Chapter 1
BRAK
"KATAKAN DIMANA TUAN KALIAN?" Teriak seseorang yang berpakaian serba hitam dengan masker warna hitam pula. Ditangan kanannya terdapat pedang perak yang telah ia tusukkan pada salah satu makhluk yang meringis kesakitan yang membuat taringnya sedikit keluar dan seluruh tubuhnya di penuhi darah tanpa ada tanda-tanda luka yang membekas, karena mereka bisa sembuh dengan mudah. Maka dari itu sebuah peluru dari senjata canggih dari Irisdania pun tak akan mampu membuat mereka tumbang. Mereka adalah pasukan vampire, satu tingkat lebih kuat dari mutan.
"Ke-na-pa kau ingin menemuinya?" Tanya seseorang yang sudah tergeletak dengan pasak perak yang menancap tepat dijantungnya.
"Aku ingin membunuhnya!" Seketika monster itu tersenyum mengejek, seolah itu sesuatu yang konyol. "Kau tidak akan bisa melakukannya. Dia adalah yang paling mulia diantara yang termulia. Kau akan mati hanya dengan dorongan tangannya." Desisnya membuat sosok berpakaian serba hitam itu semakin geram.
"BEDEBAH! Aku tidak ingin mendengarkan apapun dari kalian!"
JLEB—JLEB
Ia menusuk kedua makhluk bertaring itu tanpa rasa kasihan, dengan beberapa tusukan pada jantungnya membuat mereka tergeletak. Separuh dari pasukan itu ia habisi membuatnya kehilangan banyak tenaga. Ia tersenyum ketika mengingat kegilaannya—Kegilaan yang terus menjadi tanda tanya besar pada pikirannya, hingga membawanya ketempat ini. Mengabaikan semua aturan dan kepercayaan yang Ayahnya buat. Ia tidak tahu apakah setelah semuanya berakhir? Ia akan kembali dengan hukuman atau mungkin ia tidak akan pernah kembali? Ia terduduk lemas sembari mengawasi setiap sudut ruangan tempatnya sekarang. Ia masih berharap ada beberapa kelompoknya masih hidup. Gadis itu masih terus mengawasi sekeliling dan tetap waspada kalau-kalau ada seseorang yang menyerangnya seketika, ia bisa bertindak.
SREK
Suara itu membuat ia berbalik dan meraih seseorang dengan cepat, pedang perak itu sedikit lagi akan menciptakan goresan pada sosok itu kalau saja ia tidak mengatakan sesuatu.
"Nona, ini aku!" Pria berpakaian warna hitam serta masker yang sama, seketika seseorang yang memiliki pedang yang ternyata adalah seorang gadis mengendurkan rengkuhan tangannya pada leher pria itu.
"Kau kah itu Jeremy?" Pria itu mengagguk dan gadis itu akan jatuh kalau saja pria yang bernama Jeremy itu tak menangkapnya lebih dahulu. "Nona Rachel, sepertinya kita harus pergi dari sini. Melihat keadaanmu, kau tidak memiliki cukup tenaga untuk melawannya." Pinta Jeremy.
"Tidak akan! Sebelum aku bertemu dengannya. Ia harus menjawab pertanyaan ku, apakah dia yang membunuh kedua orang tuaku? Kau sangat tahu bukan? Aku membutuhkan waktu lama sampai menemukannya. " Kata Rachel dengan keras kepala. Selama ini, ia harus hidup sendiri tanpa kedua orang tuanya karena seseorang membunuhnya. Ia sudah mengalami banyak hal yang menyakitkan, kesendirian karena ia selalu diincar oleh banyak orang yang entah apa yang mereka inginkan darinya? Sampai detik ini pun—Rachel tidak mengetahui tujuan orang-orang itu mengincarnya. Semua itu terjadi karena seseorang telah membuatnya menjadi yatim piatuh semenjak kecil. Kalau saja—kalau saja orang tuanya masih hidup. Semua hal menyakitkan itu tidak akan pernah terjadi padanya, tidak akan pernah! Itu menurut Rachel.
