2

"Think of me, think of me fondly,

When we've said goodbye ....

Remember me, once in a while

Please promise me you'll try ...."

Ketika menyanyikan ini, Haneul berulang kali menanamkan sugesti bahwa dirinya adalah Christine. Si lugu Christine bersenandung dengan rasa iba untuk Erik, sang 'hantu opera' yang mengajarinya bernyanyi. Sebesar apa pun keinginan Christine untuk tinggal, ia harus pergi. Lagu ini adalah salam perpisahan yang pahit, pesan agar Erik selalu mengenangnya dengan indah.

Masalahnya, lirik 'Think of You' juga relevan untuk kisah Haneul sendiri. Lee-ssi, orang yang meninggalkannya begitu saja tanpa kabar, masih ia kenang dengan indah. Janji-janji tak terpenuhi yang mereka buat bersama masih Haneul harapkan terwujud suatu hari nanti. Bahkan aria romantis yang diam-diam Haneul gubah untuk lelaki itu masih tersimpan, untuk ditampilkan kalau-kalau si lelaki kembali padanya.

Sesungguhnya, meski di luar mencaci maki, Haneul masih berharap Lee-ssi memendam perasaan yang sama sepertinya. Jika tidak pun, Haneul menerima penjelasan apa pun yang lelaki itu berikan—asalkan ada penjelasan.

Aku salah apa, Oppa? Aku merindukanmu sampai kehilangan lagu cintaku, sampai kelulusanku tertunda, dan kau tidak kembali juga?

Sama seperti Lee-ssi, Christine juga pergi dari Erik, tetapi dia berpamitan dengan cara yang patut dikenang. Menyadari hal ini, Haneul mengubah sudut pandangnya, menempatkan diri dalam posisi Lee-ssi dan menyuarakan salam yang ingin didengarnya dari lelaki itu.

"Recall those days

Look back on all those times

Think of the things we'll never do

There will never be a day

When I won't think of you ...."

Betapa terharunya Haneul andai Lee-ssi benar-benar menyanyikan ini pada hari terakhir mereka berjumpa, menggemakan suara tenornya yang teduh di atap. Air mata Haneul menggenang, suaranya goyah. Disekanya air mata itu sebelum menetes dan berusaha fokus, menyusun nada demi nada agar dapat menyampaikan emosi Lee-ssi dalam khayalannya.

Benar, 'Haneul' yang harusnya terharu mendengar lagu ini, bukan penyanyinya alias 'Lee-ssi'. Haneul—yang saat ini memerankan Lee-ssi—dan 'Haneul' saat ini adalah dua entitas yang berbeda, bukan?

Sebentar lagi lagu berakhir. Haneul hampir mengeksekusi cadenza legendaris 'Think of Me' ketika ia melihat kilatan cahaya mencurigakan di langit. Mencurigakan—karena cahaya yang awalnya berupa titik itu lama-kelamaan semakin besar, semakin dekat. Bentuknya juga berubah menjadi sebuah sayap, tidak, manusia bersayap.

"Apa itu?!"

Cahaya—orang—yang Haneul amati meluncur lurus ke atap akademi bagai dilemparkan dari awan. Haneul melotot, secara otomatis bergeser menghindar walaupun makhluk bersayap itu mendarat cukup jauh darinya. Tubuh itu berdebam keras, menerbangkan debu di atap yang memaksa Haneul sejenak memejam. Baru setelah debu tak lagi beterbangan, gadis itu membuka mata.

Sulit dipercaya. Sekitar lima meter dari Haneul, terbaring sesosok manusia dengan sayap berkilau yang, sayangnya, hanya sebelah dan berlumuran darah. Selain sayap, badan orang itu juga berkalang luka; darah dari sana memerciki atap. Karena penasaran, Haneul pun mendekat, tetapi keingintahuannya dengan segera berubah menjadi ketakutan. Lengan dan kaki orang tersebut tertekuk di titik yang bukan sendi. Pelipisnya yang bersentuhan dengan atap mengucurkan banyak darah hingga membentuk genangan kecil, juga melengketkan helai-helai rambutnya.

Dia patah tulang dan kepalanya pecah! Ambulans!

Demikianlah Haneul menyimpulkan dari pengamatan singkatnya.

