8. Inayah Sipta Renata (ISR)
Happy reading
.
.
.
Azalea sendirian di rumah dinas ini. Azlan sedang berada di luar kota bersama Arsa. Azalea memandang foto Aila sang bunda yang ada di nakas kamarnya, dan diary sang bunda yang selalu menjadi pengantar tidurnya kala malam.
"Bunda, Lea kesepian. Bang Rey gak mau nemenin Lea" Azalea mencium foto sang bunda. Membaca diary Aila adalah favoritnya, dan kedua adalah jurnal kedokteran yang setebal batu bata.
"Apa bunda merasakan sakit saat mengandung Lea? Maafin Lea ya bunda" Azalea tertidur setelah membaca diary sang bunda.
Azalea bertugas pagi ini di UGD. Dia melihat seorang ibu hamil yang usianya hampir sama dengannya. Wajahnya terlihat pucat pasi. Azalea mendatangi sang ibu hamil itu.
"Ada yang bisa dibantu ibu?" Tanya Azalea ramah. Dia selalu teringat sang bunda kala ada wanita hamil yang pergi memeriksakan kandungannya sendirian.
"Saya mau periksa--" belum sempat meneruskan kata-katanya, ibu hamil itu pingsan. Azalea yang tanggap, segera memegangnya. "Suster, tolong bantu saya"
Dua orang suster membawa kursi roda dan segera membawanya ke UGD. Azalea segera memeriksa kondisi ibu hamil.
"Tolong panggilkan dokter Ria" titah Azalea. "Baik dokter"
Tak lama setelah itu dokter Ria, dokter obgyn datang dan ikut memeriksa kondisi ibu hamil. Dia teringat dengan wajah pasien di depannya ini.
"Dek, tolong kamu ambil sampel darahnya ya, kemarin saya minta dia untuk tes darah" Azalea mengangguk. "Baik dokter"
Azalea segera mengambil sampel darah dan memberikannya pada petugas laboratorium. Azalea kembali ke UGD untuk melihat kondisi ibu hamil tadi.
"Dokter" sapanya, Azalea mendekat "ya Bu?"
"Bagaimana kondisi saya dan anak saya?" Azalea tersenyum teduh. "Ibu masih harus istirahat, kondisi janin ibu baik-baik saja. Tinggal kita mengetahui hasil lab lebih dulu" ibu itu mengangguk.
"Nama dokter siapa? Saya Inayah" Azalea mengulurkan tangannya. "Saya Lea"
"Bisa bicara sebentar Bu" dokter Ria masuk bersama rekannya dokter Eric spesialis kanker. Azalea mengetahui tentang dokter Eric yang sangat dipuja oleh kaum hawa, minus Azalea.
"Maaf ibu, apa yang saya takutkan kemarin, terjadi" dokter Ria menghembuskan nafas sejenak. "Ibu terkenal Leukemia"
Azalea melotot mendengarnya, dia teringat akan sang bunda, kisahnya yang selalu dia baca dan menjadi motivasi dirinya untuk menjadi seorang dokter. Azalea seperti melihat sang bunda yang berjuang untuk dirinya.
"Kalau ibu mempertahankan janin ibu, saya tidak bisa melakukan pengobatan kemoterapi karena ibu sedang hamil. Dan saran saya adalah untuk menggugurkan kandungan ibu" Inayah menangis.
"Tidak dokter, saya tidak akan menggugurkan kandungan saya, ini adalah penyemangat hidup saya dokter" Inayah menangis, Azalea yang tidak tega, memeluk Inayah.
"Dokter, bisa saya bicara berdua dengan mbak Inayah?" Mereka mengangguk, lalu meninggalkan Azalea berdua dengan Inayah.
"Mbak, mbak bisa cerita dengan saya" Inayah mengangguk dan mengusap air matanya.
"Suami saya meninggal saat dikirim ke Papua. Saat itu saya baru saja dinyatakan hamil. Dia senang, tapi tugas negara memanggilnya. Hiks.. dia gugur ... Hiks. .. dan anak ini saja yang saya punya dokter. Saya tidak punya saudara, keluarga suami juga tidak ada. Saya sebatang kara" Inayah kembali menangis.
