Part 06
Menyesali kebodohan Gayoung semalam, wanita itu ogah-ogahan berangkat ke kantor. Ia tidak tahu bagaimana harus bersikap saat bertemu dengan Chanyeol karena pria itu pasti juga akan menertawakan tingkah bodohnya.
"Sangmuisa-nim Moon, selamat pagi. Bagaimana kabarmu?" sapa Sangmuisa-nim Choi di dalam lift.
"Selamat pagi. Saya pikir, saya datang paling pagi ternyata Anda sudah datang juga."
Pria di akhir usia 30 itu mengangguk, ia menjelaskan perihal persiapan rencana kerja timnya sebelum CEO mereka bertanya. Sikap sang CEO sudah membuat personil lain kelimpungan untuk bertindak cepat. Mereka tidak ingin bernasib serupa dengan CMO yang posisinya seakan dikudeta oleh atasannya sendiri.
"Bagaimana saya harus mengatakannya, Tuan? Tapi saya harap tidak akan terulang lagi kejadian seperti kemarin. Ia memperlakukan saya seperti tidak ada nilainya, bahkan asal Anda tahu, Sajang-nim tidak berkata apapun soal tugas itu sebelumnya. Apa salah saya?"
Pria itu tertawa mendengar respon rekan kerjanya. Kalau ia yang ada di posisi tersebut, ia juga akan sama kesalnya.
"Tenang, Anda sedang kurang beruntung saja. Tapi saya berterima kasih dengan kepedulian Anda kemarin. Bisa-bisa kami tidak makan kalau Anda tidak menginterupsi dan membelikan makan siang."
Ini lagi hal yang Gayoung benci dari Chanyeol, pria itu sering melupakan jam makannya. Ketika skala kepemimpinannya semakin besar pun, ia membawa anak buahnya dalam gaya hidup tidak sehatnya.
"Minam yang membelikannya. Saya hanya mengkoordinir."
"Anda benar, tapi memang orang seperti Anda diperlukan dalam meeting-meeting kami karena Minam sendiri sepertinya tidak seberani Anda untuk menginterupsi bos barunya."
Gayoung hanya tertawa kecil mendengarnya jadi ia sekarang terdengar lebih cocok menjadi sekretaris CEO dari pada CMO Beauté sendiri. Well, terserah sajalah. Dia hanya ingin bekerja hari ini.
***
Sebelum memulai riset, Gayoung bertemu dengan dua personil baru, hasil wawancara Tuan Kang sebelumnya. Ia menjelaskan mengenai Beauté secara general dan detail divisinya. Gayoung menyayangkan, akibat kemarin Chanyeol menyita waktunya seharian untuk rapat, kedua orang tersebut terkatung-katung tanpa briefing terkait divisi. Oleh karena itu, hari ini keduanya perlu melaksanakan training online mandiri sampai siang nanti.
Berdasarkan hasil meeting kemarin, mereka punya tiga kota untuk diteliti, Seoul, Incheon, dan Busan. Gayoung pun harus memutar otak, di mana ia akan membagi lokasi riset untuk mereka bertiga. Ya, Gayoung akan tetap ikut. Ia belum punya banyak anak buah untuk membantunya.
"Sangmuisa-nim Moon, bukankah hari ini riset harus sudah dimulai?"
Serta merta Gayoung mendongak dan matanya bersirobrok dengan netra gelap yang tengah manatapnya dari depan kubikel.
"Benar, Sajang-nim. Saya akan berangkat sebentar lagi dan tim saya menyusul setelah menyelesaikan training yang seharusnya saya berikan kemarin."
Ada niat menyindir dalam ucapan Gayoung.
"Oh, pukul 9? Saya tunggu di bawah," jawab Chanyeol sebelum berbalik meninggalkan Gayoung.
Gayoung refleks berdiri mendengar jawaban tersebut, "Ada lagi yang perlu saya bicarakan dengan Anda di bawah?"
"Banyak."
"Bagaimana kalau besok karena saya akan berangkat sebentar lagi?"
Chanyeol mengerling di tempatnya, "Kita bisa bicara di jalan Sangmuisa-nim. Saya perlu ikut riset juga. Saya harap sudah jelas."
Tidak terima dengan perintah Chanyeol, Gayoung yang sudah selesai mengemasi barang, mengambil tasnya dan menyusul pria itu.
"Tentang apa? Hari ini saya ingin fokus dengan riset. Sebaiknya untuk topik lain, bisa bicarakan besok."