"Apa kau mencariku?" Suara bening seseorang membuat kedua orang itu membalikkan badannya dan mata mereka melebar tatkalah mereka merasa mengenali sosok itu. Kemudian mereka saling melirik sebelum akhirnya mereka memutuskan untuk menyerang pria itu.
BLASH...
Suara kedua pedang perak yang begitu lentur terus melesat, berusaha untuk meninggalkan jejak pada lekuk tubuh indah dan kokoh milik pria itu. Dengan gesit pria itu bisa menghindar, tanpa terlihat kesusahan. Sosoknya datang dan pergi tanpa bisa mereka cegah, menikmati setiap serangkaian serangan yang mereka siapkan, seolah ia sedang memainkan sebuah permainan.
"Nona, beristirahatlah...Aku yang akan membunuhnya..." Sebelum sempat Jeremy melanjutkan perkataannya, tubuhnya melayang jauh dan membentur sebuah pintu kayu kokoh, kemudian jatuh dengan posisi terlentang.
BRAK...
BRUG...
"ARRRGGGHHH..." Longlongan kesakitan Jeremy menggema diseluruh ruangan. Memenuhi setiap inci langit-langit castle yang menjulang begitu tinggi. Memecahkan keheningan yang terjadi.
"Jeremy." Jerit Rachel itu berlari menghampirinya, Jeremy memandangi Rachel yang masih belum membuka masker yang menutupi sebagian wajahnya. Jeremy berusaha menahan rasa sakitnya dan bangkit lagi.
"Nona, pergilah...Dia bukan tandinganmu." Rachel menggeleng cepat. "Aku akan mengalihkan perhatiannya, sementara pergilah." Kata Jeremy sambil mendorong tubuh Rachel menjauh darinya, tetapi Rachel tetap diam menatap pria itu dengan ekspresi kekhawatirannya.
"Nona Rachel!" Bentak Jeremy.
"Tidak ada yang akan pergi dari sini, kecuali Tuan ku mengizinkannya." Pria berperawakan tinggi dengan garis kasar diwajahnya, entah sajak kapan ia sudah berada dihadapan Jeremy dan Rachel. Membuat kedua orang itu terkejut dan pias ketakutan itu muncul. "Kau—Kau siapa?" Seketika perasaan gugup itu membanjiri Rachel. Dalam benaknya berfikir keras, sebenarnya kedua orang ini apa? Apakah mereka mutan atau vampire? Rachel merasa itu tidak mungkin karena mereka lebih kuat dari kedua makhluk itu. Bahkan mereka bisa menghilang dan yang ia tahu tidak ada mutan dan vampire yang bisa menghilang? Siapa mereka? Otak Rachel dipenuh dengan semua pertanyaan tak masuk akal itu? Pernyataan bahwa ada makhluk lain selain mutan dan manusia? Bukankah itu konyol? Sampai detik ini pun Rachel masih belum mengerti? Kenapa Mutan itu ada dan membuat kekacauan diseluruh dunia? Siapa yang menciptakannya? Mungkinkan pria dihadapannya ini?
Seorang manusia genius saja sudah terlihat aneh? Apa lagi ini makhluk yang memiliki kekuatan besar dan berbeda dari makhluk yang selalu diagung-agungkan yaitu manusia. SIAL! Dalam kondisi seperti ini semua alat canggih dari Irisdania pun tak mampu membantunya, selama bertarung Rachel hanya memakai kemampuan murni dari dirinya. Semua alat itu benar-benar tidak berguna ditempat ini, seolah ada sebuah gelombang yang melumpuhkan semua kekuatan alat-alat canggih itu.
"Ijinkan hamba menjawabnya Tuan?" Kata pria itu sambil membungkuk pada Tuannya yang masih duduk dengan tenang pada sebuah tangga, wajahnya masih terlihat sama teduh. Ia hanya menganggukkan kepalanya tanpa mengatakan apapun.
"Namaku Albert. Aku adalah penjaga Tuan ku Devian Archer. Tuan ku adalah yang paling mulia diantara yang termulia." Lagi? Semua orang mengatakan bahwa ia paling mulia diantara yang termulia? Rachel terdiam, entah apa yang ia fikirkan.
