Part 25

Kalo udah mau tamat, bawaannya mau semedi dulu. Hope you like it  ♥️

Gayoung dan Chanyeol sepakat untuk tak lagi tinggal bersama. Chanyeol paham etikanya. Setelah rentetan kejadian akhir-akhir ini, apapun rencananya dengan Gayoung, tidak sepantasnya ia membawa Gayoung ke rumahnya tanpa izin. Sekalipun mereka adalah suami-istri sah secara legal.

Restu orang tua Gayoung lebih penting dari hukum apapun sekarang.

Mereka akan bermain aman. Tinggal terpisah sama sekali tak memutus komunikasi keluarga kecil ini. Hampir setiap pekan, mereka bertiga pergi bersama. Chanyeol pun tidak dilarang berkunjung jika ia merindukan Joon dan itu menjadi alasan untuk mencuri kesempatan mendekati Gayoung. Mengembalikan rasa percaya diri wanita itu. Lagi pula, hampir setiap hari Joon menanyakan papanya sehingga setiap hari pula Chanyeol bertandang dan pulang malam atau keesokan harinya untuk bersiap kerja.

Jaemin sempat menawarkan kakak iparnya tinggal serumah, tapi Chanyeol cukup sadar untuk tidak terjerat jebakan batman.

Sabtu ini, mereka berencana berlibur ke Busan. Selain menunjukkan pantai pada Joon, Chanyeol sudah berjanji mengenalkan kakek-nenek Joon. Tiba-tiba, semua batal saat pria itu meminta maaf dengan alasan diare.

Karena itu pula, Gayoung tak menolak Dongwook yang ingin berkunjung. Gayoung masih berhutang cerita soal kehidupannya.

"Wow, jadi dia mantan kekasihmu yang ternyata sama sekali tidak pernah berkencan denganmu," celetuk Dongwook menanggapi cerita Gayoung mengenai hubungannya.

"Ya begitulah, Oppa. Rumit 'kan?"

Dongwook lantas tertawa. Ia mengerti mengapa mata Dohwan menyorotkan kebencian saat Allete tidak sengaja melontarkannya. Sejenaka apapun mereka membahasnya.

"Kalau begitu, apa aku masih punya kesempatan? Sekarang kau sudah tak bersamanya dan sedang mengurus perceraian, bukan?" tanya Dongwook tanpa basa-basi.

Kedua tangan pria itu bertautan, menahan gugup, "Maaf, aku lancang.... Aku tertarik padamu semenjak di Paris."

Pria itu berani melangkah setelah memastikan Dohwan rela melepaskan wanita di hadapannya. Mengingat masa lalu Gayoung yang sulit dan keterlibatannya, Dohwan yang memilih mundur teratur, membiarkan Dongwook untuk menggantikannya.

"Tapi —"

"Maaf-maaf saja, kami tidak akan bercerai."

Terdengar suara bariton yang entah kapan pemiliknya sudah masuk ke dalam rumah. Wajah pucat tersebut benar-benar mengejutkan.

"Sunbae...."

"Sorry, Noona, tadi aku keluar dan manusia ini di depan pagar celingukan, jadi kuajak saja masuk. Maaf kalau mengganggu kalian," ucap Jaemin sembari menarik Chanyeol yang sama sekali tidak segan menginterupsi.

Gayoung melanjutkan percakapannya dengan Dongwook mengenai hal lain. Setelah kehadiran Chanyeol, mana mungkin ia nyaman berbicara soal kehidupan pribadi.

Sementara itu, Chanyeol tidak tinggal diam. Ia sengaja meladeni Jaemin untuk membuat kegaduhan. Joon pun senang menyoraki tingkah Appa dan Papanya. Mereka tidak peduli kalau sang Tamu sampai terganggu. Peringatan Gayoung hanya seperti tombol pause karena akan dimulai lagi saat Gayoung kembali ke ruang tamu. Hanya lilitan perut Chanyeol yang bisa menjeda perkelahian mereka dalam waktu cukup lama.

***

"Benar perutmu sudah baikan?" tanya Gayoung khawatir. Selepas kepulangan Dongwook, Chanyeol langsung heboh mengajak anak dan istrinya untuk pergi ke Busan.

"Iya. Aku sudah minum obat."

"Kalau tidak enak, katakan saja. Aku gantikan."

