19

"Tidak baik mengatai Appa dan Eomma begitu. Ingatkah kau mengapa mereka menghentikanmu dari berakting?" Haneul menuding Hayeon dengan paha ayam yang tergigit sebagiannya. Mulut gadis itu masih penuh. "Waktu pekerjaanmu sedang ramai-ramainya, kau bisa sakit tifus dua kali dalam sebulan. Demam-demam juga kau masih syuting sambil pakai plester kompres. Gemuk sedikit, agensi langsung memintamu diet. Kau masih lima tahun waktu itu! Bagaimana Appa dan Eomma tidak mengamuk?"

Berhenti berakting, Hayeon membalas Haneul dengan suara normal alih-alih suara mabuknya. "Eonni, nanti saat aku lulus sekolah akting dan menjadi profesional, aku akan cukup dewasa untuk membatasi tawaran pekerjaan sesuai kemampuan fisikku. Lagi pula, untuk mengembangkan kemampuan, seseorang kadang harus mengorbankan satu-dua hal."

Haneul mendengus sambil memutar bola mata. Kadang, ketika bicara sok dewasa, Hayeon malah tampak menggelikan. Namun, ketika melihat cuplikan drama yang dibintangi Hayeon dari ponsel Hyunseo (yang sedang menunjukkannya pada Kyunghee), Haneul pikir Hayeon tidak salah-salah amat soal bakat aktingnya. Bakat itu akan sia-sia kalau Hayeon berakhir di kubikel seperti yang dimaui orang tua mereka.

Orang tua Haneul bekerja di bidang musik, maka dunia akting murni–drama dan film–tidak menyentuh mereka. Itulah yang membuat mereka takut, apalagi setelah mencicip pahitnya mengurus Hayeon yang sering kolaps akibat pekerjaannya sebagai aktris cilik dulu. Itu pulalah yang membuat bakat seni Haneul lebih didukung: karena bidang yang Haneul selami lebih mereka akrabi.

Sampai kapan Appa dan Eomma tidak mengakui bakat Hayeon? Mereka mungkin melakukan ini karena tidak yakin dapat melindungi Hayeon dari kejamnya dunia akting, tetapi apakah cara mereka sudah benar?

Haneul menatap Hayeon–yang tengah merekomendasikan potongan lain dari dramanya di Youtube kepada Hyunseo–sekali lagi. Ia ingat seiri apa dirinya semasa kecil pada popularitas Hayeon, menjadi sedikit senang ketika Hayeon sakit karena padanya pekerjaan ('rasakan!'), tetapi dengan cepat ikut menderita dan merasa bersalah. Itu salah satu perasaan kompleks yang Haneul pelajari cukup dini, rasa benci bercampur sayang untuk adiknya yang berharga.

Sepertinya aku harus mulai mencarikan Hayeon sekolah akting yang kredibel, pikir Haneul sembari membereskan gelas soda dan kardus berisi tulang-belulang ayam. Siapa tahu dengan prospek yang lebih jelas, Appa dan Eomma akan mengizinkan Hayeon lanjut berakting?

Saat sedang mencuci gelas bersama Hyunseo, Haneul tiba-tiba dipanggil oleh Kyunghee dengan nada main-main.

"Eonni, kau sekarang sudah main role play sama petugas kebersihan itu? Dia memanggilmu Nangja, nih! Wah, gila, apa kau memanggilnya Naeuri juga?"

"Hei, jangan buka-buka ponselku sembarangan!"

Haneul berpaling, dengan terburu-buru membilas busa sabun dari tangannya dan berlari ke arah ponselnya–yang barusan diintip Kyunghee. Ia segera menjauhkan ponsel itu dari Kyunghee–yang tertawa jahil–dan Hayeon–yang awalnya terbengong, tetapi lambat laun menyadari sesuatu.

"Astaga, itu cowok yang di swalayan! Sudah kuduga ada yang tidak beres dengan hubungan kalian! Mengapa saling memanggil Nangja dan Naeuri? Apa itu semacam panggilan sayang? Atau jangan-jangan ... ini sesuatu yang mesum?!"" cerocos Hayeon selagi Haneul membuka ponsel, mengecek pesan. Tidak seperti yang diduganya, baik Kyunghee dan Hayeon tidak membuka ponselnya (karena memang tidak tahu kata sandinya). Namun, layar kunci Haneul menunjukkan sepotong notifikasi pesan masuk dari Yushin yang diawali kata 'Nangja' menghebohkan tadi.

"Aku tidak memanggil Yushin-ssi dengan Naeuri, ya! Terus, sudah berkali-kali kubilang, Yushin-ssi bukan orang mesum!" sanggah Haneul.