"Aku hanya ingin bertanya—Apa kau yang membunuh orang tuaku?" Tanya Rachel membuat pria yang bernama Devian Archer itu secepat kilat mendekati Rachel. Membuat gadis itu membeku, kecepatannya melebihi pria disampingnya yang mengaku sebagai Albert.
Devian tersenyum begitu manis sampai membuat Rachel tak dapat melepaskan pandangannya dari sosok itu. Pria itu siapa dia sebenarnya? Terlihat teduh tapi aura misteriusnya membuat pria itu terlihat sosok yang begitu kuat. "Siapa nama orang tuamu?" Devian melangkah lebih dekat, kali ini ia melangkah seperti manusia normal membuat Rachel harus mundur beberapa langkah lagi.
Di hitungan ketiga Devian telah berhasil menangkap gadis itu dan membuatnya tak berkutik.
"Richard Aston dan Julia Aston" Jawab Rachel nada kegugupannya terdengar begitu jelas. Wajah Devian yang terlihat teduh mengeras. Albert melangkah mendekati mereka berdua.
"Tuan, biarkan saja yang membunuhnya." Devian melepaskan rengkuhannya pada Rachel dan berjalan pergi meninggalkannya. Rachel memandang Devian dengan kebingungannya. Kenapa? Ia tiba-tiba melepaskannya setelah tahu siapa nama kedua orang tuanya? Awalnya ia terlihat tertarik dan sekarang kenapa ia terlihat begitu tidak ingin melihatnya? Pikiran Rachel terhenti ketika sosok Albert berdiri menggantikan Devian.
"Kau tidak ingin mengatakan apapun sebelum kau mati?" Seringaian mengerikan itu muncul pada sudut bibir Albert. Ia benar-benar terlihat seperti dewa kematian yang hendak mencabut nyawa seseorang. Rachel ketakutan tetapi ia tidak berdaya, ia hanya perlu memejamkan matanya dan membiarkan orang dihadapannya ini untuk mencabut nyawanya.
Seperti inikah akhir dari hidupnya? Selama ini ia berusaha untuk mencari tahu, apa yang menjadi penyebab kematian orang tuanya? Sampai seseorang menyebutkan satu nama—Devian Archer. Kedua orang tuanya adalah seorang ilmuwan yang telah banyak memberikan sumbangsih pada dunia, salah satu karya terbesarnya yang masih ada sampai detik ini adalah mutan yang merupakan manusia buatan dengan memadu-madankan antara tubuh manusia dan tubuh binatang. Bahkan fakta sebesar itu Rachel tidak pernah tahu. Ia masih berfikir Mutan adalah buatan pria yang bernama Devian Archer yang telah membunuh orang tuannya. Para Mutan ini bisa tumbuh dan hidup seperti layaknya manusia biasa, kekuatan mereka dapat berevolusi sesuai dengan perkembangan usia mereka. Para mutan sekarang menjadi penghuni abadi bumi yang telah rusak, mereka disebuh penghuni kaum bawah. Kebanyakan mutan ini adalah seseorang yang telah sekarat namun tak ingin mati begitu saja.
Ambisi yang begitu kuat itu membuat mereka tak dapat terkendalikan, sampai mereka membuat keributan di berbagai belahan dunia hanya untuk mendapatkan pengakuan bahwa mereka ada dan mereka mengakui diri mereka makhluk yang lebih kuat dari manusia, makhluk termulia dibandingkan dengan manusia. Mereka memang lebih kuat dari manusia tetapi mereka tak lebih baik dari manusia. Dengan kekuatannya itu mereka dapat menghancurkan siapapun yang menghalangi jalan mereka.
"Ke-kenapa ka-u me-mem-bu-nuh me-me-re-ka?" Kata Rachel dengan terbata-bata karena Albert melingkarkan tangannya pada leher Rachel, kemudian mengangkatnya. Membuat gadis itu tidak bisa bernafas. Meskipun dalam keadaan seperti itu? kekeras kepalaannya tidak pernah berakhir. Ia tidak peduli meskipun ini akan menjadi pertanyaan terakhirnya. Gadis itu bersekukuh ingin tahu jawaban dari seorang Devian Archer yang merupakan seseorang yang mulia dari yang termulia.
