Stardust-Miya Twins

Laf proudly present AU Haikyu!! Fanfiction

.·:*¨༺ ༻¨*:·.

┊        ┊      ┊        ┊

┊           ┊     ☆     ┊           ┊

┊           ☆                        ☆           ┊

★                                                     ★

Family, fantasy, angst, violence, death
the longest oneshoot

Selamat membaca kisah perjalanan dua anak siluman rubah yang menggemaskan 🦊

★★★★★★★★


Langkah kaki kuda yang bergesekan dengan daun kering menggema di antara gemuruh serangga musim panas yang menyemarakkan suasana hutan.  Hijau dedaunan berpendar, berbaur dengan sinar raja siang yang merangkak masuk ke dalam rimbunnya pepohonan.

Lima ekor kuda yang ditunggangi oleh lima orang pria berseragam sama secara berurutan menjadi satu-satunya entitas yang terlihat di hutan. Mereka adalah pasukan kerajaan yang sedang melakukan tugas patroli di hutan perbatasan.

“Hei, Kageyama! Sejauh ini aman terkendali. Mungkin kita bisa kembali ke pos,” ujar pria berambut jingga yang berada di urutan kedua.

“Hinata benar. Lagipula tidak biasanya kita menyisir sejauh ini,” tambah pria berambut jigrak yang berada di belakang pria berambut jingga, Hinata Shouyou.

“Kindaichi, Hinata, apa kalian lupa cerita para pedagang di pasar tadi?” pria berwajah malas yang berada di belakang sendiri bersuara.

“Ah! Cerita tentang teman pedagang dari kerajaan tetangga itu ya?” tanya pria berambut hijau lumut yang berada di depan si pria berwajah malas.

“Sesuai kata Kunimi. Para pedagang dari kerajaan tetangga kehilangan barang-barangnya saat melewati hutan perbatasan wilayah mereka. Kemungkinan ulah bandit. Kita tak boleh lengah. Bisa saja para bandit itu sudah memasuki wilayah ini,” jelas Kageyama sebagai pemimpin pasukan patroli.

Hinata, Kindaichi, dan Yamaguchi hanya mengangguk-angguk dalam tunggangan mereka, sedangkan Kunimi hanya menguap.

Kuda mereka terus melaju dalam kecepatan stagnan hingga tiba-tiba saja Kageyama menghentikan laju kudanya tepat di samping batu besar setinggi empat meter membuat yang lain ikut memberhentikan kuda mereka. Ringkikan pelan yang bersahutan menggema di seluruh penjuru hutan.

“Oi, Kageyama! Kenapa berhenti?” tanya Hinata sambil mengendalikan kudanya.

Kageyama tak menjawab. Pria itu malah menatap awas ke sekitar dan raut ekspresinya serius.

“Ada apa? Apakah ada sesuatu yang aneh di depanmu?” tanya Kindaichi sambil sedikit melongok untuk melihat sosok Kageyama yang berada di depan.

Kageyama tak menjawab lagi. Pria itu hanya mengedarkan pandangannya ke seluruh area hutan di sekitar, seperti mencari sesuatu membuat yang lain mengikuti pergerakannya.

Hanya hijaunya daun, batang pohon yang dipenuhi lumut, semak belukar yang tinggi, dan daun-daun kering di tanah. Tak ada sesuatu yang aneh.

Hinata berdecak karena sempat khawatir yang sia-sia. “Kageyama, tak perlu sok-sokan begitulah. Lebih baik kita kembali saja!”

“Hinata benar. Lagipula ini sudah masuk jam makan siang. Lebih baik cari tempat lapang terlebih dahulu untuk makan sebelum kembali ke pos. Kunimi, bekal makan siangnya masih aman kan?” seru Kindaichi sambil menoleh ke belakang.

Kunimi hanya mengacungkan jempol sebagai jawaban. Kuda yang ditunggangi Kunimi memiliki badan yang melebar ke belakang sehingga bagian belakang badan bisa dipasang kantung untuk wadah perbekalan.

“Tidakkah kalian merasa aneh dengan area ini?” tanya Kageyama sambil membalikkan kudanya untuk menghadap ke para bawahannya. Irisnya berkilat tajam menatap mereka.

Hinata, Kindaichi, Yamaguchi, dan Kunimi hanya mengerjap. Jika Kageyama mengeluarkan tatapan seperti itu maka dia serius akan ucapannya.

Mereka pun memperhatikan area sekitar mereka lagi. Pepohonan tinggi, dedaunan, semak, lumut, dan tanah lembab. Keheningan menyelimuti mereka beberapa lama.

“Auranya ... aneh,” celetuk Yamaguchi.

“Kau benar, ada yang ... aneh,” tambah Hinata sambil mengedarkan pandangannya ke atas.

“Hei ... kenapa tiba-tiba menjadi hening?”

Semua menoleh ke arah Kindaichi.

“Apa maksudmu, Kindaichi?”

“Hutannya ... hening ...”

Kunimi yang menjawab. Ekspresi malas telah tergantikan oleh ekspresi ketakutan dan khawatir.

Kageyama membenarkan perkataan Kunimi dalam hati. Hutannya hening. Tak ada suara-suara seperti serangga, gesekan daun, atau hewan apapun yang biasanya meramaikan hutan. Mereka tak mendengar apa-apa.

Sesuatu yang seperti ini pasti berkaitan dengan hal magis, supranatural dan itu bukanlah ranah mereka sebagai pasukan manusia biasa. Ini bahaya dan kembali ke pos adalah pilihan yang tepat.

“Berbalik, kita akan–“

“Angin ...”

Suara perintah Kageyama terhenti karena disela oleh suara berat yang menggema di langit. Mereka berlima langsung tercekat dan pucat pasi. Pasalnya mereka tak melihat asal sumber suara itu dari mana.

'Bahaya, ini berbahaya. Kita harus kembali!'

Kageyama mengatupkan rahang. Cengkramannya di tali

“BERBALIKLAH! KITA–“

“... pusaran”

WUSSHH!

Terlambat. Sebelum Kageyama menyelesaikan perintahnya, tiba-tiba saja pusaran angin datang di tengah-tengah mereka. Mengitari mereka, menerbangkan dedaunan dan tanah. Anginnya begitu kencang membuat mereka tak mampu membuka mata lama-lama.

Kuda-kuda yang ditunggangi mereka meringkik panik secara bersamaan membuat mereka kewalahan untuk mengendalikannya. Bahkan Hinata sampai terjatuh dan punggungnya membentur batu besar yang ada di sampingnya. Karena semakin kesulitan mengendalikan kudanya, akhirnya mereka pun turun. Mengelus-elus badan kuda, berusaha menghentikan kepanikan mereka.

Pusaran angin yang entah dari mana asalnya itu terus mengitari mereka dalam waktu beberapa lama hingga anginnya berhenti. Menghilang seolah dihisap tak bersisa. Dedaunan dan butiran debu yang tadinya mengitari mereka pun jatuh ke tanah.

Mereka terdiam beberapa saat. Ketakutan masih menguasai mereka. Pandangan diedarkan ke arah sekitar, memastikan keadaan.

“Tadi itu ... apa?”

Tak ada jawaban karena masing-masing dari mereka tidak memiliki jawaban atas pertanyaan Kindaichi. Tidak ada yang tahu. Kejadian tadi menyisakan tanda tanya besar di atas kepala mereka.

“Hei, pe-perbekalan kita hilang!” Kunimi berseru panik sambil matanya menatap ke arah badan kuda yang tadinya digantungi kantung berisi perbekalan, tapi sekarang kosong. Kantungnya hilang.

Kebingungan semakin menjadi-jadi. Hening menyergap. Berpikir untuk mencari alasan, tapi tak ditemukan.

“Aku tadi pasti berhalusinasi.”

Ujaran dari Hinata secara tiba-tiba membuat mereka langsung menoleh ke arah pria berambut jingga yang masih terduduk bersandar di batu besar akibat terjatuh tadi. Iris cokelat madunya menatap penuh ketakutan ke arah depan lalu telunjuknya pun menunjuk ke arah yang sama.

“Tadi aku melihat ... dua anak laki-laki berlari dengan kecepatan tak masuk akal ke arah sana. Salah satunya me-membawa tas perbekalan kita ...”

Semua terdiam setelah mendengar penuturan Hinata. Kageyama mengernyitkan kening, tampak berpikir.

Mungkinkah anak manusia biasa yang memakai sihir untuk mencuri?

“... dan ... dan mereka ... mereka memiliki telinga & ekor seperti rubah ...”

Semua membelalakkan mata. Siluman adalah sesuatu yang jauh lebih berbahaya dibanding penyihir!

🦊🦊🦊🦊🦊


“Ah, kenyangnya~”

Seorang anak laki-laki dengan telinga rubah yang mencuat di atas surai hitam kecoklatannya dan ekor jingga yang bergerak-gerak sedang duduk meluruskan kaki sambil mengelus-elus perutnya yang baru saja terisi makanan. Mata cokelat itu dipejamkan diiringi senyuman kecil. Telinga bergerak-gerak selaras dengan ekor tanda ekspresi kebahagiaan.

Berbeda dengan anak laki-laki di sebelahnya yang memiliki kemiripan ciri fisik sama sepertinya itu masih asyik mengunyah makanan. Pipinya menggembung sembari mengunyah. Telinga rubah yang mencuat di atas surai hitam kelabu bergerak-gerak tanda antusias. Iris kelabunya sibuk menatapi makanan yang tersisa.

“Tsumu, aku boleh tambah lagi tidak?” tanya anak bersurai kelabu kepada saudara kembarnya, Atsumu.

“Kesepakatan tetap kesepakatan, Samu. Hari ini kita memang mendapatkan banyak makanan, tapi bukan berarti kita bisa seenaknya menghabiskan. Tidak ada yang tahu nasib kita ke depannya, kan?” balas Atsumu tegas sambil menatap saudara kembarnya.

Mendengar perkataan saudara kembarnya itu, Osamu hanya bisa memajukan bibirnya sambil menyayangkan nasib di dalam hati. Telinga yang tadinya bergerak-gerak antusias itu tampak layu begitu juga dengan ekornya yang terkulai lemas. Pertanda bahwa ia kecewa.

Sebelumnya mereka telah menyepakati masing-masing porsi yang didapatkan dari hasil pencurian makanan pasukan patroli kerajaan. Namun, sisa makanan yang diperuntukkan bekal perjalanan selanjutnya benar-benar banyak dan menggoda si anak bersurai kelabu. Mungkin tambah porsi sedikit tidak masalah, begitulah pikirnya.

Setelah menenggak air minum dari kantong hasil pencurian, tangan Osamu pun berinisiatif untuk membereskan sisa makanan sebagai perbekalan selanjutnya walau ia harus mati-matian menahan diri agar tidak memakannya. Bisa dibilang Osamu ini termasuk anak bernafsu makan tinggi.

Atsumu yang melihat ekspresi menderita saudaranya itu hanya bisa menghela napas. Rasa tak tega muncul dalam hatinya.

“Ya, sudah. Kau boleh makan separuh dari bola nasi itu. Separuh.”

Iris kelabu Osamu tampak berbinar. Telinganya tegak kembali seiring ekor yang kembali bergerak. Tanda ia bahagia dengan perkataan saudaranya walau ekspresinya begitu datar.

Satu bola nasi diambil lalu Osamu pun membelahnya dengan begitu hati-hati. Melihat ekspresi sang saudara kembar yang begitu serius membuat jiwa jahil milik Atsumu bangkit. Seringai pun dikeluarkan pertanda bahwa kepala bocah berusia 10 tahun itu memiliki rencana jahil untuk sang saudara.

Saat Osamu hendak selesai membelah bola nasi, tiba-tiba saja Atsumu berseru kencang.

“DOR!”

Osamu tampak begitu terkejut. Namun, ia bisa mengendalikan diri dengan baik sehingga bola nasi yang sudah dibelah dua itu masih berada di genggamannya, tidak terjatuh.

“TSUMU!” geram Osamu kesal sambil menatap Atsumu tajam.

Atsumu sendiri hanya tertawa terbahak-bahak sambil memukul-mukul tanah. Ekspresi terkejut Osamu begitu menghibur untuknya.

Osamu yang ditertawakan hanya bisa mendengkus sambil menggigit paruh bola nasi yang baru saja dibelahnya. Telinga terangkat dan ekor naik pertanda bahwa ia kesal dengan tindakan sang saudara.

Kebisingan hutan terdengar hingga dalam gua yang mereka tempati. Di luar sinar matahari begitu teriknya di antara teduhnya hutan belantara. Istirahat di gua merupakan keputusan terbaik jika tidak ingin dehidrasi dan kulit terpanggang. Musim panas sedang gila-gilanya membakar bumi.

“Kita di sini akan istirahat hingga malam. Tidur empat jam secara bergantian. Setelah itu, kita berangkat lagi lewat jalur barat,” ucap Atsumu sambil menumpukan kedua tangan di belakang tubuh seraya duduk meluruskan kaki.

“Jalur barat? Bukannya jalur utara? Mengapa pindah arah?” tanya Osamu disela kunyahan dan dahi dikernyitkan.

Atsumu menarik napas lalu mengembuskannya perlahan. Memejamkan mata sejenak sambil kepala didongakkan. Kepalanya memutar kembali memori sebelumnya saat mereka berlari dengan kecepatan penuh setelah mencuri perbekalan pasukan patroli kerajaan. Saat berlari, telinganya yang memiliki kemampuan pendengaran ekstra menangkap percakapan dari pasukan.

“Tadi aku melihat ... dua anak laki-laki berlari dengan kecepatan tak masuk akal ke arah sana. Salah satunya me-membawa tas perbekalan kita ...”

“... dan ... dan mereka ... mereka memiliki telinga & ekor seperti rubah ...”

“Tsumu?”

Atsumu sedikit tersentak saat saudaranya itu memanggilnya. Kepala ditolehkan dan mendapati Osamu menatapnya penuh tanya.

Satu kali embusan napas.

“Kita ... ketahuan, Samu.”

Mata dibelalakkan. Osamu tampak terkejut dengan penuturan saudaranya. Berbagai pertanyaan dan kekhawatiran muncul dalam pikirannya. Ketahuan oleh manusia adalah sesuatu yang tidak boleh mereka alami!

“Tadi saat kita berlari, aku mendengar percakapan mereka dan salah satu di antaranya ada yang melihat kita. Orang itu melihat ekor dan telinga kita. Dipastikan jika salah seorang pasukan itu memiliki penglihatan yang tajam,” tutur Atsumu dengan mata yang menerawang ke depan.

Osamu tercekat. Kini ketakutan dan kecemasan hampir menguasainya. Ia sekarang kehilangan nafsu untuk memakan paruh bola nasi yang tersisa.

“Jangan khawatir!” tiba-tiba saja Atsumu berseru membuat Osamu tersentak.

Atsumu merubah posisi duduknya menjadi bersilang kaki lalu mengambil sesuatu dari dalam saku celana pendeknya. Lipatan kertas usang yang tampak lecek. Lipatan itu pun dibentangkan dan menampakkan peta yang tergambar di dalamnya.

“Area utara hutan ini merupakan jalur yang sering dilewati pasukan patroli karena jalan setapaknya sudah terbentuk. Lalu karena kita tadi ketahuan oleh pasukan, mungkin saja beritanya sudah menyebar dan patroli yang lebih ketat akan dilakukan dalam waktu dekat. Jadi, akan berbahaya jika kita meneruskan perjalanan ke utara walau tujuan kita memang ke sana. Oleh karena itu, aku mengambil jalur barat karena area hutan barat merupakan area yang ekstrim bagi pasukan dan tidak bisa dijangkau oleh manusia biasa begitu juga kuda.”

Osamu hanya menyimak saat Atsumu menjelaskan rencananya sambil menunjuk-nunjuk peta. Iris kelabunya mengikuti pergerakan tangan Atsumu yang sedang menunjuk.

“Membutuhkan waktu yang lebih lama dari perkiraan untuk mencapai tempat tujuan karena kita mengambil jalur memutar, tapi ini adalah pilihan terbaik demi keselamatan. Maaf, aku merencanakan ini tanpa persetujuan darimu terlebih dahulu.”

Atsumu melirik ke arah Osamu. Ingin tahu ekspresi dan reaksinya. Takut-takut Osamu akan marah karena ia tidak memberitahunya sedari awal bahwa mereka telah ketahuan.

“Ya, aku setuju. Rencana ini yang terbaik. Hebat juga kau bisa merencanakan ini begitu cepat.”

Diam-diam Atsumu bernapas lega karena Osamu tidak marah seperti yang sudah-sudah. Menangani Osamu yang marah itu jauh lebih menjengkelkan ketimbang memakan buah pahit yang pernah ditemukan di perjalanan sebelumnya.

Ia juga tidak menyangka kalau Osamu akan memujinya. Saudaranya itu lebih sering melontarkan ejekan ketimbang pujian. Mendengar ia dipuji begini, Atsumu pun membusungkan dadanya. Dagu dinaikkan dan wajah memasang ekspresi sombong yang kentara.

“Tentu saja aku hebat. Aku, kan, anak tertua! Berikan tepuk tangan untuk Kakak Atsumu!”

Melihat kesombongan kakak kembarnya itu membuat Osamu hanya memasang tampang datarnya. Rasa sesal muncul karena telah memuji kakaknya.

“Umur kita sama-sama 10 tahun, bodoh!”

“Tapi, kata ayah aku yang keluar duluan, ya! Berarti aku yang lebih tua!”

“Hanya beda beberapa menit kata ibu. Itu tidak akan berpengaruh soal tua atau muda!”

Perdebatan mereka terus berlanjut hingga beberapa lama. Rutinitas yang selalu hadir ketika mereka sedang istirahat dalam perjalanan.

“Sudah, aku mau tidur! Hari ini jatahku giliran pertama untuk tidur. Sampai jumpa delapan jam ke depan!”

Akhirnya Atsumu pun membaringkan diri membelakangi Osamu. Salah satu tangan digunakan sebagai bantalan. Tak lama kemudian terdengar suara dengkuran halus darinya. Atsumu telah terlelap sepenuhnya.

Kini Osamu hanya ditemani oleh heningnya gua. Suara serangga musim panas sayup-sayup terdengar. Osamu pun bangkit lalu berjalan keluar gua. Sinar matahari terik yang lewat melalui celah-celah pepohonan mencium permukaan kulit Osamu, memberi efek panas bagi si empunya.

Osamu menatap area sekitar depan gua. Pohon-pohon, semak belukar, jalan setapak yang tertutupi daun-daun kering, patahan ranting yang berada di atas tanah, batang pohon yang berlumut, bekas sarang burung di ranting-ranting, dan hijau yang menutupi sebagian potongan langit. Semua itu menjadi pemandangan yang biasa bagi Osamu selama 17 hari terakhir.

Ya, hari ini adalah hari ke-17 mereka bertahan hidup di hutan, menurut perhitungan Osamu. Semua berjalan begitu cepat. Osamu masih mengingat dengan baik bagaimana hari-harinya yang seperti ini dimulai. Hari-hari bertahan hidup dua anak siluman rubah yang diincar oleh seluruh manusia di peradaban ini.


🦊🦊🦊🦊🦊


17 hari yang lalu ...

Osamu memfokuskan netranya. Berusaha untuk meminimalisir pergerakan agar tidak terlalu bersuara. Tubuh tengkurap di atas rerumputan yang tinggi. Belalang yang sedang bertengger di atas ranting yang berada di depannya menjadi fokusnya.