"Aye, jangan malu-malu, Eonni. Pasangan boleh saja main power play asalkan sudah saling setuju," goda Kyunghee, yang walaupun jomlo seolah sangat berpengetahuan tentang 'hal itu'. "Silakan memanggil pacarmu 'Naeuri', 'Suamiku', 'Daddy', atau 'Master'–"

"Hentikan! Jangan mengajari Hayeon yang tidak-tidak! Hyunseo, awasi berandal-berandal ini!" perintah Haneul selagi berjalan terburu-buru keluar; pandangannya terus terarah pada ponsel.

Mengapa aku harus berhati-hati tentang Hayeon? Haneul membatin seraya mengetikkan balasan.

Dada Haneul mencelus begitu 'sayap Baek Harin' muncul di layar ponselnya. Demi Tuhan, ia tidak merasakan apa pun di perjalanan pulang! Selain itu, setiap satu serpihan sayap tertarik, maka ia akan menarik musuh yang berbahaya–dan kali ini, bukan cuma Haneul, Hayeon pun ikut terancam.

Situasinya jadi lebih berbahaya buat Hayeon sekarang. Haneul membuka pintu dengan gusar, kembali masuk kamar sambil menyimpan ponsel di saku celana. Aku harus segera menyuruhnya pulang!

***

Komunitas seni eksklusif akan menyelenggarakan konser privat mereka dua minggu setelah konser amal. Mengetahui hal ini, Guru Cheon menjadwalkan latihan khusus bagi Haneul untuk mempersiapkannya tampil. Jadwal latihan khusus itu lebih pagi dari semua kelas yang Haneul ikuti dan Guru Cheon isi. Masalahnya, Haneul justru bangun kesiangan setelah 'pesta' ayam goreng malam sebelumnya. Ia segera membangunkan Kyunghee dan Hyunseo–yang juga ada jadwal ujian—lalu pamit dan menarik Hayeon untuk kembali ke kamar mereka sendiri. Ia tergopoh-gopoh mandi dan menyiapkan sarapan seadanya, sementara Hayeon yang masih mengantuk (dan sedang bolos sekolah) menggelosor seenaknya ke kasur kakaknya.

"Ya, Hayeon-ah, kau bantu aku goreng telurnya, kek! Aku hampir terlambat, nih!" ucap Haneul yang dengan terburu-buru memecahkan dua telur sekaligus ke atas penggorengan. Ia kemudian mengolesi roti dengan mentega, mengeluarkan selada serta keju, dan menata isian di atas roti. Di latar belakang, ponselnya berdering terus-menerus, membuatnya deg-degan. Itu pasti Guru Cheon yang menghubunginya!

Mendengar keluhan sang kakak, Hayeon mengerang saja, tidak menunjukkan tanda-tanda akan bangkit dari kasur. "Kalau kau memang buru-buru, ya tidak usah sarapan saja. Langsunglah berangkat."

"Inginku begitu, tapi kau ada di sini. Sarapan pakai apa kau kalau aku tidak masak?"

"Aku kan bisa beli makanan di luar ...."

"Habis uang sakumu kalau dipakai jajan terus. Cepat bangun! Oh, ambilkan sisir dan ponselku, dong!" Haneul membalik telur di penggorengan. Dengan ogah-ogahan, Hayeon beringsut dari kasur dan meraih ponsel Haneul, tetapi begitu melihat nama yang tertera di ponsel, ia menelungkupkan kembali ponsel itu ke atas meja. Ia hanya mengangsurkan sisir pada Haneul yang baru saja mengangkat telur dari wajan.

"Mana ponsel–"

"Eomma yang menelepon," potong Hayeon, bergumam. "Tidak usah diangkat."

Tepat setelah Hayeon selesai bicara, ponsel Haneul berhenti berdering.

"Hah? Eomma? Tentu saja aku harus angkat!" Semua panggilan dari rumah memang berarti bagi Haneul si perantau, bahkan ketika sedang dikejar waktu begini. Sambil menyisir rambut, ia melangkah lebar-lebar menuju nakas. Hayeon hendak mencegahnya mengangkat telepon, tetapi terlambat; Haneul sudah menggeser layar dan mengatur panggilan ke mode loudspeaker.

"Eomma!" sapa Haneul riang, lantang, sambil berdandan.

["Haneul-ah, Hayeon ada di sana, kan?"]

Pertanyaan ini diajukan tanpa tedeng aling-aling. Hati Haneul nyeri sedikit; ia ingin ditanya kabar dulu atau setidaknya disapa balik dengan keriangan yang sama. Namun, Haneul segera menguasai diri, memaklumi ibunya yang mungkin panik karena Hayeon tidak bisa dihubungi.

"Ya, Hayeon ada di sini," jawab Haneul, membelalakkan mata Hayeon. "Eomma tenang saja, dia mau lanjut molor di kamarku!"