Selama ini semua jawaban yang ia peroleh seperti sebuah teka-teki. Ia dibesarkan oleh organisasi yang bernama Herozax yang selama ini melindunginya, Jeremy adalah salah satu anggota dan merupakan pengawal yang dipercaya oleh organisasi itu untuk menjaganya. Ayah angkatnya adalah seseorang petinggi di organisasi tersebut, dengan semua fakta itu seharusnya Rachel tidak merasa kesepian, tetapi ada yang aneh? Kemana pun ia pergi—ia selalu saja diincar banyak orang? Ayah angkat Rachel selalu menekankan kepada gadis itu untuk tak mempercayai siapapun tetapi setiap kali Rachel berada didalam rumahnya ia selalu saja merasa diawasi. Siapa sebenarnya yang harus ia percaya?
Devian berhenti melangkah dan kini ia berada dihadapan Albert dan Rachel, tentunya ia seperti hantu yang bisa berpindah dari satu tempat ke tempat yg lain hanya dengan hitungan detik. Pria itu memberikan kode kepada Albert untuk melepaskan cengkraman tangannya pada leher Rachel. Gadis itu meluncur, jatuh diatas lantai dingin castle. Masker itu terbuka dan menampilkan wajah pucat Rachel dengan bibir merah cerry yang berusaha untuk mengambil nafas sebanyak yang ia butuhkan karena ia benar-benar kekurangan oksigen.
"Why? Kenapa kau membunuhnya?" Selalu pertanyaan yang sama—pada akhirnya semua masalah yang ia hadapi bersumber pada satu pertanyaan yaitu tentang kematian orang tuanya. Kalau saja orang tuanya tidak dibunuh? Mungkin hidupnya akan berbeda dan kalau saja orang tuanya masih hidup? Semua teka-teki yang membuat seolah-olah kepalanya ingin meledak, pasti akan mudah ia pecahkan.
"Apa salah mereka? Kenapa kau membunuhnya?" Lagi—Rachel benar-benar ingin melimpahkan semua kesedihannya pada sosok dihadapannya ini. Sosok yang dikatakan banyak orang telah membuat kedua orang tuanya meninggalkannya untuk selamanya.
Devian masih setia dengan kediamannya tetapi pandangannya masih tak lepas dari Rachel. Albert tiba-tiba melangkah maju, seolah-olah ia menemukan sesuatu.
"Tuan, izinkan hamba..." Devian hanya diam, itu berarti Albert tak di izinkah untuk mendekati mereka. Pada akhirnya Albert berhenti melangkah dan hanya memandangi mereka. Menunggu—sesuatu yang mungkin akan Tuannya lakukan.
"Aku tidak membunuh mereka." Kali ini Devian bersuara membuat Rachel mendongakkan kepalanya untuk mengatahui apakah pria dihadapannya ini bersungguh-sungguh dengan perkataannya. Ketika Rachel menangkap keseriusan dari tatapan Devian, gadis itu tertawa sinis.
"Kau pasti berbohong? Semua orang mengatakan kau yang membunuh mereka." Kata Rachel bersikukuh. Tanpa Rachel sadari wajah Devian berubah kelam, terdapat kesedihan dan emosi didalamnya. Albert memandang Tuannya dengan khawatir.
"Aku hanya menghukum mereka atas apa yang mereka lakukan." Kali ini Rachel tertawa getir. Bagaimana bisa membunuh seseorang adalah sebuah penghukuman? Siapa dirimu? Kenapa kau bertindak seolah kau berhak untuk mengadili siapapun? Pikir Rachel.
"Omong kosong! Kau—siapa dirimu? Apa hak mu untuk menghukum seseorang?" Wajah Albert yang semenjak tadi mengkhwatirkan Tuannya berubah mengeras. Ia terlihat menyeramkan dengan perubahan pada matanya yang menjadi merah dan kuku yang tiba-tiba memanjang. Devian meliriknya sekilas dan menyadari perubahan tubuh Albert, pria itu siap menyerang Rachel.