Tangan bergerak untuk meraih belalang yang ada di depannya. Perlahan tapi pasti, tangannya semakin mendekat ke tubuh belalang. Jari siap mencapit ruas tubuh hewan itu.

“SAMU!”

Sebelum jarinya berhasil mencapit tubuh belalang, tiba-tiba saja suara melengking khas bocah mengejutkannya. Spontan saja belalang yang hendak menjadi mangsanya melompat pergi karena merasa adanya ancaman. Hal itu pun meninggalkan kekecewaan di wajah Osamu.

“Tsumu, kau sengaja, ya, menggagalkan tangkapan pertamaku?!” tanya Osamu kesal merujuk pada tas toples kosong yang diselempangkan di tubuhnya. Bocah bersurai kelabu itu pun berdiri sambil mendelik kesal terhadap kembaran yang sedang bertumpu di lutut seraya mengatur napas di sebelahnya.

Mendengar ucapan saudara kembarnya tadi, ekspresi khawatir yang dipasang Atsumu pun berubah seketika menjadi wajah sombong dan tatapan mengejek. Atsumu pun menegakkan diri lalu membusungkan dadanya.

“Haha, berarti kau kalah, Samu. Aku sudah mendapatkan tiga tangkapan,” ujar Atsumu sambil menunjukkan tas toples yang dibawanya. Di sana terdapat tiga ekor belalang yang sedang bergerak-gerak. Senyuman penuh kebanggaan terpatri di wajahnya membuat Osamu geram hingga akhirnya ia yang masih dalam posisi tengkurap diam-diam meraih ranting yang ada di depannya.

“Ya,  ini adalah kemenanganku yang ke-20 kalinya. Itu artinya kau payah dalam hal buru-memburu. Instingku jauh lebih hebat darimu. Akuilah ini, Samu, haha!” Atsumu berujar penuh bangga sambil bergestur sombong. Tanpa disadari Osamu sudah berdiri dan bersiap dengan ranting di tangannya.

“Berarti yang tadi itu kau sengaja menggagalkanku, kan, supaya kau menang?! Dasar rubah licik!”

Osamu pun menerjang Atsumu sambil menyabet ranting ke tubuhnya. Kesombongan Atsumu yang ke ratusan kalinya membuat Osamu selalu naik pitam.

Mereka pun berguling-guling di tanah. Osamu telah melempar ranting yang dipegangnya. Kini ia memukul beruntun saudara kembarnya itu. Atsumu sendiri kewalahan membela diri sambil berseru-seru meminta Osamu untuk menghentikan aksinya. Ya, perkelahian antarbocah pada umumnya.

“Dasar licik! Menyebalkan!”

“Oi, he-hentikan! Aku tidak licik dan menyebalkan! Aku memanggilmu ada alasannya, tahu!”

Perdebatan di tengah perkelahian ini merujuk pada kejadian setengah jam sebelumnya. Lomba menangkap belalang. Siapa yang menangkap belalang lebih banyak dalam satu jam, dialah pemenangnya. Osamu baru saja hendak mendapatkan tangkapan pertama, tapi langsung digagalkan oleh Atsumu yang sudah mendapatkan tiga ekor. Maklum saja jika Osamu menganggap Atsumu licik.

“RASAKAN PEMBALASANKU!”

Setelah mendapatkan tenaga yang cukup untuk melawan, Atsumu pun dengan cepat mengubah posisinya menjadi dirinya yang di atas, menindih Osamu. Bukannya melayangkan pukulan seperti yang dilakukan Osamu sebelumnya, Atsumu malah menggelitiki tubuh Osamu.

“TUNGGU! Kenapa malah menggelitikiku?! Hahaha–berhenti!”

Area padang rumput itu dipenuhi gema tawa Osamu dan Atsumu. Angin sore melambai, menggoyangkan rerumputan yang ada di sekitar bocah kembar itu.

“ATSUMU! OSAMU!”

Aksi perkelahian mereka pun terhenti kala mendengar sayup-sayup suara feminim yang memanggil mereka. Telinga rubah yang mencuat di atas surai mereka bergerak, memastikan seruan tadi. Tiba-tiba saja Atsumu menepuk dahinya keras seolah melupakan sesuatu.

“Aish, tadi aku memanggilmu karena Ibu sudah menyuruh kita untuk pulang,” kata Atsumu sambil bangkit menjauhi Osamu.

Bocah bak pinang dibelah dua dengan Atsumu itu masih mengatur napasnya karena selepas tertawa terbahak-bahak. Kemudian ia pun mendudukkan diri.

“Kenapa tidak beritahu lebih awal?”

“Itu karena kau langsung menyerangku duluan!”

“Salah sendiri berlagak sombong menyebalkan!”

Atsumu hanya berkedut kesal saat mendengar balasan dari Osamu. Sebagai adik kembarnya, Osamu sama sekali tidak ada hormat-hormatnya kepada Atsumu.

“Sudahlah, ayo pulang! Dengan pendengaran tajamku tadi, Ibu memanggil kita dengan nada yang luar biasa marah. Makanya, tadi aku langsung memanggilmu,” tutur Atsumu sambil mengulurkan tangannya, menawarkan bantuan pada Osamu untuk berdiri.

Osamu mendelik saat mendengar penuturan Atsumu sembari menerima uluran tangannya. Kemarahan sang Ibu adalah hal yang harus dihindari!

“Pokoknya ini gara-gara kau sombong duluan, ya!”

Uluran beralih ke tarikan tangan lalu Osamu berlari dengan tangan Atsumu dalam genggamannya. Tujuan mereka saat ini adalah rumah kayu yang berada dalam radius 500 meter dari sini.

“Jangan cepat-cepat larinya! Aku bisa lari sendiri, woi!” seru Atsumu yang kepayahan menyeimbangkan laju lari dengan Osamu yang berada di depannya.

Osamu tak menggubris. Ia terus berlari sambil menggenggam tangan Atsumu. Beberapa saat kemudian, rumah kayu dengan kebun luas di depan rumah menjadi pemandangan mereka. Seorang wanita bertelinga rubah dan ekor yang tegak menandakan kemarahan berdiri di depan kebun sambil berkacak pinggang, siap menghadang bocah kembar.

Osamu mengenduskan hidung. Aroma sedap yang berasal dari apron luaran gaun rumahan yang dikenakan Ibunya memasuki indra penciumannya, membawa senyuman sumringah di wajah Osamu.

'Bebek panggang!'

“Kalian kenapa bermainnya lama sekali?! Jangan pernah melupakan---”

“Setelah ini kami akan membantu Ayah untuk menggaruk tanah. Selepas itu, kami akan mandi lalu makan malam. Jatah bebek panggangku harus lebih banyak dari Atsumu, ya! Hari ini dia bersikap licik kepadaku soalnya.”

Atsumu yang tadinya ikut mengiyakan penuturan Osamu saat jarak laju mereka sudah dekat dengan sang Ibunda langsung mendelik kesal ke arah saudara kembar. “Aku tidak berlaku licik padamu, ya! Kau saja yang berpikiran buruk!”.

Mereka pun berhasil melewati sang Ibunda lalu menghampiri sang Ayah yang sedang menggaruk tanah di lahan.

“Tsumu, kau kerjakan yang sebelah sana, sedangkan aku sebelah sini. Ambil ini!”

Osamu langsung memerintah setiba di dekat sang Ayah. Dua alat penggaruk tanah yang menganggur diambil oleh Osamu. Satu alat ia berikan pada Atsumu yang masih mengatur napas sambil bertumpu pada lututnya karena baru saja berlari kencang bersama Osamu.

Sang Ayah yang melihat tingkah kedua anaknya itu hanya geleng-geleng kepala sambil melanjutkan pekerjaannya yang sejenak tertunda, menggaruk tanah untuk membuat lahan baru.

“Tumben sekali kalian datang cepat setelah dipanggil. Biasanya mengulur-ulur waktu.”

“Aku mencium aroma bebek panggang dari apron Ibu  makanya langsung pulang. Ayah, nanti tolong bilang pada Ibu, ya, jatah daging bebek punyaku harus lebih banyak dari Atsumu soalnya dia hari ini berlaku licik padaku.”

“Sudah kubilang aku tidak licik! Yang mendengar panggilan dari Ibu pertama kali itu aku, ya! Makanya aku memanggilmu. Mana aku tahu kalau kau belum mendapat tangkapan sama sekali, sedangkan aku sudah mendapatkan tiga ekor belalang. Bukan salahku jika belalangnya kabur karena suaraku, ya! Kau saja yang payah dalam menangkap belalang!”

“Sudah licik, sombong pula. Mengapa aku harus jadi kembaranmu, hah?!”

Mendengar keributan dari dua anak kembarnya membuat sang Ayah tertawa terbahak-bahak. Walau perdebatan anak kembarnya sudah menjadi makanan sehari-hari, tetapi di mata pria itu pertengkaran mereka sangatlah lucu makanya ia selalu tertawa jika mereka mulai bertengkar.

Pekerjaan pun tetap dilanjutkan. Menyiapkan lahan untuk tanaman sawi dan kembang kol.

“Ughh, sayuran, ya,” sungut Atsumu sambil fokus dalam menggaruk tanah. Ia memang tidak terlalu suka dengan sayur-sayuran.

“Tidak apa, Atsumu. Walaupun rasanya tidak begitu nyaman di lidah, tetapi khasiat sayuran untuk tubuh itu luar biasa. Kau ingin tumbuh menjadi anak yang kuat, kan? Jangan pernah menolak memakan sayur,” tutur sang Ayah.

“Iya, iya. Ayah selalu saja mengatakan itu, aku tahu, kok. Hanya saja rasanya itu ... ugh ...”

“Dasar payah! Makan sayuran saja tidak bisa.”

“Kau bisa tidak berhenti mengejekku terus?!”

Setelah beberapa lama, pekerjaan mereka pun selesai. Atsumu dan Osamu duluan masuk ke dalam rumah untuk mandi, sedangkan Ayah harus membereskan peralatan terlebih dahulu.

“Air mandi kalian sudah Ibu siapkan di dekat sumur. Pakaian ganti berada di teras belakang. Jangan lama-lama mandinya!”

“Siap, Ibunda!”

Osamu dan Atsumu berjalan beriringan menuju kamar mandi yang ada di halaman belakang, terpisah beberapa meter dari bangunan rumah. Dua bilik terbuat dari kayu dengan sumur dan lantai kayu di sebelahnya. Di atas lantai kayu dekat sumur, terdapat bak kayu yang sudah terisi penuh dengan air. Untuk mandi si kembar. Di sekelilingnya hanyalah hutan belantara.

Mereka pun mandi sambil bermain bajak laut. Sang Ayah sendiri masih menyelesaikan sisa pekerjaan lahan dan Ibu mempersiapkan makan malam. Keluarga siluman rubah itu melaksanakan kegiatan sore sama seperti sebelum-sebelumnya.

Malam pun tiba. Seusai menghabiskan hari dengan berbagai kegiatan, satu keluarga itu pun akhirnya berkumpul di meja makan. Menyantap makanan seraya bercengkrama. Cerita apa saja mengalir di meja makan itu. Keluarga yang hangat walau mereka tinggal di tengah hutan, jauh dari peradaban manusia. Mereka hanya memiliki satu sama lain untuk bertahan hidup.

Namun, kehidupan damai yang telah berjalan selama bertahun-tahun itu hancur seketika dalam satu malam. Seusai makan dan membereskan peralatan makan, tiba-tiba saja terdengar keramaian di halaman depan rumah membuat sang Ayah dan Ibu memasang wajah serius.

“Di depan ramai sekali, ada apa?” tanya Atsumu sambil hendak berjalan menuju pintu karena penasaran. Namun, langsung ditahan oleh sang Ayah untuk tidak melangkah lebih jauh.

“Bawa Atsumu dan Osamu keluar melalui pintu bawah tanah!”

Satu-satunya wanita di dalam rumah itu langsung mengangguk sambil memasang wajah serius. Tangan Atsumu dan Osamu pun ditarik oleh sang Ibu, meninggalkan kebingungan oleh sang anak.

“Ki-Kita mau ke mana, Bu?”

Langkah kaki dihentakkan menuju gudang. Atsumu dan Osamu tak bisa memberontak lantaran genggaman Ibu yang sangat kencang. Sang Ayah sendiri telah mengeluarkan cakar tajamnya di kedua tangan dan kakinya. Ekornya tegang tanda waspada.

Mereka tiba di dalam gudang. Satu-satunya lemari di dalam sana digeser oleh sang Ibu, memperlihatkan pintu kayu berukuran 2x2 meter di lantai. Sebelum membuka pintunya, sang Ibu mencari sesuatu di dalam lemari yang ternyata gulungan kertas usang, obor, dan korek api. Setelah itu pintu menuju bawah tanah pun dibuka dengan mudahnya karena tidak dikunci. Obor pun dinyalakan.

“Kalian ikuti saja jalan bawah tanah ini hingga pintu keluar yang ada di ujung. Atsumu, simpan kertas ini baik-baik. Setelah keluar, kalian tunggu di bawah pohon besar yang ada di dekat pintu. Tunggu kami untuk menjemput kalian,” perintah sang Ibu sambil menyerahkan obor kepada Atsumu lalu memasukkan lembaran kertas lusuh yang diambilnya tadi dari lemari ke dalam saku celana anaknya.

Suara keributan semakin jelas terdengar dari luar. Suara gesekan benda tajam hingga suara berdebum di tanah membuat Atsumu dan Osamu kebingungan. Mereka sama sekali tidak tahu apa yang terjadi.

“I-Ibu ... a-apakah yang di luar itu ... para pemburu?” tanya Osamu.

Keributan di luar semakin menjadi-jadi. Bahkan mereka mendengar teriakan kesakitan sang Ayah membuat ketiganya langsung memasang wajah khawatir.

“Ayah! Ayah akan baik-baik saja, kan, Bu? ” seru Atsumu sambil menatap Ibunya. Obor di tangannya ia cengkram kuat-kuat. Dialah yang paling khawatir karena ia bisa mendengar keributan di luar dengan sangat jelas.

Kedua pundak sang anak ditepuk, sang Ibu pun berlutut di hadapan keduanya.

“Ya, mereka adalah para pemburu. Ibu sangat mengenali bau senjata api yang mereka bawa. Ayah dan Ibu akan melawan mereka. Oleh karena itu kalian tidak akan aman jika tetap berada di sini. Tenang saja, Ayah dan Ibu ini petarung yang kuat. Kami pasti akan menjemput kalian nanti.”

Sang Ibu menatap lembut anaknya secara bergantian. Atsumu dan Osamu balas menatap Ibunya dengan tatapan yang sulit diartikan. Perasaan mereka bercampur aduk. Tegang, khawatir, dan takut menjadi satu. Mereka tidak menyangka jika malam ini akan berbeda dari malam-malam biasanya.

“Pergilah! Percayalah pada Ayah dan Ibu.”

Menurut. Dua anak kembar itu hanya bisa menurut. Atsumu yang pertama kali menuruni anak tangga lalu disusul Osamu. Sang Ibu masih menetap, menonton dari atas untuk memastikan kedua anaknya hingga menapak di lantai ruang bawah tanah dengan selamat.

Atsumu dan Osamu telah berada di bawah. Sekeliling mereka gelap. Hanya obor di tangan Atsumu dan cahaya dari atas menjadi satu-satunya penerangan. Anak dan Ibu itu sekali lagi saling bertatapan.

“Cepat pergi!” seru sang Ibu.

Atsumu mengangguk lalu ia pun menarik tangan Osamu untuk berlari. Osamu menolehkan kepalanya ke belakang sedikit, menatap pintu yang masih terbuka lalu berseru, “Kami akan menunggumu, Bu!”

Pintu pun tertutup. Menyisakan kegelapan di belakang sana. Osamu kembali menatap ke depan. Mereka berlari menelusuri lorong bawah tanah yang gelap. Obor yang dipegang Atsumu menjadi penerang jalan.

Selama berlari, mereka terdiam. Pikiran berkecamuk memikirkan banyak hal. Laju lari semakin dipercepat. Ujung lorong belum ditemukan. Selama setengah jam mereka terus berlari tanpa henti hingga akhirnya menemukan tangga ke atas dan di sana terdapat pintu kayu yang tertutup. Selot pintu untungnya berada di dalam sehingga Atsumu mampu membukanya.

Sesuai perintah Ibunya, mereka pun duduk bersisian di bawah pohon besar dekat pintu dengan obor yang ditancapkan di tanah memisahkan mereka. Sekeliling mereka hanyalah hutan belantara yang gelap dan suara jangkrik yang menggema. Angin berembus membuat kedua anak itu bergidik.

“Ayah dan Ibu ... akan selamat, kan?” tanya Osamu di antara suara jangkrik yang bersahutan.

Atsumu menoleh ke arah Osamu yang sedang menatap kosong ke arah depan. Iris kelabu itu begitu sendu.

“Tentu saja. Mereka, kan, kuat. Kita pasti dijemput oleh Ayah dan Ibu!” ucap Atsumu guna menenangkan adik kembarnya.

Selanjutnya yang terjadi hanyalah keheningan. Kelelahan dan kehausan membuat mereka tak banyak bicara hingga akhirnya mereka pun tertidur dengan kepala Osamu bersandar di bahu Atsumu, sedangkan kepala Atsumu jatuh di kepala Osamu. Temaram obor menerangi wajah keduanya.

Selama dua jam mereka tertidur hingga sebuah tepukan lembut di pucuk kepala membangunkan mereka.

“Atsumu, Osamu, bangun, nak!”

Mata mengerjap berkali-kali hingga akhirnya terbuka lebar. Sosok ayah dan ibunya menjadi hal yang pertama kali mereka lihat.

“Ayah, Ibu, kalian selamat!” ujar Osamu sambil tersenyum lebar. Begitu juga Atsumu ikutan tersenyum. Namun, perlahan senyumannya luntur saat menyadari bahwa ada sesuatu yang ganjil dari penampilan orang tuanya.

Keduanya memakai pakaian berwarna putih dengan tubuh tanpa luka sedikitpun baik telinga maupun ekor. Penampilan mereka tidak tampak sehabis bertarung.

“Ayah ... Ibu ... kenapa kalian memakai pakaian berwarna putih? Juga ... kenapa kalian tidak terluka? Aku baru tahu jika kita memiliki sihir penyembuh,” tanya Atsumu membuat raut wajah kedua orang tuanya berubah seketika.

Hening. Ayah dan Ibu masih berdiri di hadapan mereka, sedangkan Atsumu dan Osamu masih terduduk si bawah pohon dengan temaram petromaks terletak di antara keduanya. Atsumu menatap lekat wajah kedua orangtuanya yang ikut diterpa temaram petromaks. Osamu hanya menatap keduanya dengan tatapan bingung.

“Maaf, Nak. Kalian tidak akan pernah bisa pulang lagi,” ucap sang Ibu dengan tatapan sendu membuat Atsumu dan Osamu semakin larut dalam kebingungan.

“Ya, sekarang kalian tidak mempunyai rumah,” tambah sang Ayah dengan lirih

“A-Apa maksudnya?! Kalian datang untuk menjemput kami, kan?! Kalian berhasil mengalahkan para pemburu itu, kan?!” Atsumu berseru kalap sambil berdiri. Segala pemikiran negatif berkeliaran di kepalanya. Osamu hanya terdiam sambil menatap pias wajah kedua orang tuanya.

