Un bel di vedremo ('Madama Butterfly')
Im Sungjae memasuki kamar operasi dengan bersungut-sungut. Dia memang dokter bedah toraks baru di rumah sakit ini, tetapi bukan berarti semua tugas operasi harus dilimpahkan kepadanya, kan? Dia mengerjakan semua operasi dada elektif seharian ini, mengambil jatah kerja dua orang, tetapi ia sangat yakin seniornya pasti akan tetap dibayar lebih besar bulan depan. Wajar jika ia menyembur dokter UGD di telepon walau Choi Jaehoon--si dokter UGD--tidak bersalah; ia tidak tahu harus melampiaskan emosinya kepada siapa lagi.
Namun, begitu melihat pasien bersayap sebelah yang terbaring di meja operasi, Sungjae tersenyum miring di balik masker bedahnya.
Apa yang dilakukan pangeran biikjo di Bumi sendirian sampai luka-luka begini?
"Time out." Seorang perawat memberikan kode. Di sela bunyi monitor tanda vital, anggota tim bedah malam itu dibacakan, disusul dengan pengecekan daftar centang operasi. Sungjae diam-diam mendengus tak sabar.
"Pasien bernama Tuan X, nomor rekam medis 77105, usia 20 tahun, laki-laki," ucap Sungjae ketika tiba waktunya dokter bedah membacakan identitas pasien. Perawat mengonfirmasi kebenaran identitas tersebut, padahal Sungjae tahu pemuda bersayap ini bukan 'Tuan X'.
Pangeran Yushin, kau berutang besar padaku.
***
Sesuai dugaannya, Haneul tidak terpilih sebagai Christine Daae untuk pertunjukan akademi. Dia tidak terlalu kecewa, malah lebih bersemangat menanti audisi berikutnya. Guru Cheon sampai heran melihat murid kesayangannya itu muncul di kantor dan menanyakan soal audisi.
"Karena jurusan masih mempersiapkan 'Phantom of The Opera', rasanya tidak akan ada casting internal lagi sampai sebulan ke depan," ucap Guru Cheon, membuat Haneul murung. "Tapi, kalau kamu benar-benar ingin, kami punya tawaran lain."
"Apa itu, Ssaem?"
"Sabar," senyum Guru Cheon sambil membuka laci. Haneul jadi malu. "Omong-omong, apa kamu barusan dapat pacar, Kim Haneul-yang? Wajahmu berbinar-binar."
"Tidak! Tidak sama sekali, Ssaem!" Haneul melambai-lambai panik. "Saya cuma berpikir ingin mencoba menyanyikan lagu cinta lagi."
"Oh? Sepertinya kau lebih percaya diri dengan lagu cinta sekarang." Guru Cheon menyerahkan selembar amplop yang segelnya sudah dibuka kepada Haneul. "Tawaran ini bakal cocok untuk latihanmu."
Anak mata Haneul menelusur cepat kalimat demi kalimat dalam surat, lalu menyimpulkan dengan agak terlalu antusias.
"Pengisi suara drama romantis tentang opera? Saya akan mencobanya! Apakah ada lagu tertentu yang harus saya bawakan, Ssaem?"
"Di halaman dua. Jangan terburu-buru, Nak."
Muka Haneul merah padam. Begitu surat itu dibalik, benar saja, ia menemukan tabel berisi lagu-lagu yang bisa dipilih untuk casting serta opera mana mereka berasal. 'Romeo and Juliette', 'Tristan and Isolde', 'Britten's A Midsummer's Night Dream'—sempurna. Harusnya membawakan aria-aria dari sana dapat membantunya membuktikan sesuatu mengenai keajaiban di atap akademi.
"Suratnya saya gandakan, ya, Ssaem?" tanya Haneul. "Kopinya untuk saya simpan. Saya ingin berlatih beberapa lagu dulu sebelum memilih yang cocok."
"Silakan! Aku senang dengan semangat barumu ini, Kim Haneul-yang. Kalau hari ini tidak ada kelas, aku mungkin bisa mendampingimu berlatih setelah jam tiga."
"Terima kasih banyak, Ssaem, tetapi sore ini saya ada kelas bahasa Perancis bersama siswa semester tiga, lalu malamnya harus kerja sambilan." Senyum Haneul menipis. Belakangan, guru bahasa Perancis menilai pengucapannya memburuk karena lebih banyak menyanyikan aria Jerman dan Italia. Sudah tentu ia harus kembali berlatih meskipun akademi tidak mewajibkannya. Haneul sendiri yang telah menetapkan standar belajarnya untuk memenuhi keinginan akademi.