"Albert hentikan!" Pinta Devian.
"Tapi Tuan..."
"Tinggalkan kami! Pergilah sejauh mungkin sampai kau tak mendengar percakapan kami dan bawah pria itu." Menunjuk pada Jeremy. Pandangan Devian begitu menusuk membuat Albert mau tidak mau harus menuruti pinta Tuannya.
"Baiklah Tuan." Seketika tubuh Albert dan Jeremy menghilang, kini hanya ada mereka berdua. Devian menghela nafas sebelum akhirnya ia mengatakan sesuatu.
"Aku tidak tahu apa yang terjadi pada mereka." Dahi Devian mengkirut, sepertinya ia enggan untuk mengatakan semua ini. Rachel terdiam sesaat seolah berusaha mencerna setiap kata yang di ucapkan oleh Devian.
"Kau pasti berbohong bukan?" Meskipun Rachel tak mengatakannya namun nampak sekali gadis itu menahan air matanya karena ia melihat keseriusan pada raut wajah pria itu.
"Why? Katakan kepadaku apa yang terjadi?" Rachel meraih kaki Devian dan menggoyang-goyangkannya. Devian sedikit terkejut dengan ulah Rachel, ia belum pernah bersentuhan seperti ini sebelumnya dengan manusia. Bahkan jika ia harus membunuh seseorang? Albert yang akan melakukannya dengan cepat tanpa harus ia turun tangan. Devian tidak tahu harus berbuat apa untuk menangani gadis ini? Ini adalah hal yang baru baginya.
"Bisakah kau berhenti menggoyangkan kakiku?" Rachel terdiam sesaat mendengarkan permohonan Devian yang terdengar konyol itu—konyol karena disuasana seperti ini, ia masih berbicara seseorang yang tidak penting? Dan pria itu masih memasang ekspresi heran, takjub karena ini pertama kali baginya—manusia bisa menyentuhnya. Apa seharusnya ia membiarkan Albert membunuhnya saja tadi? Kenapa ia harus berurusan dengan anak manusia?
"Kau benar-benar tidak tahu? Apa yang telah mereka lakukan?" Kali ini Devian bertanya berusaha menutupi setiap ekspresi yang ia keluarkan barusan.
"Kalau aku tahu—aku tidak akan bertanya kepadamu? Kenapa kau sangat susah untuk mengatakannya?" Keluh Rachel. Kenapa suasananya berubah seperti ini? Ini seperti percakapan antara dua orang yang sedang berdebat? Devian mengangkat sedikit sudut bibirnya.
"Orang tuamu yang menciptakan manusia buatan, kalian biasa menyebutnya dengan mutan." Kali ini Devian lebih serius.
"Itu tidak mungkin! Bukankah kau bagian dari mutan itu?" Sangkal Rachel, Devian menggeleng menandakan ketidak setujuannya akan dugaan Rachel.
"Kau tidak tahu siapa aku?" Devian sedikit kecewa karena gadis ini tidak benar-benar mengenalnya.
"Kau hanya penjahat yang telah membunuh orang tuaku." Umpat Rachel yang seketika membuat Devian tertawa geli. Ini pertama kalinya ia di tuduh oleh seorang manusia dan ini juga pertama kalinya ia bisa tertawa seperti itu, gadis ini benar—benar unik menurut Devian.
"Kenapa kau tertawa? Apa menurutmu ini lucu? Kau harus segera memberikan ku jawaban. Setelah itu kau boleh membunuhku." Seketika tawa Devian lenyap, menatap Rachel dengan serius.
"Kenapa aku harus membunuhmu?" Tanya Devian dengan tatapan ketidak mengertiannya.
"Karena ku yakin, kau tidak akan membiarkan ku hidup. Jadi—kumohon katakan yang sebenarnya apa yang terjadi pada kedua orang tuaku?" Mohon Rachel dan Devian terlihat menghela nafas. Hari ini, pertama kalinya ia menampakkan begitu banyak emosi pada raut wajahnya. Biasanya ia hanya menunjukkan ekspresi datarnya. Ia benar-benar terlihat seperti manusia.
