Part 03
"Eomma!"
Tak bisa menghalau rasa paniknya, Chanyeol berteriak memasuki kamar rawat Eomma-nya. Sementara itu, wanita yang dikunjungi, tersenyum senang menemukan putranya datang menjenguk.
"Pasti dia berlarian masuk rumah sakit!" sindir Eomma saat menemukan wajah pias putra kesayangannya.
"Appa sendiri yang menghubungi. Tentu aku khawatir terjadi sesuatu pada Eomma."
Benar, memang ada yang terjadi pada Eomma. Tiba-tiba, dadanya sesak dan kemudian beliau pingsan padahal baru setengah tahun lalu ring dipasang di pembuluh darah jantung dengan harapan tubuhnya kembali pulih.
Chanyeol refleks mengambil kursi dan duduk di samping Eomma, menggenggam dan menciumi tangan wanita tersebut yang bebas dari infus.
"Aku takut."
"Apa yang kau takutkan?" tanya Eomma dengan suara parau.
"Eomma tak mau lagi menemaniku."
Kemudian, Appa nya kembali tertawa. Sejak dulu, Chanyeol adalah mommy boy, kecuali saat pria itu bersama Jiwon atau di saat terakhir pernikahannya. Tapi sekarang, ia kembali menjadi anak yang selalu menempel pada Eomma-nya. Sejak kembali tinggal di Seoul, Chanyeol selalu pulang ke rumah di akhir pekan, selama tidak ada pertemuan bisnis.
Eomma-nya sampai resah, khawatir putranya ini akan kesulitan mencari pasangan lagi kalau hidupnya hanya untuk keluarga dan pekerjaan.
"Kalau kau takut, kau harus mencari pegangan baru."
Chanyeol menggeleng.
Wanita itu tertawa, "Kau tega Eomma hidup sampai tua renta dan tersiksa dengan selang begini?"
"Aku akan memastikan Eomma mendapat perawatan terbaik dan aku akan mendapatkan lebih banyak uang."
Eomma mendesis, "Bukan perkara uang anakku. Appa-mu sudah lebih dari cukup untuk menyokong kebutuhanku. Kau harus menabung untuk keluargamu kelak."
"Tidak mau," jawab Chanyeol dingin.
"Baiklah, setidaknya agar kau tidak menyusahkan Eomma dengan cerita-cerita pekerjaan yang Eomma sendiri tidak paham, kau harus mencari teman yang lain."
Mendengar percakapan yang alot, Appa pun menanggapi, "Kau harus bahagia, kami tidak bisa selamanya bersamamu. Dengan begitu kau juga bisa membahagiakan kami."
Kali ini nada bicara Chanyeol naik beberapa oktaf, "Belum untuk sekarang."
"Trauma?"
"Bukan begitu, Appa"
Eomma kembali menimpali, "Sekarang Eomma tak akan melarang. Kalaupun itu Jiwon, Eomma akan belajar menerima. Selama kau bahagia. Appa pasti sependapat."
Semenjak ia bercerai, Appa dan Eomma selalu mengingatkan untuk tidak terlalu dekat dengan Jiwon. Mengingat statusnya dan kondisi Jiwon rentan menyebabkan kesalahpahaman. Walaupun, ia tak bisa juga sepenuhnya menjauhi Jiwon yang masih memerlukannya.
***
Sama sekali Chanyeol tidak terpikir dengan usul Eomma-nya sekarang. Ia sudah cukup bahagia dengan kondisinya. Pernikahan justru akan membuat hidupnya runyam. Merasa perlu penenang, dinyalakannya sebatang rokok dan dihisapnya dalam-dalam.
"Sejak kapan kau merokok?" tanya Haejin, kakak tertuanya, yang ternyata menyusul ke roof top.
"Barusan."
"Parah! Tak menungguku," ujar Haejin sembari memukul belakang kepala adiknya.
Pukulan karena kecewa menemukan sebatang rokok di antara kedua jari sang adik. Setahu dia, adiknya adalah orang yang bersih dan jauh dari gaya hidup tidak sehat. Kecuali, ada batu yang baru menghantam kepalanya.
"Tadi, aku menyetir dengan kecepatan tinggi ke Busan jadi lelah," dalih Chanyeol berjaga-jaga.
Haejin tersenyum tipis, "Sepertinya benar kata Eomma dan Appa. Kauperlu pendamping. Kau tak sekuat aku yang mampu hidup sendiri."
"Aku bisa."
"Tapi merana," sindir Haejin kemudian.
Kemudian pria itu berujar, "Jangan jadikan beban, ini hidupmu. Kau punya tanggung jawab untuk membahagiakan mereka‒"
"‒tapi kau juga berkewajiban menjaga dirimu sendiri. Bukan justru melempar tanggung jawabmu pada mereka. Aku tidak ingin Appa dan Eomma malah nantinya terus menerus menyesali keputusan mereka terhadapmu dulu. Kautahu 'kan mana yang baik dan tidak untukmu sendiri. Buat mereka bangga pada pilihanmu."
Pandangan Chanyeol gelap, ia hanya menerawang ke beberapa tahun silam. Ia belum siap mengulang kesalahan yang sama. Tak hanya soal kebahagiaan, ia perlu perasaan mutual dan rasa saling percaya. Sampai saat ini, belum ada yang bisa memberikan hal tersebut.
***
Cetak.
"Astaga Noona, kau memukul kepalaku? Sakit tahu!"