"Sayang sekali. Kalau begitu, hubungi saja aku kalau luang. Kita bisa atur jadwal latihanmu."
"Baik." Haneul kemudian membungkuk. "Sekali lagi terima kasih banyak. Saya permisi, Ssaem."
Sekeluarnya dari kantor guru, Haneul memeriksa jam. Pukul setengah sebelas. Kelas akting lanjutan bersama semester empat akan dimulai dua setengah jam lagi. Haneul lantas menepi dan mengetikkan sesuatu di ponsel pintarnya.
"Ru-mah Sa-kit U-ni-ver-si-tas In-je," eja Haneul. Aplikasi peta menunjukkan jarak sekaligus rute tercepat dari Akademi Munkwang ke sana. "Tujuh kilometer ... semoga masih sempat untuk kelas akting nanti. Ah, pokoknya aku harus menggandakan ini dulu!"
***
Sebelum menjenguk orang sakit, penting untuk membawa buah tangan. Haneul melupakan hal itu hingga setengah perjalanan dan akhirnya mesti membuat dua perhentian. Rencananya semula adalah membawakan sekeranjang buah, tetapi berhubung yang tertangkap matanya pertama kali adalah minimarket, Haneul mengubah rencana. Ia membeli bahan makanan sederhana saja karena uang tunainya terbatas, lalu melanjutkan perjalanan sambil menyesali kebodohannya.
Semoga dia mau menerima ini, batin Haneul saat menengok kantong belanjanya. Susu, roti, dan selai stroberi tidak buruk-buruk amat, kok. Kan gizinya banyak, bisa membantunya cepat sembuh.
Kantong belanjaan disisihkan. Haneul membuka tasnya dan mengeluarkan salinan surat tawaran rumah produksi. Ditelusurinya daftar lagu pilihan untuk casting.
'Think of Me' tidak ada di sini. Sudah kuduga mereka tidak akan menggunakan lagu berbahasa Inggris, apalagi dari era kontemporer.
Padahal, baru lagu itu yang Haneul latih dengan sungguh-sungguh. Setelah pertemuan dengan makhluk bersayap di atap, hatinya selalu disesaki perasaan ganjil setiap kali menyanyikannya: mengganggu konsentrasi pada mulanya, menambah penghayatan di akhirnya. Sesuai lirik 'Think of Me', Haneul tidak masalah tidak mampu menemui makhluk itu lagi asalkan ada sedikit saja kenangan tentang dirinya yang dibawa oleh si makhluk. Tentu saja, untuk bisa 'mengenang', si makhluk harus tetap hidup dulu.
Masalahnya, Dokter Choi dari UGD mengatakan bahwa si makhluk mengalami perdarahan kepala. Bukankah pasien-pasien seperti itu rawan kehilangan ingatan? Itulah yang memberatkan hati Haneul setiap menyanyikan lagu tersebut. Meski tak ingin dilupakan, Haneul sadar dia bukan siapa-siapa bagi makhluk asing itu. Lagi pula, yang terpenting setelah kecelakaan sebegitu parahnya adalah bertahan hidup, bukan bisa mengingat, apalagi mengingat orang asing.
Lucu. Menyanyikan lagu cinta dengan penuh perasaan justru mengacaukan Haneul. Cinta berarti bukan sesuatu yang indah, melainkan kacau.
"Cinta yang kacau, eh? Kalau begitu," Haneul mengambil bolpoin dari tas dan melingkari satu judul lagu, "aku akan coba ini dulu."
Baru mau memilih lagu lagi, rupanya Haneul telah sampai di tujuan. Ia membereskan dan mengangkut semua barangnya, lalu turun ke halte. Gedung Rumah Sakit Universitas Inje sudah terlihat; untuk mencapainya, dia harus berjalan sekitar 100 meter lagi. Dekat memang, tetapi terasa jauh ketika Haneul tiba-tiba merasa tak nyaman. Gadis itu berjalan secepatnya, berusaha membaur dengan banyak orang.
Aku tidak sedang dibuntuti, kan?
***
"Pasien tidak bernama yang mengalami cedera kepala? Maaf, kami tidak bisa mencari tahu data pasien lewat penyakitnya saja, Agasshi."
Haneul ingin menepuk jidat. Ia lupa sama sekali bahwa untuk mencari kamar si sakit, ia butuh identitas—dan makhluk aneh itu tidak jelas identitasnya.
