Tiga
ALFA TERTEGUN sekaligus geli memperhatikan cara makan Mia yang berbeda dari perempuan-perempuan yang berkencan dengannya. Tidak ada adegan memindahkan nasi setengah piring, dengan alasan klasik "ini terlalu banyak, aku sudah kenyang". Makanan di piring Mia terus berkurang, tanpa keluhan takut gemuk ataupun masalah lain yang kadang sangat mengganggu di telinga Alfa.
"Lapar atau enak banget? Sampai kamu nggak tega menyisakan walau sedikit?" Alfa melempar pertanyaan iseng untuk mengusir suasana canggung yang terbentuk usai mengutarakan keinginan mencium Mia.
Mia mengintip dari antara bulu mata, hanya sebentar, lalu kembali fokus pada nasi dan ayam geprek pedas di piring.
"Keduanya" jawab Mia, terdengar seperti pertanyaan pada diri sendiri.
Alfa mengakhiri aktivitas makan hingga menandaskan teh tawar pesanannya tadi. "Jadi—"
"Dok, saya nggak mau melanjutkan ini!" Meskipun ingin sekali meminta perempuan ini membiarkan dia menyelesaikan kalimat lebih dulu, Alfa mengalah. Dia menunggu Mia menggeser piring kosong, mengadu pandangan lagi dengannya setelah menghindar sejak tadi, lalu berkata, "Saya—saya nggak bisa."
Alfa menaikkan satu alis. "Katanya kamu suka saya?"
"Kagum. Saya koreksi kata suka jadi kagum."
"Kagum?"
Mia mengganggu cepat, dan Alfa tidak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum.
"Apa bedanya suka dan kagum? Buat saya—"
"Beda! Beda dong," potong Mia lagi.
Ekspresi Mia yang menggemaskan saat panik dan bingung terlupakan. Alfa tidak bisa menahan lagi rasa sebal karena kalimatnya selalu dipotong oleh perempuan ini. "Mia ...."
"Dok, rasa yang saya punya ke Dokter itu kekaguman atas semua yang Dokter lakukan ke orang lain."
Sepertinya Mia tidak mendengar nada sebal di panggilannya barusan, atau dia sebenarnya tahu, tetapi memilih mengabaikan. Kemarin tidak memedulikan kebingungannya, hari ini kekesalan Alfa.
"Dokter membantu tanpa pamrih, tanpa perlu diketahui siapa-siapa," lanjut Mia, "Dokter ingat saat pertama kali minta Bu Anna mengurus pembayaran dari pasien tabrak lari? Dari situ saya kagum sama Dokter. Saya pernah ditabrak lari dan ditolong orang asing. Ya, sekarang Dokter paham, kan? Saya melihat Dokter kayak saya lihat Chris Evans? Iron Man? Spiderman? Sejenis itu."
"Bedanya sama suka?"
"Saya nggak melihat Dokter sebagai cowok. Nggak ada maksud buat ke arah sana."
Alfa mengerutkan kening dengan ekspresi geli. "Seriously, Mia?" Dia melipat kedua tangan di atas meja dan memiringkan sedikit kepala, sementara Mia kembali menghindari kontak mata dengannya. Namun dia tidak berniat melepas Mia semudah itu. "Kamu datang ke ruangan saya, bilang suka, terus cium saya. Kamu cium saya, Mia." Alfa sengaja menekankan fakta itu. "Dan, sekarang kamu bilang nggak bermaksud apa-apa?"
Alfa coba untuk tersenyum, tetapi gagal. Seseorang dalam dirinya tidak terima dengan perbuatan Mia, seolah sedang dipermainkan. Namun, kenapa merasa seperti itu? Seharusnya Alfa senang, bukan? Dia tidak pernah bermain-main dengan tipe perempuan seperti Mia; tipe pengikut kebiasaan, seragam yang terlihat rapi dan tertutup—tanpa berusaha menonjolkan sesuatu. Berpotensi membosankan sangat besar. Dia sudah terselamatkan dari kegiatan memutar otak untuk mengakhiri hubungan, kenapa dia tetap duduk di sini?
Sialan!
Di depan sana, Mia menunduk dan terlihat sibuk memainkan dua jempol di atas meja. Seakan-akan sedang mempertahankan sikap untuk tidak mau memanjangkan apa pun.
"Mia, kasih saya jawaban masuk akal. Kenapa kamu datang ke ruangan saya saat itu dan memberikan kunci apartemen, lalu sekarang mau mundur begitu saja?"