"Iya, aku tahu. Siapa suruh lupa hari. Sudah kubilang tanggal 15, tapi kau malah ke Busan," jawab Gayoung yang masih kesal. Wanita itu tadinya berada di dalam kamar, tapi saat mendengar suara mesin mobil dan yakin itu pasti adik kecilnya, ia bergegas menunggu di ruang tengah.
Jaemin tentu mengelak, "Eomma mendadak menyuruhku pulang kemarin lusa. Aku akan dijadikan korban setelahmu."
"Maksudmu?"
"Eomma menjodohkanku dengan anak temannya. Seperti deja vu perjodohanmu. Bedanya, dia teman sekolahku," pria itu membuang napas kasar dan membanting pantatnya ke sofa.
"Oh, ya? Siapa namanya? Cantik tidak?" tanya Gayoung berubah antusias. Ia langsung menyerbu adiknya itu.
"Mau cantik atau tidak kalau dijodohkan semua menjadi tidak asyik, Noona," jawab Jaemin malas.
Gayoung tertawa mendengar penuturan adiknya. Chanyeol juga berpikir serupa waktu perjodohan mereka. Namun, Chanyeol sempat mempermainkannya bahkan sampai mereka menikah pun Chanyeol tidak pernah tegas. Ah, kenapa harus Gayoung membandingkan dengan mantan suaminya itu.
"Kau jangan jahat-jahat padanya! Noona dulu pernah ada di posisinya."
"Dan, kau tidak ingin mengulang hal yang sama 'kan?" tembak Jaemin tanpa segan.
Ya, benar. Gayoung tak ingin mengulang kejadian yang sama, menikah dengan orang yang belum selesai dengan urusannya sendiri. Saling menyeret ke dalam kehidupan masing-masing dan membuat runyam.
"By the way, kau tidak sedang dekat atau menyukai siapa-siapa 'kan Jae? Aku tahu, sejak kecil kau tidak mau berkencan. Hyun saja lelah mengenalkanmu pada adik kelasnya yang menyukaimu."
Jaemin cemberut, ia menatap langit-langit, "Jangan bahas! Perempuan-perempuan itu menyukai Hyung. Bukan aku."
"Kalau yang ini, pasti belum bertemu Hyun 'kan? Bisalah kau dekati, Noona ingin punya adik ipar," goda Gayoung dengan raut menyebalkan.
"Noona berisik sekali. Yang jelas aku tidak mau menjadi orang jahat seperti Chanyeol atau teraniaya sepertimu."
Gayoung kembali menjitak ubun-ubun adiknya, "Tidak sopan! Lalu anak yang kemarin menangis anak siapa?"
Jaemin terdiam dan kemudian terlihat gelagapan. Tentu Gayoung curiga, "Jadi benar anakmu?"
"Oh, tentu tidak. Itu anak temanku. Agar Somi tak menyukaiku, aku bilang saja itu anakku."
Gayoung tertawa menatap adiknya, "Kenapa bohong?"
"Aku tidak pandai menolak. Kalau dia memang menyukaiku. Mau aku punya anak atau tidak bukan masalah."
"Apa kata keluarganya nanti?"
"Bodohnya, mereka tak ambil pusing, Noona. Sudahlah aku lelah."
"Berarti, mereka benar-benar menyukaimu?"
Sejenak Gayoung berpikir, membenarkan penolakan Jaemin secara halus. Dengan begini, adiknya tidak mau menyakiti siapapun terlalu dalam. Lebih baik memang menolak sesuatu yang tidak benar sejak awal.
"Oh, iya, kau tak bilang pada Eomma kalau pulang? Ia marah-marah tadi karena tidak ada kabar dan kau langsung ke Seoul."
"Oh itu‒"
Jaemin menepuk pundak Noona-nya, "Eomma adalah orang yang paling khawatir saat kau memutuskan tidak pulang karena setelah melihatmu bahagia, Eomma sangat tenang. Bukannya aku tidak suka bersama Noona, sebaiknya bicarakan dengan Eomma soal rencanamu tinggal di sini. Entah sementara atau selamanya. Eomma hanya takut kau terluka lagi."
"Thanks, Jae."
***
Karena langit sudah gelap, Chanyeol memutuskan untuk menginap di rumahnya di Busan. Lagi pula, Appa juga tidak mau digantikan menjaga ibunya. Kadang ia iri, mengapa kedua orang tuanya memiliki hubungan yang sangat harmonis. Apakah ia tidak berhak mendapatkan hal serupa? Tapi sudahlah, ia tak ingin memikirkan masa lalu. Ia hanya ingin fokus pada bisnisnya.
Sembari menikmati aroma peppermint tea kesukaannya, Chanyeol membolak-balik proposal yang diberikan oleh Tuan Kang. Mau dibaca berkali-kali, jawabannya masih tidak.
"Sepertinya besok aku harus mengingatkan Tuan Kang untuk tidak membuang banyak kertas."
Setelah menyesap teh hangatnya, Chanyeol kembali melanjutkan kegiatan tanpa semangat. Sekedar bersiap merancang kata yang tepat untuk menolak pria setengah abad itu. Sampai Chanyeol menemukan selembar halaman yang membuat otaknya tak bisa berpikir dengan jernih. Selalu ada banyak kemungkinan untuk nama yang tertera pada posisi tersebut.
"Tidak mungkin ada yang lain," gumamnya.
Kemudian, ia mengambil ponsel yang tergeletak di meja dan menghubungi satu kontak di ponselnya.
"Tuan Kang, aku akan berinvestasi di Beauté."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top