"Aku tidak akan membunuhmu." Jawaban Devian cukup mengejutkan untuk Rachel dan itu cukup tidak masuk akal. Apakah data dan informasi yang selama ini ia dapatkan tentang Devian itu salah? Yang ia tahu makluk ini tidak akan segan membunuh siapapun yang menghalanginya, baginya nyawa manusia adalah seperti mainan untuknya. Dengan kekuatan yang tak mampu Rachel prediksikan dengan nalar itu, Devian mampu melakukan apapun yang ia inginkan. Seharusnya seperti itu bukan?
"Why?" Sebuah pertanyaan singkat namun syarat dengan jawaban yang tidak mudah Devian ungkapkan. Buktinya pria itu terdiam seolah berfikir.
"Karena aku ingin melihatmu, bahkan itu nanti." Devian dan semua jawaban ambigunya selalu membuat Rachel harus berfikir keras. Gadis itu benar-benar tak mengerti apa yang sebenarnya pria ini katakan? Apakah karena mereka berbeda? Rachel manusia dan Devian—entah makhluk apa dia sebenarnya?
Rachel menghela nafas, merasa lelah dan pembicaraan ini tidak akan pernah berakhir. Apakah ia benar-benar tidak akan mendapatkan jawaban atas apa yang menimpa orang tuanya? Haruskan ia terus hidup dengan begitu banyak pertanyaan dalam benaknya atau bisa saja ia mati dengan penasaran karena belum mendapatkan jawaban atas apa yang terjadi pada orang tuanya. Semua hal menjadi mungkin—hanya sosok dihadapannya ini yang mampu menentukan takdirnya saat ini.
"Jadi katakan kepadaku sekarang." Lirih Rachel
"Kau harus mempercayaiku, baru aku bisa menjawab pertanyaanmu." Kata Devian dengan wajah seriusnya. Rachel mendesah, ia seolah menyadari sedari tadi ia hanya menyangkal setiap ucapan sosok dihadapannya ini. Baiklah! Jika untuk sebuah kebenaran, ia harus menanggalkan rasa kepercayaannya kepada kedua orang tuanya untuk sementara. Mungkin setelah ia mengatakan semuanya—akan ada sebuah harapan walau itu sedikit. Melihat Rachel menatapnya penuh keyakinan, Devian segera melanjutkan perkataannya.
"Sebelumnya, aku ingin memperkenalkan diriku. Aku adalah salah satu dari kelompok yang berkewajiban menjaga keseimbangan alam semesta. Kami hidup seperti bayangan yang hanya akan muncul jika sesuatu besar terjadi. Saat itu—saat orang tuamu berhasil menciptakan seorang mutan? Kami mengetahuinya, namun kami pikir itu hanya untuk memenuhi rasa penasaran orang tuamu, tetapi semenjak mereka berpikir untuk menciptakan lebih banyak? Saat itulah kami merasakan keseimbangan alam semesta ini mulai goyah." Ini merupakan kalimat terpanjang yang pernah Devian katakan—apa lagi kepada seorang manusia. Rachel terdiam berusaha mencerna semua perkataan Devian.
"Lalu kau berencana membunuh mereka?" Tanya Rachel, kali ini ia terlihat ragu.
"Tidak, sampai mereka menciptakan mutan dengan sekala besar untuk kepentingan kelompok mereka dan aku benar-benar tidak suka dengan dunia baru kalian itu." Jawab Devian dengan ekspresi lelahnya.
"Maksudmu Irisdania dan Herozax?" Devian mengangguk.
"Aku tidak bisa mengampuni siapapun yang telah membuat keseimbangan alam semesta goyah."
"Dan pada akhirnya kau membunuh kedua orang tuaku?" Tebak Rachel.
"Tidak, mereka menyerahkan diri mereka. Saat itu mereka datang kepada kami dan meminta kami untuk menghukumnya."
"Lalu apa yang kau lakukan?" Rachel mulai terlihat tak sabaran.
