Part 13

Masalah yang dihadapi Gayoung belakangan ini membuatnya tak nafsu makan. Bahkan, ia melewatkan jam makan malam karena perutnya terasa begah. Sementara itu, perkara tentang Joon dan keluarganya tak pernah hilang dari benaknya.

Semakin besar keinginannya memiliki Joon, semakin hancur perasaannya.

Perasaan seorang ibu yang tak punya ingatan soal kehamilan dan anaknya. Perasaan seorang anggota keluarga yang merasa dibohongi.

Perasaan seorang wanita yang dianggap memanipulasi.

Setiap rasa itu muncul, tak henti ia mengingatkan diri untuk mengumpulkan lebih banyak bukti hingga kesimpulan yang didapatkan tak terelakkan. Oleh dirinya dan siapapun.

"Allete, kau belum tidur? Bagaimana kabarmu?"

Sudah lama ia tidak berhubungan dengan Allete, wanita itu merespon dengan aksen Marseilles yang kentara meskipun ia mencoba bicara dalam bilingual, Bahasa Perancis dan Inggris.

"Justru aku yang harus bertanya, kau sudah bangun? So early! Quite well, you? I really miss you honey."

"Aku baik. Cukup merindukan Seoul ternyata. Bagaimana Marseille, membosankan?"

"Tidak juga. Sama sepertimu. Lama tidak pulang jadi sangat menyenangkan. Kau sehat kan? Setahun terakhir kondisi kesehatanmu lebih baik tapi tetap saja aku kepikiran."

Gayoung tertawa sekilas, rasanya seperti orang gila, mengingat orang-orang berempati pada gangguan mental yang dialami. Meskipun ia merasa kecil setiap orang di sekitarnya khawatir, ia masih bersyukur ada banyak orang yang menyayanginya.

"Allete, maaf kalau aku terlalu straight forward. Tolong untuk jujur menjawab pertanyaanku yang ini. Apa hanya karena perceraianku dengan Chanyeol aku harus menjalani terapi hampir dua tahun lalu?"

"Sejujurnya aku tidak suka topik ini. Yang jelas itu adalah masa terburukmu sampai Dohwan dan keluargamu setuju untuk menjalankan terapi yang beresiko. Aku bersyukur langkah tersebut membuahkan hasil sehingga kau hidup lebih tenang sekarang."

Tentu menjadi harapannya dan orang sekitar untuk hidup lebih tenang tapi tidak dengan menjadi buta terhadap realita.

"Ya. Tenang. Tapi... ketenangan ini, bukan karena ada yang disembunyikan kan?"

Allete terdiam beberapa saat. Entah karena pertanyaan Gayoung membingungkan atau memang tidak ada yang bisa dijawab.

"Disembunyikan?"

"Aku harap kaumau terbuka Allete. Ini aneh, apa mungkin aku punya anak setelah kembali ke Toulouse?"

"Kau bercanda? Astaga! Kalau kaupunya anak masa kau bertanya padaku? Memang kapan kau melahirkan dan mengurus anak? Kauingat kejadian terpeleset di depan flat kan?"

"Itu juga yang aku pikirkan. Aku tidak punya ingatan apapun soal melahirkan seorang anak. Aku khawatir kalau aku keguguran tapi ternyata aku tidak hamil."

"Akal sehatmu masih berfungsi dengan baik. Kau sendiri tahu 'kan jawabannya. Aku yakin kau kurang tidur jadi mengigau. Ini mimpi buruk Gayoung-ah. Jangan diingat!"

Ini bukan mengigau pikirnya. Semua terasa nyata, terlebih setelah kemarin Gayoung mendengar penuturan dan tuntutan Chanyeol. Padahal, hanya dari Allete ia bisa mendapat kejelasan. Tidak juga Dohwan karena pria itu bisa menyudutkannya habis-habisan dan bahkan memaksanya kembali ke Paris.

***

Resah tak akan bisa menjadi alasan untuk Gayoung menghindari Chanyeol. Ia harus mendampingi pria itu menyelesaikan pengambilan spesimen. Pria itu tak hanya menawarkan diri, bahkan memaksa untuk terlibat. Mungkin memang harus dengan campur tangan Chanyeol ia bisa mendapat titik terang. Karena percaya atau tidak, ia mulai ragu dengan keluarga ataupun orang terdekatnya.

Gayoung hanya perlu bukti konkret. Bukan terombang-ambing di antara informasi yang dijejalkan segelintir orang terdekat.

"Sudah selesai Sunbae?"

Sekeluarnya Chanyeol dari ruang pengambilan sampel, terlihat wajah Chanyeol yang jauh lebih serius. Semenjak intimidasinya terkait Joon, Chanyeol kembali bersikap dingin. Ia terlihat sangat mencurigai istrinya.

"Kau sudah sarapan 'kan? Kita langsung ke kantor saja," tutur Chanyeol sembari berjalan mendahului Gayoung.

"Aku harap kita akan mendapatkan kejelasan."

"Pasti. Cuma itu yang kuperlukan untuk mengembalikan apa yang harusnya menjadi milikku," tegas Chanyeol. Kali ini ia tidak main-main.

Hembusan napas Gayoung terdengar jelas, "Aku harap Sunbae tidak berekspektasi berlebihan. Tadi pagi aku bertanya pada Allete. Ia bilang, aku tidak pernah melahirkan. Bisa jadi itu memang anak Jaemin atau ... anak selingkuhanmu yang dikirim ke keluargaku untuk balas dendam."