"Uh, dia masuk tiga atau empat hari lalu, umurnya 20 tahunan."
Resepsionis itu meminta Haneul menunggu sebentar, masih terlihat bingung ketika memasukkan data ke komputer. Temannya yang duduk di meja sebelah membantu. Haneul memeluk kantong belanjaannya dengan cemas, berharap si sakit masih hidup dan segera ditemukan kamarnya.
Tak lama kemudian, seorang dokter berjalan ke meja resepsionis. Karena dia mengajak bicara para pegawai wanita sampai mengalihkan fokus mereka, mau tak mau Haneul jadi mengamatinya. Mengganggu saja, sih, batinnya sedikit jengkel, berlawanan dengan para resepsionis yang memandang si dokter dengan mata berbinar-binar. Baiklah, mungkin pria jangkung itu sedikit tampan, tetapi terlalu matang untuk selera Haneul, plus dia menghalangi Haneul dari menjenguk si makhluk bersayap.
Namun, mendadak, si dokter menoleh pada Haneul—yang langsung salah tingkah dan menunduk. Gawatnya, Haneul dapat melihat bayang-bayang sepatu pria itu mendekat.
"Agasshi, mungkinkah Anda mencari pasien muda yang mengalami kecelakaan di atap Akademi Munkwang?"
"Ah, benar!" Secara impulsif, Haneul berdiri dan menengadah, menatap lawan bicaranya yang ternyata jauh lebih tinggi. Leher gadis mungil itu sampai tertekuk ke belakang. "Jangan-jangan, Anda ini dokternya?"
"Kebetulan ya. Aku dokter bedah yang menangani cedera kepalanya."
Dan aku malah jengkel padanya! Haneul buru-buru membungkukkan badan menyesal. "Terima kasih banyak, Seonsaengnim! Pasien itu baik-baik saja, kan?"
"Ya, dia cukup baik, tetapi masih kehilangan sebagian memorinya." Dokter bertanda pengenal 'Hwang Changjun' itu menatap Haneul dari ujung kepala sampai kaki, tetapi tampaknya tak dapat menyimpulkan apa pun. "Anda keluarganya?"
"Saya saksi dari kejadian itu, yang menghubungi ambulans untuknya."
"Ah." Dokter Hwang manggut-manggut, sekilas melirik kantong belanja Haneul. "Rumah sakit dan dinas sosial kesulitan mencari keluarganya karena ingatannya kabur. Untung ada seorang gadis perhatian yang menjenguknya."
"Eh? 'Gadis perhatian'—s-saya cuma khawatir padanya!" Panik Haneul meluruskan kesalahpahaman yang mungkin ada di benak si dokter. "Cederanya parah sekali waktu itu, jadi saya terpikir terus ...."
Dokter Hwang tertawa kecil. "Yushin baik-baik saja. Akan kuantarkan ke kamarnya, mumpung searah."
"Boleh? Sekali lagi terima kasih banyak, Seonsaengnim!" Haneul akhirnya bisa tersenyum lega. Ia bahkan sedikit berjingkat mengikuti langkah Dokter Hwang. Memasuki lorong instalasi rawat inap, Haneul baru menyadari sesuatu.
"Anda bilang tadi namanya Yushin?"
"Ya, dia mengingat nama depannya begitu sadar," jawab Dokter Hwang.
Wah, kalau tadi para resepsionis memasukkan nama 'Tuan X' seperti yang kubilang, pasti tidak ketemu, pikir Haneul. Syukurlah aku bertemu dengan dokter ini.
Haneul dan Dokter Hwang sampai di persimpangan pertama koridor rumah sakit. Ada papan hijau besar yang menunjukkan letak beberapa ruangan. Di sebelah tulisan 'departemen bedah', ada panah ke kanan, jadi Haneul refleks berbelok ke sana. Ia jadi malu karena Dokter Hwang ternyata berjalan terus, menuju 'ruang VIP-VVIP'.
"Bukan ke situ, Agasshi. Maaf tidak memberitahumu sebelumnya," kekeh Dokter Hwang.
"Tidak apa-apa, saya yang kurang awas," ringis Haneul. "Saya kira pasien yang belum jelas identitasnya atau tidak punya keluarga tidak akan bisa masuk ruang VIP."
"Aku juga terkejut waktu tahu harus visite ke ruang VIP, padahal terakhir kutahu, dia masih di bangsal biasa." Dokter Hwang menyapa beberapa dokter yang lebih tua di koridor, membuat Haneul sempat minder dan merasa salah tempat, tetapi pria itu lantas melanjutkan dengan santai. "Gosipnya, dia kerabat jauh salah seorang staf kami."
