Part 24
Park Byeol.
Nama itu terngiang-ngiang di telinga Gayoung. Meskipun baru kemarin ia mendengar nama tersebut —lagi—, perasaannya hancur berkeping-keping. Berulang kali ia memaksa otaknya untuk mengingat sedikit saja kenangannya saat bersama Byeol atau sekedar mengetahui keberadaannya. Namun, hasilnya nihil.
Rasa rindu tanpa pernah bertemu membuncah dalam hatinya. Di matanya, tak ada yang patut dipersalahkan. Terkecuali dirinya sendiri.
Bagaimana bisa seorang ibu menjadi penyebab utama kematian putrinya dan melupakan semua?
Gayoung tak habis pikir dengan kenyataan yang terus menerus bercanda. Ia yakin, dunia pasti menertawakannya. Apa yang harus dia ceritakan pada Chanyeol tentang anaknya? Belum lagi, jika suatu saat Joon bertanya. Bagaimana ia bisa menatap mata kedua orang itu?
Bertemu keluarga intinya—yang tak terkait langsung— saja sudah membuatnya gusar dan malu. Tuduhannya sebelumnya lebih tampak seperti tameng. Tameng akan ketakutannya pada kenyataan. Ia tak sanggup berada di tengah-tengah mereka.
"Mau ke mana? Bukankah kaubilang hari ini cuti?" tanya Eomma mendapati Gayoung yang menjinjing duffel bag dan Joon bersamanya. Wanita itu berjalan menuruni anak tangga.
"Kami akan kembali ke Seoul."
"Secepat itu? Kalian baru dua hari menginap," sergah Eomma berupaya menahan anaknya. Ia percaya, kondisi putri pertamanya belum stabil.
"Besok aku harus masuk, Eomma. Sebaiknya juga, kami tidak merepotkan."
Padahal, tak sedikitpun Eomma merasa direpotkan. Ia justru khawatir kalau anak dan cucunya melakukan perjalanan jauh tanpa siapapun.
"Paman Lee akan menyiapkan mobil. Kau tunggu dulu."
***
Hanya beberapa menit Gayoung mampir ke rumah Jaemin, sekedar membuat Paman Lee —sopir keluarga Moon— tidak curiga. Kemudian, kakinya melangkah kembali, menuju ke rumah Chanyeol. Untung saja, pria itu sudah di perjalanan dan terdengar antusias mendengar kedatangan mereka.
Maklum, setelah insiden di rumah mertuanya, nyalinya ciut.
Rasa bersalah tak hanya merongrong jiwa Gayoung, tapi juga pria itu. Bahkan, kemarin saat melihat tangis histeris Gayoung, kakinya terpaku di tempat. Hilang sudah keberanian yang dipupuk selama ini.
"Aku pulang," teriak Chanyeol saat membuka pintu. Berharap akan ada sambutan dari Gayoung ataupun Joon.
Di saat bersamaan, teriakan renyah Joon terdengar, "Papa!"
Gayoung muncul di belakang Joon mengikuti anaknya, "Tumben, bisa pulang cepat?"
"Tak banyak yang perlu diselesaikan," jawab Chanyeol sembari melambaikan tangan pada Joon, mencegah bocah itu memeluknya.
Gayoung menghela napas. Ia meminta Chanyeol segera berganti pakaian dan duduk sembari menghidangkan teh hangat buatannya. Sementara itu, Joon kembali sibuk di ruang tengah dengan truk mainan. Tak hanya dari Chanyeol, ia juga tak terpisahkan dari mainan-mainan pemberian pria itu. Semakin sulit dipungkiri jika keduanya terikat begitu kuat.
"Sunbae, diminum dulu tehnya."
"Oh... ya, baik," jawab Chanyeol kikuk, segera menarik dan menyesap teh peppermint buatan Gayoung, "enak."
