Part 12
Bonus ya, aku update dua kali seminggu. Karena aku lagi seneng banget sama cover yang dibuat kimarmyla.
Tapi ya, at the end, hope you enjoy guys ;)
Jika ada yang berpikir Gayoung sudah menyerah soal praduga tentang Joon sebelumnya, mereka salah besar. Setelah tiga tahun berlalu, Gayoung masih belum berubah dari tipikal mastermind. Merencanakan apapun untuk menjawab pertanyaannya sendiri meskipun ia berperangai tak acuh. Diam-diam, ia memang melancarkan aksi tak terduga saat bermain bersama Joon. Menyimpan potongan kuku dan rambut Joon dengan hati-hati.
Hal tersebut menjadi tiket untuk memproses jawabannya di salah satu ruang tunggu laboratorium rumah sakit terkemuka di Seoul.
Ia hanya ingin memastikan apakah Joon lebih tepat memanggilnya Imo atau Eomma.
Mau bagaimana lagi, Gayoung tak bisa mengabaikan fakta bahwa beberapa bagian wajah Joon mengingatkan dengan mantan suaminya. Satu lagi, sikap keluarganya yang kerap mencurigakan membuatnya tak berhenti berprasangka. Walaupun ia sadar, ia sama sekali tak punya ingatan soal kehamilan ataupun melahirkan seorang anak.
Setelah berkonsultasi dengan dokter penanggung jawab, Gayoung menyerahkan sampel saliva Joon ‒yang diambil sangat hati-hati oleh Gayoung‒ dan bersiap untuk diambil sampel juga. Akan lebih akurat jika ada Chanyeol bersamanya tetapi untuk saat ini, ia merasa Chanyeol tidak boleh tahu apapun soal Joon.
"Kira-kira selesai Senin depan. Kami akan menghubungi Nyonya lagi."
"Apa tidak bisa lebih cepat? Saya harus mengetahui hubungan kami," pinta Gayoung yang terlihat sangat khawatir.
Dokter tersebut mengangguk paham. Pelanggannya selalu meminta cepat karena terkait kasus-kasus penting.
"Kami usahakan yang terbaik. Kebetulan banyak sampel yang harus diselesaikan laboran kami. Mohon untuk menunggu."
Mungkin tidak ada salahnya menunggu seminggu lagi pula kalaupun Joon memang anaknya, seminggu tak sebanding dengan berapa lama mereka berpisah.
***
+82XX-XXX-XXXX
Bisa kita makan malam hari ini?
Ada yang perlu kita bicarakan.
Sampai hari ini, Gayoung masih belum menyimpan nomor ponsel Chanyeol yang baru. Namun, ia masih bisa mengenali identitas pengirim dari riwayat percakapan sebelumnya. Tanpa memedulikan status sebagai rekan kerja, Gayoung tidak mau terlalu banyak berurusan dengan mantan suaminya, termasuk dengan tidak menyimpan kontak pria itu.
Apalagi ia menonaktifkan mode 'seen', Gayoung pikir ia tak perlu menanggapi dengan segera. Oleh karena itu, ia memilih menyibukkan diri membahas progres kerja dengan rekan satu timnya.
"Oh, Tuhan!" teriak Gayoung yang tak bisa menyembunyikan rasa terkejut saat kursinya tak sengaja menyenggol seseorang di sebelahnya.
Entah Chanyeol menyadari sikap Gayoung, tiba-tiba pria itu sudah menghampiri biliknya dan menatap dengan pandangan yang sulit dijelaskan.
"Kalau Anda sibuk dan tidak sempat membaca pesan, saya paham. Tapi tolong, periksa sebelum Anda pulang. Ini soal saya dan Anda."
Gayoung yang berusaha bersikap dingin, tengah melirik Chanyeol sementara kedua rekannya hanya diam mematung. Seorang Park Chanyeol tidak dalam jangkauan mereka selain membicarakan pria itu diam-diam.
"Nanti akan saya periksa."
"Saya harap jawaban Anda adalah iya. Jika tidak, saya tidak bisa menjamin untuk tidak melewati batas."
Ucapan Chanyeol membuat Gayoung menghela nafas. Baginya, saat ini pria itu sudah melampaui batas hubungan profesional. Namun, karena tak ingin menjadi bahan pembicaraan, wanita itu hanya mengangguk dan membiarkan Chanyeol berbalik pergi.