"Eonni!" desis Hayeon dengan kening berkerut. "Kan sudah kubilang untuk rahasiakan aku ada di mana?"

["Astaga, bocah itu–"] ibu Haneul terdengar menghela napas dalam, lalu– ["PULANG SEKARANG ATAU KUPUKUL BOKONGMU, KIM HAYEON! Jangan recoki kakakmu yang sedang sibuk sekolah!"]

Haneul masih tertawa meskipun sudah sering mendengar bentakan dahsyat ibunya pada Hayeon yang kabur. Hayeon sendiri merespons dengan sama ganasnya sebelum merebut ponsel Haneul di meja.

"TIDAK MAU!"

Sambungan diputus dan Hayeon melemparkan ponsel ke atas kasur. Jantung Haneul seakan melompat; dia baru saja ganti ponsel. Menangis dia kalau ponsel itu sampai rusak! Ditinggalkannya BB cream sejenak sebelum mengecek ponselnya, lalu memicing pada Hayeon.

"Kau kenapa, sih? Kalau marah, lempar saja ponselmu sendiri! Lagian, kalau aku bilang kau tidak ada di sini, Eomma akan sangat khawatir!"

"Cuma itu cara agar Eomma menganggap serius permintaanku! Kalau kau memberitahunya di mana aku berada, rencanaku akan gagal!" Hayeon mengentak-entakkan kaki. "Sudahlah! Memang benar kata Kyunghee, aku harus kabur ke tempat yang jauh, yang tidak akan Eonni atau Eomma temukan!"

Haneul mendecakkan lidah, meneruskan berdandan. "Aku tak punya waktu untuk ini."

"Aku benar-benar akan pergi!"

Haneul tak lagi menanggapi Hayeon, sibuk sendiri karena dalam tujuh menit, ia sudah harus menemui Guru Cheon. Sementara itu, Hayeon masuk kamar mandi, mencuci muka, dan mengenakan tracksuit-nya. Barangnya masih berceceran di meja nakas dan tempat tidur, tetapi ia sudah menutup dan menyandang ransel. Hayeon pun keluar dan membanting pintu kamar.

Semula menganggap Hayeon cuma mengambek sebentar, Haneul mendadak teringat pesan yang Yushin kirim padanya. Barulah ia menyadari bahwa Hayeon benar-benar tidak boleh dibiarkan sendiri. Siapa tahu pihak yang mengincar sayap Baek Harin akan menemukannya di lingkungan Munkwang?

"Astaga."

Haneul memasukkan dua porsi roti isi yang belum tersentuh ke kotak makan dan memasukkan kotak itu ke tasnya. Ia berlari setelah mengunci pintu kamar; untung saja Hayeon masih terlihat olehnya.

"Hayeon-ah!"

Teriakan Haneul tidak membuat Hayeon berpaling, justru membuat gadis itu–yang semula cuma berjalan cepat–berlari seketika. Urung turun dengan lift, gadis yang rambutnya masih berantakan itu memilih tangga darurat. Haneul menyusulnya, tetapi begitu sampai di lantai satu, begitu banyak orang berlalu-lalang di koridor. Haneul sempat kehilangan jejak; begitu menemukan Hayeon kembali, Hayeon sudah mencapai pintu gerbang asrama sebelum berbelok ke kiri, menjauhi lingkungan akademi.

"Gawat!"

Haneul tidak lagi memedulikan kelasnya. Ia harus mencegah Hayeon meninggalkan akademi.

Biikjo yang mengincar sayap Baek Harin semuanya memiliki kekuatan yang mengerikan. Jangan sampai Hayeon tertangkap oleh mereka!

Haneul berlari keluar gerbang akademi dan langsung menengok ke kiri. Hayeon hampir menjadi titik nun di ujung lapang pandangnya, tetapi kebetulan, Haneul juga menemukan Yushin yang berjalan berlawanan arah. Hayeon yang tak fokus sebentar lagi pasti akan berpapasan–atau lebih buruk, bertabrakan–dengan pria tinggi besar itu.

"Yushin-ssi! Tolong! Hayeon!"

Pikiran Haneul yang kalang kabut membuatnya cuma bisa meneriakkan kata-kata ini di sela engahan dan derap sepatunya. Bagusnya, Yushin mengerti. Ia dengan cepat menemukan Hayeon dan menggenggam pergelangan tangan gadis itu.

"Lepaskan!" Hayeon mendesis, menggoyang-goyangkan tangannya agar bisa lepas, tetapi Yushin cuma meminta maaf.

"Kim Hayeon-ssi, kakak Anda sepertinya ingin bicara sesuatu."

"Tidak ada lagi yang harus kubicarakan dengannya! Aku tidak percaya pada Eonni!"

Haneul mendengar seruan Hayeon berhubung dia sudah cukup dekat. Meski sudah mengantisipasi kekesalan sang adik, dadanya tetap berdenyut nyeri.

