Empat

SATU HAL yang paling tidak disukai Mia di dunia ini adalah melihat rencana yang disusun matang-matang olehnya berantakan. Segala perhitungan meleset, dan Mia kebingungan cara untuk memperbaiki.

Rencana-rencana hidupnya dikacaukan satu penyakit sialan. Kini segala hal yang dia perkirakan tentang Alfa juga salah.

Mia sengaja mempertanyakan hal-hal yang seharusnya menyinggung Alfa, tetapi malah membuatnya terpaksa mengatakan sesuatu yang bahkan belum diketahui orang tuanya. Mengira hal itu mampu membuat Alfa melupakan kekonyolannya, bukan duduk di apartemennya dan berkata, "Ayo, kita berhubungan sampai kamu mempunyai banyak kenangan tentang pasangan."

Bahkan, Mia tidak pernah berpikir Alfa akan menemuinya setelah penolakan itu!

"Mia ...."

Spontan, Mia memaksa kakinya berhenti. Rasa menyengat terasa di lidahnya. Mia ingin melemparkan lebih banyak kalimat menyinggung, seperti apa Dokter sangat penasaran bercinta dengan cewek sekarat? Apa menemani saya akan jadi prestasi membanggakan bagi Alfarezi Bagaskara? Atau, apa hal yang sangat Dokter benci? Saya mau melakukannya detik ini juga supaya Dokter segera meninggalkan saya. Namun, semua tertahan dan bergema di benaknya.

Dia orang pertama yang memulai.

Mia yang meminta demi satu alasan paling tolol selama hidupnya. Nekat? Ini bukan nekat, ini menyusahkan diri!

"Sudah lima belas menit kamu mondar-mandir di sana, mau sampai kapan?" tanya Alfa dengan ekspresi tenang, yang semakin Mia lihat semakin menyebalkan. Untuk kali pertama sejak rasa kagum mengendap dalam dadanya, Mia ingin melempar wajah tampan itu dengan sesuatu.

"Mia?"

Mia menarik kursi bulat dari meja makan, lalu duduk sedikit serong ke kanan di depan Alfa. Dia ingin mencoba membicarakan ini sekali lagi. Siapa tahu ini hanya keputusan terburu-buru dari Alfa—dorongan harga diri?

"Dokter, kenapa harus menyusahkan diri buat saya? Saya bukan tipe cewek yang Dokter mau. Saya punya penyakit merepotkan, dan kita nggak saling kenal. Saya—"

"Anggap saja kamu berutang sama saya." Sepasang mata tajam milik Alfa mengunci Mia, hingga reaksi jantung Mia menjadi tidak terkendali. "Jangan tanya saya apa bayarannya dan kapan harus dibayar, saya juga belum tahu. Seperti menabung saja. Kalau sudah banyak, saya ambil."

Mia terkesiap, makin sulit memilih harus bereaksi bagaimana. Apa dia harus tersenyum lalu mengucapkan terima kasih? Atau melakukan hal yang lebih gila lagi supaya lelaki ini melupakan permintaan, ciuman, bahkan pengakuan Mia? Tetapi, apa?

"Apa kamu menyesal sudah datang ke ruangan saya?"

"Banget," jawab Mia tanpa sadar. "Saya pikir Dokter nggak akan tergoda. Saya sadar, saya nggak punya sesuatu yang istimewa, sementara cewek yang biasa deketin Dokter seenggaknya punya satu kelebihan yang disukai laki-laki. Kalau dipikir-pikir, alasan utama saya pergi ke Dokter itu—" Mia menggigit bibir bawahnya keras-keras, menyesal sudah memanjangkan obrolan lagi. Seharusnya dia mengusir Alfa.

"Alasan kamu ternyata berlapis, ya?" Mendadak Alfa mencondongkan badan, lalu menarik kursi yang diduduki Mia dengan sangat mudah, hingga jarak yang diciptakan Mia beberapa saat lalu lenyap dan kedua lutut mereka saling bertabrakan.

"Dokter, astaga, gini—"

"Alasan utama, alasan pendamping, apa pun alasan kamu, ceritakan. Saya punya banyak waktu buat mendengarnya." Tatapan Alfa kian tajam, berupaya menggali isi hati dan pikiran Mia. "Mia ...."

"Saya marah karena keadaan mengacaukan hidup saya seenaknya, padahal diri saya sendiri nggak pernah sekali pun mengubah susunan yang ada."

Tangan Alfa meninggalkan kedua sisi paha Mia, terlipat di depan dada yang terlihat semakin kencang dalam balutan kaus hitam pas badan.