Kening Chanyeol berkerut, "Baiklah, kita diskusikan besok."
Respon cepat pria itu sedikit mengejutkan Gayoung. Tanpa sanggahan, tetapi ia juga berjalan ke luar kantor menuju elevator. Tentu, Gayoung menjadi waspada, bagaimana kalau pria itu akan berubah pikiran.
Ketika lift sudah sampai di lantai dasar, semata-mata hanya formalitas Gayoung berpamitan.
"Memang Anda akan ke mana?"
"Sepertinya saya sudah bilang, saya akan melakukan riset di Busan. Permisi."
Chanyeol mensejajarkan langkahnya dengan CMO di sampingnya, dan wanita itu menatap sinis.
"Kenapa Anda mengikuti saya?"
"Saya akan ikut riset pasar."
Sempat terpikir Chanyeol akan berulah, tapi tetap saja ia belum punya strategi.
"Untuk apa Sajang-nim? Saya rasa, tadi saya sudah mengatakan saya ingin fokus dan Anda menyetujuinya."
"Iya. Saya setuju dengan tidak membahas topik lain, tapi Anda tidak membantah saat saya mengatakan akan ikut bukan?"
"Saya tidak dengar."
"Jadi, saya tetap akan ikut."
"Saya bisa sendiri. Kalau Anda ingin membantu sebaiknya Anda menemani salah satu anggota tim saya. Mereka masih newbie."
"Siapa yang akan membantu? Anda juga masih baru. Begitu juga dengan saya Sangmuisa-nim Moon."
Argumen Chanyeol sukses membuat Gayoung menjerit dalam hati. Setiap Chanyeol menjadi pria keras kepala, di situlah pertikaian mereka tak terelakkan Pria itu tidak mau mendengar orang lain dan terlalu percaya diri. Dan, Gayoung sebelas dua belas dengan pria itu.
"Anda punya pekerjaan lain yang lebih penting di atas."
Chanyeol tertawa mengejek,"Benarkah? Sepertinya Anda lebih paham tentang pekerjaan saya."
Kali ini Gayoung tidak peduli kalau ia menjadi tontonan, emosinya tak dapat ditahan.
"Ya Sunbae! Berhenti mengganggu hidupku. Bertindaklah profesional!"
Pandangan beberapa orang di lobby gedung kini tertuju pada mereka dan Chanyeol masih berlagak tenang, "Anda yang tidak profesional. Pertama, panggilan itu bukan untuk atasan Anda. Kedua, saya bisa memilih akan fokus ke bidang apa untuk dikerjakan tergantung assessment saya. Terakhir, marketing adalah hal yang kritikal, kemarin sebagian besar ide dari saya. Jadi, biarkan saya melihat pelaksanaannya. Paham?"
Wajah Gayoung masam. Untuk kesekian kalinya, ia dipermalukan. Ia yang tak nyaman menjadi bahan tontonan dan pria di depannya sudah sangat memaksa.
"Baik Sajang-nim."
***
Popularitas Park Chanyeol sudah tak bisa diragukan. Terutama di kalangan pemuda Kota Busan. Entah karena kharismanya ataupun prestasinya. Dengan suka cita para pemuda menghampiri mereka dan bersedia mengisi kuesioner ataupun menjawab wawancara singkat keduanya.
Sesekali Chanyeol memberikan bonus foto bersama jika mereka meminta.
Kekesalan Gayoung bisa sedikit teredam dengan pencapaian target yang lebih cepat dengan bantuan pria itu.
"Kaumau diantar ke rumahmu di Busan atau Seoul?" tawar Chanyeol tanpa menoleh.
"Saya bisa pulang sendiri. Terima kasih, Sajang-nim," jawab Gayoung sambil membungkuk sopan.
"Kaupikir ucapan terima kasih cukup? Apa tidak sebaiknya kau mentraktir makan?"
Gayoung tersenyum ketus, "Bukankah Anda sukarela membantu saya? Gaji saya juga dari Anda."
"Ah, kau ini. Ya sudah kita makan dulu. Kita belum pernah mencoba milmyeon. Aku bayar sendiri. Temani aku makan saja. Satu lagi, setelah jam kerja, berhenti bicara formal."
Jujur saya, Gayoung tercengang dengan perubahan sikap Chanyeol hari ini. Seolah keduanya adalah teman lama.
"Maaf, Sajang-nim, bukankah kita sepakat untuk bersikap profesional. Meskipun di luar jam kerja, Anda tetap atasan saya."
