Dua
MIA MELANGKAH gontai keluar dari pintu utama rumah sakit. Sekali lagi dia membaca pesan singkat dari Alfa, dan sekali lagi paru-parunya serasa kering sampai ingin pingsan. Sepertinya menginap semalam di rumah sakit lebih baik, daripada menghadapi laki-laki yang menolaknya cepat dengan alasan; kamu bukan tipe saya, lalu muncul seolah tidak pernah mengatakan kalimat yang membuatnya tidak bisa tidur berhari-hari.
Baru saja otaknya merancang alasan untuk mengabaikan buah dari kegilaannya kemarin, tiba-tiba notifikasi pesan singkat dari Alfa masuk. Lelaki itu tidak ada dihadapannya, tetapi degup jantungnya berhenti sepersekian detik saking gugupnya. Astaga. Mia. Mia. Kenapa sih kamu suka sekali menyusahkan diri sendiri?
Sambil mengetukkan ujung ponsel ke bibirnya, Mia melanjutkan niat awal. Meminta lebih ramah kepada orang-orang di benaknya untuk segera menemukan alasan, kemudian sebuah ide gila terbesit; bagaimana kalau dia pergi saja tanpa memedulikan laki-laki itu? Lagi pula, dia sudah ditolak.
Saat tekad Mia sudah cukup bulat, ponselnya bergetar dan pesan singkat berubah jadi panggilan telepon dari Alfa.
Dia berusaha meminta dirinya untuk tidak bereaksi dan panik. Terus menjejalkan pikiran; tidak ada ruginya bagi Alfa kalau dia membatalkan tawaran, yang sebenarnya diambil di tengah kekalutan Mia.
Kalau bukan aku yang menemani aktivitasnya malam ini, masih ada cewek lain, begitu kata Mia dalam hati.
Getaran ponsel sempat berhenti sebentar lalu terasa lagi, membesarkan keinginan Mia untuk segera pergi. Dengan yakin, Mia memasukkan ponsel ke tas. Namun, saat kakinya siap menuruni satu undakan tangga, sebuah kalimat membuat Mia langsung mematung.
"Correct me if I wrong. Are you trying to escape?"
Mia menunduk dalam-dalam, memperhatikan jarak sepatu si pemilik suara yang sangat dekat dengannya. Kepanikan yang coba ditekan Mia menjadi tidak terkendali. Masih berusaha keras tidak mau menatap Alfa, Mia sengaja melebarkan jarak antara mereka. Menoleh ke kanan-kiri untuk memastikan berapa banyak orang melihat adegan ini, supaya dia bisa menyiapkan jawaban masuk akal kalau penggemar laki-laki di depannya menyerang.
"Mia?"
Spontan, Mia mendongak dan memelotot merasa kesibukan otaknya terganggu. Kemudian, buru-buru mendatarkan wajah lagi. Astaga, kenapa sih dia selalu berubah jadi badut di depan Alfa? Dan sekali lagi, matanya mengkhianati kekesalan Mia. Dengan lancang mengagumi garis rahang Alfa yang keras, bentuk bibir yang tegas dan sensual. Bibir. Seketika rasa panas menjalari sekujur badan Mia, diikuti rasa menggelitik yang membuat lututnya lemas.
"Mia, saya—"
"Lupain, Dok," potong Mia, seraya memeluk diri sendiri. "Sori, waktu itu saya memang tolol banget. Dan sekarang saya sudah sadar, jadi Dokter Alfa nggak perlu memaksakan diri buat—ya, you know what I mean, right?"
Di antara tiupan angin yang semakin kencang dan kerepotan Mia menjaga agar rambut ikalnya tidak menambah rasa malu, Alfa memainkan kacamata hitam di satu tangan sambil mengamati Mia. Entah apa isi otak lelaki ini, ketenangan yang terpasang di wajah kebulean Alfa, menyulitkan Mia menebak.
"Kamu bisa tunggu saya di dekat pos satpam itu?" tanya Alfa setelah diam yang cukup panjang dan meresahkan. "Saya ambil motor dulu di bawah." Mia mengikuti arah kacamata hitam Alfa, siap mengangguk tetapi berhasil menggeleng.
Mia berdecak, dengan wajah yang biasa ditampilkan di depan Bu Anna sehabis membuat kesalahan hitung. Memelas.
"Dokter Alfa, saya mau mundur. Begini, hari itu—"
"Saya ambil motor dulu. Kita cari tempat makan dekat sini, terus bicarakan yang harus dibicarakan," sanggah Alfa, seraya memendekkan jarak antara mereka dan sedikit membukuk untuk menjajarkan wajah mereka. "Saya lapar."
Mia melirik sekitarnya lagi, lalu beringsut mundur dan mengangguk.
Alfa menyelinap pergi, sementara Mia terseok-seok menuju tempat yang ditujuk laki-laki itu. Untuk kesekian kalinya usai keluar dari ruangan Alfa dan menawarkan hal gila, Mia mengutuk diri sendiri. Dia menengadah ke langit-langit dan mengeratkan genggaman pada tali tasnya. Dia sudah lama mengagumi Alfa; sejak pertama kali melihat Alfa berhamburan ke ruang administrasi dengan sneli penuh darah—memaksa Bu Anna memperoses pembayaran dari seorang remaja korban tabrak lari yang butuh penanganan operas besar saat itu juga. Kalimat-kalimat yang diusahakan untuk meyakinkan Bu Anna, sampai mau menandatangani surat sebagi penanggung jawab dari orang asing.
Karena Mia pernah jadi korban tabrak lari dan juga diselamatkan oleh orang asing yang tidak mau diketahui wujudnya, membuat dia mengira-ngira; mungkin, orang baik itu juga mengatakan kalimat-kalimat seperti Alfa. Mengalami kepanikan yang sama.