"Hayeon-ssi." Suara Yushin menjadi lebih berat, menuntut. Ia menatap Hayeon dalam-dalam–dan gadis itu berhenti memberontak. Tangan Hayeon yang digenggam oleh Yushin gemetaran. "Haneul-ssi adalah kakak Anda, maka tolong hormatilah dia. Dengarkan dulu apa yang akan dikatakannya."

Yushin melepaskan tangan Hayeon begitu Hayeon mengucapkan 'baik' dengan lirih sekali. Gadis itu tidak lari lagi hingga Haneul berdiri tepat di hadapannya. Haneul sendiri terengah-engah, tetapi dia tidak bisa menunggu sampai napasnya teratur untuk meyakinkan Hayeon agar tidak pergi.

"Hayeon-ah, aku minta maaf," ucap Haneul tulus, tetapi terbata-bata. "Sungguh. Aku tidak bisa memilih antara kau dan Eomma. Aku ingin kalian sama-sama senang ...."

Hayeon bergeming.

"Dengar, walaupun aku tidak pernah suka kau kabur dari rumah, aku juga ingin kau bisa melanjutkan karier aktingmu." Haneul meraih lembut tangan adiknya–walaupun ia menjadi sedikit panik ketika tahu ponselnya bergetar tanpa henti (lagi) dalam tas. Bisa jadi Guru Cheon betulan yang sekarang menelepon. "Serius. Aku bisa carikan informasi jalur pendaftaran khusus jurusan akting di Munkwang lewat guruku. Aku juga diundang menyanyi ke komunitas seni para pebisnis; salah satu dari mereka mengelola sekolah seni, kok. Akan kucari informasi juga dari sana."

Mengangsurkan kotak bekal dan kunci asrama pada Hayeon, Haneul tersenyum membujuk. "Bakal sulit mengabarimu tentang informasi-informasi yang kudapatkan kalau kau menghilang, jadi jangan pergi jauh-jauh, ya? Kumohon ...."

Hayeon tidak langsung menanggapi. Haneul tidak mendesaknya bersegera walaupun ponselnya terus bergetar.

"Kau dari dulu bilang akan mencarikanku sekolah akting. Apa bedanya sekarang?" gerutu Hayeon.

"Bedanya, sekarang aku akan melaporkan setiap hari padamu segala informasi yang kudapat. Tagih saja kalau aku tidak lebih dulu memberitahumu." Haneul mengacungkan kelingkingnya. "Janji."

Haneul dan Hayeon tidak pernah membuat janji jari kelingking begitu beranjak remaja, menganggap itu kekanakan. Namun, gestur Haneul sekarang sangat tulus dan itu sepertinya berhasil membuat Hayeon percaya. Jemari tangan kanan Hayeon yang berada di sisi paha bergerak-gerak kecil gelisah sebelum terangkat; jari kelingkingnya akhirnya bertaut dengan Haneul. Ia lantas menerima kotak bekal dan kunci asrama dari Haneul.

"Kau tidak boleh melanggar janji, Eonni," tuntut Hayeon.

"Ya, asal kau juga janji padaku," Haneul melirik Yushin sekilas, "untuk makan roti isimu dan kembali ke kamarku untuk mandi. Setelah itu–Yushin-ssi, saya boleh menitipkan Hayeon sebentar, kan? Guru Cheon menunggu untuk sesi latihan khusus dan saya sudah terlambat ...."

Hayeon melotot, sementara Yushin terkekeh.

"Saya akan berusaha sebaik-baiknya menjaga adik Anda."

"Eonni!" seru Hayeon. "Kau tidak sungguhan menitipkan aku pada orang ini–"

"Aku sudah ditelepon Guru Cheon!" sahut Haneul, mengeluarkan ponselnya dan berlari balik ke akademi. "Sampai nanti, Hayeon-ah! Baik-baik sama Yushin-ssi!"

Haneul tidak berpaling sekalipun Hayeon terus memanggil-manggilnya. Alih-alih, ia mengangkat panggilan masuk yang persisten itu. Sesuai dugaannya, Guru Cheon yang menelepon.

"Saya benar-benar minta maaf, Ssaem! Terjadi sesuatu yang tidak terduga dan saya–apa?" Lari Haneul melambat begitu melewati gerbang akademi. Ia akhirnya berjalan ke arah jurusan musik dengan gontai, kehabisan tenaga, juga merasa usahanya tepat waktu sia-sia saja.

"Latihannya ditunda pukul sembilan? Baik, berarti saya baru bisa ke ruang instrumen 1 setelah kelas Anda? Baik. Baik, terima kasih banyak, Ssaem. Sekali lagi maafkan saya membuang-buang waktu Anda ...." []

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top