"Benarkah?" Alis Haneul terangkat penasaran. "Tunggu, apa tidak apa-apa buat saya mendengarkan cerita orang dalam begini?"
"Sebenarnya tidak." Wah, saya minta maaf! Lekas Haneul berujar. "Tapi sudahlah. Kita sepertinya tidak akan bertemu lagi; apa salahnya berbagi satu-dua rahasia? Lagi pula, semua pegawai sepertinya membicarakan dia."
"Mengapa begitu?"
Haneul dan Dokter Hwang ujungnya membicarakan bagaimana si makhluk bersayap—Yushin—mengalami 'keajaiban' yang sulit dipercaya para tenaga medis. Dokter Hwang rupanya senang sekali bertemu Haneul karena bisa mendengar langsung insiden yang menimpa Yushin dari saksinya. Haneul pun kembali menceritakan apa yang dilihatnya. Seperti Dokter Choi di IGD, Dokter Hwang pun heran Yushin bisa bertahan dengan sedikit luka luar setelah jatuh amat keras dari ketinggian yang diperkirakan lebih dari 20 meter. Darahnya memang banyak, tetapi di bawah lapisan darah itu tidak ada luka robek yang besar.
Tentu saja, Haneul tidak menceritakan bagian-bagian irasional dari kesaksiannya.
Dokter Hwang pasti akan menertawakanku kalau tahu tulang-tulang Yushin bisa lurus lagi karena laguku. Mungkin saja luka-luka luarnya juga sembuh karena itu. Kalau Dokter Hwang membahas sayap, aku baru akan bicara tentang 'keajaiban' yang sesungguhnya di atap.
Lanjutan penjelasan Dokter Hwang masuk telinga kanan keluar telinga kiri, saking fokusnya Haneul menunggu 'sayap' disebut. Ia bahkan melewatkan tanda 'parkir pegawai' di arah yang mereka lewati. Gadis itu baru merasa janggal ketika benar-benar berada di ambang area parkir bertingkat.
"Uh, Seonsaengnim, saya kira kita mau ke ruang VIP?"
"Maaf lupa memberitahu. Aku mau mengambil dokumen yang tertinggal di mobilku sebentar." Dokter Hwang menggaruk tengkuk. Haneul mengiakan dan mengikuti si dokter meskipun firasatnya tidak bagus.
"Oh, ya, satu lagi hal yang menurutku aneh darinya," kata Dokter Hwang lagi. "Apa cuma aku yang bisa melihat sayapnya?"
Sayap! Napas Haneul memburu ketika bertanya balik, "Seonsaengnim juga melihatnya? Syukurlah, ternyata bukan saya saja!"
Dokter Hwang tidak berkesempatan bicara lagi karena Haneul terus mencerocos tentang Yushin yang minta dinyanyikan lagu, luka-luka yang menutup tanpa disentuh, juga misteri sayap yang cuma sebelah. Karenanya, ia melewatkan tanda bahaya penting lain, yaitu rasa pegal di punggungnya.
"Saat pulang, saya sempat berpikir telah menolong seorang malaikat jatuh." Haneul menertawakan kekonyolannya sendiri. "Habis cuma itu kemungkinannya. Bersayap sebelah, jatuh dari langit, dan sembuh dengan sihir hanya mungkin terjadi pada malaikat, bukan?"
"Tebakan yang menarik." Dokter Hwang berbelok ke salah satu mobil yang terparkir. "Tapi, Kim Haneul-yang, apa kau pernah tahu legenda burung bersayap satu?"
"Ti—dak?" Haneul mencoba mengurut semua opera yang pernah dibawakannya, tetapi tidak menemukan satu yang menceritakan itu.
"Burung bersayap satu atau biikjo adalah makhluk legenda yang terkenal di Asia Timur. Mereka tak akan bisa terbang sampai menemukan pasangan mereka. Itu karena pasangan mereka juga membawa sebelah sayap mereka. Alhasil, mereka hanya bisa terbang kalau berdua."
Baru pertama kali Haneul mendengar tentang hewan romantis ini. Selagi Dokter Hwang membuka pintu mobil dan mencari dokumen, ia merenungkan kemungkinan bahwa Yushin mungkin serupa dengan biikjo.
"Kalau begitu, mungkinkah," gumam Haneul, "Yushin mencari pasangannya di Bumi?"
"Bukan mungkin, tetapi memang." []
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top