"Aku menyuruh mereka untuk memusnakan semua mutan yang ada." Rachel tercengang, tak pernah terbayangkan olehnya kalau hukuman yang Devian berikan adalah bagian dari misi organisasinya selama ini yaitu memusnakan semua mutan.
"Lalu apa yang terjadi." Rachel masih berusaha menahan semua emosinya.
"Mereka berjanji akan melakukannya tetapi sampai detik ini tidak terjadi apapun." Karena itukah ia terlihat sedih dan kecewa? Devian tidak pernah mengingkari janjinya kepada siapapun dan sebaliknya ia berharap semua orang yang memiliki janji tidak akan mengingkarinya.
"Jadi setelah itu kau tidak pernah bertemu dengan mereka?" Devian memberikan jawabannya dengan anggukan kecil.
"Sampai detik ini aku masih mencari orang tuamu." Seketika tubuh Rachel lemas. Rasanya ia benar-benar tak sanggup untuk berdiri lagi. Semua hal yang ia percayai selama ini ternyata palsu dan kematian orang tuanya masih menjadi misteri.
"Lalu—siapa yang membunuh mereka? Aku—melihat jasad mereka saat itu." Kini Rachel menumpahkan semua kystal bening yang semenjak tadi ia tahan. Devian terkesiap, ini pertama kalinya ia melihat tangis seorang manusia dan ia terlihat kebingungan harus melakukan apa untuk menenangkan gadis dihadapannya ini?
"Hanya ada satu jawaban." Rachel memandang Devian dengan kirutan didahinya.
"Apa itu?" Tanya Rachel.
"Chip yang ada dalam otakmu." Mata Rachel melebar
"WHAT?" Ekspresi wajahnya seolah penuh tanya.
"Chip? Di otakku?" Rachel memandang tak percaya pada Devian yang masih setia dengan ekspresi seriusnya.
"Bagaimana kau bisa tahu?" Tanya Rachel lagi.
"Aku bisa melihat apapun yang tak kasat mata, bahkan mungkin itu masa depan." Kali ini Rachel benar-benar tercengang. Makhluk apa dia sebenarnya? Pikir Rachel.
"Jadi kau tahu dari awal kalau aku seorang wanita?" Tanya Rachel dan Devian mengangguk pelan.
"Dan jangan katakan kalau kau juga bisa melihat apa yang ada dibalik bajuku dengan jelas?" Mata Devian melebar dan semu merah tergambar jelas pada kedua pipi pria itu. Rachel terlihat begitu kesal.
"SHIT! Jangan pernah memandangiku lagi." Rachel meleparkan tudung hitamnya pada Devian yang semenjak tadi telah menutupi rambut keemasan yang kini tergerai. Memperlihat kilau indah yang membuat Devian terdiam sesaat.
"Apa yang harus ku lakukan untuk mengeluarkan chip ini?" Tangan Rachel mencengram kuat rambutnya, gadis itu terlihat begitu frustasi. Devian memperhatikanya sampai akhirnya ia sudah berjongkok dihadapan Rachel.
"APA—Apa yang akan kau lakukan?" Tanya Rachel dengan gugup. Devian dengan tenangnya, meraih kedua tangan Rachel melapaskan genggaman dari rambutnya. Kemudian ia menggantikannya dengan meletakkan kedua tangannya pada kepala gadis itu.
"Diamlah! Aku hanya akan mengeluarkan chip itu." Rachel ketakutan.
"Apa kau akan menghancurkan kepalaku?" Tanyanya membuat Devian tertawa seketika.
"Tidak—Aku hanya butuh berkonsentrasi dan itu akan keluar sendiri." Rachel menatap Devian tak percaya.
"Apa kau yakin?" Tanya Rachel.
"Tentu, kau harus mempercayaiku." Meskipun ekspresi ketakutan itu masih tergambar jelas pada raut wajah Rachel. Gadis itu masih berusaha untuk mempercayai ucapan Devian.
-Tbc-
Author masih berusaha menguatkan diri untuk melanjutkan cerita western pertama Author nih...Jadi jika kalian suka tulung...vote ya...kalau bisa komen juga...itu akan jadi penyemangat lo ^_^
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top