Belum ada kata yang lolos dari bibir Gayoung lagi, pandangan wanita itu terarah asal. Chanyeol sendiri masih merasa sedikit canggung bertemu Gayoung.
"Sudah lebih baik?"
Refleks kepala Gayoung menatap pria dihadapannya, "Apanya?"
"Hmmm... . Ya."
Mulut Gayoung memang mengeluarkan kata paling umum, yang justru membuat Chanyeol semakin khawatir pada wanita itu.
Apalagi, mata Gayoung sempat memejam, menahan sesuatu, "Aku tidak tahu harus bicara dari mana. Tapi aku minta maaf karena tidak bisa menjaga Byeol. Kalau kau ingin bertanya tentang putri kita, sekarang pun aku benar-benar tidak mengingat kejadian‒"
"Gayoung-ah. Kata itu seharusnya muncul dariku. Aku yang membiarkanmu pergi dengan mereka. Aku lalai menjagamu," potong Chanyeol tanpa bisa mengenyahkan rasa bersalahnya. Dari tadi, ia bingung bagaimana harus bicara. Hatinya juga hancur membayangkan kepergian Byeol tanpa pernah sekalipun mengetahui keberadaannya.
"..."
"Maafkan, aku."
"..."
"Aku yang meninggalkanmu, Sunbae," ucap Gayoung parau. Menurutnya, kesalahan Chanyeol tak ada apa-apanya karena ia yang memilih melangkah lebih jauh meskipun sudah tahu akan berpisah dari pria itu.
Chanyeol mendekati Gayoung. Ia berlutut dan menggenggam tangan wanita itu.
"Sama sekali bukan pembelaan, tapi dulu hubungan kita kacau. Masih gamang. Tidak tahu cara menjaga satu sama lain."
"..."
"Kita hanya ada di waktu yang tidak tepat."
Kalimat Chanyeol membuat Gayoung mendengus, "Jangan salahkan waktu! Aku yang memulai semuanya. Jika aku berani hidup di Toulouse sendiri. Jika aku tidak jatuh cinta padamu. Jika aku tidak menginginkanmu malam itu, semua tidak akan terjadi."
Telunjuk Chanyeol menghentikan gerakan bibir Gayoung.
"Jika itu terjadi ... tidak ada kita dan tidak ada Joon."
Ucapan Chanyeol menusuk tepat di jantung. Setelah semua ini, mana mungkin ia bisa membayangkan dunianya tanpa Joon.
"Kalau kau mau memberiku kesempatan, kita masih bisa berusaha memperbaiki semua," jelas Chanyeol meyakinkan Gayoung dan juga dirinya.
Ucapan Gayoung, terdengar lirih, "Tanpa Byeol."
Sudah semalaman Chanyeol meratapi kepergian Byeol. Memikirkan bagaimana jika semua terjadi sebaliknya. Sekaligus menyadari kalau pengandaian hanya dilakukan oleh seorang pengecut. Kini, hanya tersisa tekadnya untuk memperbaiki semua.
"Apakah keluargamu sudah mau mengatakan di mana mereka menyemayamkan anak kita?"
Gayoung menggeleng, kedua orang tuanya masih diam. Mereka merasa Gayoung perlu menguatkan hati sebelum —bisa jadi— ia kembali mengingat memorinya.
Chanyeol mengangguk mengerti. Sadar untuk tak memaksa siapapun sekarang. Ia hanya perlu bersabar.
Air mata Gayoung jatuh membasahi pipi, ia masih mengingat niatnya untuk datang.
"Terlepas dari itu. Karena kita sudah sama-sama tahu kenyataannya, bisakah aku minta Joon bersamaku setidaknya sampai sidang perceraian kita selesai?"
Chanyeol menatap Gayoung dalam, menebak arah pembicaraan istrinya.
"Dulu, aku menyetujui tinggal denganmu sampai persidangan selesai tapi—"
"—itu semata agar kau tak merebut hak asuh Joon. Bagaimana kalau aku akan memberikan hak asuh itu padamu? Apa kau masih tak membiarkan kami untuk saling mengenal sebentar saja?"