Pria itu mengangguk patuh. Terlalu gengsi saja kalau sampai membiarkan Gayoung mengendarai mobilnya untuk perjalanan jauh. Selama tidak di ujung tanduk, ia akan berjuang menahan rasa sakitnya.

"Sunbae, lirik di spion. Joon sudah tertidur. Dotnya saja sudah lepas."

"Pasti dia lelah bermain denganku dan Jaemin. Tidak apa-apa. Nanti, dia akan bertemu kakek neneknya. Ia harus istirahat sekarang."

Gayoung menoleh, memperhatikan wajah Joon beberapa saat, lalu tersenyum. Ia merasa beruntung bisa menghabiskan akhir pekan dengan Chanyeol dan Joon. Tingkah polos dan kocak keduanya selalu berhasil membuat harinya cerah.

"Pipi gembil dan tangannya semakin membuatku gemas. Ia seperti buntalan roti."

"Sudah kubilang, kau bisa merawatnya dengan baik 'kan? You are the best mother he's ever had."

Kalimat terakhir adalah kata-kata favorit Chanyeol yang Gayoung dengar akhir-akhir ini. Pria itu tak pernah berhenti meyakinkan akan kepantasan wanita di sampingnya untuk Joon.

"Bosan aku mendengarnya."

"Kaupikir siapa lagi yang akan repot-repot bereksperimen agar Joon mau makan? Siapa yang bingung memilah mainan mana yang bagus untuk perkembangan otaknya? Siapa juga yang rutin mengingatkan jadwal imunisasi yang mengerikan itu?"

Gayoung meringis kesal, kalimat Sunbae-nya sering sulit dibantah. "Kau."

"Terserah sajalah."

"..."

"Tapi masa anak kita seperti buntalan roti? Dia mirip denganku dan aku tidak mirip roti sama sekali," protes Chanyeol merajuk.

Setiap Chanyeol mengagungkan kemiripan keduanya, antara kesal dan menahan tawa, Gayoung memilih menghela napas. Mulai dari kepala sampai kaki, pria itu menemukan terlalu banyak kemiripan yang kadang membuat Gayoung iri, sumbangsihnya tidak terlihat.

"Oh. Oh. Kecuali perutku yang mirip roti sobek," timpal Chanyeol menggoda.

Spontan Gayoung menggeleng, dari mana juga perut pria itu mirip roti sobek. Ia yakin, perut Chanyeol sama gembilnya dengan pipi Joon.

"Tidak percaya. Kau boleh melihatnya kalau mau. Sudah lama 'kan?"

Satu alis Chanyeol naik turun. Gayoung mendelik dan memukul lengan Chanyeol kuat-kuat.

"Pelan-pelan, aku menyetir. Huust. Kalau kau mau dengan senang hati akan kupamerkan. Di rumah tapi, jangan di jalan."

"Mesum!"

Chanyeol terkikik, "Astaga, kau yang mesum. Memamerkan perut itu biasa apalagi di pantai. Ah, besok 'kan kita ke pantai, kau bisa melihatnya. Atau, kau mau aku menyimpan perut six-pack-ku hanya untukmu?"

"Maaf, aku tidak berhak melarang-larang," jawab Gayoung ketus. Menyembunyikan pipinya yang mulai bersemu. Tidak menjamin berpergian bersama setiap minggu akan membiasakannya dengan gombalan Chanyeol.

"Kau istriku. Aku akan menurut kalau memang tidak boleh. Jadi, bagaimana? Bisa kita merawat Joon bersama setelah ini?"

Permintaan Chanyeol tersebut masih menggantung sampai hari ini. Merasa nyaman di tengah Chanyeol dan Joon, tak lantas meyakinkannya untuk menjadi istri Chanyeol yang sebenarnya. Sampai saat ini pun, restu orang tuanya masih digunakan sebagai alasan.

"Kita bicarakan nanti, ya, Sunbae. Hari ini kita ajak main Joon dulu."

"Kau tidak berniat menerima ajakan Dongwook 'kan? Kita tidak tahu dia sebejat apa," ucap Chanyeol sok tahu.

Semua saja pria dikatakan tidak bermoral oleh pria itu.

"Dia baik Sunbae dan sangat pengertian."