Mia selalu menganggap itu hanya satu kejadian spele dalam hidup, yang mungkin akan terlupa secepatnya. Siapa sangka, tiap kali melihat Alfa mondar-mandir ke ruangan untuk membantu pasien-pasien lain yang membutuhkan, rasa itu kian membesar. Namun, dia sadar; Alfa hanya bisa dilihat dari kejauhan, bukan didekati oleh perempuan seperti dia. Hingga hari di saat hidupnya mendadak berubah, Mia ingin melakukan kenekatan kecil; mengenal Alfa.
Deru motor memaksa Mia memindahkan matanya dari langit-langit ke asal suara. Sebuah motor sport BMW bermodel retro serba hitam berhenti di sampingnya, sementara Alfa mengimbangi keeleganan si motor dengan memakai jaket kulit dan helm full face hitam juga.
Mia susah payah menelan ludah, memohon jantungnya tenang sedikit saja.
Daya tarik Alfa mendadak naik berkali-kali lipat, dan Mia tidak tahu cara untuk menahan kadar sukanya tetap sebatas fans ke artis.
"Ayo," ajak Alfa, sambil menjulurkan helm sederhana, yang juga hitam. "Semakin lama kamu diam di situ, semakin kita menarik perhatian orang-orang dari—"
Tanpa pikir panjang, Mia mengambil benda itu—memasang dengan terburu-buru, lalu duduk tegak di belakang Alfa. Dia berpesan kepada diri sendiri untuk berpegangan di samping atau belakang motor saja, tetapi laki-laki di depannya menjalankan motor cukup kencang dan mendadak.
Spontan, Mia meraih sisi pinggang Alfa.
Tubuh Mia bereaksi semakin berlebih, dadanya berdegup sangat kencang—sampai di antara kebisingan lalu lintas dan angin, Mia khawatir Alfa bisa mendengarnya. Ketika dia merasa sudah cukup bisa duduk seimbang di motor, perlahan jemarinya terurai dari tepi jaket Alfa. Namun, satu tangan Alfa menangkap jemarinya dan menaruhnya di depan perut, kemudian melakukan hal yang sama ke tangan Mia yang lain. Setelah kedua tangan sudah bertemu, Alfa menepuk-nepuk ringan punggung tangan Mia, seolah menegaskan tidak boleh terurai sampai motor berhenti. Kemudian, lelaki itu fokus mengendari motor.
Perjalanan mereka tidak panjang, apalagi menggunakan motor yang mampu melewati sela-sela kuda besi yang berbaris, tetapi bagi Mia seperti belasan jam.
Mia belum berhasil memulihkan dari banyak rasa-rasa asing yang menemani sepanjang jalan, ketika motor berhenti dan parkir di depan salah satu kedai masakan pedas yang terkenal di Jakarta Barat.
Bahakan dia turun, melepaskan helm, dan berjalan melewati pintu masuk di belakang Alfa dengan kaku. Seperti robot manusia yang mengalami kerusakan sistem.
Beberapa pengunjung perempuan yang sudah lebih dulu datang ke kedai, secara spontan menghentikan kegiatan makan dan mencuri pandang ke arah Alfa. Situasi yang membuat Mia jengkel tanpa alasan, hingga semakin sengaja melambatkan langkah supaya posisinya tetap di belakang Alfa.
Mata Mia berkeliling, seolah sedang mencari kursi. Saat dia sudah menemukan dan bersiap ke sudut yang menurutnya aman, tiba-tiba satu tangannya tertarik dan genggaman kukuh sekaligus hangat milik Alfa menguasainya.
Mia menoleh, dan Alfa sudah berdiri di sampingnya dan merapatkan diri. Jangkung dan berbahu tegap.
"Saya nggak suka jauh-jauh dari teman yang menemani saya makan." Suara rendah Alfa terdengar sensual. Seperti terkena hipnotis Mia tidak mampu mengeluarkan satu kata pun untuk merespon kalimat yang terdengar seperti bercandaan. Bahkan saat tangan Alfa meninggalkan jemarinya dan menyapa pinggang Mia, dia tidak bisa protes atau bergerak.
Sebelum dia benar-benar kehilangan diri sendiri, tenggelam pada rasa gugup dan desiran panas, Mia mendesah dan menggeleng. "Bercandanya nggak lucu, Dokter Alfa."
Mia berusaha mejauhkan badannya dari jemari Alfa, tetapi laki-laki itu kembali menggenggam dan memimpin Mia melewati beberapa meja sampai ke meja pilihannya tadi. Sekali lagi, Alfa bersikap bagai kekasih idaman. Mendudukkan Mia lebih dulu, sebelum duduk di hadapannya.
"Mau makan apa? Saya pesankan." Alfa tersenyum lebih lebar dari yang biasa dilihat Mia di rumah sakit, lebih ramah.
"Dok ...."
"Hmm?"
"Saya tahu datang ke ruangan Dokter dan menyodorkan diri sebagai teman tidur, itu, hal yang buruk dan ceroboh. Saya paham kalau Dokter kesal, tapi jangan seperti ini hukumannya."
Mata cokelat gelap milik Alfa kembali memandangi Mia, lamat-lamat sekaligus misterius. Dengan sedikit mencondongkan badan, Alfa kembali bertopang dagu seperti pagi tadi.
"Saya memang sedang menghukum kamu." Alfa mempertahankan senyum, yang mengundang lebih banyak rasa-rasa asing bergerombol dalam dada Mia. "Bukan buat kedatangan kamu dan apa yang kita bicarakan, tapi ciuman kamu, Mia." Tatapan Alfa jatuh ke bibirnya, dan Mia tidak bisa untuk tidak terbelalak. "Saya mau cium kamu lagi."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top