"Dok." Mia mengangkat wajah. "Dokter udah nolak saya. Dokter lupa?"
"Kamu juga menolak kunci apartemen kamu dikembalikan. Apa kamu lupa?" tukas Alfa. "Jawab saja pertanyaan yang tadi. Kalau masuk akal, urusan kita beres."
Sebenarnya ini bisa lebih cepat diselesaikan. Alfa tidak pernah tertarik mengurusi tarik-ulur perempuan. Masalahnya, dia tidak bisa meninggalkan Mia begitu saja. Dia tidak tahu alasan pastinya, hanya tidak bisa. Dia ingin memanjangkan situasi ini. Duduk lebih lama di sini, memperdebatkan omong kosong bersama Mia, menikmati rasa frustrasi sekaligus kebingungan yang terpampang jelas di wajah Mia.
Bibir Mia terbuka dan menutup cepat. Dia menarik-narik ujung telinga kiri dengan gerakan panik, lalu menatap Alfa penuh rasa percaya diri yang dipaksakan.
"Kenapa Dokter harus berpindah dari satu cewek ke cewek lain? Dokter sudah punya segalanya: wajah, pekerjaan, uang. Kenapa nggak membangun rumah bersama satu orang saja?"
Hening aneh terbentuk. Di antara bunyi kendaraan di depan sana dan suara-suara pengunjung lain, Alfa merasa dunianya mendadak sangat tenang. Belum pernah ada yang berani bertanya tentang itu, bahkan keluarganya sendiri.
Kemudian, Alfa terkekeh. "Rumah yang saya mau sudah diisi orang lain." Mia mengerjap, dan tawa Alfa semakin menjadi-jadi. "Saya sudah jawab, sekarang giliran kamu."
Sejenak, Mia menunduk dan kedua bahunya merosot. Alfa merasa sudah cukup bermain, sudah cukup membalas "serang-serangan" Mia. Ketika dia ingin mengakhiri, Mia tiba-tiba mengangkat wajah.
"Saya selalu memberikan hidup pada hal-hal yang menghasilkan: kerja, kuliah. Sampai nggak punya waktu buat main-main. Cowok? Seks?" Mia mengunci matanya dengan senyum tipis. Seketika keinginan Alfa untuk memberikan ciuman yang layak kepada Mia makin meraung. "Sewaktu saya datang ke ruangan Dokter, saya baru saja dipaksa keluar dari bola kenyamanan itu. Saya dipaksa melihat apa-apa saja yang sudah terlewat di hidup saya. Dan ya, karena selama ini Dokter satu-satunya cowok yang saya kagumi, dan Dokter terlihat cukup menikmati ...." Mia berhenti sejenak, mengangguk dengan bibir sedikit bergetar. "Intinya ... saya mau merasakan hal-hal itu, dan Dokter ... sori, saya—"
"Bola kenyamanan? What do you mean?"
Mia terlihat berpikir, lalu menjawab, "Kanker otak." Kalau ada alasan yang ingin didengar Alfa dari Mia, alasan macam ini tidak termasuk. "Karena itu saya panik kemarin, saya mau merasakan itu sebelum saya kehilangan diri sendiri. Untungnya Dokter nolak." Mia kembali tertawa sampai deretan gigi putih terlihat. "Sehari setelah Dokter nolak, saya sedikit sebal sama diri sendiri, terus sadar. Memang kenapa kalau saya belum merasakan hal-hal itu? Kenapa saya harus merepotkan Dokter? Kita, kan, orang asing ...."
***
Kata orang asing seharusnya sudah cukup kuat untuk menghentikan rasa penasaran Alfa bermain lebih jauh dengan Mia, tidak lagi memaksakan diri untuk terlibat dalam kerumitan hidup perempuan itu. Namun, dia seperti kehilangan kendali atas diri sendiri. Setelah ditinggalkan Mia di rumah makan dengan cara yang menyebalkan, Alfa tidak pulang ke Kemang. Meski tidak bisa berhenti mengumpat setiap mengingat bagaimana Mia berpamitan, dia tetap datang ke salah satu unit miliknya di area apartemen yang sama dengan Mia tetapi berbeda tower.
Lebih tololnya, Alfa tidak istirahat di sana. Dia tidak melanjutkan hari seperti biasa atau pergi ke tempat-tempat menyenangkan untuk melampiaskan kekesalan. Dia membersihkan diri dan kini berdiri di depan unit apartemen Mia.