"Jadi benar, kau akan menggantikanku dengan Dongwook?" tanya Chanyeol dari kesimpulannya sendiri.

"Jawaban ada padaku 'kan? Yang jelas, aku tidak akan memisahkan kau dan Joon."

Wajah Chanyeol berubah masam. Orang boleh menganggapnya tamak. Namun, yang ia inginkan bukan hanya Joon. Ia ingin mereka berdua dalam hidupnya.

***

Senyum kedua orang tua Chanyeol terukir saat pertama kali bertemu dengan cucu pertamanya. Cucu yang selalu didambakan. Anak itu membungkuk sopan, menirukan cara orang tuanya memberi salam. Bahkan, ia membungkuk lebih lama sampai neneknya maju dan mencium pipi bocah itu.

Meskipun masih kesulitan melafalkan halmeoni dan harabeoji, tingkah-polahnya berhasil mencuri perhatian. Sebisa mungkin ia berinteraksi dengan ayah dan ibu Papanya.

"Appa membeli flash card dan Playdoh. Ada di rak, kau bisa gunakan itu untuk Joon. Siapa tahu dia bosan dengan mainan darimu," ujar Chanyeol Appa menunjuk rak di sisi rumah yang dikelilingi oleh mainan anak. Padahal, mereka tidak biasa menerima tamu anak-anak. Untuk siapa lagi mainan sebanyak itu kalau bukan Joon?

Tanpa pikir panjang, Chanyeol mengambil beberapa boks yang terlihat seperti bungkus flash card.

"Joon, coba lihat, harabeoji punya apa? Ayo kita main dulu!" ajak Chanyeol saat Joon sedang berjalan-jalan, memperhatikan suasana rumah kakek-neneknya.

Anak itu segera berlari menghampiri Chanyeol seraya berteriak, "Main! Main!"

Ia duduk manis di pangkuan Chanyeol, menebak nama-nama hewan yang ada di gambar.

"A-beo-ji," ucap Joon terbata di tengah-tengah permainan. Ia menahan celana kakeknya.

"Joon ingin dengan Harabeoji?" tanya Chanyeol menunjuk ayahnya.

Joon mengangguk. Ia melirik kakeknya, lalu terkikik sok malu-malu.

"Baiklah, kau main dengan Harabeoji, ya, sekarang."

Chanyeol mundur dan mengusap punggung Joon sebelum beranjak. Kemudian, ia beralih menghampiri Gayoung dan Eomma yang sedang duduk di pantry.

"Lihatlah, Appa curang! Masa belum sejam, Joon langsung menempel."

Gayoung mencebik. "Denganmu juga tahu saat di supermarket dulu. Aku sampai takut kalau kau dikira penculik bagaimana."

"Ya! Dia menangis dan aku refleks menggendongnya. Aku yakin, dia terpaksa waktu itu. Masalahnya, pilihannya hanya kau dan aku. Wajahmu cukup jutek 'kan, mana mungkin dia mau."

Tanpa ba-bi-bu Gayoung mencubit lengan Chanyeol hingga pria itu mengaduh. Namun, tawa kecil lolos dari bibir Gayoung, kemudian, ia menepuk kursi di sampingnya, instruksi agar Chanyeol duduk di sana.

"Terima kasih, Eommonim, untuk sambutannya. Aku tidak menyangka kalian seperhatian ini pada Joon."

"Gayoung-ah. Kau menantuku satu-satunya. Bagaimana kami tidak menyambutmu. Apa lagi dengan adanya Joon sekarang. Kami sangat menantikan kehadiran kalian. Ucapan terima kasih tidak akan pernah cukup mewakili rasa bahagia kami," ujar Eomma tulus sembari membelai pipi Gayoung. Sudah lama, ia mendambakan seorang cucu dari mereka berdua. Bahkan, ketika keduanya masih belum menyadari perasaan masing-masing. Sayang, harapan tersebut sempat sirna, dan sekarang, ia tak ingin menyia-nyiakan kesempatan.

"Apakah Chanyeol masih merepotkan?"

"Sedikit. Sunbae selalu picky soal makanan dan Joon juga menurun kebiasaan ayahnya kalau diperhatikan."

Chanyeol tidak terima, ia pura-pura merajuk, "Joon tidak mau polong dan aku makan polong, ya. Jangan samakan dengannya!"