Ketika pria itu sudah tidak terlihat dari tempatnya duduk, salah satu dari timnya pun angkat bicara, "Sangmuisa-nim, saya bisa melihat dengan jelas kalau Anda tidak tertarik dengan Sajang-nim tapi saya yakin beliau sedang mendekati Anda."
"Bahkan sejak hari pertama," imbuh anggota yang lain.
Senyum Gayoung terpaksa terkembang.
"Jangan salah paham, bos kita memang akrab dengan anak buahnya. Begitu juga dengan Sangmuisa-nim Choi."
"Tapi dengan Anda... Ada sesuatu yang berbeda. Saya tidak bisa jelaskan."
"Semacam chemistry?"
Gayoung berdecak, "Chemistry dari mana? Kami tidak banyak berinteraksi selain dalam meeting. Tidak ada meeting yang menggunakan perasaan 'kan?"
Jawaban Gayoung tak lantas membuat kedua orang itu puas. Mereka sudah sering memperhatikan kedua atasan tersebut meski hanya lewat pandangan ataupun gosip dari yang lain. Terserah saja kalau Gayoung tak mengkonfirmasi, mereka tetap pada pendapatnya.
***
Setelah bekerja pun Gayoung tak menjawab pesan Chanyeol. Ia memilih pergi diam-diam di antara kerumunan staf yang lain. Malangnya, Gayoung yang sudah hampir berhasil kabur, mendapati bagian belakang blazer kotaknya tertarik sekeluarnya dari elevator.
"Aduh!"
"Kenapa? Kaget lagi?"
Gayoung menoleh dan tersenyum malu. Kemudian, ia menggigit bibir bawahnya.
"Kalau kau kabur, aku khawatir kita harus membicarakannya di meja hijau langsung. Meskipun aku sendiri bosan dengan cara itu."
Tubuh Gayoung bergerak menjauh untuk melepaskan pegangan Chanyeol.
"Memang soal apa? Tidak bisa disampaikan di sini."
Mata Chanyeol melirik ke sekitar, tampak beberapa karyawan lain di gedung tersebut memperhatikan, "Kau mau membicarakan tentang kita di sini?"
Gayoung menyadari hal yang sama dan cukup reaksi anggota timnya tadi sebagai peringatan, "Baiklah Sajang-nim. Saya ikut Anda."
***
Senyum Chanyeol merekah saat Gayoung tak bisa menyembunyikan ekspresi takjubnya pada keindahan kota dari salah satu lantai paling tinggi gedung kenamaan di Gangnam-dong. Undangan makan kali ini memang bukan serta merta untuk membuat Gayoung terkesan. Ia hanya mencoba memilih suasana terbaik untuk berbincang.
Terlepas, ia dan Gayoung sama-sama menyukai lansekap kota dari ketinggian. Sedikit banyak, pemandangan ini mengingatkannya pada malam terakhirnya bersama Gayoung.
"Suka tempatnya?"
Menyadari perhatian Chanyeol, Gayoung tersenyum tipis tapi Chanyeol tetap berlapang dada dan bersikap gentle, pria itu menarik satu kursi kosong untuk Gayoung.
Tak butuh lama untuk keduanya membaca menu kemudian memilih makanan pembuka sampai penutup.
"Foie Gras? Kau tidak salah menu? Sejak kapan kau mau makan itu?" cecar Gayoung spontan. Buat apa juga ia harus terlalu menjaga image di luar jam kerja.
Chanyeol menyandarkan punggung di kursi dan senyum smirk khasnya terukir.
"Kau perhatian juga. Sejak aku tidak bisa ke Perancis."
Untuk sindiran Chanyeol yang kesekian kali, Gayoung melengos. Tindakannya waktu itu terkesan berlebihan memang tapi itu adalah solusi paling efektif untuk mengakhiri hubungan.
"Kau tahu? Ulahmu tiga tahun lalu sangat kreatif dan tidak masuk akal. Mengarang cerita hanya untuk berpisah tanpa kesepakatan yang jelas."
Gayoung menaruh kembali serbet yang sudah dibuka ke meja, "Hanya ingin membicarakan itu? Aku pulang kalau topik Sunbae soal masa lalu."
Chanyeol menautkan jemari-jemari di kedua tangannya dan menatap Gayoung serius.
"Gara-gara sikap kekanakanmu, aku tidak bisa menghadiri beberapa undangan bisnis di Perancis. VISA Schengen-ku turun tapi aku didepak di Bandara. Astaga! Sangat memalukan bukan?"