Sayangnya, meskipun sudah tahu apa yang harus dilakukan, kaki Haneul melumpuh. Ia tidak pernah menyaksikan kecelakaan secara langsung, apalagi yang korbannya terluka parah begini. Sudah begitu, mana ada manusia biasa yang memiliki sayap di punggung? Jangan-jangan, makhluk ini berbahaya?

Haneul semakin tak berkutik ketika manusia bersayap membuka mata dan menatapnya memelas. Bibir si makhluk bergerak-gerak lemah, tetapi Haneul tak mendengar apa-apa. Air mata sunyi menetes susul-menyusul dari mata cokelat terang itu, sementara wajah si makhluk berkerut-kerut menahan sakit.

"Menyanyilah ...."

"Me-Menyanyi?" Awalnya Haneul bingung, tetapi lantas sadar bahwa orang di depannya mungkin terlalu sakit untuk berpikir. "Tidak, kamu harus ke rumah sakit! Sebentar!"

Berlari terhuyung-huyung karena kakinya lemas, Haneul berhasil mencapai tasnya, meraih ponsel, dan menekan nomor rumah sakit dengan gemetar. Ia salah memencet nomor dua kali. Setelah tersambung dengan petugas medis, ia terbata-bata menjelaskan situasi dan menyebutkan alamatnya. Tentunya, ia tidak bilang bahwa orang yang terluka ini punya sayap.

Ponsel Haneul terjatuh begitu ia selesai menelepon, lalu tergelincir hingga ke dekat genangan darah si manusia bersayap. Layar ponsel itu retak dan memerah di sudutnya, tetapi masih menyala. Tangan Haneul terus bergetar seperti orang lanjut usia sehingga ponselnya malah tergelincir lebih jauh ke genangan darah ketika ia berusaha mengambil.

Sekeras apa pun usahanya untuk tidak melihat si empunya darah, Haneul tetap terusik dengan memerahnya jemari dan ponselnya. Dengan pikiran kacau, ia memasukkan gawai yang kotor itu ke dalam saku dan berlutut di depan manusia bersayap. Makhluk itu masih menangis sunyi, tetapi kesadarannya sudah di ambang. Matanya hampir tertutup.

Tidak.

"Jangan mati," bisik Haneul. Disentuhnya ragu tangan si makhluk, berhati-hati agar tidak lebih parah mencederai, juga tidak benar-benar mengerti apa yang harus dilakukannya. Ia hanya tahu harus membuat orang asing ini nyaman—atau setidaknya, menunjukkan betapa pedih perasaannya melihat tubuh yang remuk-redam itu.

Terus mengalirnya tangis si makhluk asing membuat Haneul ikut menangis juga. Ia tidak mengenal orang ini, tak tahu pula apa spesies pastinya, atau cerita di balik kejatuhannya dari langit. Namun, dari air mata si makhluk, Haneul tahu keinginannya untuk hidup sangat besar.

"Apa yang harus kulakukan?" gumam Haneul berulang-ulang pada dirinya sendiri, nyaris tak terdengar. Ujung jarinya masih menempel ke jemari si makhluk yang mulai dingin, tetapi pandangannya beredar liar. Dia mungkin bisa membidai tulang-tulang yang patah itu .... Jangan, tulang-tulang makhluk ini tertekuk terlalu parah. Siapa tahu apa yang akan terjadi jika ia coba meluruskan tangan atau kaki itu? Membalut luka di kepalanya mungkin membantu .... Jangan, kalau kepalanya diangkat, ada kemungkinan otaknya cedera atau lehernya bergeser.

"Tolong ...."

Rintihan si makhluk bersayap parau mengiris. Haneul yang panik tak sengaja membentaknya sambil menangis.

"A-Aku berusaha! Tunggu, pasti ada cara—"

"La—" Si manusia bersayap membatukkan segumpal darah dari mulut. "Lagumu ...."

Lagi? Dia masih memintaku menyanyi saat sedang sekarat? Sinting!

Haneul jelas tidak bisa mengobati luka-luka makhluk ini; menggerakkan badan si makhluk saja, ia takut. Pikirannya juga terlalu kalut untuk memikirkan hal selain mengobati yang dapat membuat makhluk ini lebih baik. Namun, di tengah-tengah dera nyeri, makhluk itu masih memaksakan diri untuk meminta Haneul menyanyi. Apakah lagu Haneul memang demikian berarti bagi orang ini?