"Wah, tumben, tidak mau disamakan padahal kalau aku menegur Joon, ia akan marah dan mengatakan mereka tidak seperti itu," ucap Gayoung membela diri di depan Chanyeol Eomma.

"Masa kau kubiarkan mengatai anak sendiri."

"Tenang Gayoung-ah, saat kecil Chanyeol juga tidak mau polong," bisik Eomma diikuti tawa keduanya. Sementara itu, Chanyeol menyipitkan mata, bergaya ingin tahu.

"Maaf, kalau Eomma lancang. Kapan kalian berencana memberikan adik untuk Joon?"

Sontak Chanyeol tersedak air liurnya sendiri dan Gayoung refleks memijat tengkuk pria itu. Pertanyaan ini belum diantisipasi keduanya.

"Kami belum berpikir ke arah sana, Eomma. Sebenarnya, Gayoung sendiri belum mau mencabut tuntutannya. Aku selalu pusing setiap mengingat berapa banyak uang yang harus kubuang sia-sia di persidangan."

Sontak, Eomma menutup mulut dengan tangannya. Ia pikir mereka sudah benar-benar menatap masa depan sebagai sepasang suami-istri.

"Kita 'kan sudah bersama," ujar Gayoung menatap Chanyeol percaya diri.

"Jangan bercanda! Bersama dalam arti sebenarnya, ya. Bukan seperti pengagum rahasiamu yang kurang dianggap ini."

"Secara harfiah, ini arti dari bersama. Yang bagaimana lagi maksudmu?" goda Gayoung.

Chanyeol melirik Eomma, minta dukungan, "Umumnya suami-istri yang tinggal serumah tanpa dihantui sidang perceraian mereka."

Pria itu sudah tak segan mengungkapkan betapa ia menginginkan Gayoung sekarang. Kalau perlu sampai Gayoung jengah dan menyerah. Ia sudah pernah kalah dan ia tak ingin mengulangi lagi.

"Sabar, Sunbae."

Chanyeol pura-pura merajuk dan ia kembali menghampiri Joon dan Appa-nya.

Melihat ada sela, Eomma mengusap tangan Gayoung dan mulai bicara, "Sekali lagi, terima kasih sudah menghadirkan Joon dan membahagiakan anakku."

"Maaf, Eomma sempat kecewa dan berharap Chanyeol bersama wanita lain. Dasar anak itu keras kepala, ia bersikeras tidak akan menikah lagi. Bahkan, cincin pernikahan kalian tak pernah mau dilepas. Katanya untuk menolak bala."

Gayoung sedikit tertegun karena apapun yang dikatakan Chanyeol sebelumnya, ia yakin dengan pemikirannya sendiri kalau Jiwon yang diinginkan pria itu.

"Sekarang, Eomma percaya itu hanya alasan."

"Kau mengenal Jiwon 'kan? Jiwon itu perempuan baik-baik. Namun, setelah menikahimu, tak disangka ia tak melihat Jiwon seperti sebelumnya," tutur Eomma jujur, "sebagai orang tua, Eomma tahu, bukan dia yang terbaik untuk anakku. Eomma hanya berharap ia tak menghantui hidup putra Eomma, tapi semua kembali padamu. Kalau memang kau bahagia dan masih menginginkan Chanyeol, katakanlah. Jika tidak, biarlah kalian berdua mencari kebahagiaan kalian masing-masing."

Ucapan Eommonim-nya benar dan mereka tidak bisa terlalu lama hidup dalam kondisi seperti ini. Keberadaan Joon memang mendekatkan keduanya, tapi tetap tidak mengikat.

***

Tawa Gayoung tak tertahankan ketika mengingat wajah Chanyeol dan Joon yang tidur berhadapan dan mengeluarkan air liur di bantal‒saat bersiap pergi. Keduanya begitu mirip dan sama-sama sering memberikan desiran aneh dalam dadanya. Sampai-sampai, Gayoung tak tega membangunkan mereka hanya untuk pamit.

Boleh jadi, Jiwon menganggapnya egois dan tidak konsisten. Namun, kebersamaan dengan mereka adalah kebahagiaan utama Gayoung kini.

Keduanya juga menjadi alasan Gayoung pergi ke rumah orang tuanya tak lama setelah mentari terbit. Ia tidak ingin ada yang ikut campur dalam urusannya nanti.

