RAVE: Close

RAVE: Close
__

Red Alexander Pasque
Ya, tentu saja. Sampai bertemu besok :)

Entah berapa kali, aku membaca ulang chat yang Red kirimkan. Rasanya juga tidak sabar ketika Hiza mengantarku ke Pasque House pagi ini. Setelah seminggu tinggal di rumah, akhirnya Ibu mengizinkan aku kembali ke Jakarta, tentu saja dengan catatan harus selalu bersama Hiza. Selama akhir pekan ini kakakku yang tinggal, lalu mulai Senin besok gantian Ibu tinggal bersamaku. Pengaturan yang agak merepotkan, tapi Ayah cukup tegas ketika membuat keputusan.

Ayah dan Ibu juga berencana bertemu dengan Red, mereka bilang harus berterima kasih. Aku langsung pucat membayangkan mereka mengetahui siapa Red dan untungnya Hiza berhasil meyakinkan orang tua kami bahwa ia sudah cukup menunjukkan ungkapan terima kasih.

“Nanti aku jemput sebelum jam tiga sore, udah selesai, ‘kan?” tanya Hiza ketika gerbang tinggi menuju rumah keluarga Pasque terlihat.

“Iya, udah,” jawabku lalu tersenyum ketika melirik ke belakang, aku membawa para tupai.

“Kamu merasa baik-baik saja, bersama Red?”

Pertanyaan itu membuatku bingung, “Kenapa memangnya?”

“Dia lelaki, kadang dalam kasus-kasus sepertimu, muncul trauma dan aku—”

Ugh! Aku segera menghentikan ucapan Hiza dengan gelengan kepala, “Aku menjalani sesi sama psikolog dan merasa baik-baik saja. Red bukan Harits, aku jelas bisa bedain.”

“Okay,” sebut Hiza lalu menurunkan kaca samping karena diperiksa oleh petugas keamanan.

Begitu gerbang dibuka, Hiza melajukan mobilnya masuk, menyusuri jalan menuju bangunan rumah yang megah. Motor Red sudah tampak terparkir di depan garasi. Hiza menghentikan mobilnya di samping motor tersebut.

“Keren ya,” kataku setelah memperhatikan motor Red lebih jelas.

“Berbahaya,” kata Hiza lalu keluar dari mobil.

Aku ikut keluar dan menurunkan kandang berisi para tupai yang semangat memanjat. Red keluar dari rumah sambil tersenyum lebar. Astaga, jantungku rasanya seperti dicubiti melihatnya.

“I’ll help you,” kata Red sembari mendekat.

“Thanks,” kata Hiza sewaktu Red mengambil alih kotak perlengkapanku.

Aku mengerjapkan mata, melihat tas lain yang Hiza keluarkan dari mobil. “Itu apaan?”

“Lunch bag.” Hiza kemudian memandang Red, “Jangan khawatir soal makan siang hari ini, saya menyiapkan beberapa jenis sandwich dan jus.”

Red mengangguk, “Sounds nice.”

Membiarkan Red memimpin jalan, aku mendekati Hiza, “Itu yang sepagian kamu siapkan?”

“Ibu masih melarangmu menerima makanan atau minuman dari orang lain,” jawab Hiza.

“Astaga…” keluhku, rasanya berlebihan.

Hiza menemani hingga halaman belakang, ikut memeriksa desain dan memastikan struktur taman sekaligus renovasi berjalan sesuai rencana mingguan. Aku lega sekali melihat beberapa detail yang dikerjakan dengan sangat baik. Tidak sabar untuk melihat versi finishingnya akhir bulan nanti.

“Kalau urusanku selesai lebih cepat, aku akan segera kembali dan menemanimu,” kata Hiza.

“Iya,” balasku singkat, pasalnya seminggu terakhir ini setiap proteksi yang keluargaku berikan terasa berlebihan. Rasanya juga aneh memperhatikan Hiza kelewat perhatian begini, sikapnya makin serius dan susah diajak bercanda.

“Ponselmu jangan ditinggal-tinggal, apalagi dimatikan.”

Aku menghela napas dan memberi anggukan pada Hiza yang berjalan menjauh.

“Ah, dan jangan lupa soal—”

“Jika terjadi sesuatu, kamu adalah orang pertama yang harus tahu,” selaku cepat.

“Good,” ucap Hiza sebelum benar-benar keluar dari pintu gerbang samping, memang dari sana bisa langsung ke area halaman depan, meski perlu berjalan cukup jauh.

Red meletakkan kotak perlengkapanku di teras rumah kaca, ia langsung membungkuk ketika aku menyusul untuk meletakkan kandang tupai, Rare dan anak-anaknya berebut perhatian.