"Mbak tinggal dimana?" Tanya Azalea ramah. "Saya tinggal di rumah dinas, mereka masih memberikan saya tempat tinggal"
"Nama suami mbak siapa, kalau saya boleh tahu" Inayah mengangguk. "Pratu Sipta"
Azalea mengingat nama itu. Nanti dia akan tanya pada Ayah atau Reyka. "Mbak, saya akan membantu mbak untuk mengurus anak mbak nanti"
📁📁📁
Azalea masuk ke rumah setelah dia mengantarkan Inayah pulang. Rumahnya beberapa blok dari rumah Azlan. Azalea melihat sang ayah tengah berbincang dengan Reyka.
"Assalamu'alaikum"
"Waalaikumsalam" jawab mereka berdua. "Kok lesu dek"
"Ayah, kenal dengan Pratu Sipta eh Praka anumerta Sipta" keduanya menggeleng. "Ada apa dek? Besok ayah cari info tentang almarhum"
"Aku juga akan cari info" Azalea mengangguk. Lalu dia masuk ke dapur untuk membuat makan malam.
Dia teringat akan Inayah. Akhirnya Azalea segera mengambil rantang untuk memberikannya ke Inayah. Dia teringat akan perjuangan sang bunda dahulu. Azlan dan Reyka masuk ke ruang tengah dan melihat Azaleanya sudah selesai mengisi makanan di dalam rantang.
"Buat siapa dek?" Tanya Azlan penasaran. "Mau tahu banget apa mau tahu aja yah?" Azlan melotot, sedangkan Azalea dan Reyka tertawa.
"Mau Lea kasih ke mbak Inayah, Yah. Ayah tahu nggak"
"Enggak"
"Ihhh ayah nyebelin deh" Azlan tertawa. "Apaan dek?"
"Mbak Inayah ini lagi hamil tua, dan suaminya gugur. Yang lebih nyesek banget tuh Yah, mbak Inayah sakit Leukemia juga sama seperti bunda" jelas Azaleanya.
Azlan menaruh kembali gelas yang dia pegang. Apa yang dikatakan Azaleanya membuat hatinya sedih. Teringat akan perjuangan Ailanya 26 tahun silam saat berjuang untuk melawan kanker yang sedang mengandung anak semata wayang mereka.
"Ayah, Lea mau ke rumah mbak Inayah dulu" Azlan dan Reyka berdiri. "Ayah antar"
Azalea bersorak gembira, dia segera mengambil tas kecil lalu masuk ke dalam mobil Azlan bersama dengan Reyka menuju rumah Inayah.
Azalea masuk lebih dulu dan disambut oleh Inayah yang sedang menyiram bunga di halaman. Azlan dan Reyka masuk ke rumah.
"Ijin bertanya komandan, ada perlu apa ya?" Tanya Inayah. "Maaf kalau kedatangan kami kemari sudah mengganggu waktu anda. Anak saya Lea, yang ingin kemari" jelas Azlan.
"Ini buat mbak Inayah. Kalau ada apa-apa, telpon saya aja mbak.gak perlu sungkan" inayah mengangguk dan menangis. "Terimakasih mbak. Masih ada yang baik dengan saya"
Azalea memeluknya. Inayah masih menangis di pelukan Azalea. Azlan mendapatkan telepon dari dari kantor. Akhirnya Azlan pamit bersama Reyka.
"Kenapa mbak mau nolongin saya?" Tanya Inayah. "Mendiang ibu saya meninggal ketika melahirkan saya mbak, beliau juga mengidap leukemia sama seperti mbak, tapi beliau memilih mempertahankan saya daripada menggugurkannya"
"Jadi mbak, gak perlu sungkan atau apalah itu. Saya tulis ikhlas membantu mbak" Inayah mengangguk. "Kalau saya meninggal nanti, mbak Lea mau kan, jagain anak saya" Azalea mengangguk.
"Saya siap mbak untuk merawatnya. Nanti akan saya ceritakan tentang ibu dan ayahnya yang telah berjuang untuk dirinya" Inayah mengangguk.
Azalea berpamitan kepada Inayah untuk pulang, dia juga meminta tolong pada tetangga sebelah rumahnya agar menengok Inayah sesering mungkin dan segera menghubunginya jika terjadi sesuatu pada Inayah.
"Lea? Azalea kan?" Sapa seorang lelaki di depannya, Lea berusaha mengingat tapi nihil. "Siapa?"
"Saya Galang. Kita pernah bertemu di Surabaya, ingat?" Lea menggeleng. "Enggak"
💉💉💉
Azalea segera mengemudikan mobilnya menuju rumah Inayah, dia mendapatkan kabar bahwa Inayah pingsan dan mengeluarkan darah dari hidungnya. Disana sudah banyak yang berkumpul para ibu-ibu Persit.