"Mana cucu Eomma?" sapa Gayoung Eomma saat menyambut anaknya seorang diri.

"Joon masih tidur jadi aku datang sendiri. Eomma dan Appa sehat?"

Eomma memeluk Gayoung hangat, "Kami sehat, tapi akan lebih sehat jika ada Joon di sini. Kau bagaimana?"

"Aku merindukan Eomma," ujar Gayoung parau. Pelukan hangat Eomma yang sebenarnya ia rindukan. Sejak kembali ke Korea, ini kali kedua ia mendapat pelukan Eomma. Sudah tak ada lagi rahasia yang beliau pendam sehingga Gayoung Eomma bisa kembali bersikap sebagaimana mestinya.

"Sudah sarapan? Kebetulan Eomma-mu membuat dakjuk* kesukaanmu."

Kedatangannya hari ini tak direncanakan, ia sama sekali tidak menghubungi kedua orang tuanya. Namun, mereka menyambut seperti yang didambakan saat pulang ke Korea beberapa waktu silam.

Gayoung sadar, momen bernilai ini akan disayangkan jika dikacaukan.

"Bagaimana Joon? Sudah bisa apa? Kami rindu dengannya."

"Joon masih senang dengan berbagai alat transportasi dan ia mulai familier pada beberapa hewan."

Appa dan Eomma tersenyum puas. Jelas, keduanya merasa senang dengan perkembangan Joon. Memang lebih baik jika Joon bersama ibu kandungnya.

"Kalau dia masih susah makan polong, Eomma ada menu baru dari teman Eomma semalam. Nanti kau bisa mencobanya."

Meskipun ada Bibi Wang di rumah Jaemin, Gayoung tetap berusaha memasakkan Joon. Lagi pula, makanan Joon cukup sederhana meskipun tricky untuk nutrisinya.

"Syukurlah kalau kau sudah lebih ceria dan bisa beradaptasi dengan Joon. Appa ikut bahagia. Kami sempat khawatir kau marah pada kami karena sekian lama merahasiakan masa lalumu."

Sempat Gayoung kecewa, tetapi alasan di balik itu membuatnya mengerti bahwa tidak semua niat baik dapat disampaikan dengan bentuk sama baiknya. Mungkin, skenario itu juga jauh lebih tepat untuknya dan Joon.

"Terima kasih untuk semuanya, Eomma, Appa," ujar Gayoung berhamburan memeluk kedua orang tuanya.

Kini, Gayoung sedikit ragu bagaimana ia harus memulai, "Aku sangat bersyukur memiliki kalian sebagai orang tuaku. Waktu itu, berat rasanya menerima masa laluku yang kelam. Aku merasa tidak pantas untuk Joon dan siapapun."

"Astaga Gayoung-ah, kau Eomma-nya, kau yang paling mengerti Joon."

"Semoga, Eomma. Aku tidak sendiri, banyak orang-orang yang menyemangatiku. Selain Eomma, Appa, dan Jaemin. Bibi Wang dan Sunbae hampir selalu berada di dekat Joon. Maaf ... aku tidak bisa memisahkan mereka. Joon menginginkan Papanya begitu juga Sunbae."

"Bibi Wang sudah bilang‒"

"Appa," sela Eomma yang sepertinya ingin merahasiakan sesuatu.

Rahasia kalau sebenarnya Bibi Wang, rutin melaporkan apa yang ditemuinya di rumah Jaemin semenjak Gayoung kembali ke sana. Ya, Eomma memberikan pesan khusus itu. Beliau ingin memantau bagaimana Gayoung menyelesaikan masalahnya tanpa terlalu banyak intervensi.

"Aku harap ini tidak terlalu dini, tapi aku bisa melihat keseriusan Sunbae pada kami."

Tak bisa dipungkiri, di usianya sekarang, Gayoung harus lebih bijak dan matang menata masa depan, termasuk Joon di dalamnya. Chanyeol mungkin bukan satu-satunya pria mapan sebagai kandidat pasangannya. Namun, pria itu yang paling serius dan konsisten untuk berkomitmen. Dalam kondisi terpuruk —kehilangan Byeol— sekalipun, Chanyeol selalu menguatkan. Soal perasaan, itu bonus untuknya.