“Tidak, Nak. Kami kalah. Kami sudah terbunuh. Yang ada di hadapan kalian ini adalah sisa sihir terakhir kami agar bisa bertemu kalian,” jelas Ayah sambil menatap sendu kedua putranya.

Atsumu dan Osamu langsung tercekat. Mereka terdiam, ketidakpercayaan menghantui mereka. Seketika rasa nyeri muncul di ulu hati mereka membuat kernyitan menghiasi wajah si kembar.

“M-Mustahil ...”

“Tidak, ini kenyataan. Maafkan Ibu yang telah berbohong kepada kalian. Kami ... tidak bisa menjemput kalian. Para pemburu itu berjumlah banyak membuat kami kewalahan hingga akhirnya terluka parah. Lalu daripada jasad kami diambil oleh mereka, kami membagi dua fokus sihir kami, untuk membakar diri dan bertemu kalian di sini,” tutur arwah dari sang Ibu.

Rasanya seperti separuh jiwa menghilang dari tubuh Atsumu dan Osamu. Mereka larut dalam kesedihan saat mendengar penuturan dari sang Ibu. Mereka baru menyadari bahwa tubuh kedua orangtuanya mengeluarkan titik-titik cahaya kecil, sihir yang menguap. Waktu mereka terbatas.

Di lain sisi, sang Ibu tersenyum lembut saat menatap kedua putranya. Ia pun mengangkat jari telunjuknya, mengalirkan sihir untuk mengeluarkan kertas yang tadi ia masukkan ke saku Atsumu. Lalu kertas itu pun dibentangkan di hadapan sang anak dengan garis-garis peta yang menyala. Ya, kertas itu adalah sebuah peta.

“Tujuan kalian adalah ke pegunungan utara. Itu adalah tempat tinggal para leluhur yang akan menjadi rumah kalian karena sangat berbahaya jika kalian masih menetap di wilayah ini. Kemungkinan para pemburu akan mencari kalian.”

“Saat perjalanan nanti, terapkan ilmu yang Ayah ajarkan soal hutan. Ingat-ingat lagi ciri-ciri buah yang bisa dimakan, air yang bisa diminum, apa yang harus dilakukan saat bertemu hewan liar. Ya, pasti kalian selalu mengingatnya karena kalian adalah anak Ayah yang hebat.”

“Juga jangan sampai ketahuan oleh manusia dan jangan sampai mengusik kehidupan mereka saat perjalanan. Jika melewati daerah manusia, bersembunyilah hingga malam agar tidak ketahuan. Ibu yakin kalian pasti mampu melakukannya.”

“Atsumu, kau adalah yang tertua. Dalam perjalanan ini kau harus mampu mengambil keputusan yang tepat jika terdapat hambatan. Osamu, kau harus mendengarkan Atsumu, tapi kau juga boleh berpendapat jika memang itu yang terbaik. Kalian harus saling melindungi, mendengarkan, dan menguatkan. Perjalanan menuju tempat leluhur sangatlah tidak mudah. Kalian harus mampu bertahan.”

Titik-titik cahaya kecil yang keluar dari tubuh kedua orang tuanya perlahan semakin banyak. Atsumu menggigit bibir bawahnya, sedangkan Osamu sudah terisak sambil menunduk. Ayah dan Ibu mereka hanya tersenyum sendu menatap kedua putranya.

“Aku ... belum siap kehilangan Ayah dan Ibu ...” lirih Osamu sambil mencengkram rumput di tanah disela isakannya.

Kehilangan

Perlahan Atsumu menitikkan air matanya. Ia baru saja dihadapkan kenangan paling pahit. Sebentar lagi tidak ada sosok yang ia panggil ayah dan Ibu. Mereka akan meninggalkannya.

“Bagaimana mungkin ... kami hidup tanpa kalian ...” ucap Atsumu sambil menatap nanar sosok arwah Ayah dan Ibu.

Sang Ibu yang melihat ekspresi menderita sang anak tak mampu lagi menahan tangisnya. Begitu juga sang Ayah yang menunduk dengan tatapan kecewa. Mereka telah gagal menjadi orang tua. Penyesalan tidak bisa melihat anak mereka tumbuh mengakar dalam hati mereka.

Sebelum sosok mereka menipis, sang Ayah menarik tangan sang Ibu lalu merangkul kedua anaknya. Mereka berpelukan sebagai tanda perpisahan. Isakan tangis menggema di bawah langit malam yang berbintang.

“Kalian harus bertahan, bagaimanapun caranya kalian harus berjuang untuk bertahan hidup ...” ujar sang Ayah dengan nada kesedihan yang kentara sambil mengusap-usap punggung kedua anaknya.

“Doa Ibu selalu menyertai kalian, Nak. Ingat itu ...” sang Ibu berujar lembut sambil mengecup pucuk kepala anaknya satu-satu. Memberi kehangatan terakhir.

Sihir kedua orang tua mereka semakin banyak yang menguap. Sosok mereka pun semakin menipis. Tangisan Atsumu dan Osamu semakin keras kala menyadari bahwa mereka akan segera kehilangan.

“Kami mencintai kalian ...”

Itu adalah ucapan terakhir dari Ayah dan Ibunya yang menggema. Setelahnya sosok mereka berubah menjadi titik-titik cahaya kecil yang terbang ke atas, layaknya serpihan bintang di langit sana. Meninggalkan Atsumu dan Osamu dalam duka.

Semenjak hari itu, perjalanan mereka pun dimulai ...

🦊🦊🦊🦊🦊

Suara patahan ranting mengagetkan Osamu. Berjalan sambil melamun dan terkaget karena suara ranting yang diinjaknya adalah hal bodoh yang dilakukan si bocah rubah kelabu. Osamu membuang napas sejenak lalu kembali berjalan.

Kedua tangannya dipenuhi oleh ranting-ranting kering guna membuat api unggun jika malam telah tiba. Ia juga tadi sempat ke sungai untuk mengambil air guna persediaan. Beruntung sekali bisa menemukan sungai di sekitar sini mengingat air bersih susah sekali ditemukan di hutan belantara. Ia jadi teringat pernah meminum air pahit dari suatu tumbuhan karena tidak menemukan sumber air. Di tengah perjalanan ia pun sakit perut dan membuat Atsumu kerepotan. Ia tidak ingin kejadian itu terjadi lagi.

Setibanya di gua, Osamu dengan perlahan meletakkan ranting-ranting di dalam agar tidak membangunkan Atsumu. Ia juga meletakkan persediaan air dengan wadah dua tempurung kelapa juga kantung air dari hasil pencurian sebelumnya.

Masih ada tiga setengah jam. Osamu pun memutuskan untuk pergi mencari buah-buahan sembari melatih indra penciumannya untuk persiapan perjalanan malam nanti. Keadaan hutan yang gelap gulita saat malam hari membuat indra penciuman Osamu yang begitu tajam sangat dibutuhkan dibanding indra pendengaran Atsumu. Mereka tidak pernah membawa penerangan saat malam hari dikarenakan takut menarik perhatian hewan liar nokturnal dan mengantisipasi jika bertemu manusia. Untuk itulah indra penciuman milik Osamu sangat dibutuhkan karena dapat mengetahui aroma dari benda apa saja yang dilewati, misal batu, akar tunggang pohon, sarang rusa, dan lainnya sehingga memudahkan perjalanan.

“Saatnya berburu!”

Osamu pun berjalan keluar gua, bersiap menjelajahi area hutan sekitar gua untuk berburu buah-buahan.

🦊🦊🦊🦊🦊

“Tsumu, bangun! Sudah empat jam, gantian aku yang tidur!”

Tepukan keras di ekor membuat Atsumu membuka mata seketika. Bocah itu pun dengan segera mengumpulkan kesadarannya lalu duduk sambil meregangkan tubuhnya.

“Cepat sadar!” Osamu menarik kedua telinga Atsumu karena tidak sabaran melihat saudaranya itu masih bergerak malas.

“Ck, iya, iya. Ini aku udah bangun. Tidak perlu menarik telingaku!” Atsumu mengusap-usap telinganya sambil berdecak. Mata digulirkan ke depan dan mendapati kumpulan ranting kering juga buah-buahan tergeletak manis di dinding gua depannya.

“Astaga Samu, buah-buahan itu kau yang mencari?!” seru Atsumu hingga suaranya sangat menggema. Osamu hanya mendelik saat mendengar suara Atsumu yang terlampau heboh.

“Tentu saja aku, bodoh! Sudah, aku mau tidur!” Osamu membaringkan diri di area yang menurutnya nyaman. Mata dipejamkan sambil memeluk ekor. Tak lama kemudian ia pun terlelap akibat rasa lelah luar biasa setelah tiga jam menjelajahi hutan.

Atsumu hanya geleng-geleng kepala melihat jumlah buah yang lumayan banyak itu. Ia pun berdiri menghampiri kumpulan buah itu lalu jongkok di depannya. Salah satu buah diambil untuk memastikan bisa dimakan atau tidak. “Huh, pasti nanti yang akan menghabiskan buah-buahan ini Samu mengingat aku tidak terlalu doyan buah,” ujar Atsumu sambil meletakkan kembali buah-buahan yang diambilnya tadi.

Ia pun berdiri lalu menatap ranting-ranting yang tergeletak rapi di sebelah barisan buah-buahan juga air dengan wadah tempurung kelapa.

'Tumben sekali dia baik ...'

Dengan begini Atsumu tak perlu menjelajah hutan untuk mencari kayu api unggun dan persediaan air karena Osamu sudah mencarikannya. Maka dari itu selama empat jam ke depan Atsumu memutuskan untuk melatih fisik dan sihirnya. Langkah pun dibawa keluar, pemandangan pepohonan menjadi hal pertama yang dilihatnya.

Atsumu melakukan perenggangan guna menghindari cedera. Selepas itu ia pun mengeluarkan cakar tangannya lalu mengambil sikap kuda-kuda. Dalam hitungan detik Atsumu melesat dengan cepat ke area hutan depan mulut gua. Ia membuat simulasi jika ia dikejar oleh para pemburu.

Menemukan pohon yang tinggi, Atsumu pun menancapkan cakarnya ke batang pohon lalu memanjatnya. Berpindah dari satu pohon ke pohon lainnya dengan kecepatan dan kekuatan cakar sembari menembakkan sihir angin yang merupakan sihir alami siluman rubah.

Sebenarnya siluman rubah memiliki dua sihir alami, yaitu sihir api dan angin. Namun, dikarenakan sihir api yang berdampak besar bagi lingkungan sekitar apalagi hutan seperti ini membuat Atsumu lebih memfokuskan sihir anginnya.

Selama dua jam ia berlatih. Melesat sambil menembakkan sihir angin ke batang pohon hingga menimbulkan bentuk kawah di batang, melatih keahlian beladirinya, dan latihan-latihan lainnya. Kemudian ia terpaksa menghentikan aktivitasnya lantaran merasakan bulir air jatuh dari langit di hidungnya.

'Hujan?'

Atsumu mendongak ke atas dan mendapati langit yang tadinya cerah kini menjadi sangat mendung. “Sudah memasuki musim penghujan, ya ...”

Atsumu pun memutuskan untuk kembali ke gua sebelum hujan benar-benar turun. Ia melesat dengan cepat agar tidak kehujanan. Tepat setibanya di gua, hujan perlahan-lahan turun dan menderas.

“Huft, untung saja ...”

Atsumu pun melakukan pendinginan setelah tubuhnya melakukan aktivitas fisik seperti tadi guna menghindari rasa sakit di tubuh. Selepas itu ia pun menyiapkan ranting-ranting kering untuk membuat api unggun. Setelah semuanya rapi, ia pun menjentikkan jarinya. Api pun menjalar di kumpulan ranting.

Tampak Osamu yang masih terlelap lebih merilekskan tubuhnya karena kehangatan yang ia rasakan dari dekat punggungnya. Atsumu pun mendudukkan diri sambil bersandar di dinding gua dengan pemandangan punggung Osamu yang terlelap di seberang api unggun. Suara-suara letupan dari ranting yang terbakar meramaikan keheningan yang ada. Hujan di luar semakin deras bahkan petir menyambar-nyambar.

Atsumu mengambil salah satu buah di dekatnya lalu memakannya. Lidah api yang menyala-nyala menjadi pusat perhatiannya saat ini. Pikiran melayang mengenai perjalanan nanti malam. Jika hujan reda lebih cepat maka tanah yang basah akan menjadi masalah untuk mereka. Jika hujannya awet hingga tengah malam terpaksa mereka harus menetap di gua hingga pagi, hujannya reda.

Suara gemuruh petir dari luar mengagetkan Atsumu. Tak hanya sekali, berkali-kali petir menyambar begitu kerasnya membuat Atsumu merinding seketika.

"Dasar pengecut! Sama petir saja takut!"

Iris Atsumu membola seketika kala kepalanya memperlihatkan memori masa lalu ketika berumur enam tahun.

“Osamu penakut! Samu penakut!”

“Berisik!”

Atsumu kecil tertawa puas saat melihat wajah Osamu yang sangat kesal akibat diejek olehnya. Semalam ia mendapati saudara kembarnya itu pindah ke kamar Ayah dan Ibu ketika petir menyambar-nyambar saat hujan deras tadi malam. Ia juga melihat Osamu yang dinyanyikan lagu pengantar tidur oleh sang Ibu. Osamu yang takut petir adalah hal yang bagus untuk dijadikan bahan ejekan.

“Tsumu, tidak boleh seperti itu! Semua orang pasti memiliki banyak kekurangan dan yang harus kita lakukan adalah menghargainya. Jangan mengejeknya seperti itu!”

Sang Ibu menjewer telinga Atsumu karena kelakuan jahilnya dan langsung ditertawakan oleh Osamu.

Atsumu menggeleng-gelengkan kepalanya lalu menepuk pipinya keras. Sekarang bukan saatnya untuk bernostalgia. Ia pun menghela napas panjang lalu iris terfokus pada punggung Osamu. Saudaranya itu tampak terlelap begitu nyaman padahal sebenarnya tidak. Pergerakan kecil yang dilakukan Osamu seperti lebih membungkukkan badannya ke depan dan telinga yang bergerak pertanda ia merasa tidak nyaman. Atsumu sangat mengetahui tindak-tanduk saudara kembarnya itu.

Petir kembali menyambar membuat pergerakan tak nyaman dari Osamu semakin terlihat. Atsumu yang melihat itu langsung menggali memorinya, berusaha mengingat nada lagu yang dinyanyikan Ibunya untuk Osamu yang tidak bisa terlelap karena petir. Ia tidak ingin Osamu kekurangan jam tidurnya.

Nada lagu telah diingat, tetapi Atsumu tahu diri kalau suaranya sangatlah sumbang jika bernyanyi. Maka siulanlah yang menjadi solusi.

Siulan menggema di dalam gua, menyanyikan lagu pengantar tidur untuk Osamu. Menyatu dengan letupan lidah api. Tampak Osamu yang perlahan merilekskan tubuhnya membuat senyuman kecil mengembang di wajah Atsumu.

Afeksi diuarkan tanpa sadar

🦊🦊🦊🦊🦊

Tidak disangka hujannya begitu awet sehingga Atsumu dan Osamu melanjutkan perjalanannya ketika dini hari, kala hujannya tinggal rintik gerimis. Lebih tepatnya dua jam sebelum matahari terbit.

Kain berisi perbekalan telah dibuat sedemikian rupa sehingga bisa dibawa layaknya tas punggung menggunakan serabut kayu yang kuat, Atsumu yang membawanya. Api unggun telah dipadamkan. Sisa-sisa abu kayu dimusnahkan demi menghilangkan jejak. Kini dua anak itu sedang melakukan pemanasan karena mereka akan bergerak melalui dahan-dahan pohon demi menghindari kecelakaan akibat tanah licin. Cakar tangan yang tajam khas rubah dikeluarkan, bersiap untuk mencengkeram batang pohon-pohon nanti.

“Saatnya berangkat!” seru Atsumu begitu semangat.

Mereka pun melesat. Cakar menancap di batang pohon lalu memanjatnya. Berpindah dari pohon ke pohon dengan memfokuskan kekuatan cakar tangan dan pijakan kaki. Sengaja meninggikan kecepatan di awal demi menghindari kecerobohan dalam bergerak karena saat bergerak dalam kecepatan tinggi, tingkat refleks tubuh juga akan semakin cepat dan tepat sehingga mengurangi kesalahan dalam bergerak. Ditambah langit dini hari yang lumayan terang memudahkan pergerakan juga.

Perlahan di ujung timur sana sinar mentari muncul. Hangatnya sang surya langsung mencium permukaan kulit mereka. Suasana hutan semakin terang membuat mereka semakin meninggikan kecepatan.

Namun, hal tak terduga terjadi. Osamu terpleset saat berpijak di dahan selanjutnya membuat ia kehilangan keseimbangan dan terjatuh. Kesialan bertambah kala mengetahui ia akan terjatuh di atas tubuh harimau raksasa yang sedang terlelap.

Atsumu yang melihat itu hendak berseru memanggil saudaranya, tetapi ia menyadari bahwa suaranya akan membangunkan harimau dan akan memperparah keadaan. Maka ia hanya bisa terus melaju.

Sebelum benar-benar jatuh ke tanah, Osamu berhasil mengendalikan tubuhnya dan berusaha mendarat di tempat lain. Namun, ia sungguh tidak beruntung karena kakinya malah mendarat di atas ekor sang harimau membuat harimau itu terbangun dan meraung keras.

“Samu, cepat lari!” seru Atsumu dari kejauhan sambil menapak sejenak di salah satu dahan pohon.

Tanpa pikir panjang, Osamu pun berlari sekuat tenaga. Bahkan ia menggunakan kedua tangannya juga untuk berlari layaknya seekor rubah. Harimau yang ia bangunkan kini berlari mengejar. Atsumu yang melihat harimau itu dari atas pohon meringis lantaran ukuran tubuhnya sangat besar, harimau raksasa.

Saat memastikan Osamu sudah lumayan jauh di depan sana, Atsumu pun merapalkan sihir pusaran angin untuk menghambat pergerakan harimau.

“Angin: pusaran!”

Pusaran angin dari kedua tangannya perlahan membesar lalu menghantam tubuh si harimau raksasa sehingga membuat laju larinya oleng dan terjatuh. Namun, hal itu tidak membantu banyak karena si harimau cepat bangkit dan kembali mengejar, bahkan laju larinya semakin cepat.

'Sial, selama ini aku melatih sihir anginku untuk melawan manusia. Tidak disangka jika hewan besar akan menjadi lawanku juga!'

Atsumua berdecak lalu kembali melesat menyusul saudaranya di depan. Indra pendengarannya menangkap suara berdebum jatuh dari depan sana. Dipastikan Osamu terjatuh sejenak.

'Pasti karena tanahnya licin!'

Atsumu terus melesat, pindah dari dahan ke dahan menggunakan cakar tangan dan kakinya sehingga membuat sepatunya rusak. Irisnya mendelik kala mendapati harimau mendahuluinya lebih cepat.

“Sial! Sial! Sial!”

Kecepatan dimaksimalkan, gigi digertakkan. Atsumu berpikir keras bagaimana caranya menghambat pergerakan si harimau jauh lebih lama.

Sihir angin kembali ditembakkan secara bertubi-tubi. Namun, selalu meleset dan tidak mengenai harimau. Laju lari harimau itu semakin cepat dan Atsumu semakin tertinggal.