Kebaikan Chanyeol tak semudah itu bersambut. Ia tak mau banyak berharap, hanya ingin berkawan. Cukup.
"Apa kalau Jaemin atau Jaehyun menjadi kolegamu, kau akan tetap menganggapnya kolega saat di rumah? Tidak 'kan?"
"Anda bukan saudara saya."
"Tapi, aku pernah menikah denganmu," ujar Chanyeol enteng. Ia tak bisa melupakan fakta kalau mereka juga pernah menjadi keluarga sebelumnya.
Mata Gayoung terpejam dan tangannya mengepal sempurna. Kebenaran ucapan pria itu semakin membuatnya ingin mengenyahkannya segera.
"Tidak ada mantan suami-istri pergi makan berdua."
Gayoung berbalik meninggalkan Chanyeol tanpa peduli reaksi pria itu. Kalau di luar pekerjaan pria itu menganggapnya mantan istri, mereka tidak seharusnya berjalan bersama yang akan menimbulkan tanda tanya untuk orang terdekat. Kalau perlu, mereka tidak boleh terlihat saling mengenal.
"Tunggu, apa salahnya kalau kita berteman?" ajak Chanyeol dengan tulus. Ia berlari mengejar Gayoung dan menahan pergelangan tangan wanita yang tak lebih tinggi dari telinganya. Perceraian mereka sudah melalui berbagai tahap persidangan yang alot, tapi bukan berarti mereka harus bermusuhan dan menghindari satu sama lain. Lagi pula, tidak ada yang menjadi sengketa. Tidak ada harta ataupun anak.
Wanita itu merasakan gelenyar aneh akibat sentuhan Chanyeol. Sudah lama, ia tak merasakannya. Namun, saat kesadarannya kembali, ia menghempaskan tangan pria itu. Chanyeol menggaruk tengkuknya frustasi.
"Kita harus berteman Gayoung-ah. Setidaknya agar kau tidak kelepasan bersikap emosional di kantor."
"Tidak mau!" teriak Gayoung dengan wajah kesal.
Kemudian, Chanyeol justru tertawa sinis, "Astaga, kau kejam sekali. Kau yang menceraikanku sepihak karena menyelingkuhiku, tapi sekarang kau yang menolak pertemanan. Lucu."
"Ya. Kau tidak seharusnya berteman dengan pengkhianat. Aku pergi!" pamit Gayoung, berlalu meninggalkan mantan suaminya tanpa menoleh.
***
Gayoung tak benar-benar meninggalkan tempat tersebut, setelah perdebatan keduanya. Ia yakin, tekanan darahnya sudah naik sekian mmHg hingga kepalanya pening.
Berhubungan dengan mantan bukanlah pilihan yang tepat. Urusan pekerjaan memang menuntut profesionalitasnya. Ia harus sadar kapan boleh melawan dan tidak. Namun, untuk hubungan pribadi, tak ada batasan dan berpura-pura menjadi orang asing adalah solusi terbaik.
Sembari membunuh waktu, Gayoung berkeliling mall seorang diri. Hal yang tak pernah dilakukannya selepas lulus sekolah.
"Huaaa.... "
Fokusnya buyar saat ia mendengar tangisan seorang bayi. Telinganya seperti tersengat listrik sehingga ia ingin segera beranjak. Sampai saat ini, ia tak bisa mengenyahkan rasa tak nyaman berada di sekitar anak-anak.
"Huaaa...."
Rengekan selanjutnya membuat Gayoung mempercepat langkahnya pergi.
"Huaaa...."
Pada tangisan ketiga, ia berbalik, mengurungkan niat, dan mendatangi asal suara. Matanya bersirobrok dengan mata makhluk kecil yang kini menatapnya dengan penuh harap. Sedetik kemudian, tangisnya makin kencang. Gayoung bisa melihat dengan jelas mata bocah itu berlinang air mata dan wajahnya yang sudah sangat merah.
Namun, ia semakin gamam. Tak hanya ia yang tersiksa, anak-anak itu pasti ketakutan melihatnya.
***
Sikap Gayoung sama sekali tidak digubris oleh pria itu. Ia tetap pada pendirian bahwa keduanya harus berteman dengan baik. Semata-mata untuk pekerjaan dan akan lebih baik jika kesalahpahamannya bisa terurai.
Langkah pertama yang bisa diambil adalah mengantar pulang. Ya, ke mana pun wanita itu akan pergi.
Lagi pula, ia tak bisa percaya kalau Gayoung mampu menjaga diri pasca penyerangan yang dialaminya dulu. Wanita itu layak dilindungi.
