubungan dengan Capital Chandra, meski kamu harus bisa menjaga jarak, memisahkan urusan pribadi dan profesional."
"Rave enggak terlihat seperti perempuan pencemburu," komentar Purp.
"Red harus bisa melakukan itu bukan sekadar demi pasangannya, tapi mencampurkan urusan pribadi dan pekerjaan memang merepotkan, trust me about this."
Aku menyeringai, "Itu berdasarkan pengalaman pribadi?"
"Jelas bukan dengan Mama," sebut Purp dan menoleh Papa dengan raut penasaran.
"Jangan mencari-cari tahu hal yang enggak ada gunanya, media kerap melebihkan pemberitaan dan yang selamanya Papa cintai hanya Masayu." Papa menegaskan hal itu sebelum menatapku, "Ah, jangan lupa... kosongkan waktumu usai jam kerja, kamu harus bicara pada Henry."
Itu nama pengacara keluarga kami, "Kenapa?"
"Sehubungan dengan Rave, orang yang waktu itu kamu pukul sudah tertangkap."
"Ah benar, Emerald heboh bercerita membantingnya di salon," ungkap Purp.
Aku memandangi mereka dengan bingung, apa yang sebenarnya terjadi?
[ to be continued ]
🦋
.
Tyda bosan-bosan aku mengingatkan ... untuk team yang tamat baru baca , yuk mulai dicicil baca bab awal yuk ... 💜❤️
selamat malming, Readers ... have a nice weekend, sarange~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top