Di sisi lain di depan sana, Osamu yang masih berlari menangkap cahaya dari arah depannya. Nampaknya di depan sana adalah area lapang dan sudah keluar dari hutan lebat ini. Sebuah rencana muncul di otaknya. Ia akan menggunakan sihir api untuk mengancam si harimau agar pergi. Maka laju lari pun semakin dipercepat.

Saat sudah keluar dari hutan, Osamu membalikkan tubuhnya. Cakar kakinya mencengkeram tanah sehingga sepatunya rusak dan membuat tubuhnya seperti terseret ke belakang. Hal itu dilakukannya guna mengerem laju larinya. Osamu dapat melihat jelas tampang harimau raksasa yang mengejarnya dan siap menerkamnya. Akan tetapi, sebelum benar-benar mendekat, Osamu menepuk kedua tangannya. Mengumpulkan energi sihir di sana dan api yang sangat besar pun muncul dari sana membuat si harimau meraung kaget dan berusaha mengerem laju larinya.

Osamu yang melihat itu hanya menyeringai seraya cakar kakinya masih berusaha untuk menghentikan tubuhnya. Namun, ia tak sadar jika di belakangnya merupakan tepian tebing yang di bawahnya adalah jurang. Cakar di kakinya belum bisa menghentikan tubuhnya hingga ke tepian tebing. Alhasil Osamu pun terjatuh dan membuat bocah kelabu itu terkejut setengah mati.

“SAMU!”

Atsumu yang berhasil menyusul langsung melompat dengan kecepatan tinggi dari dahan terakhir sebelum keluar area hutan saat melihat saudara kembarnya akan jatuh ke jurang. Niatnya ingin menangkap tubuh Osamu sebelum benar-benar jatuh. Namun naas, lompatannya terlalu kencang sehingga arah tubuhnya melewati tepian tebing. Alhasil ia juga ikutan terjatuh ke jurang, bahkan sampai menabrak tubuh Osamu.

Mereka berteriak begitu kerasnya. Entah berapa lama mereka melayang terjatuh. Selanjutnya hanya kesakitan dan kegelapan sebagai hal terakhir yang mereka rasakan.

🦊🦊🦊🦊🦊

Osamu membuka matanya dan pemandangan yang ia pertama kali lihat adalah meja makan. Ia sedang duduk di meja makan. Tiba-tiba saja sebuah piring berisikan daging panggang diletakkan di depannya. Aromanya begitu menggugah selera.

“Ini dia, bebek panggang kesukaan Osamu!”

Sebuah tepukan lembut mendarat di pucuk kepalanya. Osamu pun menoleh dan mendapati Ibunya sedang berdiri di sampingnya sambil tersenyum lembut ke arahnya. Sontak hal itu membuat Osamu ikut tersenyum juga. Ekor digerakkan dan telinga berdiri tegak tanda perasaan senang.

Namun, pemandangan yang dilihatnya dalam sekejap berubah. Piring di hadapannya kosong dan sosok Ibunya yang berdiri di sebelahnya digantikan oleh tengkorak yang berpakaian seperti Ibunya. Tengkorak itu tidak bergerak, tidak bersuara. Tangannya yang hanya kerangka terasa begitu keras di atas kepala Osamu membuat anak itu tercekat dan menjerit seketika.

🦊🦊🦊

“IBU!”

“UHUK! Astaga, kau mengagetkanku, Nak!”

Osamu terbangun dengan terengah-engah dan langsung merasakan sakit di tubuhnya seketika. Ia pun menyadari bahwa ia sedang berada di atas kasur lipat dan selimut tipis dengan tubuh bertelanjang dada yang dipenuhi oleh balutan perban. Lalu kepala pun ditolehkan ke arah suara tadi. Seorang pria berambut jabrik dengan perpaduan warna hitam putih yang berada dua meter di samping kanannya. Pria itu duduk di atas kasur lipat berselimut tipis dan tubuh bertelanjang dada yang dipenuhi oleh balutan perban. Di punggung sang pria terdapat sayap besar yang menguncup dengan corak warna hitam dan putih. Pria itu sedang menyimpan cangkir di lantai sampingnya lalu menyeka mulutnya yang kotor oleh noda teh.

“S-Siapa?”

“Sepertinya kau mengalami mimpi yang sangat buruk, ya.”

Belum saja pertanyaannya yang tadi terjawab, tiba-tiba saja seorang wanita datang dari arah berlawanan membuat Osamu terkejut. Wanita itu berambut coklat selengan belah tengah, mengenakan gaun rumahan, dan juga memiliki sayap di punggungnya yang berwarna coklat. Wanita itu menghampiri sang pria dan di tangannya membawa kain lap. Ia pun berjongkok lalu dengan telaten ia mengelap mulut sang pria yang terkena cipratan teh akibat tersedak tadi.

“Terima kasih, Yukie,” ujar sang pria dengan lembut sambil mengelus perlahan pucuk kepala sang wanita. Senyuman lembut diuarkan oleh sang wanita sebagai balasan.

Osamu yang melihat adegan romantis tadi hanya bisa mengerjap dan juga sedikit mengingatkan akan sosok kedua orangtuanya. Rindu mengendap dalam relung hatinya.

“Nak, sebaiknya kau berbaring saja soalnya lukamu lebih parah dibanding saudaramu,” kata sang wanita seraya bangkit lalu menghampiri Osamu.

Osamu yang mendengar kata ‘saudara' langsung terkesiap. “Tsumu?! Di mana Atsumu?!”

“Dia ada di sebelah kirimu, Nak.”

Osamu pun langsung menoleh ke arah kirinya dan mendapati sang saudara kembar yang terlelap di atas kasur lipat yang sama dan berselimut kain  tipis yang menutupi tubuhnya hingga leher. Perban melingkari kepala Atsumu. Ia bisa melihat Atsumu yang bernapas teratur dalam tidurnya, pertanda ia baik-baik saja. Osamu pun bernapas lega.

“Ini, minumlah terlebih dahulu.”

Osamu dikejutkan oleh sang wanita tadi yang kini sudah berjongkok di samping kanannya sambil menyodorkan segelas air putih. Osamu mengerjap, menatap sang wanita sekilas lalu beralih ke gelas.

“Tidak perlu khawatir, tidak diracun, kok!” ucap sang wanita menenangkan. Osamu pun menerima gelas itu ragu-ragu. “T-Terima kasih ...”

Sang wanita hanya mengangguk lalu bangkit menuju dapur yang ternyata menyatu dengan ruangan yang ditempatinya ini. Osamu pun menatap ke sekeliling. Interior khas rumah tua tanpa perabotan dan atap kayu lapuk yang dipenuhi sarang laba-laba. Ruangan yang luas dengan perapian di hadapannya. Di sebelah kirinya merupakan dapur dan di sebelah wastafel terdapat bingkai pintu menuju ruangan lain.

“Kau pasti bertanya-tanya mengapa kau bisa di sini, ya?”

Osamu menoleh ke arah sang pria tanda bahwa ia mengiyakan pertanyaannya. “Iya, emm maaf sebelumnya, Anda siapa, ya?”

“Perkenalkan namaku Bokuto dan wanita tadi adalah istriku, Yukie. Kalian diselamatkan oleh keponakanku, Akaashi, saat dini hari tadi. Ah, dia sedang tidak ada di sini karena masih menjelajah di luar untuk mencari kayu bakar.”

Osamu mengangguk-angguk paham akan penjelasan pria bernama Bokuto tadi. Ia pun mengingat kembali kejadian sebelumnya. Dikejar harimau lalu terpeleset dan Atsumu yang melompat ke arahnya. Ia dan saudaranya jatuh ke jurang.

“Nak, sebaiknya kau berbaring lagi karena beberapa tulang rusukmu patah.”

Osamu langsung meringis kala mendengar perkataan Yukie yang sedang berkutat di dapur.

'Pantas saja badanku terasa sakit.'

Osamu pun perlahan membaringkan tubuhnya. Ia menatap sekilas ke arah Atsumu yang terlelap lalu beralih ke Bokuto.

“Kau belum memperkenalkan dirimu, Nak.”

“Ah, maaf. Namaku Osamu dan saudara kembarku ini bernama Atsumu,” ucap Osamu masih dalam kondisi berbaring.

“Hmm, kalian mirip sekali. Bagaimana cara membedakannya?” tanya Bokuto sambil duduk sila menghadap Osamu. Kepala sedikit dilongokkan untuk menatap wajah Atsumu lalu beralih ke Osamu secara bergantian.

“Hmm ... mudah saja. Atsumu orangnya cerewet, sedangkan aku kalem.”

Mendengar jawaban Osamu, Bokuto pun langsung tergelak seketika. “Kau anak siluman rubah yang lucu rupanya! Umurmu berapa?”

“Sepuluh tahun.”

“Wah, ternyata seumuran dengan Akaashi. Senang akhirnya bisa menemukan anak sepantaran dengannya.”

Osamu hanya mengangguk sebagai tanggapan. Saat ini pikirannya dipenuhi oleh rasa penasaran akan sayap yang ada di punggung Bokuto. “Emm ... Paman Bokuto seorang siluman burung kah?”

“Ya, lebih tepatnya siluman burung hantu.”

'Pantas saja ...'

“Ah, aku jadi teringat bagaimana kewalahannya Akaashi saat membawa kalian ke sini. Apalagi kalian saat itu terluka parah dan Akaashi bilang kalian seperti terjatuh dari atas. Hei, ceritakan apa yang sebenarnya terjadi?”

'Jadi, di sini adalah dasar jurangnya, ya. Tak kusangka di dasar jurang terdapat bekas rumah seperti ini'

“Kami sedang dalam perjalanan jauh dan di tengah perjalanan kami bertemu harimau raksasa lalu dikejar dan ... ya, kelanjutannya kami terjatuh ke jurang ...”

Bokuto hanya mengangguk-angguk saat mendengarkan cerita singkat Osamu. “Sebenarnya kami juga sedang dalam perjalanan jauh. Namun, di tengah perjalanan terjadi suatu hal yang membuatku terluka dan ya ... kami menemukan pondok ini  dari atas lalu memutuskan untuk tinggal di sini hingga aku pulih. Juga tempat ini sangatlah aman dari ancaman,” Bokuto menjelaskan balik.

“Apa kalian juga dikejar oleh pemburu siluman?” tanya Osamu penasaran karena kepikiran akan luka yang didapat Bokuto akibat dikejar oleh pemburu siluman. Manusia dengan fisik setengah hewan selalu menjadi incaran para pemburu membuat Osamu menyimpulkan seperti itu.

“Ya, tepat sekali! Sepertinya kita memiliki kesamaan alasan mengapa melakukan perjalanan jauh,” ucap Bokuto disertai senyuman sendu.

Osamu pun kembali mengingat kejadian-kejadian yang terjadi sebelumnya. Ketika masih tinggal bersama kedua orangtuanya lalu kematian mereka. Sesak, jika diingat lagi masih terasa begitu sesak walau sudah berkali-kali.

“Osamu, tolong bangunkan saudaramu. Saatnya makan siang. Akan berbahaya jika saudaramu tertidur terus jika perutnya tidak diisi apapun,” perintah Yukie yang masih berkutat di dapur, memecah keheningan yang secara tiba-tiba terjadi.

Osamu pun bergerak, sedikit memiringkan badannya ke Atsumu. Tangannya menepuk perut Atsumu lumayan keras. “Tsumu, bangun!”

Masih terlelap. Tangan sekali lagi menepuk dengan tenaga lebih. “TSUMU!”

“ASTAGA HARIMAU!”

Atsumu langsung tersentak bangkit akibat tepukan tangan Osamu yang terlalu keras. Kini saudara kembarnya itu dalam posisi duduk dan kebingungan menatap sekitar.

“Eh, ini di ma---”

“Aku pulang!”

Pertanyaan Atsumu terpotong oleh seseorang yang muncul di bingkai pintu dekat wastafel. Seorang anak laki-laki berambut hitam ikal, iris biru kehijauan, sayap berwarna coklat yang menguncup di punggung, mengenakan kaus biru lengan panjang yang bertali di bagian kerah depan leher, celana pendek warna coklat, dan sepatu kain bertali warna coklat. Anak itu membawa seikat kayu bakar dan terdapat tas putih berukuran sedang yang diselempangkan di tubuhnya.

“Woah, Akaashi, kau membawa apa di tas itu?” tanya Bokuto antusias.

“Pakaian dari pasar yang berjarak 7 kilometer dari sini,” jawab anak yang bernama Akaashi itu sambil berjalan menuju tungku perapian lalu meletakkan kayu bakarnya di sana.

“Tunggu, pa-pasar?! Dengan penampilan seperti itu kau ke pasar?! Apa para manusia di sana tidak heboh melihatmu?!” tanya Atsumu heboh. Ia telah melupakan segala kebingungan sebelumnya. Osamu sendiri hanya menatap penasaran dari posisinya.

“Aku menggunakan sihir penyamaran manusia, jadinya ... ya, aman,” jawab Akaashi sambil berbalik ke belakang, menatap Atsumu. Kemudian ia pun menghampirinya sambil membuka tas yang diselempangkan di tubuhnya.

“Aku membeli pakaian untukmu dan saudaramu. Silakan dicoba, muat atau tidak.” Akaashi menyerahkan dua kaus lengan pendek berbeda warna dengan model yang sama persis dengan yang dikenakan Akaashi kepada Atsumu. Yang satu berwarna abu-abu dan satunya lagi berwarna coklat.

Atsumu menerimanya sambil memproses apa yang terjadi. Kebingungannya terkait mengapa ia ada di sini kembali muncul dan ia benar-benar bertanya-tanya sambil mengenakan kaus yang berwarna coklat, sedangkan kaus yang berwarna abu-abu ia letakkan di pangkuannya.

“Hei, Akaashi, pamanmu tidak dibelikan?”

“Pakaian paman, kan, sudah kubelikan kemarin.”

“Maksudku makanan ringan gitu atau mainan.”

“Kan, sudah kubilang tidak bisa, Paman. Membeli pakaian bekas menggunakan sistem barter diperbolehkan. Kalau ingin membeli makanan atau mainan harus menggunakan alat pembayaran dan kita tak punya itu.”

Atsumu menatap kaus yang baru dikenakannya. Pertanyaan tambahan muncul di dalam kepalanya.

“Anu, maaf, kenapa aku dan saudaraku dibelikan pakaian? Lalu, mengapa kami bisa di sini? Siapa kalian? Ini di mana?” pertanyaan beruntun diajukan oleh Atsumu yang memang belum tahu apa-apa. Osamu yang sudah tahu jawabannya hanya diam saja dalam posisi berbaringnya, malas menjawab pertanyaan sang saudara.

“Aku menemukan kalian tersangkut di dahan pohon tinggi dekat tebing dalam keadaan luka parah. Ya, sedikit mengerikan jika diingat lagi.”

Atsumu dan Osamu langsung meringis saat mendengar penuturan Akaashi. Terjatuh dari tebing yang sangat tinggi dan tidak disangka masih diberi kesempatan untuk hidup adalah sebuah anugerah. Kedua anak itu langsung merinding saat mengingat kembali sensasi melayang saat terjatuh.

“Lalu kalian dibelikan pakaian baru karena Bibi yang menyuruhnya.”

“Tentu saja, lihatlah pakaian kalian sebelumnya ...”

Yukie datang ke hadapan Atsumu dan Osamu sambil membawa dua pakaian berwarna kuning dan biru yang sudah robek sana-sini. Si anak kembar yang melihat itu tambah meringis. Tiba-tiba saja Atsumu terkesiap karena teringat sesuatu. Ia pun dengan cepat merogoh pahanya, mengecek keadaan celana lalu merogoh sakunya. Kertas petanya masih aman.

“Oh, iya, Atsumu belum tahu, ya. Namaku Bokuto, itu istriku bernama Yukie, dan keponakanku Akaashi.”

“Ya, sudahi dahulu sesi perkenalannya. Saatnya makan siang. Kita bisa bercerita setelah makan.”

Hari itu untuk pertama kalinya Atsumu dan Osamu makan siang dalam keadaan tentram. Tidak di tengah-tengah hutan belantara yang terik, tiada kecemasan, dan tidak perlu berpacu dengan waktu. Di dalam rumah tua oleh orang-orang yang sama hangatnya dengan orang tua mereka. Terlebih lagi mereka mendapatkan teman sepantaran.

“Astaga, ekormu bergerak-gerak, lucu sekali. Apa masakanku sangat enak, Nak Osamu?”

“Hu'um!”

Osamu menjawab sambil tersenyum sumringah. Dikarenakan tangan kanannya yang juga patah, Osamu pun disuapi oleh Yukie.

“Yukie, aku juga ingin disuapi!”

“Bokkun, tanganmu, kan, sudah sembuh. Makan sendiri saja!”

Atsumu hanya bisa terheran-heran akan sikap Bokuto yang tidak sesuai umur. “Tolong maklumi pamanku, Atsumu.”

Akaashi berujar datar, tapi kentara sekali jika ia malu dengan sikap pamannya.

Makanan telah ditandaskan. Piring ditumpuk lalu cerita pun mengalir. Nasib mereka sangatlah mirip. Semua diakibatkan oleh para pemburu.

Perkampungan siluman burung hantu yang berada di dataran tinggi diserang oleh para pemburu. Kedua orang tua Akaashi tewas di tempat. Bokuto dan Yukie berhasil menyelamatkan Akaashi lalu membawanya pergi menjauhi perkampungan. Nasib Akaashi sangatlah mirip dengan Atsumu dan Osamu. Bedanya dia masih memiliki keluarga yang bisa digantungkan.

“Tapi, kalian sangatlah hebat bisa bertahan sampai sejauh ini. Orang tua kalian pasti bangga,” kata Bokuto sambil menepuk kepala Atsumu yang berada di dekatnya. Atsumu dan Osamu yang duduk bersandar di dinding hanya bisa tersenyum lemah saat mendengar perkataan Bokuto.

“Setelah ini kalian akan melanjutkan perjalanan ke mana?” tanya Akaashi.

Atsumu pun bergerak mengambil peta yang ada di sakunya lalu membentangkannya di hadapan mereka. “Kami akan menuju barisan pegunungan di utara, tempat para leluhur kami berada,” jelas Atsumu sambil menunjuk wilayah utara yang ada di peta.

“Eh, tujuan kita sama-sama menuju utara, bedanya tujuan kami lebih jauh lagi. Hutan liar yang ada dibalik pegunungan utara. Eh, tapi tunggu dulu, bagaimana kalau kita bersama-sama menuju ke sana. Kami bisa mengantar kalian menuju tempat yang dituju,” usul Bokuto setelah melihat petanya. Iris emasnya menatap Atsumu dan Osamu secara bergantian.

“Eh, ta-tapi bagaimana caranya? Juga apa tidak merepotkan, Paman?” Osamu bertanya dengan nada ragu. Bokuto dan keluarganya pasti akan melakukan perjalanan dengan terbang lalu jika pergi bersama, mereka akan dibawa dengan cara apa?

“Tenang saja, kami melakukan perjalanan menggunakan bentuk asli tubuh kita. Aku bisa berubah menjadi burung hantu raksasa dan mampu membawa kalian dengan cengkraman kakiku ketika terbang.”

“Cengkraman di kaki rasanya terlalu kejam. Lebih baik menggunakan  wadah yang besar untuk menampung mereka berdua, seperti keranjang kayu raksasa lalu gagangnya nanti dicengkeram oleh kaki Paman,” celetuk Akaashi.