"Seperti ...." Mia menghela napas tajam. Ada yang coba menahannya agar berhenti bicara, tetapi Mia tetap melanjutkan kalimat, "Saya nggak mau berurusan sama cowok sebelum saya puas membahagiakan orang tua saya. Saya nggak mau beli mobil, apartemen, sebelum saya berhasil membelikan orang tua saya showroom besar untuk menjual hasil furniture buatan Papa. Bahkan, saya nggak terbiasa menyapa orang lebih dulu kalau nggak butuh-butuh banget. Saya ...." Mia sedikit menunduk dan mengusap ujung alisnya, lalu kembali membalas tatapan Alfa. "Saya nggak pernah mau mengurusi apa yang terjadi di lingkungan pekerjaan, tapi saya selalu diam-diam mendengarkan apa yang orang-orang bilang tentang Dokter, melihat dari jauh apa yang Dokter lakukan. Sejujurnya, saya sedikit iri sama kehidupan Dokter yang serba bebas."

Alfa semakin dalam menatapnya, lalu mengangguk pelan, seolah memahami alasan Mia sehingga begitu sembrono mendatangi laki-laki itu.

"Usai keluar dari ruangan Dokter Afifah, mendengar penjelasan tentang ... ya, saya jadi berpikir, lebih baik dikacaukan segalanya. Di saat bersamaan, Dokter lewat di lorong itu. Nggak pikir panjang, saya ikuti Dokter ke ruangan." Mia mengangkat kedua bahu, lalu tertawa sumbang dan keras, hingga kedua matanya memanas dan mengeluarkan hal yang berusaha tidak dia keluarkan meski sedang sendirian. Air mata.

Dia menghela napas seraya mengalihkan pandangan ke sembarang arah, asal tidak ke mata Alfa. Ketika dia ingin berdiri dan menghilangkan air mata di tempat terpisah dari Alfa, lelaki itu bergerak lebih cepat—mendudukkannya lagi di pangkuan Alfa, hanya saja kali ini mereka saling berhadapan.

Mia ingin menjaga jarak. Berdekatan dengan Alfa sangat tidak baik untuk kesehatan jantungnya yang mendadak berdetak tanpa jeda dengan kecepatan mengerikan. Belum lagi otaknya, tidak bisa berfungsi dengan baik—tidak bisa berpikir jernih.

Namun, dia tidak bisa bergerak—seperti lumpuh.

Astaga, Mia sangat benci merasa tidak berdaya seperti ini. Tidak bisa mengelak saat jemari Alfa menyentuh pipinya dan menghapus air mata sialan yang menolak untuk berhenti. Kenapa dia harus menangis di depan Alfa? Kenapa dia harus selalu mempermalukan diri sendiri di depan laki-laki ini? Di sela tangis yang semakin menyesakkan dada, Mia menghela napas penuh rasa frustrasi. Kemudian, satu tangan Alfa menangkup wajahnya.

Dengan tarikan yang sangat lembut dan hati-hati, Alfa mempertemukan bibir mereka. Memberikan ciuman dalam, seolah sedang menunjukkan cara berciuman yang benar. Alfa melumat bibirnya dengan tegas dan hangat, hingga mampu mengeluarkan hasrat yang belum pernah keluar dari diri Mia.

Tanpa berpikir panjang, Mia melingkarkan kedua tangan ke leher Alfa, sementara laki-laki itu mengeratkan rangkulan di pinggangnya. Sebenarnya tidak ada tarikan atau aba-aba tertentu, tetapi Mia maju secara sukarela—merapatkan tubuh mereka. Sejenak, berada dalam pelukan tubuh tegap dan berotot Alfa, Mia merasa sedang ditawari tempat berlindung. Dan sapuan ujung lidah Alfa di bibir bawah Mia, seakan membisikkan hal-hal indah yang menunggu di depan sana.

Ketika Mia membuka bibir, ciuman Alfa menjadi tidak terkendali. Lebih banyak tuntutan, hingga menciptakan hasrat yang lebih besar dari sebelumnya, dan Mia tersentak. Dia mencengkeram bahu Alfa, sementara satu tangan laki-laki itu membelai punggungnya seolah mencari sesuatu, lalu terdiam.

Detak jantung Mia makin memburu usai merasakan ada yang mengeras di bawah sana. Tiba-tiba saja orang-orang dalam otaknya panik. Apa kegiatan ini akan berlanjut dari sekadar ciuman? Apa yang harus dia lakukan? Dia belum pernah melakukan apa pun, tetapi mendadak Alfa menghentikan ciuman mereka. Memundurkan wajah sampai mata mereka bertemu. Didera rasa bingung sekaligus putus asa, Mia membalas tatapan Alfa seraya berupaya menormalkan napas yang tersengal.