Kening Chanyeol mengernyit, "Dulu aku memang ingin kita tinggal bersama dan merawat Joon sampai perceraian kita sah."
"Kau bisa membawa Joon bersamamu nanti, tapi sekarang biarkan aku merawatnya sendiri," jelas Gayoung.
Bukan ini yang Chanyeol mau. Bersama Joon memang mimpinya. Namun, tidak dengan melepaskan Gayoung. Sebesar apapun kesalahannya, ia tak ingin lagi kehilangan orang-orang yang disayanginya.
"Papa! Papa!" teriak Joon menyela karena ia kesulitan menurunkan crane truknya.
"Ja-suk ja-suk."
Bocah itu berharap Chanyeol akan membantunya. Mengabaikan penawaran Gayoung, pria itu mendekati Joon dan dengan telaten membenahi bagian yang menyangkut.
Gayoung ikut mendekat. Ia bertopang dagu di satu dudukan sofa, bola matanya tertuju pada interaksi ayah-anak tersebut.
"Berhasil! Tos!" ajak Chanyeol setelah melepaskan bagian crane yang tersangkut.
"Tos!"
Kemudian, senyum Gayoung merekah, "Kalian sudah saling memahami sekarang. Pasti akan lebih baik kalau Joon tumbuh besar bersamamu. Aku akan menemuinya sesekali. Bagaimana?"
Chanyeol menatap Gayoung tajam. Mencaci dalam hati akibat istrinya yang dianggap meracau tidak jelas.
"Kaupikir Joon hanya perlu teman bermain? Siapa yang akan memikirkan gizi dan pendidikannya?"
"Kita bisa bicarakan itu, nanti."
Memang belum ada penegasan dari Chanyeol, tetapi ajakannya sebelum itu sudah jelas. Pria itu hanya ingin meyakinkan, "Meskipun belum ada izin dari orang tuamu, aku mau kita berdua yang membesarkan dan merawat Joon. Tidak sementara, tapi selamanya."
Gayoung menggeleng, matanya kembali berkaca-kaca, "Tidak perlu. Kau bisa menjaganya dengan Jiwon 'kan? Dia sangat mencintaimu. Aku rasa dia bisa menyanyangi Joon jika aku tidak berada di tengah-tengah kalian."
Chanyeol menghembuskan napas kasar. Ide dari mana Gayoung menyerahkan Joon padanya dan Jiwon. Wanita itu tidak ingin berpisah dengan Joon, bukan? Kecuali, ucapan Chanyeol tadi belum bisa mengembalikan kepercayaan dirinya.
"Gayoung-ah, Joon adalah bagian dari kita. Tidak ada yang lebih berhak dan pantas mengurusnya selain kita berdua. Sekali lagi, aku serius untuk hidup bersamamu. Bahkan, kalau aku bisa membatalkan gugatanmu, sejak dulu sudah kulakukan."
"Kalau kau batalkan, apa yang akan kau lakukan pada Jiwon Sunbae?"
Dalam hati Gayoung merutuki pertanyaan yang spontan mencuat dari mulutnya.
Meskipun Gayoung tak yakin kalau Chanyeol masih punya hubungan spesial dengan wanita itu, fakta akan Jiwon yang menghantui hubungan mereka tak bisa dilupakan. Chanyeol pun sadar, perkara Jiwon bukan hal mudah. Namun, ini bukan urusan Gayoung. Ia akan menyelesaikan janjinya dengan wanita itu, sendiri.
"Aku memang berjanji untuk menjadi Hanbin Appa, tapi tidak dengan menikahi Jiwon. Kalau aku memang ingin, sejak dulu aku sudah melamarnya lagi dan memastikan perceraian kita sah."
"Kenapa?"