Kini, diam-diam Chanyeol membuntuti wanita itu. Entah penyamarannya yang sempurna atau Gayoung tak peka.
"Huaaa.... "
"Huaaa...."
Terdengar suara tangisan bayi sementara itu Chanyeol memperlebar langkahnya akibat Gayoung sedikit berlari. Tak lama, Chanyeol terdiam, mendapati Gayoung terlihat gelisah. Seperti ada yang mengganggu pikirannya.
"Huaaa...."
Namun, Gayoung berbalik mendekat tanpa bergeming. Sementara itu, wajah anak itu sudah kembang kempis menghentikan langkah Gayoung.
Tanpa sadar, ada dorongan di pikiran Chanyeol untuk mengambil alih.
"Yaa! Kau tidak bisa menenangkan tangisan anak?" Chanyeol berteriak dan mendahului Gayoung mendekati anak kecil tersebut.
Gayoung menoleh dengan wajah tak acuh. Ia merespon dengan gelagapan,"Me-mang a-ku baby sitter-nya. Dia justru menangis saat kudekati. Buat apa?"
Chanyeol membuang napas kasar, ia mengangkat anak itu tinggi-tinggi, mencoba berinteraksi seakan mengajak bercanda. Ajaibnya, anak itu mulai tenang, meski matanya masih berkaca-kaca.
"Hati-hati pegang anak orang. Kalau kau dikira penculik, aku pura-pura tidak kenal."
Chanyeol yang masih asyik bermain dengan bocah itu, mengabaikan ucapan Gayoung.
"Kalau orang tuanya datang dan salah paham bagaimana? Jangan dekat-dekat anak orang!"
"Salah orang tuanya sendiri ceroboh. Kenapa anaknya ditinggal di toko peralatan rumah tangga?"
Pernyataan Chanyeol tak sepenuhnya salah. Kemudian, Gayoung memperhatikan lebih detail figur wajah anak itu. Mata, bibir, dan telinganya terlalu mirip dengan pria di hadapannya. Bahkan, Gayoung mendongak, menatap lamat-lamat wajah pria itu lagi dan membandingkan.
"Kenapa memperhatikanku? Tampan?"
"Ini anakmu 'kan?" tanya Gayoung dengan polos.
Chanyeol justru tertawa terpingkal-pingkal, masih menggendong anak tersebut. Lucunya, anak itu ikut tertawa melihat tingkah Chanyeol.
"Kalau begitu, kau pasti Eomma-nya. Justru aku yang harusnya bertanya, kapan kau melahirkannya?"
Mata Gayoung melotot dan berlalu meninggalkan pria itu untuk kesekian kali.
"Ya! Mau kemana? Kita pulang bersama," ucap Chanyeol yang tak lagi menunda ajakannya. Mau kapan lagi.
"Tidak dengan membawa anak itu!"
"Berarti tanpanya kita bisa pulang bersama 'kan? Ayolah, ada yang ingin kutanyakan padamu. Sebelumnya, kita harus membawanya ke pusat informasi Gayoung-ah. Aku juga bingung mengapa pihak toko sama sekali tidak menyadari keberadaan bayi lucu ini," ujar Chanyeol sembari menjulurkan lidah pada anak itu.
Tanpa memberikan jawaban persetujuan, Gayoung melangkah menuju pusat informasi untuk mencari orang tua ataupun keluarga bayi tersebut. Dalam 10 menit, tidak ada yang datang, keduanya saling bertukar pandang.
"Kau buru-buru, ya?" tanya Chanyeol.
"Keretaku akan jalan 10 menit lagi, tapi kita tidak bisa meninggalkan anak ini."
"Apa kau berani naik kereta sendiri? Kita tunggu 5 menit lagi, setelah itu aku antar kau pulang ke Seoul."
Gayoung mengangguk. Pulang bersama Chanyeol adalah solusi yang tepat karena ia sama sekali tidak nyaman meninggalkan bocah kecil itu hanya dengan petugas informasi. Terus terang saja, mata bocah itu memperhatikannya dan Chanyeol sejak tadi, seperti menganalisis dua orang asing yang telah membawanya pergi.
"Dari tadi kau yang gendong. Sini denganku."
"Apa?"
"Aku mau menggendong," ujar Gayoung pelan.
Chanyeol menyerahkan anak itu pada Gayoung dan bocah kecil itu cukup kooperatif. Entah karena kelelahan menangis, tangisnya sudah reda dan menyisakan sedikit air mata di pelupuk mata. Kemudian, ia meletakkan kepalanya di pundak Gayoung hingga tertidur.