“Ah, seperti biasa keponakanku cerdas sekali, haha!” seru Bokuto sambil tertawa.

Iris Atsumu beralih ke Akaashi, sedikit kaget dengan celetukan Akaashi tiba-tiba. Atsumu pikir Akaashi ini tidak suka dengan keberadaan dirinya dan sang saudara karena tampangnya yang sangat cuek saat menatap mereka. “Emm ... Akaashi tidak keberatan jika kami pergi bersama kalian?” tanya Atsumu untuk meyakinkan lagi.

“Tidak masalah. Lagian jika kalian tetap memilih berjalan untuk sampai ke pegunungan utara itu akan memakan waktu yang sangat lama dan mungkin saja para pemburu akan menyusul duluan,” jawab Akaashi disertai senyum kecil.

“Akaashi benar, Bibi juga tidak keberatan. Pasti akan seru saat perjalanan nanti!” tambah Yukie antusias.

Atsumu beralih menatap Osamu, meminta pendapat adik kembarnya. Osamu hanya mengangguk sambil tersenyum pertanda setuju.

“Baiklah, kami akan ikut kalian. Terima kasih atas bantuannya!”

Bokuto, Akaashi, dan Yukie hanya tersenyum sebagai balasan. Selanjutnya mereka pun membahas mengenai keranjang yang akan menjadi wadah dua anak kembar saat perjalanan nanti.

“Hutan yang mengelilingi rumah kita ini adalah hutan yang sangat subur, semua tumbuhan ada di sini. Mungkin karena itu juga orang-orang yang pernah tinggal di sini puluhan tahun yang lalu meninggalkan area ini lantaran tetumbuhan di sini begitu cepat berkembang pesat hingga merusak rumah. Bisa dilihat dari rumah yang kita tempati.”

Atsumu mengangguk-angguk mendengar penjelasan Akaashi. Bokuto dan Osamu sudah terlelap duluan demi pulihnya tubuh mereka. Yukie sedang membereskan peralatan makan.

“Karena hutan ini subur, aku yakin pasti di sini ada pohon jati yang tumbuh, bahan utama keranjang. Alas, pinggiran, dan gagang keranjang akan aku gambar bentuk dan ukurannya,” jelas Akaashi.

“Baik, aku mengerti. Tapi, Akaashi, memangnya di sini ada peralatan pertukangan? Kita, kan, harus membutuhkan peralatan untuk membuatnya,” tanya Atsumu.

Akaashi yang mendengar pertanyaan Atsumu hanya menyeringai tipis membuat Atsumu menaikkan alisnya. “Tentu saja kita akan menggunakan ilmu sihir untuk membuatnya.”

🦊🦊🦊🦊🦊

Keesokan harinya ketika matahari baru saja terbit, Atsumu dan Akaashi pun pergi untuk mencari pohon jati, bahan utama keranjang. Bokuto dan Osamu tidak bisa membantu karena masih dalam masa pemulihan.

“Ah, benar. Hutannya sangat rimbun,” ucap Atsumu saat menapaki tanah depan rumah. Pepohonannya sangat tinggi-tinggi dan begitu hijau. “Hei, saking rimbunnya aku sampai tak tahu matahari ada di mana.”

“Rumah ini menghadap ke arah timur, jadi matahari ada di sana,” jelas Akaashi yang berdiri di samping Atsumu.

“Baiklah, aku akan mencari di mana letak pohon jati.”

Tubuh Akaashi tiba-tiba saja bercahaya dan dalam sekejap ia pun berubah menjadi burung hantu berbulu coklat berukuran sedang lalu melesat terbang ke atas. Atsumu yang melihat itu hanya bisa berdecak kagum.

Setelah beberapa lama, burung hantu Akaashi kembali ke hadapan Atsumu dan berubah menjadi bentuk manusia Akaashi dalam sekejap. “Woah, keren sekali Akaashi! Ternyata bisa berubah sungguhan!”

Akaashi yang dipuji tiba-tiba hanya bisa mengerjap gugup. “T-Terima kasih. Pohonnya ada di arah selatan. Aku akan terbang rendah dalam bentuk tubuh asli agar kau bisa mengikutiku.”

“Akaashi terbang tinggi saja tidak apa-apa. Aku bisa mengenali suara kepakan sayapmu, jadi tenang saja,” ujar Atsumu sambil mengacungkan ibu jarinya.

“Tapi, kepakan sayapku tidak bersuara, Atsumu,” kata Akaashi heran.

“Ada suaranya, kok! Aku memiliki indra pendengaran super, bisa mendengar suara-suara yang tidak bisa didengar oleh telinga normal dan suara-suara yang ada dalam radius 500 meter denganku,” jelas Atsumu dengan nada pamer.

Akaashi yang mendengar penjelasan Atsumu hanya menaikkan alisnya. “Itu menarik.”

Mereka pun akhirnya pergi menuju selatan dengan Akaashi terbang dalam bentuk aslinya di langit, sedangkan Atsumu berlari melewati pepohonan menggunakan kedua tangannya juga sambil memfokuskan pendengarannya untuk mendengar suara kepak sayap Akaashi. Setelah beberapa lama, mereka pun akhirnya tiba di tempat tujuan yang membuat Atsumu melongo.

“Akaashi ... hah ... hah, kau serius ini ... pohonnya?” tanya Atsumu seraya mengatur napasnya sambil menatap pohon di depannya. Akaashi baru saja mendarat dan telah merubah bentuknya menjadi semula. Kini ia berdiri di samping Atsumu. “Ya, aku serius,” jawabnya sambil menatap pohon di depannya.

“Tapi, ini terlalu besar Akaashi! Bagaimana cara kita untuk menebangnya?!”

Pohon di hadapan mereka adalah pohon jati berukuran raksasa dengan tinggi yang menjulang. Dua anak berusia 10 tahun akan menebang pohon raksasa seperti ini? Mustahil!

“Sudah kubilang, kan, kita akan memakai sihir untuk menebangnya,” kata Akaashi sambil berjongkok. Ia meletakkan telapak tangannya di atas tanah membuat Atsumu terheran-heran. “Kau sedang apa, Akaashi?”

Tiba-tiba saja cahaya muncul dari telapak tangannya membuat tanah pijakan mereka bergetar. Akaashi menarik tangannya sehingga tanah di bawahnya tertarik ke atas dalam bentuk gumpalan besar hingga akhirnya pecah dan terbentuk kapak besar dengan mata pisau yang terlihat tajam.

“Semua siluman memiliki sihir dasar elemen alam. Jika penggunanya mampu mengendalikan energi sihirnya dan memiliki kecerdasan, maka sihir dasar tersebut bisa dijadikan apa saja,” ucap Akaashi sambil mengayunkan kapak tanahnya seraya tersenyum tipis ke arah Atsumu yang menatap kagum.

🦊🦊🦊🦊🦊

Hari telah beranjak sore. Namun, Atsumu dan Akaashi belum pulang. Hal itu membuat Osamu sedikit khawatir.

“Tenang saja, Osamu. Area ini belum pernah dijamah oleh manusia, jadi Akaashi dan saudaramu akan baik-baik saja,” ujar Yukie saat melihat Osamu yang berkali-kali melongok-longok ke arah bingkai pintu dekat wastafel. Wanita itu tertawa kecil saat mendapati telinga Osamu yang bergerak ekspresif saat melongok-longok tadi. “Siluman rubah lucu sekali ...”

“Bagaimana dengan siluman burung hantu sepertiku, Yukie? Lucu juga, kan? ” celetuk Bokuto sedikit merengek.

“Kamu hanya siluman burung hantu biasa, itu saja.”

“Hee---“

“Kami pulang~”

Rengekan Bokuto terpotong oleh salam Akaashi dan Atsumu yang baru saja pulang dengan membawa seikat kayu bakar di tangan. Kelihatan sekali wajah mereka letih, tapi sumringah di waktu bersamaan.

“Astaga, kalian kelihatan kecapekan. Bibi akan buatkan minum.” Yukie beranjak dari yang tadinya duduk bersimpuh di sebelah Bokuto ke dapur.

“Terima kasih, Bi!”

Langkah dibawa menuju perapian untuk menaruh kayu bakar. Setelahnya mereka pun duduk di antara kasur Osamu dan Bokuto.

“Kau tahu Samu, tadi Akaashi mengajariku teknik-teknik sihir baru! Astaga, aku tidak menyangka kalau sihir angin dan api yang kita punya bisa menjadi luar biasa dengan teknik-teknik yang diajarkan tadi,” cerita Atsumu dengan antusias membuat Osamu penasaran.

“Oho, sepertinya kau mempelajari hal baru dari keponakan cerdasku, ya,” timbrung Bokuto dengan senyuman dan dibalas Atsumu dengan anggukan penuh semangat. Akaashi sendiri tadi beranjak lagi untuk membantu Yukie membawa minuman.

Sore itu cerita mengenai kejadian hari terjalin hingga makan malam tiba. Selepas makan malam, mereka berbincang-bincang mengenai rencana perjalanan. Segala perbekalan, waktu istirahat, dan semacamnya.

“Kita akan terbang saat malam hari. Dalam transformasi tubuh asli, kami akan menjadi nokturnal. Nah, saat malam kalian berdua istirahat di keranjang dan saat siang kami istirahat lalu kalian yang berjaga, bagaimana?”

“Tenang saja, sebisa mungkin kami akan mencari tempat yang benar-benar jauh dari pemukiman manusia untuk beristirahat sehingga kalian tidak terlalu merasa terbebani.”

Atsumu dan Osamu mengangguk-angguk mendengar penjelasan Bokuto dan Yukie. Perbincangan diselesaikan ketika beranjak larut malam.

“Kita cukup, kan, dahulu. Sekarang waktunya istirahat. Selamat malam!”

Semua telah beranjak di kasur lipatnya masing-masing. Tak lama kemudian suara dengkuran halus terdengar tanda yang lain sudah pada terlelap, kecuali Atsumu.

Iris coklatnya menatap langit-langit ruangan yang temaram akibat cahaya lilin. Pikirannya memutar kejadian hari ini, Akaashi yang mengajarinya memodifikasi teknik sihir. Kedua tangan ia angkat ke atas wajah. Atsumu berkonsentrasi penuh. Tak lama kemudian muncul pusaran angin berukuran kecil di setiap ujung jarinya. Pusaran itu mengerucut ke atas dan memiliki kecepatan maksimum, seolah-olah Atsumu mempunyai kuku mesin bor. Kemudian, pusaran angin itu pun menghilang. Kedua tangan dikepalkan disertai senyuman puas lalu mata pun terpejam.

🦊🦊🦊🦊🦊

Hari ketiga, Atsumu dan Akaashi kembali ke tempat pohon jati sebelumnya untuk memotong kayu lagi karena kemarin mereka hanya berfokus membuat alas keranjang yang kini diletakkan di teras rumah.

“Wow, besar sekali!” seru Osamu saat ia keluar hendak berjemur karena disuruh oleh Yukie lalu melihat kayu berbentuk persegi panjang dengan ukuran raksasa dan tebal yang disandarkan di dinding dekat pintu.

Papan kayu tersebut terbentuk sangat rapi dan halus. Osamu pun teringat seketika jika Akaashi dan Atsumu membuatnya tanpa menggunakan alat pertukangan, tetapi menggunakan sihir.

'Aku juga ingin diajari teknik-teknik sihir baru. Semoga aku cepat pulih!'

🦊

Hari kelima, bahan-bahan sudah didapatkan. Tinggal mengamplas dan menyusunnya. Atsumu dan Akaashi duduk di halaman depan rumah guna mengamplas kayu-kayu yang telah mereka potong.

Bersamaan itu, Bokuto dan Osamu sedang berjemur sambil melakukan kayang di dekat mereka.

“Bibi, mengapa harus kayang?! Aku tidak kuat!” jerit Osamu tertahan sambil bersusah payah mempertahankan posisi kayangnya.

“Ini agar punggung kalian tidak terasa kaku karena hampir seminggu ini kalian menghabiskan waktu dengan berbaring terus,” jawab Yukie yang mengamati dari teras rumah sambil duduk di sana.

“Hei! Hei! Hei! Mari lihat siapa yang paling bertahan lama dalam posisi ini!” seru Bokuto dengan suara lantang membuat Osamu meringis lantaran heran bisa-bisanya Bokuto bersuara lantang saat sedang berposisi seperti ini.

“Ini bukan kompetisi, Paman!”

Atsumu, Akaashi, dan Yukie tertawa melihat tingkah Bokuto dan Osamu. Pagi di hari kelima benar-benar penuh keceriaan.

Sore pun tiba. Atsumu dan Akaashi telah merakit alas dan dua sisi pinggiran keranjang. Mereka pun membereskan sisa-sisa sampah kayu yang terkelupas akibat teknik sihir mereka yang digunakan untuk merakit. Keranjang yang baru seperlima jadi serta potongan-potongan kayu yang belum dirakit mereka taruh di dalam rumah.

Halaman depan telah bersih. Atsumu dan Akaashi pun beranjak ke dalam rumah. Namun, saat hendak mencapai pintu tiba-tiba saja Yukie muncul dari baliknya. “Atsumu, Akaashi, maaf, bisa tolong carikan kayu bakar lagi? Ternyata sisa kayu bakar kemarin hanya cukup untuk memasak, perapiannya tidak.”

Mendengar permintaan Yukie, Atsumu dan Akaashi pun lantas mengangguk.

“Baik, Bi. Akan kami carikan,” jawab Akaashi.

“Kita carinya di tempat bekas pohon jati saja. Sisa-sisa kayunya, kan, masih banyak,” usul Atsumu. Akaashi pun mengangguk tanda setuju.

“Baik, kami pergi dahulu, Bi!”

“Hati-hati, ya!”

Atsumu dan Akaashi pun akhirnya pergi menuju arah selatan, ke tempat pohon jati guna mengambil sisa-sisa kayu yang ada di sana.

Yukie pun kembali masuk ke rumah lalu kembali mencuci peralatan makan yang tertunda. Ia menengok sejenak ke arah Bokuto dan Osamu yang sedang berbincang-bincang. Lebih tepatnya Bokuto yang bercerita dan Osamu yang menyimak. Lalu ia kembali fokus ke pekerjaan dapurnya.

Setelah selesai mencuci, Yukie pun mengelap peralatannya sambil memikirkan hari-hari sebelumnya. Rasa syukur ia ucapkan ketika menemukan rumah ini karena bagian dapurnya masih utuh seperti tungku api, wastafel yang airnya masih mengalir, piring-piring, sendok, dan peralatan masak lainnya. Ya, walaupun membutuhkan tenaga ekstra saat mencucinya agar bisa dipakai lagi.

Sedangkan perabotan lain seperti kasur atau sofa benar-benar tidak ada yang akhirnya membuat Yukie menyuruh Akaashi untuk membeli kasur lipat di pasar yang kebetulan bisa menggunakan sistem barter untuk mendapatkannya. Tidak disangka-sangka Akaashi mendapatkan bonus dua kasur lipat lantaran membantu sang pedagang dalam memperbaiki salah satu barang dagangannya. Kemudian, dua kasur lipat yang dikira akan menganggur itu ternyata digunakan oleh Atsumu dan Osamu yang ditemukan Akaashi keesokan harinya. Takdir mereka benar-benar tidak terduga.

Lalu rencana perjalanan yang akan dilakukan bersama dua anak siluman rubah, Yukie tidak sabar menunggunya. Perjalanannya pasti akan seru dan Akaashi pasti senang karena akhirnya ia mempunyai teman perjalanan yang sepantaran. Senyuman lembut menguar dari wajah Yukie saat memikirkan itu semua.

TOK! TOK! TOK!

Yukie tersentak saat mendengar suara ketukan pintu yang sangat keras dari depan. Bokuto yang tadinya berbicara langsung terdiam. Arah mata mereka sama-sama menuju bingkai pintu yang ada di sebelah wastafel. Bingkai pintu yang menghubungkan dengan ruangan depan lalu terdapat pintu keluar di sana. Atmosfer tegang menyelimuti mereka.

“Aku akan membuka pintunya. Siapa tahu itu Akaashi dan Atsumu yang iseng mengerjai kita,” ujar Yukie sambil tersenyum tenang ke arah mereka yang dibalas Bokuto dengan senyuman sama tenangnya. Mereka tidak boleh panik karena ada Osamu di sini. Sebagai orang dewasa mereka harus membuat Osamu yang notabene masih anak-anak merasa aman dalam keadaan apapun. Oleh karena itulah mereka tenang.

Yukie pun melangkah menuju pintu depan diikuti pandangan Osamu yang khawatir. Lalu, tanpa sengaja Osamu menarik napas lebih keras yang akan memicu indra penciuman supernya aktif.

'Bau besi!'

Suara pintu terbuka pun terdengar membuat Osamu melebarkan bola matanya.

“Tunggu dulu, Bibi! Jangan—“

DOR!

Bokuto dan Osamu tercekat seketika.

🦊🦊🦊

“Sudah siap, kan?”

“Yup! Saatnya pulang!”

Atsumu mengencangkan lagi tali yang mengikat kumpulan kayu bakar lalu menyelempangkannya di punggungnya.

Tiba-tiba saja telinga Atsumu berdenging membuat sang empunya mengernyit. Indra pendengaran supernya aktif dan ia mendengar suara besi yang sama persis ia dengar di malam Ayah dan Ibunya tewas. Ia juga mendengar seperti suara ledakan kecil dari arah rumah mereka. Sesuatu telah terjadi di sana!

“Akaashi! Sepertinya telah terjadi sesuatu di rumah, aku mendengar suara ledakan kecil dari sana!” seru Atsumu menatap Akaashi panik.

Akaashi membolakan matanya saat mendengar itu. Anak itu sudah menduga bahwa suara ledakan yang dimaksud Atsumu adalah suara tembakan senjata. Namun, ia tetap bersikap tenang.

“Bisakah kau membawa kayu bakar milikku juga? Aku akan terbang secepat mungkin menggunakan bentuk asliku dan akan kembali ke posisimu jikalau memang tidak terjadi sesuatu. Kau masih bisa berlari, kan, jika tubuhmu membawa sesuatu?” Akaashi berkata dengan tenang sehingga Atsumu yang tadi panik pun langsung menenangkan dirinya. “Ya, aku masih bisa berlari.”

“Baguslah kalau begitu ...”

Akaashi pun menyerahkan ikatan kumpulan kayu bakar yang dibawanya ke Atsumu lalu ia pun berubah seketika dan melesat terbang dengan kecepatan tinggi. Atsumu kini mengikat ikatan kayu dari Akaashi tadi di depan dadanya lalu melesat pergi dengan berlari menggunakan kedua tangannya juga layaknya rubah.

Pepohonan tinggi yang rimbun ia lewati. Atsumu berusaha memfokuskan indra pendengarannya guna mengetahui apa yang telah terjadi di sana. Keributan, suara senjata, dan jeritan. Atsumu tercekat. Ia tak tahu siapa yang menjerit karena ia tidak bisa mendengarnya begitu jelas. Hutan ini memiliki pohon-pohon raksasa dan daun-daunnya begitu rimbun sehingga suara-suara gesekan daunnya mengganggu indra pendengarannya.