Satu-satunya sayap si makhluk asing mengepak lemah, seiring dengan usahanya bicara dan mempertahankan kesadaran.

"Seperti tadi." Sekarang dia terisak; setiap tarikan napas membuatnya memicing kesakitan. "Kumohon ...."

'Seperti tadi', katanya? Haneul tercenung. Dia ... mendengar 'Think of Me'-ku?

Mata si manusia bersayap mulai lamban berkedip dan lebih lama terpejam. Kalau makhluk malang ini sampai meninggal tanpa sempat mendengarkan lagu, Haneul tahu kelak dirinya pasti menyesal. Jadi, sang sopran menghapus air matanya, menghela napas panjang, dan mulai bernyanyi meski suaranya dikacaukan tangis.

Aku takut. Suaraku sumbang, lagi. Kenapa, sih? Bawakan lagu terbaik; orang ini mungkin cuma punya lagumu di saat-saat terakhirnya, Kim Haneul!

Manusia bersayap memintanya menyanyi 'seperti tadi', maka Haneul menutup mata. Dibayangkannya sosok Lee-ssi yang mengucapkan salam perpisahan terindah kepada 'Haneul'. Ia terus memainkan skenario imajiner ini dalam kepala selagi berusaha mengatur nada serapi mungkin, seperti tadi saat mencoba menyampaikan perasaannya entah kepada siapa. Ganjilnya, saat memasuki chorus, imajinasi Haneul menggelap.

Lee-ssi menghilang. Cahaya lain menyisipi celah mata Haneul, memaksanya membuka mata.

"Think of me, think of me waking

Silent and resigned

Imagine me trying too hard

To put you from my mind ...."

Astaga. Manusia bersayap tersenyum kepada Haneul hingga gadis itu hampir berhenti menyanyi. Terlepas dari tetes-tetes darah yang menodai wajah si makhluk, senyumnya begitu damai. Senyum itu bertahan bahkan ketika ia tidak lagi berkedip. Ketika senyum tersebut memudar, perlahan bibir si makhluk bergerak, membentuk sebuah kata tanpa suara. Tak sampai selesai, ia sudah lebih dulu kehilangan kesadaran.

Air mata Haneul membanjir.

'Kamsa' .... Kau ingin berterima kasih padaku?

Pintu atap yang dibanting membuka membuat Haneul berjengit. Tampaklah orang-orang berseragam paramedis dari sebuah rumah sakit di kota. Mereka segera menghampiri si manusia bersayap, menaikkannya ke tandu ... dan Haneul baru menyadari bahwa tangan serta kaki makhluk itu sudah kembali normal. Masih berdarah, tetapi lurus, tidak lagi patah di tengah.

"Kau yang menelepon tadi? Menyaksikan kejadiannya?" tanya salah seorang petugas pada Haneul dengan terburu-buru.

"Y-Ya ...."

"Bagus, ikutlah dengan kami! Sambil jalan, ceritakan kejadiannya!"

Haneul nyaris tersandung ketika meraih tasnya, lalu mengekori tim medis sambil menceritakan peristiwa besar tadi dengan terengah-engah. Saking tergopohnya, ia melewatkan bagaimana para petugas tidak membahas sedikit pun soal sayap di punggung pasien mereka.

***

Langit Seoul gelap tak berbintang, kontras dengan ruang tunggu rumah sakit yang bersimbah cahaya. Haneul tertunduk lesu di salah satu kursi. Semula, dia ingin mengirim pesan singkat saja kepada pengurus asrama: bahwa dia akan pulang terlambat karena sedang berada di rumah sakit. Pengurus asrama, sayangnya (dan tentu saja), jadi panik dan bertanya apakah terjadi sesuatu pada Haneul. Mau tak mau, Haneul jadi sibuk mengetik, menjelaskan situasi sebenarnya.

Selesai berkutat dengan ponsel, Haneul merasa berkali-kali lipat lebih lelah. Para petugas unit gawat darurat sudah menangani si makhluk bersayap, tetapi dia masih belum diperbolehkan pergi.

Berapa lama lagi aku harus menunggu? Apa aku masih dibutuhkan? Bagaimana pasien yang tak bernama dan tak punya wali diurusi oleh rumah sakit?

Dia ... masih akan hidup, kan?