“Mereka benar-benar bertambah besar, boleh saya memberi makan?” tanya Red

“Tentu saja,” jawabku.

Red membuka laci penyimpanan makanan sementara aku mempersiapkan diri. Sudah ada tumpukan bahan berisi sekam, tanah, pupuk dan media tanam lain yang aku butuhkan di samping rumah kaca. Aku benar-benar tidak sabar mempersiapkan lahan tanam, pemesanan rumput sudah diproses dan Senin besok bisa mulai dikerjakan.

“Kemarin, kamu melepaskan mereka?” tanya Red.

“Ya, tapi sebaiknya dilepaskan setelah kenyang, jadi mereka akan fokus bermain, bukan mencari makan,” kataku dan memakai sarung tangan.

Red tersenyum, “Jika pemilik Rare ditemukan, kamu benar-benar akan menyerahkannya?”

“Ya, apalagi jika pejantannya masih hidup.” Walau rasanya pasti akan sangat berat merelakan teman-teman baruku itu.

“Bagaimana dengan gagasan memeliharanya di sini?”

Aku teralihkan dari usaha meluruskan salah satu ujung jari sarung tanganku, “Memeliharanya di sini?” ulangku, memastikan.

“Yap, Hiza berkata bahwa rumah sewaanmu melarang hewan peliharaan.”

“Lalu kalau di sini?”

“Renovasi fisik rumah kacanya sudah hampir selesai, saya akan mulai tinggal di sini untuk mengerjakan urusan kelistrikan.”

Aku mengamati ke dalam rumah kaca, memang benar sudah ada beberapa kabel dan saklar yang disiapkan untuk pemasangan. “Orang tuamu mengizinkan?”

“Tentu saja, saya enggak keberatan untuk merawat mereka juga.”

Aku memperhatikan Red tidak canggung membuka sedikit pintu kandang lalu mengulurkan tangannya masuk, menuang beberapa biji bunga matahari ke tempat makan. Rare dan anak-anaknya segera beralih untuk mengerubunginya.

“They’re so soft,” sebut Red saat jemarinya beralih mengelus ekor para tupai.

“So you are,” balasku tanpa sadar, membuatnya menoleh. Jelas saja aku gelagapan, berusaha segera menghindar, “Eh, maksudku… uhm, aku akan memulai pekerjaanku.”

Terdengar suara tawa pelan, Red mungkin menganggapku menggelikan sekarang.

“And you’re so cute, Rave…” ucap Red sewaktu aku beralih ke area samping rumah kaca, tempat beberapa pack media tanam ditempatkan.

Jantungku agak kewalahan tapi senyumku rasanya sulit dihilangkan mendengar ucapan itu.

***

Aku menakar komponen tanah, sekam, dan pupuk sambil memikirkan apa yang tadi terjadi. Itukah yang disebut flirting? Aku tahu sedikit-sedikit bahwa biasanya lelaki dan perempuan bertukar kode, semacam pujian untuk memberi tahu bahwa mereka tertarik pada satu sama lain. Lalu, apakah tadi aku yang duluan yang memberi kode? Tapi aku tidak sengaja mengatakannya tadi dan apakah Red serius dengan ucapannya? Cute, katanya… lucu, itu maksudnya lucu karena menggemaskan bukan? Karena aku menyenangkan? Atau sekadar lucu yang biasa saja? Atau dia hanya berbaik hati mengatakannya untuk menanggapi kekonyolanku tadi? 

Oh Tuhan, ini sangat memusingkan.

Aku melirik sedikit dari balik bahuku, Red tidak lagi berada di teras bersama kandang tupai. Aku segera berdiri menatap sekitar, ternyata ia berada di dalam, dengan peralatan kelistrikan yang aku tahu digunakan untuk menyambungkan kabel ke saklar. Red terlihat serius membelah kabel tersebut, memisahkan beberapa tembaga dan mengikatnya dengan rapi. Tidak jarang ia memastikan rangkaian dengan desain kelistrikan yang sudah dicetak.

Aku segera berjongkok kembali sebelum ketahuan mengamatinya, tapi sungguh sewaktu Red bersikap serius seperti itu, dia benar-benar tampak keren. Jantungku bisa saja mengalami kelainan jika terus memperhatikannya. Aku harus fokus pada pekerjaanku.

Kurang lebih tiga jam kemudian, setiap petak tanaman di depan rumah kaca sudah berisi susunan tanah, kerikil, campuran sekam dan pupuk. Aku baru akan melepaskan sarung tangan saat Red keluar dari rumah kaca, kandang tupainya ditinggalkan di dalam.