Laju lari semakin cepat. Ia semakin dekat dengan rumah dan tidak ada tanda-tanda Akaashi terbang berbalik ke tempatnya. Berarti memang telah terjadi sesuatu di sana. Jarak 10 meter dari halaman rumah, di sela-sela antar pohon, iris coklat Atsumu menangkap sosok Bokuto yang dikelilingi oleh orang-orang bersenjata dan tampaknya Bokuto sedang melawan. Sayap besar milik Bokuto dikepakkan, menimbulkan angin besar yang membuat beberapa orang yang mengepungnya beterbangan. Bulu-bulu sayap yang dimodifikasi menjadi tajam ditembakkan dan menancap ke bagian-bagian vital orang-orang di sekitarnya. Atsumu bisa melihat kemarahan yang berkobar di mata Bokuto.

“TAK AKAN KUMAAFKAN KALIAN YANG TELAH MEMBUNUH ISTRIKU!”

Iris Atsumu melebar seketika.

Jadi Bibi Yukie sudah---

“TEMBAK!”

Serbuan anak panah tiba-tiba saja menghujani tubuh Bokuto dari segala arah membuat Atsumu terkejut. Rupanya ada beberapa orang pemanah bertengger di pohon-pohon tinggi yang mengelilingi halaman rumah. Tanpa pikir panjang, Atsumu pun melesat untuk menyerang pemanah yang bertengger di pohon-pohon tinggi yang ada di depannya. Melompat dengan cepat lalu mencakar leher mereka. Ia baru berhasil menumbangkan para pemanah yang bertengger di pohon-pohon yang berada di barat. Kemudian tiba-tiba saja dinding tanah raksasa setinggi 15 meter terbentuk mengelilingi rumah. Dengan gerakan cepat, Atsumu pun memanjat pohon tinggi agar mencapai atas dinding tanah lalu melompat ke dalam.

Di depan rumah terdapat beberapa mayat bergelimpangan dengan tubuh tertusuk oleh duri yang tumbuh berasal dari tanah di bawahnya. Begitu juga di dekat dinding depan rumah, ada beberapa mayat dalam keadaan sama bahkan ada yang terjepit di bawah dinding tanah. Itu adalah teknik sihir elemen tanah yang dimiliki oleh siluman burung hantu.

Atsumu pun beralih ke arah depan pintu rumah. Terdapat Yukie yang terbaring di dekat Osamu dan Akaashi yang sedang membopong tubuh Bokuto yang dipenuhi belasan anak panah ke depan pintu rumah. Atsumu pun bergegas mendekat.

“Osamu, tolong jelaskan awal mula ini terjadi secara singkat dan jelas,” perintah Akaashi sesampainya di sana sembari mendudukkan tubuh Bokuto di tanah bertepatan dengan Atsumu yang baru saja tiba. Iris coklatnya melebar saat melihat kepala Yukie yang terdapat lubang dan darah mengucur deras dari sana. Atsumu tidak bisa mendengar detak jantung milik Yukie. “Bi-Bibi Yukie ...”

Osamu sendiri tercekat saat melihat tubuh Bokuto yang dipenuhi anak panah bahkan sampai ada beberapa yang menusuk hingga tembus punggung dan Osamu yakin salah diantaranya tepat mengenai jantung. “Pa-Paman Bokuto ...”

Akaashi berlutut di hadapan Bokuto untuk memeriksanya. Kelopak mata terbuka setengah, sorot mata kosong, dan tiada respon gerak yang berarti.

“D-Dai ... shou ...”

Iris biru kehijauan milik Akaashi membola saat mendengar lirihan suara pamannya. Kemudian, ia tidak mendengar apapun lagi dari Bokuto dan tubuh pria itu pun kaku. Ketiganya terdiam. Hanya keributan luar dinding tanah yang terdengar.

“Paman ... sudah tiada ...”

Sesak. Begitulah yang dirasakan ketiganya. Teringat kembali tawa ceria dari Bokuto dan Yukie yang pernah menggema di rumah ini. Hal itu sekarang tinggal kenangan.

“Tadi ... ada yang mengetuk pintu. Bibi Yukie mengira bahwa yang mengetuk adalah kalian yang sedang iseng. Lalu, bibi pun membuka pintu, suara ... letusan senjata terdengar, kami pun bergegas ke depan dan ... dan ...”

Osamu tidak sanggup lagi menceritakan lantaran rasa sesak luar biasa yang ia rasakan di dada. Kejadian tadi begitu cepat, begitu cepat sampai-sampai tidak menyangka bahwa ini telah terjadi. Bahwa Bokuto dan Yukie telah tiada.

“Aku paham sisanya. Daishou ... keluarga pemburu yang mengejar kami dan paling tergila. Bisa-bisanya mereka menyusul hingga hutan yang ada di jurang ini,” desis Akaashi sambil menatap begitu tajam ke arah dinding tanah di depannya. Lebih tepatnya apa yang ada dibalik dinding itu.

“CEPAT PANJAT! BAWA BURUNG HANTU ITU DAN BUNUH JUGA ANAK SILUMAN RUBAH! KITA AKAN MENJADI KAYA JIKA MENDAPATKAN RUBAH, BENAR-BENAR BONUS YANG TAK TERDUGA! HAHAHA!” seru Suguru, pemimpin pasukan pemburu yang dibawanya dibalik dinding. Ia duduk di atas kuda bersama petinggi keluarga yang lain dan membiarkan puluhan budaknya untuk memanjat dinding tanah yang dibuat Akaashi. “Kita sudah susah payah menuju sini, aku tidak memaafkan hasil yang sia-sia!”

Tiba-tiba saja duri besar muncul dari seluruh sisi dinding membuat beberapa budak yang memanjat tertusuk hingga tewas seketika dan terjatuh berdebum ke tanah. Suguru pun mendesis sambil menyeringai.

'Sial, bocah burung hantu itu menjadi sekuat ini. Luar biasa!'

“Hei, lawan kalian itu bocah berumur 10 tahun! Jangan sampai kalah! Kalian ingin hidup nyaman tanpa disuruh-suruh, kan? PANJAT LAGI!”

Akaashi yang mendengar seruan Suguru dari dalam dinding hanya bisa menggertakkan giginya. “Benar-benar kejam ...”

“Akaashi ... apa yang harus kita lakukan?” tanya Atsumu sambil menatap sendu mayat Bokuto dan Yukie secara bergantian. Osamu sendiri menunduk sambil menutup kelopak mata Yukie yang masih terbuka.

Akaashi pun tampak berpikir tentang rencana. Osamu beralih ke Akaashi dan menatap kagum ke arahnya. Dalam kondisi seperti ini Akaashi mampu tetap bersikap tenang padahal ia baru saja kehilangan paman dan bibinya. Atsumu dan Osamu yang baru saja kenal dalam beberapa hari ini merasa terpukul, tetapi Akaashi yang merupakan keponakan kandungnya tampak biasa saja. Tampaknya Akaashi sudah mendapatkan ide akan rencananya. Bersamaan itu pula sebuah tangan muncul di atas dinding depan.

“Atsumu atau Osamu, tolong bakar rumah ini bersama mayat Paman dan Bibi. Aku tidak sudi jikalau mereka mendapatkan sesuatu dari tubuh mereka. Biarlah tubuh Paman dan Bibi hangus terbakar tak menyisakan apapun. Lalu–“

Tiba-tiba saja dua buah panah melesat dari belakang dan menembus tepat ke jantung Akaashi.

“AKAASHI!”

Atsumu pun dengan segera melihat ke arah dari mana anak panah itu berasal. Rupanya panah itu berasal dari seorang pria yang berhasil memanjat dinding depan. Namun, tubuh pria itu penuh dengan darah dan tepat setelah menembakkan anak panah ke Akaashi, ia pun ambruk ke bawah dengan kepala bocor. Sepertinya, tubuh pria itu telah tertusuk duri dinding sebelumnya.

Akaashi pun jatuh terduduk sambil muntah darah lalu dihampiri oleh Atsumu dan Osamu. Isi kepala kedua anak siluman rubah itu kini tampak buyar. Semua terjadi begitu cepat dan mereka tak tahu harus berbuat apa. “Ba-Bagaimana ini ...”

“Perubahan rencana ...” lirih Akaashi membuat Atsumu dan Osamu melebarkan matanya.

“Atsumu dan Osamu ... tolong bakar rumah ini bersama mayat paman, bibi, dan aku. Lalu aku akan mengirimkan sisa sihirku ke tanah untuk membuat raksasa tanah agar bisa membunuh mereka semua dan membukakan jalan untuk kalian,” jelas Akaashi dengan napas panjang pendek. Susah payah ia menahan kesadaran dengan energi sihir yang ada di tubuhnya.

Atsumu dan Osamu yang mendengar penjelasan Akaashi langsung tercekat. “Ma-Mana mungkin ...”

“Inilah yang terjadi. Aku sudah tidak bisa diselamatkan begitu juga paman dan bibi. Rencana ini lebih baik dibanding kita semua mati di sini!” tegas Akaashi setengah frustasi. Tidak ada waktu untuk berpikir lebih lama sebelum para budak pemburu itu berhasil memanjat dinding lagi.

Atsumu menggertakkan giginya lalu ia pun bangkit sambil melepas ikatan kayu bakar yang ada di punggung dan dadanya. “Osamu ... ayo lakukan!”

Osamu menatap tidak percaya ke arah Atsumu yang mengulurkan tangan ke arahnya. Iris coklat itu berkilat tajam seolah mengatakan untuk mempercayainya. Maka, bocah kelabu itu hanya bisa menggertakkan giginya sambil menerima uluran kembarannya lalu berdiri. Mereka pun berjalan ke depan rumah dan berdiri menghadapnya. Akaashi yang melihat itu hanya tersenyum kecil sambil menahan rasa sakit di dadanya.

“Semoga kalian selamat sampai tujuan ...” lirih Akaashi sambil meletakkan kedua telapak tangannya di atas tanah guna mengirimkan sisa sihir terakhir.

Kedua tangan mereka pun diangkat ke depan. Mengalirkan sihir api ke mayat Yukie, Bokuto, lalu Akaashi. Api terus menjalar hingga membesar ke seluruh penjuru rumah. Para pemburu di depan dinding semakin berseru-seru seiring asap yang berkobar di langit. Setelah mengalirkan sihir api sebesar itu, Osamu pun terjatuh lantaran ia belum cukup pulih untuk mengeluarkan energi sihir. Atsumu pun sontak langsung menggendong Osamu di punggungnya lalu berlari ke arah belakang rumah. Memanjati dinding lalu melesat pergi melewati pepohonan rimbun.

Sesaat setelah mereka pergi, mereka merasakan tanah bergetar begitu hebatnya lalu terdengar suara raungan keras. Osamu yang terdiam di punggung Atsumu tersentak saat mendengar suara raungan itu. Ia pun hendak menoleh ke belakang.

“Jangan menoleh ke belakang, Samu!”

Perintah Atsumu pun menghentikan pergerakannya yang hendak menoleh ke belakang. Ia terdiam sejenak lalu perlahan kembali menoleh ke depan, menatap pepohonan yang mereka lewati.

Keduanya terdiam. Laju semakin membawa mereka jauh seiring suara letupan api yang membakar seisi rumah dari peralatan dapur, kasur lipat, hingga keranjang yang baru dirakit. Bau abu Bokuto, Yukie, dan Akaashi. Bau anyir darah, jeritan manusia, tanah yang bergetar, raungan raksasa, jeritan, darah, suara tubuh yang hancur karena diinjak, abu mayat, detak jantung yang berhenti, lalu semua sunyi.

Tak ada yang tersisa, mereka telah mati ...

Rencana perjalanan yang telah disusun kini hanyalah delusi semata. Tawa dan senyuman Bokuto, Yukie, dan Akaashi kini hanyalah ingatan saja. Semua harapan layaknya bintang itu kini telah hancur menjadi serpihan cahaya. Hati kedua anak itu telah dihancurkan untuk kedua kalinya. Kehilangan adalah kata baru di kamus kehidupan mereka.

Sekali lagi mereka dihadapkan pada kenyataan pahit bahwa keluarga siluman burung hantu itu telah tiada dan mereka selamat.

🦊🦊🦊🦊🦊

Seminggu setelah kejadian di hutan jurang, keduanya lebih banyak diam daripada sebelumnya. Percakapan singkat, tak ada tawa dan canda, perjalanan yang begitu hampa. Ditambah tulang rusuk Osamu yang kembali patah akibat tak sengaja terjatuh membuat suasana semakin murung. Osamu merasa bersalah karena Atsumu harus menggendongnya ketika perjalanan.

Kini mereka sedang berjalan di bawah hujan deras di tengah hutan lantaran sedari tadi tidak menemukan tempat yang layak untuk berteduh. Atsumu begitu susah payah untuk melangkah karena medan tanah yang berlumpur akibat air hujan.

Atsumu bisa merasakan bahwa tubuh Osamu bergetar di punggungnya. Hal itu membuatnya meringis. “Samu, maaf, kau pasti kedinginan, ya. Sebentar lagi pasti ada gua di sekitar sini. Jadi, bersabarlah,” ucap Atsumu guna menenangkan Osamu. Akan tetapi, tanpa sadar Atsumu mengucapkan itu dengan bibir bergetar sehingga Osamu menyadari bahwa keadaan saudaranya sama dengannya.

“Kau juga kedinginan, Tsumu. Jangan sok kuat ...”

“Aku memang kuat, ya! Saudara tertua memang kuat!”

SRAK!

Hampir saja Atsumu terjerembab di kubangan lumpur yang ada di depannya. Jika saja ia tak bisa mengendalikan keseimbangan tubuhnya maka pasti keduanya akan jatuh. Mereka terdiam beberapa saat hingga akhirnya Atsumu pun melanjutkan langkahnya lagi.

Hujan begitu deras. Suara air yang jatuh ke dedaunan begitu ramai memekakan telinga. Sesekali petir menggelegar. Atsumu menggigit bibir bawahnya. Ia benar-benar merasa bersalah terhadap Osamu karena harus membawanya di bawah hujan deras dengan petir menyambar, hal yang sangat ditakuti oleh Osamu.

'Aku saudara terburuk, saudara terburuk. Tempat yang teduh, tempat teduh, kenapa tidak ada tempat yang teduh?! Bagaimana ini? Aku sudah tak sanggup berjalan, kakiku mati rasa, tubuhku kedinginan. Tapi, Osamu jauh lebih kedinginan. Apakah kita akan mati? Akankah semuanya berakhir? Dingin, dingin, dingin, di---'

“Tsumu, kau bisa menurunkanku di sini ...”

Atsumu pun tersentak dari lamunannya dan terkejut akan ucapan Osamu. Ia pun menghentikan langkahnya. “Apa maksudmu, Samu?” desis Atsumu.

“Ya, kau bisa meninggalkanku di sini lalu berlari untuk mencari tempat teduh. Daripada kita mati kedinginan di sini, lebih baik salah satu selamat dan itu adalah kau, Tsumu,” tutur Osamu. “Aku hanya akan merepotkanmu, lebih baik aku yang mati, kan?”

Mereka terdiam beberapa saat. Akhirnya, Atsumu pun menjatuhkan Osamu hingga menimbulkan suara berdebum. Osamu tidak bersuara, ia hanya tersenyum di posisinya. Anak itu sudah menyerah. “Pergi---”

DUAGH!

Belum sempat menyelesaikan ucapannya, tiba-tiba saja Atsumu berbalik lalu meninju pipi Osamu hingga ia terjatuh ke belakang.

“Kenapa kau tiba-tiba meninjuku, Tsumu?!” mata Osamu menyalang tajam seraya berusaha untuk bangkit. Atsumu mendesis lalu menarik kerah  baju Osamu dengan kedua tangannya.

“ITU KARENA KAU TIBA-TIBA BERUCAP SEPERTI ITU!”

“MEMANGNYA KENAPA, HAH?! APA YANG SALAH DARI ITU?! BUKANKAH ITU YANG TERBAIK SEPERTI YANG DILAKUKAN AKAASHI?!”

“TAPI, AKAASHI TIDAK MENYERAH SEPERTI INI! JANGAN MENYIA-NYIAKAN KEMATIAN MEREKA, SAMU!”

“ DAN JUGA APA KAU LUPA PESAN TERAKHIR DARI AYAH?! KITA. HARUS. TETAP. BERTAHAN!”

Osamu tak lagi membalas. Keduanya terdiam. Mereka saling mengatur napas akibat emosi yang diluapkan. Tangan Atsumu perlahan melepas cengkraman di kerah baju Osamu. Kepala Osamu ditundukkan. Hujan yang tadinya begitu deras perlahan-lahan menjadi gerimis kecil.

“Lalu ... apakah kematian mereka dan kita yang masih hidup adalah hal yang benar, Tsumu?” Osamu bersuara lirih. Atsumu terdiam.

“Mereka mati dan kita ... masih hidup. Apakah kita layak menerima itu? Apakah kematian Ayah, Ibu, Paman Bokuto, Bibi Yukie, dan Akaashi adalah kematian yang benar?”

Tidak ada jawaban.

“Apakah ... untuk tetap bertahan hidup kita harus mengorbankan nyawa orang sekitar kita? Kenapa ... kenapa kita harus hidup seperti ini? Kenapa ... mereka menginginkan kita mati? Kenapa ... kenapa ... kenapa siluman seperti kita tidak dibiarkan untuk hidup damai, sedangkan manusia hidupnya begitu damai? Kita tidak pernah mengusik manusia, tapi kenapa mereka mengusik kita? Kenapa ... K-Kenapa ... harus kita?!”

Osamu terisak sambil kedua tangannya mencengkram tanah kuat-kuat. Hujan yang semula gerimis kini kembali deras. Tangisan Osamu semakin kencang seiring suara hujan memekakan telinga. Semua pertanyaan Osamu tadi tiada satu pun yang mampu Atsumu jawab karena dirinya pun menanyakan hal yang sama.

'Atsumu, kau adalah saudara yang tertua, yang pertama kali menginjakkan kaki di bumi sebelum Osamu. Mereka yang pertama kali berpijak haruslah lebih kuat, lebih hebat, mampu memimpin, dan melindungi. Oleh karena itu, apapun yang terjadi kau tidak boleh terlihat lemah di depan Osamu. Jadilah pelindungnya, jadilah orang yang tetap berdiri dan menunggu Osamu bangkit lagi. Itu adalah kewajibanmu Atsumu.'

Nasehat sang Ayah kembali melesat dalam ingatannya, mengingatkan Atsumu apa yang harus dilakukannya. Maka dari itu Atsumu hanya bisa berdiam sambil berdiri di hadapan Osamu, menunggu adiknya kembali bangkit walau air mata menetes di pipinya. Air mata itu semakin deras dan membaur dengan air hujan.

Hari itu, keduanya menangisi takdir yang kejam ...

🦊🦊🦊🦊🦊

Tiga jam setelahnya, mereka pun akhirnya menemukan sebuah rumah tua yang ada di pinggiran hutan radius 500 meter dari pemukiman. Kini mereka telah berada di dalam dengan perapian yang sudah dinyalakan dan berbalut selimut yang Atsumu temukan di dalam rumah.

“Osamu, kau tidur duluan saja,” titah Atsumu dengan suara serak. Matanya terfokus pada lidah api yang ada di perapian. Osamu terdiam tak menjawab. Setelah beberapa saat, ia pun membaringkan tubuhnya di lantai, membelakangi perapian sambil merapatkan kembali selimut yang menyelimuti seluruh tubuhnya dan hanya menyisakan pucuk ekor di bawah.

Atsumu yang masih duduk di depan perapian dengan gelungan selimut hanya terdiam. Suara letupan kayu dan tetesan air dari genting meramaikan suasana. Hujan sudah reda sedari tadi. Mendung yang memayungi langit kini telah berganti dengan langit malam.