Sebenarnya, Gayoung bisa mengatur semua bukan karena dirinya sendiri, ada Dohwan di belakangnya. Koneksi temannya itu memang patut diacungi jempol, Chanyeol sampai tak bisa menemui Gayoung dengan sabotase yang mereka buat.
"Jadi, kaumau aku membereskan izin tinggal dan berkunjung ke Perancis? Baiklah, akan kuhubungi temanku kalau hanya itu."
"Tentu. Aku ingin mengajak anakku menikmati kebun iris di musim semi."
Sontak Gayoung melotot, ia baru tahu kalau Chanyeol sudah memiliki anak tapi kenapa pria itu bersikap seolah Gayoung adalah wanita terakhir yang ia sentuh. Ya, terakhir bukan satu-satunya. Bisa jadi yang Chanyeol maksud adalah anaknya dengan Jiwon. Sampai hari ini pun Gayoung tidak tahu kejelasan siapa ayah anak yang dikandung Jiwon tiga tahun silam.
"Jadi, kapan aku bisa bertemu anakku?"
Gayoung menatap Chanyeol sinis.
"Mana aku tahu? Anak juga anak Sunbae. Kalau soal izin berkunjung beri aku waktu sebulan paling lama."
Gelegar tawa Chanyeol terdengar getir. Bahkan, saat pramusaji menghidangkan menu pembuka pun, pria itu masih tertawa, menyisakan tatapan kebingungan si pramusaji.
"Ayo makan!" ajak Gayoung ketika Tuna Tartare terhidang di atas meja.
"Silakan. Semoga setelah menghabiskan appetizer, kau mau bicara jujur."
Keduanya kemudian sibuk dengan makanan masing-masing dengan alasan berbeda. Gayoung yang sudah lapar dan Chanyeol yang tak sabar menanti jawaban.
"Jadi?" tanya Chanyeol tepat saat pria itu membersihkan bibirnya.
Kening Gayoung berkerut. Menurutnya, pembicaraannya dengan Chanyeol terlalu absurd.
"Bisa tidak diajak bicara baik-baik?"
"Mau sampai kapan kau akan memisahkanku dengan anakku?" imbuh Chanyeol sehingga Gayoung semakin bingung.
"Kau sepertinya sedang mabuk padahal kita belum minum wine."
Respon Gayoung yang seadanya membuat napas Chanyeol menderu. Pria itu tampak mati-matian menahan emosi.
"Aku ingin bertemu Joon. Park Joon."
Pegangan sendok garpu Gayoung melonggar hingga kedua benda itu terjatuh ke lantai. Baru siang tadi ia mengajukan tes DNA dan Chanyeol dengan cepat melayangkan tuduhan, "Joon anak Jaemin?"
Pria itu tampak tak suka.
"Jaemin adikmu?"
Samar-samar terlihat anggukan Gayoung, tapi wajah pias wanita itu sungguh kentara. Ia takut.
"Candaan macam apa ini? Kaupikir sulit untukku sekarang mengambil Joon darimu. Sekali lagi, kusampaikan baik-baik kalau aku ingin bertemu Joon. Bisa-bisanya kau menyembunyikannya semenjak mengandung sampai ia bisa berjalan. Lalu, seenaknya seperti orang tidak kenal ketika bertemu di Busan. Sengaja?"
Sembari menenangkan diri, Gayoung mulai bicara, "Sepertinya kau salah paham. Soal Joon, aku mengira dia anakku tapi aku tidak punya ingatan soalnya. Jaemin bilang itu anaknya dan aku sendiri masih melakukan tes DNA."
Wajah Chanyeol tak lagi bersahabat, bahkan ia semakin kesal dengan Gayoung yang tampak tak tahu apa-apa. Kalau ada orang yang harus bertanggung jawab atas keabsenan Chanyeol dalam hidup putranya, jawabannya hanya Gayoung.
Kemudian, pria itu mengeluarkan ponsel dan menunjukkan sebuah foto dokumen yang diambil dari kantor kependudukan Busan. Dokumen yang sudah dipastikan kebenaranya pada beberapa pihak.
Jantung Gayoung seakan berhenti berdetak. Meskipun ia menginginkan Joon sebagai anaknya. Bukti yang ditemukan justru membuat perasaannya campur aduk.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top