Kemudian, Alfa menjatuhkan kening ke salah satu bahu Mia dan mengeratkan pelukan di pinggangnya. Untuk beberapa waktu yang terasa lama, mereka sepakat untuk diam. Membiarkan keheningan memeluk mereka, sampai otak yang tadinya diambil alih hasrat kembali berfungsi normal.

"Itu namanya ciuman," bisik Alfa, lalu mengangkat wajah sambil menyunggingkan senyum yang mengacaukan lagi detak jantung Mia.

***

"Mbak Mia, are you okay?"

Layar laptop Mia dipenuhi ekspresi khawatir Momina, sepupu yang berjarak 5 tahun lebih muda darinya. Namun, Mia tidak punya kekuatan untuk bersuara. Dia hanya duduk bersandar di bantal dan mengangguk kecil. Entah masih terkejut dengan hal-hal yang dilakukan Alfa sejak pagi sampai beberapa saat lalu, atau memang tubuhnya yang gampang lelah sudah membunyikan alarm agar Mia segera memejamkan mata.

"Kamu habis nangis atau baru pulang kerja jam segini? Muka kamu pucat banget, Mbak." Ada jeda sebentar, dan Mina terlihat mengangkat tinggi ponsel di seberang sana untuk memastikan sesuatu. "Jangan bilang kamu baru pulang. Mbak, Mbak, ini jam sembilan. Aku tuh paham banget Mbak paling nggak bisa nunda kerjaan. Tapi, ya lihat kondisi juga. Kamu lagi sak—"

"Sstt! Mina!" sanggah Mia. "Hati-hati, kamu lagi di rumah. Kalau bapak kamu dengar, terus ngadu sama papa aku, bagaimana?"

"Ya, karena memang seharusnya Paklik Yanto dan Bulik Arum paham kondisi kamu. Mau sampai kapan toh, Mbak? Kamu harus—"

"Mina," panggil Mia lagi, tanpa memedulikan wajah memerah sang sepupu di seberang sana. Dia paham apa yang ingin dikatakan Mina. Kalimat-kalimat bernada membujuk agar Mia segera bicara dengan orang tuanya sudah dikeluarkan Mina sejak pertama kali Mia cerita tentang apa yang dirasakan dan minta ditemani melakukan CT scan sampai MRI. Bahkan, saat vonis diucapkan, Mina yang menangis seperti bayi tidak dikasih susu nyaris menelepon orang tuanya, tetapi berhasil Mia tahan. Dia belum bisa ....

"Ingat, nggak, aku cerita akhirnya aku nembak cowok yang aku suka duluan?"

Mina melengos, tetapi akhirnya mengangguk.

"Hari ini kita memutuskan buat pacaran. Dia bilang, dia mau jadi pasangan aku." Mia terkekeh pelan, lalu bertanya lagi, "Itu sebutannya pacaran, kan, Mina?"

Mina mengangguk lagi, lalu kening perempuan itu mengerut. "Tapi, kamu bilang, dia nolak hari itu."

"Keajaiban?"

Dan Mia kembali tertawa, entah karena dia merasa benar-benar senang atau kasihan pada diri sendiri. Mau Alfa sembunyikan hal itu dengan berbagai alasan gombal, Mia langsung melihat rasa kasihan di mata Alfa sejak nama penyakit keluar dari bibirnya.

"Hari ini dia datang ke kantor, dia ajak aku pulang dan makan bareng. Dia juga anterin aku ke apartemen. Dia, wah, benar-benar manis. Dan kamu tahu? Jalan sama dia kayak seluruh dunia mendadak berpusat ke kami. Kayak tadi, sewaktu makan bareng, beberapa kali aku menangkap basah cewek-cewek curi pandang ke kami—iri ke aku ...." Mina sudah siap bicara, tetapi Mia lebih dulu berkata, "Tunggu sebentar lagi. Aku mau ngerasain hal-hal yang biasa dilakukan orang pacaran, walau sedikit."

"Mbak ...."

"Dia tahu. Aku cerita sama dia. Mungkin, karena itu dia mau jadi pasangan aku. Kasihan," jelas Mia dengan kedua ujung bibir ditarik paksa ke atas. "Kalau dipikir-pikir, dia memang selalu menolong orang yang membutuhkan, kenal—nggak kenal."

"Mbak, kamu beneran suka sama dia? Maksud aku, hati kamu ...."

Mia terdiam sejenak, lalu mengangguk. "Kamu kan tahu, Mina. Aku nggak pernah buang waktu buat hal yang nggak aku suka. Aku nggak pernah memedulikan hal-hal yang nggak aku anggap penting."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top