“Rare dan anak-anaknya saling bergelung, karena itu saya tinggalkan di dalam,” kata Red.

“Ah, tentu saja, kamu sudah selesai?” 

“Belum, tapi sudah lapar… saya penasaran dengan sandwich yang Hiza siapkan.”

Aku tertawa sambil melepaskan sarung tangan berkebunku. “Hiza bisa diandalkan, dia juga sangat higienis dan pecinta produk-produk organik.”

“Kita bisa makan siang di sana,” kata Red menunjuk area duduk dekat pintu belakang.

Aku mengangguk, membawa lunch bag dari Hiza dan mengikuti Red. Kami sama-sama mencuci tangan sebelum duduk dan aku mengeluarkan tiga kotak makanan. Kotak pertama berisi sandwich dengan isian sayur, daging goreng dan telur, kotak kedua berisi enam potong sandwich dengan isian krim dan irisan buah strawberry. Hiza juga memisahkan buah stawberry utuh di kotak yang berbeda.

Red tertawa melihat tulisan tangan Hiza; Makan dari pinggir, jangan diacak, jangan berantakan.

“Sori, Hiza memang agak serius tentang penanganan makanan, kalau ada sisa dia harap bisa dimakan lagi, jadi selalu mengingatkan untuk makan berurutan,” kataku sebelum dalam hati mengingatkan jika kemudian hari Hiza menyiapkan makanan lagi, aku harus mengecek isinya dulu.

“It’s a good thing,” ucap Red lalu mengeluarkan dua botol jus dari dalam tas.

Aku menelan ludah melihat lagi-lagi ada kertas dengan tulisan tangan Hiza, tertempel di salah satu botol; Milik Rave, hanya boleh dibuka oleh Rave sendiri.

“Sori,” ucapku lagi ketika Red mengulurkan botol tersebut.

Red menggeleng, “Adik saya, Mera, pernah dikerjai dengan minuman beralkohol sampai enggak sadarkan diri… sejak itu, setiap kali dia nongkrong dengan teman-temannya, saya sebisa mungkin menemaninya, memastikan apa yang dia makan dan minum.”

Hal semacam itu sungguh tidak terbayangkan, “Adikmu enggak memprotesnya?”

“Protes, tapi sulit bagi saya mengatasi rasa bersalah akan hari itu… jadi, saya bisa memahami apa yang Hiza rasakan.” Red menatap sebotol jus jeruk yang tersisa, “Ini boleh buat saya?”

“Sure,” jawabku dan membuka botolku sendiri, meminumnya perlahan lalu menyodorkan kotak sandwich pertama, “Silakan, seharusnya enak karena Hiza yang buat.”

“Kata Mama kamu banyak membantu waktu menyiapkan makan malam kemarin, kalau sudah menguasai basicnya… belajar memasak itu enggak susah,” ucap Red santai, mengambil satu dan membuat gigitan pertama.

Aku jadi berpikir untuk benar-benar belajar memasak, Red terlihat dekat sekali dengan Tante Masayu, bisa jadi tipe idealnya juga yang seperti Mamanya. Aku kadang memang membantu ibu atau mbak di rumah untuk memasak, tetapi tidak pernah benar-benar membuat suatu hidangan.

“Kamu suka makanan manis?” tanya Red ketika aku memilih sandwich dengan isian krim dan buah strawberry.

Aku mengangguk, “Suka sekali, kenapa?”

“Besok giliran saya,” ucap Red sebelum menelan sisa sandwich di mulutnya dan memperjelas, “Makan siang, gantian saya yang traktir… saya tahu restoran dengan menu dessert yang enak.”

Aku menahan diri agar tidak terbatuk atau melompat-lompat, atau melakukan keduanya. Aku mencoba untuk tetap sadar diri, karena kesenangan semacam itu akan mendapat halangan, mengingat Hiza yang protektif dan—

“Ketika Hiza kembali nanti, saya akan bicara padanya untuk meminta izin, atau kita bisa makan siang bersamanya juga, enggak masalah.”

Aku terkesima mendengar kelanjutan kalimat Red itu, astaga… aku benar-benar ingin menjerit.

[ to be continued ]

🦋
.

Dengan begini Red terbukti sebagai keturunan Papa Prik Pasque, wakakakaka sungguh alus bund modusnya ~

tapi tentu sadja modus bukan sembarang modus, disertai kepekaan dan pengertian tentang keadaan Rave, pinter dan gentle banget memang anak MaMasay inieh

.
.

Etjia malmings  nanti ada yang rencanain kentjan makan siang , uhuy~


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top