"Ya.... Aku ... terlalu malas membina hubungan. Aneh.... itu tidak berlaku untuk kalian," ujar Chanyeol yang tiba-tiba kebingungan mengejawantahkan isi kepalanya.
Gayoung tersenyum meski ada keraguan. Apakah pria ini sekedar ingin menenangkan atau memang benar, ini adanya?
"Sunbae, tetap saja, aku tidak bisa," tolak Gayoung mempertimbangkan banyak hal. Baru beberapa minggu mereka mengenal, bisa jadi ini hanya keinginan sesaat. Restu dari orang tuanya pun belum tentu diperoleh. Terakhir, ia masih tidak siap hidup berdampingan dengan orang-orang yang pernah dilukainya.
"Aku tidak memaksamu menjawab sekarang. Kita punya waktu sampai sidang selanjutnya atau kita undur saja. Kalau kau mencemaskan orang tuamu, terlalu banyak kesalahanku dan wajar mereka melindungimu. Aku perlu buktikan kalau aku memang pantas. Biar itu jadi urusanku."
Pria itu tersenyum lega. Baru hari ini, Chanyeol bisa mengutarakan niat tulusnya dengan serius. Tidak perlu suasana romantis dan makanan mewah. Justru, berada di rumahnya sendiri, dengan secangkir teh hangat kesukaannya dan Joon di dekatnya, ia menjadi lebih tenang dan yakin.
Tak boleh ada kata gagal kali ini.
***
"Joon, jangan lari-lari! Astaga!"
Peringatan Gayoung hanya dianggap angin lalu oleh anak laki-lakinya. Ia melirik sekilas pada pria dengan kemeja hitam di sampingnya— meminta bantuan.
"Biarkan saja. Baru pertama kali, ia mengunjungi tempat ini. Joon pasti penasaran," ujar Chanyeol tenang. Memasang wajah jenaka ketika anaknya menoleh.
Tangan Gayoung mengusap dadanya sendiri, sebagai orang tua ia khawatir melihat anaknya berlarian ke sana kemari di bangunan besar yang terasa mencekam, terlebih untuknya sendiri. Langkahnya saja sudah berat selepas menginjakkan kaki di tempat parkir.
Pergerakan Gayoung terhenti di muka salah satu pintu kaca besar, masih di lantai yang sama. Sama sekali tak menyadari, Chanyeol terus berjalan di depan, mengekori Joon yang sibuk memperhatikan dan menunjuk-nunjuk sekelilingnya dengan antusias.
Wajah Gayoung menoleh menatap nomor ruangan. Kemudian, matanya terpejam dan ia bersuara, "Sunbae, ini ruangan yang dimaksud Jaemin."
Chanyeol berbalik menatap wajah sendu istrinya. Meskipun Gayoung sendiri yang mengajaknya ke tempat ini, tak sekalipun Chanyeol menemukan kesiapan dari gerak tubuh wanita itu. Ia hanya berusaha tegar.
Tak butuh waktu lama untuk Chanyeol mengajak Joon menghampiri ibunya yang masih termangu di depan pintu.
Pandangan Gayoung kosong. Ada pergolakan dalam batinnya.
Tanpa perintah, tangan Chanyeol mendorong handle pintu perlahan, memberikan ruang untuk Joon menyisip masuk.
"Hati-hati, ya!"
Anak itu mengangguk seakan mengerti peringatan ayahnya. Gerakan kakinya semakin pelan, tak lagi berlari. Masih ingin tahu, ia berjalan menelisik lemari-lemari kaca berisi guci, berhias bingkai foto dan benda-benda penuh kenangan sang Pemilik.
Sebelum beranjak masuk, Chanyeol mendapati tak hanya pandangan kosong Gayoung, netra wanita itu mulai berlapis air. Chanyeol mundur selangkah, melingkarkan tangan kiri di pundak Gayoung. Kepalanya condong, mendekatkan bibirnya ke telinga Gayoung dan berbisik, "Ayo, Gayoung-ah. Dia sudah menunggu kita."