Haneul menggigit bibir. Makhluk itu terlihat betul tidak mau mati. Dia memohon dan menangis sampai memperoleh 'Think of Me'-nya, lalu keajaiban terjadi. Bukan sekadar terima kasihnya yang ajaib, tulang-tulangnya yang Haneul yakin telah patah tiba-tiba tersambung dan menjadi lurus. Lagu tadi belum selesai ketika ambulans datang; andai selesai, mungkinkah makhluk itu akan sembuh sampai sadar penuh?

Pintu unit gawat darurat dibuka. Seseorang yang mengenakan baju scrub hijau tua keluar dengan wajah gelisah setengah marah; ponselnya melekati telinga. Dia melontarkan berbagai kosakata yang tak pernah menyambangi telinga Haneul, membuat apa pun yang dikatakannya terdengar jauh lebih mengerikan.

"Ya, Dokter Im, WSD sudah dipasang. Pneumotoraksnya sudah tertangani dan tidak ada tamponade jantung. Tanda vitalnya sudah normal semua, tetapi flail chest—ya, saya mengerti. Saya mengerti."

Bangsat. Demikianlah gerak sunyi bibir si penelepon terbaca oleh Haneul. Lucunya, beberapa lama kemudian, si penelepon tersenyum lebar.

"Oh, terima kasih banyak, kami sangat berutang budi. Sungguh, saya minta maaf sudah mengganggu, Dokter Im. Baik, Dinas Sosial sudah dihubungi, Dokter. Terima kasih. Kami akan terus mengobservasi Tuan X."

Tuan X! Seakan punya memori sendiri, kaki Haneul menegakkan tubuh pemiliknya, bangkit dari kursi menghadap si penelepon.

"Im Sungjae bajingan," umpat si penelepon sambil menatap nyalang ponselnya. Ia berbalik dan langsung salah tingkah karena Haneul ternyata di belakangnya. "Oh, Anda saksi kecelakaan tadi."

"Dokter ..." Haneul membaca bordiran nama di baju scrub si penelepon, "... Choi, bagaimana keadaannya?"

Pria yang seharusnya bernama Choi Jaehoon itu berubah ramah, 180 derajat bedanya dibandingkan saat menelepon. "Tuan X sudah stabil, tetapi masih belum sadar dan ada kemungkinan perubahan kondisi mendadak. Tulang rusuknya patah banyak. Anda jangan khawatir; dokter bedah kami sedang dalam perjalanan untuk melakukan operasi darurat."

"Tulang rusuk patah banyak ...." ulang Haneul sembari menutup mulutnya dengan telapak tangan. Suaranya pecah ketika meneruskan, "Um—bagaimana dengan yang lain?"

"Ada perdarahan dalam tengkorak, tetapi lajunya lambat sehingga tidak menekan otak. Lain-lainnya baik." Di situ, Jaehoon mengernyit, lalu mengulang lambat. "Lain-lainnya baik. Kami sudah mengurus semuanya. Jika sudah meninggalkan nomor yang bisa dihubungi petugas kami, Anda boleh pulang. Oh, sebelum itu: Anda—yakin dia jatuh dari langit?"

"Benar! Saya tidak melihat pesawat, parasut, atau apa pun! Dia—"

—mungkin sayapnya terluka saat terbang sehingga oleng dan jatuh?

Namun, Haneul ragu menyinggung soal sayap yang cuma sebelah itu. Tak ada yang membahasnya. Tak ada yang melihatnya. Ia menunduk lagi, tidak bisa meneruskan.

"Baik, kalau begitu. Terima kasih atas bantuannya, Agasshi." Jaehoon mengangguk. Haneul segera membungkuk sampai punggungnya menyiku ('saya yang harus berterima kasih!'). "Anda bisa beristirahat sekarang. Dinas Sosial akan mengurus pasien-pasien tak bernama seperti ini hingga keluarga mereka ditemukan."

Bahkan setelah pintu UGD ditutup dari dalam oleh Jaehoon, Haneul masih berdiri terpaku, tidak beranjak sedikit pun. Entah mengapa, ia takut jika ia pulang, makhluk bersayap itu juga akan meninggalkannya.

Aku tidak mengenalnya, Haneul mencengkeram bagian depan kemejanya, jadi mengapa aku takut kehilangannya?

Bersama dengan degup tak nyaman dalam dadanya, sesuatu juga berdenyut di punggung Haneul. []

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top