Ingatan pun kembali melesat ke masa lalu, ketika di rumah yang ada di hutan dasar jurang. Rumah ini memang jauh berbeda dari rumah yang ada di sana. Jauh lebih kecil, tapi memiliki suasana yang sama. Perapian yang meletup, Bokuto yang bercerita dengan suara lantangnya, suara lembut Yukie, dan suara Akaashi yang kecil. Malam yang mereka habiskan dengan cerita, tawa, dan rencana-rencana kini hanyalah tinggal memori belaka.

Atsumu merapatkan lagi selimutnya sambil memeluk lutut. Berusaha mengenyahkan ingatan-ingatan masa lalu yang akan semakin menyakitkan hati.

🦊🦊🦊

Paginya, Atsumu terbangun lebih dahulu karena mendengar suara Osamu yang terdengar kesakitan. Punggung tangan ia taruh di dahi dan benar saja dugaannya. Osamu terkena demam.

'Dekat sini ada keramaian seperti pasar dan obat-obatan pasti dijual di sana. Tapi, untuk mendapatkannya harus membutuhkan uang ... '

Atsumu pun bergegas mencari uang di seluruh penjuru rumah. Akhirnya ia pun menemukan beberapa koin emas di sebuah kotak yang ada di salah satu ruangan. Kini ia pun mempersiapkan energi sihirnya untuk berubah menjadi manusia agar bisa pergi ke pasar. Hasil dari pengajaran Akaashi.

Berjalan kaki sepanjang 500 meter sambil mempertahankan sihir bentuk manusia adalah bukan hal yang mudah. Butuh pengendalian energi sihir yang baik. Atsumu mengingat lagi saat ia berlatih sihir ini dengan Akaashi. Anak bermata cantik itu begitu mudahnya bertransformasi menjadi manusia dalam waktu lama.

'Akaashi, kau hebat sekali!'

Atsumu pun tiba di depan gerbang pasar. Tampak sepi dan beberapa kios baru saja buka. Masih terlalu pagi untuk mengunjungi pasar sebenarnya. Ia pun melangkah masuk disertai perasaan gugup. Ini adalah kali pertama ia berjumpa dengan manusia dan ia takut sekali jika ketahuan.

Atsumu mengedarkan pandangan ke sekeliling. Berusaha mencari bangunan yang sekiranya toko obat. Para pedagang pasar yang masih sibuk membuka kiosnya tampak tidak menyadari keberadaan Atsumu yang begitu kusam dan kumal sedang melewati mereka hingga akhirnya sebuah suara pun memanggil.

“Hei, Nak!”

Atsumu pun menghentikan langkah lalu berbalik karena merasa dirinya yang dipanggil. Di sekitar sini hanya dirinya yang satu-satunya pantas dipanggil nak. Ia pun mendapati seorang wanita cantik berambut hitam panjang, berkacamata, dan mengenakan gaun rumahan berwarna biru putih berenda sedang berdiri di ambang pintu sebuah toko sambil menatapnya. Wanita itu menggerakkan tangannya seolah menyuruhnya untuk mendekat. Atsumu pun berjalan menghampiri wanita itu sambil bersikap was-was.

“A-Ada apa, Nyonya?” tanya Atsumu setibanya di hadapan si wanita. Tiba-tiba saja tanpa menjawab sapaan Atsumu, wanita itu menarik tangannya lalu masuk ke dalam bangunan toko membuat Atsumu terkejut panik.

'Apakah dia tahu kalau aku adalah siluman?!'

“Jangan sembarangan berkeliaran di sini, Nak. Para pedagang di sini sangat tidak suka jika ada budak yang berkeliaran di sini.”

Atsumu yang tadinya hendak melepaskan diri langsung mengerjap tatkala mendengar perkataan sang wanita. “Budak?”

Wanita itu menaikkan alisnya. Terheran dengan Atsumu yang malah bertanya balik. “Ya, kau budak, kan? Penampilanmu kusam dan kumal seperti itu.”

Reflek Atsumu pun menatap penampilan dirinya. Baju yang warnanya tak lagi sama saat Akaashi pertama kali memberikan kepadanya dahulu, terdapat noda lumpur di baju dan celana, luka lecet-lecet di tangan dan kaki, sepatu yang rusak, dan wajah kumal akibat belum cuci muka. Sangatlah wajar jika wanita itu mengira ia adalah seorang budak.

“Kau sedang mencari apa di sini?”

Atsumu tersentak saat mendengar pertanyaan dari sang wanita. “I-Itu ... obat ... obat demam juga ... makanan ...”

“Kau masuk di toko yang tepat. Sebentar, akan kubuatkan ramuan obatnya,” ujar wanita itu sambil tersenyum dan menepuk kepala Atsumu pelan lalu berbalik menuju meja yang ada di depan rak-rak berisi tanaman. Mendengar ujaran sang wanita, Atsumu pun mengedarkan pandangan ke sekitar dan baru menyadari jika toko yang ia masuki adalah toko obat melihat adanya aneka tanaman herbal di rak-rak.

Atsumu pun mendekat ke meja, tempat si wanita akan meracik obat. Beberapa tanaman herbal diambil lalu dihaluskan. Atsumu menonton dengan seksama hal yang dilakukan wanita itu.

“Namamu siapa? Aku Shimizu,” kata wanita itu memperkenalkan diri sembari sibuk meracik obat.

“A-Atsumu ... namaku Atsumu ...”

“Apakah kau sudah izin kepada tuanmu untuk keluar seperti ini? Atau kau memang diperbolehkan keluar?” tanya Shmizu yang membuat Atsumu kebingungan. Pasalnya ia hanya tahu arti kata budak, tapi tidak dengan makna dan lainnya yang masih berhubungan dengan budak. Maka dari itu, Atsumu berpikir lama untuk memikirkan jawaban. Akan tetapi, Shimizu malah salah sangka. Ia mengiranya Atsumu ini tidak ingin cerita karena disuruh oleh tuannya untuk tidak cerita apapun karena demi menjaga nama baik tuannya.

“Tidak apa kalau memang tidak ingin cerita. Kalau boleh tahu, obat demam ini untuk siapa?”

“Eh? A-Ah, itu untuk saudara kembarku, Osamu.”

“Oh, saudara kembar rupanya. Nah, obatnya sudah jadi. Tunggu sebentar.” Wanita itu berjalan masuk ke ruangan lain. Sepertinya ia ingin mengambil sesuatu. Atsumu pun menunggu sambil melihat-lihat seisi toko.

Tak lama kemudian, Shimizu keluar sambil membawa bingkisan di tangannya. Bungkus obat racikannya tadi ia masukkan ke dalam bingkisan lalu menyerahkannya kepada Atsumu. “Ini obat dan makanan untukmu juga saudaramu. Gratis, tidak perlu membayar. Obatnya diseduh menggunakan air panas dan diminum setelah makan. Sekarang cepat pergilah sebelum pasar semakin ramai. Salam untuk saudaramu semoga lekas sembuh!”

Shimizu menuntun Atsumu keluar. Atsumu sendiri tampak begitu fokus terhadap bingkisan yang Shimizu berikan padanya. Wajahnya begitu sumringah karena mencium aroma yang sangat enak dari dalam bingkisan.

“Terima kasih Nyonya Shimizu! Sampai jumpa!”

Satu kali bungkukkan, senyuman lebar, lambaian tangan, lalu Atsumu bergegas pulang. Shimizu membalas lambaian Atsumu seraya tersenyum manis. Kemudian ketika sosok Atsumu tak lagi tertangkap mata, senyuman manis itu luntur dan berubah menjadi seringaian licik.

🦊🦊🦊🦊🦊

“Lidahku mati rasa, Tsumu,” keluh Osamu dengan telinga yang layu. Padahal makanan yang dibawa Atsumu kelihatan enak, tapi apa daya. Ia sedang sakit otomatis lidahnya tidak berfungsi dengan baik.

Atsumu yang baru saja menelan makanannya hanya bisa mengembuskan napas pelan saat mendengar keluhan Osamu. “Kalau lama-lama tidak tahan, tidak usah dihabiskan tidak apa-apa, Samu. Yang terpenting perutmu sudah terisi makanan. Lebih baik sekarang kau minum obat lalu kembali tidur. Sisa makananmu nanti aku yang habiskan.”

Osamu terdiam beberapa saat sambil menatap sisa makanannya yang lumayan banyak. Atsumu tetap melanjutkan makannya tanpa memerhatikan Osamu lagi. Tiba-tiba saja Osamu kembali makan dengan lahap dan cepat membuat Atsumu mengerjap heran.

“J-Jangan dipaksa, Samu. Nanti kau mual.”

“Twidak awpa. Iyni jawtahkuw dhan akhu ighin sewgwera syehat.” (Tidak apa. Ini jatahku dan aku ingin segera sehat.) Osamu menjawab dengan mulut terisi penuh makanan.

Atsumu yang melihat itu hanya menghela napas lalu mengembuskannya pelan. Kemudian ia terkekeh kecil.

Matahari terus merangkak hingga siang yang tadinya terik telah berganti menjadi sinar yang teduh menjelang sore. Seharian itu Osamu tertidur, sedangkan Atsumu sibuk berlatih baik teknik sihir, bela diri, lalu ia mencari bahan makanan untuk makan malam dan kayu bakar. Sejauh ini belum ada ancaman apapun di sekitar rumah. Akan tetapi, Atsumu berencana untuk kembali melanjutkan perjalanan esok dini hari. Ia yakin Osamu sudah membaik ketika esok juga akan bahaya jika mereka terus menetap di sini.

Malam pun tiba. Perapian baru saja dinyalakan. Kini Atsumu beralih ke Osamu yang masih terlelap. Ia pun berniat untuk membangunkannya. Akan tetapi, telinganya menangkap suara dari radius 300 meter menuju ke arah sini. Suara langkah kaki kuda dan orang yang beramai-ramai. Terdengar juga suara geraman anjing.

“Hei, Iwaizumi, kau sungguh yakin arahnya ke sini?”

“Tentu saja. Anjing ini merupakan milik penyihir Shimizu. Dia bertugas untuk menuntun kita, jadi aku sangat yakin.”

“Penyihir wanita itu sudah membantu kita selama bertahun-tahun. Berani sekali kau sampai tidak mempercayainya, Oikawa.”

“Bukan begitu, Hanamaki. Bagaimana ya ... kita ini belum pernah bertemu dengan siluman rubah dan hanya penyihir itu yang pernah melihatnya. Bahkan melihatnya di pagi hari ketika pasar hendak buka. Bukankah aneh jika tak ada orang lain yang ikut melihatnya juga?”

“Entahlah, mungkin itu berhubungan dengan supranatural makanya hanya orang-orang tertentu saja yang bisa melihatnya.”

“Tapi, yang membuatku heran adalah mengapa penyihir itu tidak langsung menangkap silumannya? Mengapa ia sampai repot berpura-pura, memberi obat pada siluman itu yang baunya dapat dilacak oleh anjing agar kita dapat mengejarnya?”

“Sepertinya siluman rubahnya lebih dari satu dan Shimizu tidak tahu di mana keberadaan yang lainnya. Oleh karena itu, ia pun membuat obat yang baunya dapat dilacak oleh anjing-anjingnya lalu kita pun bisa mengejarnya.”

“Tapi, itu sungguhan obat biasa? Mengapa tidak racun sekalian? Shimizu tidak memberitahu apapun?”

“Dia hanya memberitahu jika obat itu memiliki bau yang kuat dan bisa dilacak dengan anjingnya. Ia tidak mengatakan apapun tentang racun.”

“Hah, aneh sekali. Penyihir memang sulit dimengerti jalan pikirannya.”

“Sudahlah, masa bodoh soal itu. Yang terpenting siluman rubah itu mahal dan kita akan menjadi kaya jika bisa mendapatkannya.”

“Dasar Mattsun penggila uang!”

Atsumu tercekat saat mendengar percakapan itu. Ingatan memutar kembali ketika pagi hari tadi, saat ia di pasar.

'Jadi, wanita itu ... sialan!'

Gigi digertakkan dan tangan mengepal hingga kuku jari memutih. Ia pun mengatur napas untuk mengendalikan amarah karena hampir saja tadi ia menendang tembok, tapi teringat jika Osamu masih tertidur. Ia tidak ingin Osamu bangun dan panik bertanya macam-macam. Atsumu pun berpikir cepat akan apa yang harus dilakukannya.

Ia pun bergegas menuju Osamu. Perlahan mendudukkan tubuh saudaranya itu, melingkari selimut ke seluruh tubuh Osamu lalu menggendongnya di punggung dan mengikat sisa kain selimut ke tubuhnya dengan kencang guna mencegah Osamu terjatuh. Lalu sisa kayu bakar ia tebarkan ke seluruh area dalam rumah. Selepasnya ia pun menggunakan sihir api untuk membakar rumah lalu kabur melalui pintu belakang dan melesat pergi menuju hutan yang ada di belakang rumah.

Atsumu berlari layaknya rubah dengan Osamu berada di punggungnya. Telinga pun kembali difokuskan.

“Lihat! Rumah itu terbakar!”

“Berarti benar, siluman itu ada di sana! Kita ketahuan?!”

“Cepat kejar! Sepertinya mereka kabur menuju hutan di belakang rumah.”

Laju lari semakin cepat. Langit yang belum terlalu gelap membuat Atsumu mampu menghindar jika ada sesuatu di depannya. Namun, ia tetap saja membutuhkan bantuan Osamu untuk penunjuk jalan.

“Samu! Bangun!” seru Atsumu sambil menoleh ke kanan karena kepala Osamu bersandar di bahu kanannya. Tapi, Osamu masih terlelap.

'Haah, kenapa dia tidak terbangun padahal aku sedang berlari kencang seperti ini?! Apa karena pengaruh obat?'

“Samu! SAMU BANGUN!”

Atsumu terus berteriak untuk membangunkan Osamu, tapi sia-sia saja karena saudaranya sama sekali belum terbangun.

“WOOF! WOOF!”

“ITU DIA!”

“Sial!”

Sayup-sayup Atsumu mendengar suara pengejarnya berada jauh di belakang. Laju lari pun semakin dipercepat.

SRAK!

Hampir saja Atsumu tergelincir ke tanah miring yang ada di depannya. Namun, ia berhasil menyeimbangkan diri. Sambil mengatur napas, Atsumu pun meluncur menuruni tanah miring dengan kedua kakinya. Kedua tangan ia rentangkan guna menyeimbangkan tubuh. Osamu sendiri masih tertidur di punggungnya berbalut selimut.

Hari semakin gelap membuat Atsumu semakin tidak bisa melihat objek-objek di depannya. Ia masih meluncur dan tak tahu kapan akan sampai ke dataran rendah. Suara langkah kaki kuda semakin terdengar di belakang membuat Atsumu berdecak. Ia benar-benar membutuhkan bantuan Osamu.

Akhirnya satu cara pun terpikirkan olehnya. Ada sebuah pohon di depannya. Atsumu pun merubah posisinya menjadi berbalik 180° guna menabrakkan punggung Osamu ke batang pohon agar ia terbangun.

BRAK!

“ARGHH!”

Dengan cepat Atsumu pun merubah posisinya ke semula dan kembali meluncur ke bawah.

“Heh? Apa yang terjadi?!”

“Intinya sekarang kita dikejar! Samu, bantu aku beri petunjuk jalan! Hari semakin gelap dan aku tidak bisa melihat ke arah depan!”

Osamu yang masih mengumpulkan nyawa hanya kebingungan saat mendengar penjelasan Atsumu. Ia menatap sekitar. Hutan yang gelap dan mereka sedang meluncur di tanah miring. Kemudian ia pun menatap ke arah depan.

“Awas, di depan ada pohon!”

Atsumu pun spontan menggerakkan tubuhnya ke samping guna menghindari pohon tersebut. Mereka masih meluncur dan Atsumu sama sekali tidak tahu apa yang ada di bawah tanah miring ini. Ia sedikit khawatir jikalau di bawah sana adalah sungai.

Namun, dugaannya salah. Di bawah sana ternyata dataran biasa. Akan tetapi, dari arah kanan Atsumu terdapat dua anjing dobberman sedang berlari dan siap menghadangnya.

“WOOF! WOOF!”

Osamu yang melihat itu langsung mengangkat tangannya lalu ia menyalurkan sihir apinya guna memunculkan nyala api sedang di ujung jari-jarinya. Tujuannya untuk menerangi jalan agar memudahkan Atsumu dalam melangkah.

“Kenapa malah menyalakan api?! Mereka akan semakin tahu posisi kita!”

“Ini lebih baik karena indra penciumanku tidak bekerja dengan baik!”

Posisi mereka sebentar lagi akan berada di dataran rendah dan kedua anjing itu juga semakin mendekat. Lima meter dari batas tanah miring terdapat pohon besar yang menjulang tinggi. Atsumu pun memutuskan untuk menaiki pohon itu.

Setibanya di bawah sana dan sebelum anjing mendekat, Atsumu langsung melompat menuju pohon itu lalu melesat berpindah dari pohon ke pohon dengan cakar tangan dan kakinya. Atsumu mencoba melesat secepat mungkin, tapi karena ia menggendong Osamu gerak tubuhnya pun menjadi jauh lebih lambat.

“Hei, Tsumu, bisa jelaskan apa yang terjadi sebenarnya? Seharian ini aku tidur dan bangun-bangun malah dalam kondisi seperti ini membuatku bingung setengah mati. Apalagi penjelasanmu tadi sama sekali tidak menjelaskan,” tutur Osamu sambil mnegeratkan pegangannya pada kain baju Atsumu. Angin menerpa wajah mereka selama mereka terus melesat.

“Wanita yang memberi obat di pasar pagi tadi adalah seorang penyihir. Dia tahu kalau aku adalah siluman rubah. Obat itu memiliki bau yang kuat sehingga bisa dilacak oleh anjing-anjingnya dan menyuruh orang-orang itu mengejar kita,” jelas Atsumu cepat.

Sayup-sayup suara langkah kaki kuda semakin terdengar juga suara salakan anjing. Lalu telinga Atsumu juga tak sengaja menangkap suara akan sayap yang sedang terbang ke arahnya. “Ada hewan bersayap yang mengejar kita!” seru Atsumu sambil berusaha tenang.

Namun, suara itu semakin mendekat hingga akhirnya hewan itu menghancurkan pohon yang menjadi tumpuan selanjutnya si kembar guna menghadang mereka. Dengan sigap, Atsumu pun turun ke bawah dan mulai berlari dengan kedua kakinya untuk menghindar dari hewan bersayap raksasa itu. Akan tetapi, Hewan yang ternyata serigala raksasa bersayap kelelawar itu berhasil menyusulnya dan langsung terbang rendah untuk menghadang. Reflek Osamu mengeluarkan semburan sihir api ke arah serigala itu guna mengancamnya agar tidak dekat-dekat. Mereka tidak bisa berlari ke arah kanan maupun ke arah kiri dikarenakan serigala raksasa ini pasti akan terbang menyusulnya dengan cepat. Di belakang, manusia yang mengejar mereka semakin mendekat bersama dua anjing dobberman. Mereka telah dikepung.

“Anak-anak rubah yang malang. Kalian terkepung sekarang.” Gema suara wanita terdengar dari langit. Keduanya pun mendongak ke atas dan mendapati seorang wanita berambut hitam dan berpakaian serba  hitam dengan sayap kelelawar di punggung sedang melayang-layang di atas serigala.