Refleks Gayoung membuang muka. Sementara itu, satu tangannya menarik kemeja Chanyeol dan satu lagi menggenggam bucket bunga daisy.
Tanpa melepaskan rangkulannya, Chanyeol membimbing Gayoung untuk menghampiri lemari di sisi kanan. Di mana ia bisa menemukan guci berwarna putih bermotif sakura merah jambu. Dengan sebuah cetak foto janin berbingkai di sisi lain. Tepat di hadapan Joon yang sedang berdiri dan menengadah.
Perlahan jemari Gayoung menyentuh kaca pembatasnya dengan hasil cetak foto ultrasonografi yang tak berhasil diingatnya. Hatinya mencelus.
"Byeol, M-maafkan, Eom-ma," ucap Gayoung parau.
Pertahanan yang Chanyeol bangun sejak jauh-jauh hari ikut runtuh. Pandangannya kabur oleh genangan air mata. Sontak, air matanya mengalir deras. Tangisnya terdengar pilu.
Sama halnya dengan suaminya, Gayoung tak mampu lagi membendung tangisnya. Tangannya gontai hingga bucket yang dibawanya terjatuh ke lantai. Kedua tangan Gayoung membekap mulutnya sendiri, menahan isak tangis. Air matanya berderai. Suara isakannya tak lagi tertahan, semakin keras memenuhi seisi ruangan. Tubuhnya bergetar hingga lututnya terasa lunglai dan ia hampir terduduk.
Masih dalam tangis, tangan Chanyeol refleks menahan lengan istrinya, ia mendekap Gayoung, membiarkan wanita itu menangis dalam peluknya. Keduanya saling mengeratkan dekapan satu sama lain. Penyesalan selalu datang di akhir. Menyesali kegamangan ataupun sikap impulsif mereka di masa lalu.
"Eomma... Papa...."
Sentuhan tangan kecil pada kaki keduanya, menyadarkan mereka. Bocah itu menatap keduanya dengan wajah polos. Penuh harap.
Tangis Gayoung justru semakin menjadi dalam pelukan Chanyeol. Ia meremas kemeja depan Chanyeol dan menenggelamkan wajahnya pada dada bidang pria itu. Tanpa peduli dada pria itu basah oleh air mata.
"Bagaimana aku bisa menatap Joon sekarang, Sunbae?" lirih Gayoung.
Chanyeol tersenyum tipis pada Joon dan guci tempat abu putrinya disemayamkan. Dengan lembut, tangannya mengusap ubun-ubun Gayoung. Sesakit apapun hatinya, ia harus kuat, terutama untuk kedua orang berharga dalam hidupnya. Pria itu berbisik, "Kau mau mendengarkan aku?"
Tubuh Chanyeol berbalik dan kedua tangannya menangkup wajah Gayoung yang masih sembab. Ditatapnya netra istrinya lekat-lekat. Kedua ibu jarinya bergerak mengusap air mata Gayoung yang masih mengalir, "Kita hanya perlu bertahan, untuk selalu berada di samping Joon, merawat dan menyayanginya, Gayoung-ah."
Wajah Chanyeol mendekat, menepis jarak di antara keduanya. Pria itu mengecup sekilas bekas air mata istrinya dengan lembut. Namun, bibirnya tertahan lebih lama di kening Gayoung saat wanita itu akan terisak kembali. Kepergian Byeol menjadi pelajaran berharga untuk mereka. Mengerti arti mengasihi dan menjaga satu sama lain.
Kehadiran Joon pun akan selalu menjadi pengingat. Masih ada malaikat kecil yang menunggu dan membutuhkan mereka berdua.
Perlahan Chanyeol melepaskan pegangannya pada Gayoung, beralih menggendong Joon dengan satu tangan.
Jari telunjuknya menunjuk guci milik Byeol, "Joon, beri salam pada adikmu."
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top