"Joon-ah!" teriak seorang wanita di awal 20 tahun tak lama setelah Gayoung membawanya.
Tanpa diduga, Chanyeol langsung menghadang wanita itu di depan Gayoung, "Agashi, Anda benar-benar ceroboh meninggalkan anak kecil di tempat umum seperti ini. Bagaimana kalau ia diculik?"
Wanita itu tampak pucat, ia meracau seperti ketakutan, "Tadi Joon lepas! Aku... Aku... mencari barang yang harus dibelanjakan—"
"Memang kalau sudah belanja lantas lupa dengan anak Anda?"
"Boleh kemarikan Joon, Nyonya. Eomma saya bisa marah kalau tahu," ujar wanita tersebut memelas.
Chanyeol tertawa sinis, "Ini adikmu? Bisa, ya, kau lalai. Kalau aku tak mau menyerahkan bagaimana? Dia nyaman sekali digendong istriku."
"Sunbae...."
"Tuan, tolong...."
Gayoung maju beberapa langkah, menyerahkan anak itu pada gadis berpipi chubby.
"Jaga baik-baik, ya. Maaf, kalau dia berkata kasar."
"Aku hanya mengingatkan orang lalai sepertinya," sanggah Chanyeol.
"Terima kasih Tuan dan Nyonya," ujar wanita tersebut kemudian berlalu pergi bersama anak tersebut. Sementara pandangan Gayoung dan Chanyeol mengikuti.
Setelah mengucapkan terima kasih pada petugas informasi keduanya berjalan beriringan menuju tempat parkir.
Awalnya, mereka tetap diam sampai Chanyeol memulai, "Kemarin malam kenapa ke rumah? Pakai menyebut plat mobilku. Ada yang penting?"
"Oh, ada apa?"
Chanyeol mengulang pertanyaannya.
Hilang sudah rencana Gayoung untuk memarahi sopir tidak bertanggung-jawab yang menyiramkan air. Ia tidak terlalu bergairah.
"Bukan apa-apa."
"Kenapa pergi ke rumah kalau begitu?"
Sebelum menimbulkan kesalahpahaman, Gayoung memilih untuk bicara.
"Kata security, sopir yang melintasi genangan air dan membasahi bajuku tinggal di rumahmu."
Chanyeol melotot, ia baru ingat, wanita yang disiramnya waktu itu adalah Gayoung.
"Astaga! Kau baik-baik saja? Tapi, kenapa kau berjalan sedirian seperti itu. Bukankah bahaya?"
Tidak, Gayoung tak ingin mendapat perhatian semacam ini dari pria itu, ia menggeleng.
"Oh, Sunbae, kau tidak penasaran dengan anak tadi?"
"Dia sangat mirip denganmu, entah kau sadar atau tidak," imbuh Gayoung pelan.
"Aku katakan sekali lagi. Tidak!"
"Kau yakin tidak pernah melakukannya dengan seseorang mungkin dalam setahun atau dua tahun terakhir? Aku, hanya khawatir."
Chanyeol menghentikan langkah kakinya, ia berbalik menatap Gayoung dengan tatapan tajam.
"Dari pada kau penasaran. Aku tidak pernah melakukannya dengan siapapun setelah malam itu. Kenapa kau bertanya terus?"
"Jangan bilang kau cemburu!" ucap Chanyeol di luar dugaan, dengan senyum smirk yang selalu Gayoung benci.
Iseng update tambahan ya gaes karena garis besarnya udah kelar. Tapi rencananya tetep review dan update seminggu sekali. Semoga ku sempat mereview nantinya.
Semoga juga ini bisa menjadi salah satu alasan kalian buat stay at home ya. Tbh, aku sedang sangat sedih-sedihnya karena awareness orang yang menurun saat ini. Kalau dilihat dari kurva, jumlah pasien di Indonesia masih meningkat signifikan lo. Jujur, aku masih kontra dengan 'new normal' untuk sekarang. PSBB nggak efektif kok mau 'new normal'. Bukannya nggak peduli dengan ekonomi tapi masyarakat belum siap dan belum ada prosedur valid untuk menyiapkan gaes.
Perlu kita sadari kalau wabah, entah endemik ataupun pandemik, itu bukan tugas segelintir orang apalagi tenaga medis saja. Ini PR kita bersama gaes. Jadi, mari bertindak dengan bijak.
Yuk lindungi Indonesia :)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top