Setelah sibuk berdebat dengan diri sendiri, akhirnya dia mengentuk pintu beberapa kali dan menunggu dengan sabar si pemilik membuka pintu.
Mia berdiri kaku dengan tangan menggenggam erat pinggiran daun pintu. Kedua mata Mia membulat dramatis seakan-akan yang mengetuk pintu adalah makhluk menyeramkan, hingga Alfa tidak bisa menahan desahan tersinggung.
"Hei, saya manusia, bukan hantu yang menyerupai Alfarezi Bagaskara," sapa Alfa dengan nada ketus. "Dan, Mia ...," dengan penuh penekanan Alfa memanggil nama perempuan itu, "pergi sebelum obrolan selesai atau membuat keputusan sepihak bukan hal yang sopan. Kamu tahu itu, kan?"
"Dok—Dokter Alfa, ke—"
"Oke, saya mau mampir sebentar ke sini. Terima kasih buat undangannya." Kemudian, Alfa memasuki unit Mia. Mengabaikan bibir perempuan itu mengikuti jejak mata yang lebih dulu melebar. Keteraturan yang diucapkan Mia tadi terlihat jelas dari situasi unit bertipe studio ini. Tidak ada barang yang berlebihan, bahkan ruang buat gerak pun tidak dibiarkan bersisa sia-sia, semua memiliki fungsi yang jelas.
Pintu di balik punggung Alfa berbunyi nyarin. Rasa kesal yang dipamerkan Mia menggelitik hati Alfa sampai senyum kecil terlepas.
"Dokter—"
"Mia," sanggah Alfa, lalu duduk di sofa sebelah pintu dan memiringkan kepala untuk menatap Mia yang menjulang di depannya. "Pertama, saya nggak suka dibayarin cewek di kencan pertama. Wah, kencan pertama. Apa tadi itu sudah layak buat kamu anggap kencan? Oke, lanjut, kedua ... saya belum menanggapi apa pun pengakuan dari kamu. Bahkan, saya belum memutuskan mau percaya atau nggak." Mia terlihat sudah tidak sabar memotong, tetapi Alfa tidak berniat membiarkan itu terjadi. "Ketiga, kamu bilang nggak mau melanjutkan, tapi nggak bertanya sekali pun tentang kunci dan kartu akses yang kamu kasih ke saya? Mia, Mia, kamu masih mengharap—"
"Dokter mau lihat hasil CT scan dan MRI saya?" Sialan! Alfa diserang balik. "Saya ambil, tunggu—" Sebelum Mia berbalik dan menjauh, Alfa sudah lebih dulu menarik dan mendudukkan perempuan itu di pangkuannya dengan posisi memunggungi Alfa. Dia mengunci kedua tangan Mia dengan pelukan erat di pinggang, sementara ujung dagunya menekan lembut bahu kiri Mia.
"Dokter Alfa, ini—"
"Sejak kapan? Hal mengganggu apa yang membuat kamu akhirnya memeriksakan itu?"
"Saya lupa. Awalnya pusing biasa, tapi lama-kelamaan jadi sakit kepala yang menyakitkan. Karena Dokter Arman, ya, dokter umum yang biasa berjaga di UGD merasa ada yang aneh. Keluhan saya melebar ke mana-mana, beberapa kali pandangan saya blackout gitu aja, mimisan parah, sampai bulan lalu saya pingsan di kantor. Terus, Dokter Arman merekomendasikan saya buat CT scan." Jeda yang diambil Mia, helaan napas perempuan itu, membuat Alfa semakin mengeratkan pelukannya.
"Lalu?"
"Di bagian sebelah kanan."
"Pengobatan?"
Mia menggeleng.
"Orang tua? Keluarga? Sudah tahu?"
Mia menggeleng lagi.
"Kenapa?"
Mia menaikkan kedua bahu, lalu terdengar tawa getir yang mengusik hati Alfa sampai area yang biasa tak mampu dijamah perempuan-perempuan lain. "Takut? Belum siap? Saya—"
"Kamu mau merasakan punya pasangan? Pasangan seperti apa yang kamu mau? Saya usahakan buat wujudkan itu."
Mia menoleh sedikit, disusul tawa dan gelengan.
"Saya serius, Mia."
"Kenapa?"
"Menolong orang asing sudah jadi kebiasaan saya," bisik Alfa, lalu mengecup samping leher Mia dengan sangat lembut, sampai dia sendiri terkejut dengan keputusan itu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top