“Dia ... wanita yang tadi pagi,” desis Atsumu. Osamu mengerjap menatap wanita itu. Ia sama sekali tidak menyangka dibalik wajah cantik wanita itu terdapat jiwa yang licik.

“Bagaimana ini Tsumu, mereka semakin dekat!”

Atsumu terdiam sambil mengatur napas. Menatap Shimizu dan orang-orang di belakang secara bergantian. Osamu sendiri terus mengeluarkan semburan sihir api ke arah serigala walau lama-lama ia merasa pusing karena kondisi tubuhnya yang belum sehat, tapi memaksakan diri untuk mengeluarkan sihir.

'Saat ini kami tak bisa saling bagi tugas untuk bertarung karena kondisi Osamu yang belum sehat. Kalaupun aku memaksakan untuk bertarung sendirian, Osamu pasti akan terkena dampaknya. Maka, hanya ini satu-satunya cara yang kupikirkan'

“Samu, saat ini aku lebih hebat dari kau. Maka dari itu dengarkan dan menurutlah pada rencanaku!”

“Hah?! Apa maksudmu?!”

Kedua tangan Atsumu ia rentangkan untuk menyalurkan sihir angin ke telapak tangannya. Perlahan terbentuk pusaran angin kencang dengan mereka pusatnya layaknya benteng gasing. Atsumu dan Osamu kini berada di dalam pusaran, sedangkan orang-orang di luar tidak bisa mendekat lantaran putaran anginnya sangat kuat.

Atsumu kini menurunkan Osamu perlahan sambil melepas kain yang mengikatnya lalu kembali menyelimuti tubuh saudaranya dengan selimut tadi. Osamu mengernyit sambil menatap Atsumu karena membutuhkan penjelasan atas kalimat Atsumu sebelumnya.

“Apa maksudmu tadi, Tsumu?! Mengapa dalam kondisi genting seperti ini kau malah sempat-sempatnya sombong, hah?!”

“Hei, aku mengatakan kebenaran! Saat ini tulang rusukmu patah ditambah kau demam. Kau akan menghambat jika tetap berada di sini. Maka dari itu, kau harus menurut padaku karena di sini aku sehat, bisa bertarung, dan tentunya sihirku lebih kuat darimu!” jelas Atsumu sambil menyeringai membuat Osamu kesal setengah mati.

Saat hendak membalas kalimat sombong Atsumu, tiba-tiba saja terdengar suara kepakan sayap dari atas. Sontak mereka pun mendongak. Serigala bersayap itu terbang di atas pusaran dan hendak melesat masuk ke arah mereka. Akan tetapi, sebelum semua itu terjadi Atsumu mengangkat tangannya lalu mengendalikan sihir anginnya guna membuat pusaran angin yang melindungi mereka bentuknya mengerucut ke atas sehingga mereka kini seperti di dalam penjara pusaran angin dan serigala tadi gagal menyerang mereka.

Ketika melihat itu, Osamu pun langsung tertegun. Ia kagum terhadap pengendalian sihir angin Atsumu yang sudah meningkat drastis. Dalam keadaan normal, Osamu belum bisa mengendalikan sihir angin hingga seperti itu. Ucapan Atsumu sebelumnya pun kembali terngiang di kepala.

Samu, saat ini aku lebih hebat dari kau!”

Ya, Osamu pun mengakui itu. Saat ini Atsumu lebih hebat darinya baik dalam pengendalian sihir, ketahanan tubuh, dan kepekaan terhadap situasi dibandingkan dengan dirinya yang saat ini hanya bisa berlindung dibalik punggung Atsumu. Padahal mereka memulai perjalanan ini bersama-sama, tapi mengapa Osamu merasakan perbedaan yang besar dari Atsumu?

“Apa rencanamu, Tsumu?” ucap Osamu pada akhirnya sambil mengeratkan lagi selimut yang membalut tubuhnya. Ia saat ini berpikir realistis bahwa ia tidak mungkin ikut bertarung melawan mereka.

Atsumu semakin melebarkan seringaiannya yang kini tampak seperti senyuman yang terlalu lebar. “Nah, akhirnya menurut juga. Jadi, rencanaku adalah aku akan bertransformasi menjadi rubah untuk melawan mereka. Lalu aku akan melemparmu menggunakan sihir angin sejauh mungkin agar kau bisa kabur dan tidak menghambatku di sini. Setelahnya aku akan menyusulmu.”

“Tunggu, tunggu. Transformasi menjadi rubah?! Kau serius?! Tapi, itu sangat beresiko!” protes Osamu karena ia mengingat kembali penjelasan Akaashi di malam-malam penuh tawa saat di rumah hutan dasar jurang. Ketika Atsumu bertanya apakah hanya siluman burung hantu saja yang bisa bertranformasi kembali ke bentuk asalnya.

'Semua siluman sebenarnya bisa. Tapi, memang ada beberapa siluman yang jika berubah menjadi bentuk asalnya akan berdampak negatif pada mereka seperti energi sihir yang habis, tidak mampu mengendalikan sisi manusianya hingga menjadi hewan sesungguhnya, bahkan sampai kematian. Oleh karena itulah ada beberapa siluman yang tidak mengajarkan teknik ini kepada keturunannya karena dampaknya tadi.'

“Karena beresiko itulah yang patut dicoba! Kita tidak akan tahu, kan, bagaimana nantinya?” balas Atsumu tanpa melunturkan senyuman penuh percaya dirinya.

Osamu hanya terdiam sambil menatap intens Atsumu.

Ia benar-benar tidak berdaya

“Baiklah, lakukan semaumu Tsumu.”

Atsumu semakin tersenyum lebar. Ia pun memejamkan mata lalu bernapas rileks. Pikirannya fokus untuk mengumpulkan energi sihir yang banyak. Lama-kelamaan tubuhnya pun bercahaya dan membesar. Osamu melangkah mundur sedikit dan mendongak. Atsumu telah berubah menjadi rubah raksasa dengan tinggi 5 meter, seukuran serigala bersayap kelelawar di luar. Taring tajam, sorot mata menyala, dan cakar yang panjang menjadi pemandangan yang dilihat Osamu sekarang.

Osamu menelan ludah saat melihat Atsumu. Ia khawatir jika Atsumu kehilangan sisi manusianya dan sungguhan menjadi rubah liar dalam mode itu. “Tsu-Tsumu?”

“Wah, ini luar biasa! Haha!”

Tak disangka ternyata Atsumu dapat mengendalikannya dengan baik. Osamu bernapas lega sekarang.

“Samu, mendekatlah. Aku akan melemparmu jauh dari sini dan aku akan menyusulmu nanti. Tapi membutuhkan waktu yang lama, hehe.” Atsumu mengadahkan kedua tangannya seolah menyuruh Osamu berdiri di antaranya.

Osamu pun mendekat dan berdiri di antara tangan rubah Atsumu yang penuh cakar panjang. Perlahan muncul pusaran angin berukuran sedang dengan kecepatan kecil di bawah Osamu hingga membuat dirinya melayang. Ia seolah-olah sedang berada di atas karpet terbang, tetapi tidak ada bentuk fisik.

“Pusaran ini akan membawamu jauh pergi. Sisanya kendalikan sendiri jikala bertemu daratan,” kata Atsumu. Suaranya begitu menggema dan berat karena efek transformasi rubahnya.

Pusaran yang memenjarakan mereka perlahan Atsumu buka bagian atasnya. Dengan cepat Atsumu melempar pusaran angin Osamu ke atas. Melesat ke arah utara dengan kecepatan tinggi.

“KARENA KAU HEBAT, KAU HARUS BISA SEGERA MENYUSULKU TSUMU!” seru Osamu sambil menatap ke bawah sebelum pusaran angin yang membawanya pergi jauh bermil-mil. Setelah Osamu tidak tampak lagi di mata, pusaran angin yang melindungi Atsumu pun ia lenyapkan dan dalam gerakan cepat ia langsung mencakar para pengejar yang ternyata baru saja datang dengan dua anjing dobberman sehingga timbul angin kencang yang membuat keempat pengejar mundur ke belakang.

“ARRGH!”

“WOOF! WOOF!”

Empat kuda yang ditunggangi oleh para pengejar ia tendang sehingga pengejar itu beserta kuda dan dua anjing tadi terlempar jauh ke belakang, bergelimpangan. Obor yang mereka bawa terjatuh ke tanah dan mulai membakar rumput. Atsumu pun hendak membakar para pengejar tadi, tapi ia dihentikan oleh serigala bersayap dengan gigitan di pundak. Sontak Atsumu meraung hebat lalu berusaha mengenyahkan kepala serigala dari pundaknya dalam sekali cakar.

AUUM!”

Serigala itu mengaum kesakitan akibat cakaran yang ia terima dari rubah Atsumu sehingga terhuyung ke belakang. Tanpa memberi belas kasihan, Atsumu menerjang serigala itu sehingga terjatuh dan menindihnya. Cakaran bertubi-tubi ia tujukan kepada tubuh serigala. Raungan kesakitan menggema di seluruh penjuru hutan.

“Hoi, Iwaizumi, Oikawa, Hanamaki, dan Matsukawa. Kalian masih hidup, kan?” Shimizu menghampiri para pengejar yang saat ini susah payah untuk bangkit lalu melayang di atas mereka.

“Wah, pertanyaanmu tanpa rasa bersalah sama sekali, ya. Berani sekali bertanya seperti itu padahal kau tidak menyelamatkan kami,” desis Oikawa. Tampak hidungnya berdarah.

“Serangan yang tadi itu tidak sampai merenggut nyawa, makanya aku diam saja karena aku yakin kalau kalian akan selamat.” Shimizu mengatakan itu sambil tersenyum membuat Oikawa, Iwaizumi, Hanamaki, dan Matsukawa mendengus jengkel.

“Sekarang siapkan panah api kalian, sebentar lagi rubah itu akan kukalalahkan,” titah Shimizu.

“Api?! Hei, itu akan menghanguskan bulu rubah dan harganya akan turun nanti!” protes Matsukawa membuat Iwaizumi, Hanamaki, dan Oikawa tepuk dahi.

“Siluman rubah memiliki sihir elemen alam angin dan api. Oleh karena itu, mereka tahan dengan api walau tetap merasakan kesakitan layaknya manusia biasa jika terkena api,” jelas Shimizu. “Sudahlah, cepat siapkan panahnya!”

Di sisi lain tubuh serigala bersayap yang sudah dikoyak oleh Atsumu tadi perlahan kembali beregenerasi. Tak sampai disitu, tubuh serigala bersayap tadi menjadi dua kali lebih besar dari sebelumnya. Hal itu membuat Atsumu terheran dan mundur selangkah dari serigala.

'Arrgh, hewan ini, kan, hewan milik penyihir. Tidak heran jika bisa beregenerasi seperti ini.'

Serigala yang menjadi lebih besar itu langsung menendang rubah Atsumu dengan kencang membuat Atsumu terbatuk dan terlempar beberapa meter ke belakang. Belum sempat Atsumu bangkit, serigala itu sudah menerjang Atsumu dan membalas serangan cakaran Atsumu tadi. Ditambah dua anjing dobberman tadi ikut menyerang.

“RAWRR!”

Atsumu meraung kesakitan sambil berusaha melindungi diri. Tidak hanya kesakitan akibat cakaran dan gigitan, ia juga merasakan sakit yang luar biasa di sekujur tubuhnya akibat efek transformasi rubahnya. Energi sihirnya pun semakin tidak stabil.

Atsumu pun menendang dua anjing dobberman hingga terpental jauh dan berusaha mendorong serigala yang menindih tubuhnya dan mengirimkan serangan balik. Namun sayang, ia kalah tenaga oleh serigala yang dua kali jauh lebih besar darinya. Di sisi lain, Oikawa, Iwaizumi, Hanamaki, dan Matsukawa sedang dalam posisi bersiap menembakkan anak panah berapi. Shimizu menyeringai saat melihat Atsumu yang semakin kewalahan melawan serigala miliknya.

“Tembak!”

Empat panah yang apinya berasal dari rumput terbakar di sekitar mereka pun melesat menuju ke arah Atsumu. Dua panah mengenai tubuh rubah Atsumu dan sisanya menancap di tanah. Rubah Atsumu meraung saat merasakan panas api dari panah yang menancap di tubuhnya.

Serangan serigala bersayap semakin membabi buta dan panah semakin beruntun ditembakkan. Atsumu benar-benar terpojok. Di dalam kepalanya kini terbayang Osamu yang sudah selamat dan kini berlari menuju arah utara. Dalam hati ia sedikit menyesali keputusannya ini. Ia seharusnya bersama Osamu sekarang. Melesat di dalam hutan sambil melempar candaan atau ledekan. Akan tetapi, waktu tidak bisa ditarik. Tidak ada penyesalan.

Atsumu pun diam-diam tersenyum sambil menitikkan air matanya. Perlahan tubuhnya bercahaya begitu terangnya membuat serigala bersayap menghentikan serangannya dan penyihir bersama empat laki-laki pengejarnya terpana melihatnya. Cahaya di tubuhnya pun semakin terang hingga menyilaukan mata.

'AKU YANG TERHEBAT!'

🦊🦊🦊🦊🦊

Osamu menyandarkan tangannya di salah satu batang pohon sambil mengatur napas. Ia baru saja berlari kencang sesaat ia mendarat di tanah. Sebelumnya ia berhasil mengendalikan pusaran angin yang membawanya sehingga bisa mendarat dengan selamat.

Saat ini Osamu benar-benar kelelahan akibat berlari dalam kondisi tubuhnya yang masih sakit. Selimut yang ia jadikan jubah ia lepas ikatannya lalu ia selimuti seluruh tubuhnya dan duduk bersandar di batang pohon tadi. Kepala pusing, pandangan berkunang-kunang, lidah mati rasa, haus, tubuh lemas, dan sesak napas luar biasa. Osamu memejamkan matanya sambil mengeratkan selimut di tubuhnya. Kini ia dalam keadaan setengah sadar.

“Oi, Samu. Samu~”

Osamu masih belum sadar sepenuhnya bahwa ada suara yang memanggilnya.

“Samu! Samuuuuu!”

Perlahan mata dikerjapkan dan telinga mulai mengenali suara yang memanggilnya.

“Psst, Samu! Samu!”

Menyadari bahwa itu adalah suara Atsumu membuat Osamu berusaha membuka matanya. Ia sumringah saat samar-samar melihat Atsumu ada di hadapannya. Namun, ekspresi senangnya berubah seketika kala pandangannya sudah fokus. Di hadapannya berdiri seorang Atsumu dengan pakaian serba putih, tubuh mulus bersih, dan terdapat titik-titik cahaya yang menguap dari tubuhnya. Osamu tercekat.

“Tsu ... Tsumu?”

“Yo! Haha!” Atsumu tertawa canggung sambil menggaruk belakang kepalanya. Osamu terdiam sambil menggigit bibir bawahnya. Sesak dan tercekat begitu menyakitkan ia rasakan.

“Apa yang terjadi?” tanya Osamu lirih.

“Aku ... tidak sehebat itu ternyata, jadinya kalah. Hahaha! Itu ... ekhem, singkatnya aku kewalahan dan terpojok dan akhirnya aku meledakkan diri guna membakar hutan juga musuh, hehe. Tenang, mereka ikut terbakar dan kupastikan juga tubuhku hangus tak bersisa agar tidak bisa diambil oleh siapapun! Kertas petanya juga tadi aku diam-diam memindahkannya ke saku celanamu, jadi jangan khawatir!” Atsumu berucap sambil bertingkah gugup. Kadang menggaruk belakang kepalanya, bergerak menyatukan kedua jari telunjuknya, terkekeh tanpa sebab, dan menggaruk pipi.

Osamu terdiam tak menjawab apapun. Ia hanya menatap Atsumu nanar.

Saat ini Atsumu sudah mati. Ia ... telah mati dan dirinya ... masih hidup.

“Pokoknya setelah ini kau harus mampu bertahan, Samu! Awas saja menyerah seperti saat di hutan waktu itu, aku akan mengejekmu di atas langit nanti!” seru Atsumu galak sambil berkacak pinggang. Osamu hanya terdiam.

Melihat Osamu yang tidak meresponnya sedari tadi membuat Atsumu menghela napas lalu mengembuskannya pelan. Ia pun menunduk menatap tanah yang dipijakinya. Keheningan menyelimuti mereka beberapa lama hingga akhirnya Atsumu bersuara lagi.

“Samu, maaf. Aku ... tidak bisa menjadi kakak yang hebat untukmu dan malah meninggalkanmu sendiri. Maafkan aku,” tutur Atsumu sambil tersenyum lemah menatap Osamu. Titik-titik cahaya semakin banyak yang menguap dari tubuhnya.

Osamu menggeleng pelan saat mendengar penuturan Atsumu. “Tidak, itu tidak benar Tsumu. Kau ... kau kakak yang hebat. Kau terus melindungiku, merawatku, dan selalu menarik tanganku ketika aku menyerah. Kau---”

Osamu tak mampu melanjutkan lagi. Dadanya begitu sesak dan semakin sesak saat melihat sihir yang menguap dari tubuh Atsumu. Sebentar lagi Atsumu akan pergi selama-lamanya. Segala tentang Atsumu baik tawa, senyuman, maupun tangisan tinggal menjadi kenangan. Ia tidak akan bisa melihatnya lagi.

“Terima kasih, Samu.” Atsumu tersenyum kepada Osamu, menatap adiknya nanar. Bibirnya bergetar lalu senyumannya perlahan pudar. Dalam gerakan cepat, Atsumu menerjang Osamu dalam pelukan kemudian terisak kencang.

“Osamu, maaf ... maafkan aku, maaf telah meninggalkanmu sendiri ... maaf ... maaf ... maaf ...”

Atsumu terus mengujarkan maaf disela tangisannya. Tangannya merangkul erat leher Osamu. Titik-titik cahaya di tubuhnya semakin banyak yang menguap. Atsumu semakin menangis kencang.

Osamu perlahan membalas pelukan Atsumu lalu terisak pelan. Kepalanya memutar kembali waktu-waktu yang telah mereka lewati bersama. Mereka tumbuh bersama, berbagi kebahagiaan dan rasa sakit yang sama. Selama sepuluh tahun mereka telah menempuh takdir yang sama. Kini mereka akan dipisahkan.

'Setelah ini tiada lagi Atsumu yang cerewet, yang sombong, yang sok tahu, yang jahil, yang pemarah, dan semua sifatnya yang akan menemani hari-hariku. Sebentar lagi itu semua tinggal menjadi kenangan belaka dan aku ... sendirian untuk mengenangnya.'

“Terima kasih Tsumu, terima kasih ...” lirih Osamu. Raga Atsumu yang dipeluknya semakin transparan. Titik-titik cahaya itu semakin banyak. Perlahan raga Atsumu lenyap menjadi ribuan titik-titik cahaya yang melayang ke atas. Menyatu dengan bintang-bintang yang berada di atas langit sana.

Osamu menatap langit malam berbintang dengan iris yang berkaca-kaca. Kepala memutar kembali memori kematian-kematian orang terdekatnya. Mengenang mereka yang telah menjadi memori abadi di kepala Osamu.

Kini ia telah sendirian bersama hutan yang sunyi dan malam berbintang yang hening.

Malam itu malam yang terlalu indah untuk Osamu yang telah banyak kehilangan ...

-TAMAT-

31 Desember 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top