Langkah Chanyeol tiba-tiba terhenti hingga Gayoung menubruk punggung pria itu. Kemudian, ia berbalik dan mendapati wajah Gayoung yang tak bergairah. Sama sekali tak tampak niatan memanipulasi keadaan kalau penilaiannya tepat. Walaupun, wanita itu sedikit menyesal mengutarakan dugaan yang tak masuk akal.

Ujung alis Chanyeol meninggi, "Allete temanmu di Perancis?"

"Iya, dia tinggal denganku dan merawatku."

Mata Chanyeol menyipit, ia benar-benar buta informasi soal Gayoung, tapi logikanya masih berfungsi, "Kau tahu? Sejak kau memanipulasi perceraian kita, aku lebih sulit percaya pada orang lain. Terutama kau. Tapi sekarang, kupikir keluarga dan teman-temanmu lebih sulit dipercaya."

"Maksudmu apa? Mereka yang bersamaku saat itu. Aku sendiri juga tidak yakin ... Joon itu anakku."

Chanyeol menatap mata Gayoung penuh kesungguhan.

"Kalau Joon anakku berarti dia anakmu. Sekeras apapun kau bersikap denial. Tapi, kalau kau tidak menginginkannya juga tidak masalah. Aku bisa mengasuhnya sendiri."

Wajah Gayoung semakin redup, ia menahan pergelangan tangan Chanyeol, "Aku hanya tidak ingin kita berdua sama-sama berharap hal yang tidak masuk akal."

Tanpa memedulikan raut wajah Gayoung, senyum sinis tersungging di bibir Chanyeol.

"Setelah seminggu, semuanya akan menjadi masuk akal."

Kalau Gayoung adalah pihak yang paling rambang, Chanyeol adalah yang paling tidak sabaran. Ia meminta pihak laboratorium untuk mempercepat tes dengan membayar lebih. Saat ini, Chanyeol hanya perlu memutar balikkan keadaan.

***

Drt... drt... drt....

Getar di ponselnya, membuat Gayoung melirik dan sedikit tidak nyaman melihat tulisan 'Eomma' terpampang di layar.

"Bagaimana kabarmu? Kau sehat?"

"Iya, Eomma, baru pulang kantor. Ada apa?"

"Ada waktu untuk video call? Joon ingin melihat wajah Imo-nya," ucap Eomma dengan suara berat.

Spontan Gayoung tersenyum bahagia.

"Oh, tentu Eomma. Aku rindu dengan Joon juga!"

"I-mo!" sapa Joon dengan wajah tersipu.

Senyum Gayoung terkembang melihat ekspresi bocah cilik itu.

"Joon, imo kangen padamu. Sudah makan?"

Bocah itu menoleh pada Gayoung Eomma meminta persetujuan,"Ma-kan? Ma-mam?"

Kemudian, setelah anggukan sang nenek, ia mengangguk mengiyakan, "Enak kah? Makan apa?"

Joon tampak serius berpikir, keningnya berkerut dan membuat Gayoung tertawa. Baru beberapa kosakata yang ia pelajari.

"Na-ci," jawab Joon menirukan neneknya.

"Nasi saja? Lauknya apa?"

"Naci a-ja."

Eomma ikut bicara, "Hari ini ia sudah makan ayam dan polong untuk makanan pendamping. Tanya-tanya. Memangnya kau mau memasakkan?"

Gummy smile tersungging di bibir Gayoung dan kikikannya terdengar nyaring, "Boleh, aku 'kan Imo-nya."

Eomma tak menyanggah, ia tampak tak bersemangat. Gayoung tak tahu seberat apa masalah yang dihadapi Eomma kala itu hingga beliau terlihat masih sakit hati dengan sikap Gayoung soal Joon beberapa waktu lalu.

"Joon hari ini main apa?"

Kemudian Joon mengangkat mobil-mobilan berwarna merah dengan logo Ferrari. Ternyata, ia sudah mulai mengerti arti kata bermain. Pasti itu adalah hadiah dari Jaemin. Terbesit di pikiran Gayoung untuk mengajarkan Joon banyak hal dan membanjiri keponakannya dengan mainan baru. Ia ingin punya peran dalam kehidupan Joon.

"Imo, si-ni."

"Joon, mau kapan?"

Bocah itu menjawab dengan anggukan, kesulitan menuangkan pikiran dalam kata.

"Imo masih kerja. Hari Sabtu ya kita bertemu."

"Sabtu?"

"4 hari lagi."

"Lama?" tanya Joon dengan raut bingung.

Gayoung mengerutkan kening, ia berusaha menggoda Joon.

"Iya lamaaa," rengek Joon kesal. Bocah itu berbalik menghadap tubuh neneknya, menyembunyikan wajah gembil memerah di dada sang nenek.

"Astaga! Kau ini justru membuatnya menangis!" tegur Eomma yang mulai kerepotan.

"Cup cup sayang, sebentar saja kok. Joon hanya perlu menunggu Imo."

Eomma mengelus ubun-ubun anak itu namun tangisnya belum selesai.

"Mau Imo ...."

Hati Gayoung mencelos. Tangis Joon membuat hatinya kembali pilu.

Ada sedikit rasa iri, mengapa Eomma berada sedekat itu dengan Joon. Apapun hasil tes DNA nanti. Ia tetap ingin bersama dan mengenal Joon lebih baik. Melihat tumbuh kembang bocah itu, sesuai dengan tempatnya.

Geser ya guys ke hari Jumat updatenya. Btw, buat yang baca dari "Life Mate", lebih greget yang mana dan kasih alasannya :)

Hope you enjoy!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top