"Kalau soal Chanyeol, Appa belum punya alasan untuk menerimanya. Dia sudah menyakitimu seperti itu."

"Sebenarnya ini salah kami berdua, Appa. Mungkin aku terlihat sebagai korban, tapi kami yang mulai dengan perjanjian bodoh kami. Aku justru yang mengakhiri secara sepihak meski ia ingin menyelamatkan pernikahan kami saat itu, kalau Eomma dan Appa masih menganggapnya bersalah."

"Kalau suamimu selingkuh, mana mungkin kami berada di pihaknya saat itu. Apapun yang terjadi, keputusanmu menceraikannya adalah yang terbaik."

Gayoung bergeming, "Tapi Appa..."

"Memang, maumu sekarang apa? Kembali bersamanya?"

Ragu-ragu Gayoung bicara, "Aku ingin izin untuk memberikan kesempatan kedua pada keluarga kecil kami."

Eomma dan Appa saling memandang. Lantas, Appa meletakkan lap tangannya dan beranjak dengan wajah datar.

Justru Eomma yang merespon, "Kau tidak terpaksa karena Chanyeol mendesakmu 'kan?"

Appa belum bicara lagi, tetapi dari raut wajahnya, terlihat ia menunggu jawaban dari putri pertamanya.

Gayoung menarik napas dalam-dalam sebelum bicara, "Saat perjodohan, aku tak menemukan ketidakcocokan di antara kami. Secara logis, kami akan menjadi partner yang tepat. Namun, setelah menyelami perasaan satu sama lain, aku sadar kami belum selesai dengan urusan masing-masing. Meskipun, aku sangat mengharapkannya."

Beberapa detik wanita itu mengambil jeda.

"Aku sadar kalau aku sama sekali tidak layak. Kami tak sepadan. Aku menyusahkan. Bahkan pada darah dagingku sekalipun."

Suara Gayoung yang bergetar membuat Eomma beranjak memeluknya, "Astaga, Gayoung-ah, apa yang kaubicarakan?"

"Aku baik-baik saja, Eomma."

"Kalau tidak pantas, kenapa masih mau dipaksakan?" ucap Appa tenang. Tak lagi ia ingin mendikte anaknya, Gayoung sudah dewasa dan ia hanya bisa mengarahkan.

"Bukan memaksa ... sekarang aku sadar, mereka memerlukanku. Begitu juga denganku. Tidak ada yang sempurna di antara kami, tapi kami bisa saling melengkapi ketidaksempurnaan kami."

Kini Appa yang menghela napas dan mata Gayoung tak lepas dari Appa-nya.

"Maaf, kalau aku membuat Appa kecewa."

"Gayoung-ah, Eomma bahagia kalau kau bisa menghargai dirimu sendiri. Sudahlah, Appa... kenapa kau tidak ceritakan saja," ujar Eomma menengahi.

"Katakan saja pada pria itu," ucap Appa dingin.

Gayoung ikut beranjak, ia menahan tangan Appa-nya. Ia tidak akan melangkah tanpa restu kedua orangtuanya. Ia ingin melangkah dengan pasti sekarang.

Eomma yang tetap berada di kursi, angkat bicara,"Bilang saja pada Chanyeol."

"Eomma, tapi Appa belum memberikan izin."

Wanita itu menghela napas, "Ah, sudah hentikan dramamu, Appa. Appa sudah memberikan izin pada Sunbae-mu itu seminggu lalu. Semua dikembalikan pada keputusanmu. Kalau kau menginginkannya, Appa tak lagi keberatan."

Gayoung menatap takjub, ia tak percaya dengan pendengarannya. Bahkan, ia menoleh beberapa kali ke arah Appa dan Eomma-nya.

"Benarkah?"

"Siapa juga yang betah dihantui bocah itu setiap Sabtu pagi dengan alasan bermain golf. Appa bosan."

Diam-diam, Chanyeol berusaha mendekati Appa dengan rutin datang ke arena golf tempat ayahnya bermain. Tidak hanya itu, sebenarnya setiap Jumat malam yang diketahui Gayoung sebagai jadwal proyek baru. Ternyata, proyek dengan orang tuanya sendiri, untuk sekedar bercengkrama dan menyampaikan kondisi Joon dan Gayoung.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top