"Om, bisa bantu saya angkat ibu ke mobil?" Tanyanya pada tentara yang sedang lewat. Mereka mengangguk dan segera membopong Inayah menuju mobil Azalea.
Azalea segera menuju rumah sakit dengan sedikit ngebut, aturan di rumah dinas tidak ada yang boleh mengebut, dia sampai di cegah oleh beberapa tentara yang sedang berjaga.
"Maaf, tapi saya bawa pasien gawat darurat, dia harus segera ditangani" tapi mereka tidak memperbolehkan Azalea lewat. Akhirnya Azalea memilih video call dengan ayahnya.
"Ada apa sih dek?" Tanya Azlan.
"Yah, Lea bawa mbak Inayah yang kritis ke rumah sakit, tapi dicegah sama om itu" Lea mengalahkan layar hapenya ke tentara yang berjaga.
"Kalian" geram Azlan
"Siap salah komandan" jawab mereka.
"Ijinkan anak saya lewat, push up 50 kali"
"Siap laksanakan" jawab mereka serempak.
"Makasih yah. Assalamu'alaikum" Azalea menutup video call nya. "Permisi om"
Dia segera menuju rumah sakit. Dalam hati dia selalu berdoa untuk keselamatan Inayah dan bayinya. Tiba di rumah sakit, dia di bantu para suster untuk membawanya ke UGD.
"Panggil dokter Ria dan dokter Eric"
"Baik dokter" kedua suster itu segera menyusul dokter yang disebut Azalea.
Azalea memeriksa kondisi Inayah yang sedang kritis, memasang oksigen di hidung Inayah dan beberapa alat bantu lainnya. Dokter Ria dan Dokter Eric datang dan memeriksanya, bersamaan dengan Inayah yang sadar.
"Ibu Inayah, anda dengar saya?" Inayah mengangguk. "Kami harus melakukan operasi Caesar untuk mengeluarkan bayi anda" jelas dokter Ria.
"Lakukanlah. Lea" Azalea mendekat. "Iya mbak"
"Jangan tinggalkan saya. Tolong jaga bayi saya dan temani saya disana" Azalea meminta persetujuan oleh dokter Ria dan Dokter Eric, mereka mengangguk. "Baik mbak"
"Siapkan ruang OK" titah dokter Ria.
Para suster menyiapkan alat-alat untuk operasi, Azalea dan beberapa suster mendorong brankar Inayah menuju ruang OK. Azalea yang sudah memakai baju steril khas ruang operasi sudah setia di sisi Inayah.
Operasi Caesar telah dilakukan oleh dokter Ria. Azalea menggenggam tangan Inayah dan sesekali mengamati monitor yang menampilkan alat vital Inayah. Azalea berusaha mengajak ngobrol Inayah agar tetap sadar.
"Oeeekkkkkk" suara bayi perempuan menggema di ruangan operasi. "Alkhamdulillah, mbak Inayah, anak mbak perempuan" Inayah tersenyum.
Seorang suster memberikan bayi perempuan itu di sisi Inayah. Inayah menangis dan mengecup pipi bayi perempuannya.
"Selamat datang anak ibu. Ingat ibu selalu ya nak. Lea, tolong jaga dia" Azalea sudah menangis sejak tadi, dia mengangguk berkali-kali. "Inayah Sipta Renata. Renata nama panggilannya" Azalea mengangguk.
Inayah memejamkan matanya, Azalea segera mengambil Renata ke dalam gendongannya. "Dokter alat vitalnya melemah" teriak Azalea.
"Pacemaker segera"
Tutttt tutttttttt.
"Dokter... Mbak Inayahhhhh" teriak Azalea.
"Suster, bawa bayinya ke ruang inkubator, Dokter Lea juga bawa keluar, kami harus menyelesaikan pekerjaan kami"
Azalea hanya menuruti perintah dokter Ria, Azaleanya keluar dengan perasaan yang tidak bisa dia definisi kan. Dia seakan melihat kejadian 26 tahun silam saat dirinya lahir dan sang bunda menutup mata untuk selamanya.
"Ayah... Hiks ... Lea butuh ayah... Hiks... Mbak Inayah meninggal"
💉💉💉
Kalau kurang greget maaf gaessss..
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top