18

"Seperti Ayahanda lihat, separuh lebih wilayah kerajaan Gaya telah diduduki oleh Tang Cina. Titik-titik pemerintahan yang cukup vital pun telah mereka kuasai. Ayahanda, kita tidak bisa membiarkan ini terus-menerus terjadi atau Tang Cina akan semakin banyak mengambil daerah kita."

"Kita sudah menempatkan pasukan di sana. Setidaknya, kewajiban kita sebagai negara induk sudah terpenuhi; yang bisa kita lakukan hanya meredam para Sayap Kelabu dengan cepat agar bisa segera memukul mundur pasukan Tang Cina."

"Itu pulalah mengapa kita memusatkan kekuatan di Seorabeol, Yushin. Jika kita bisa bekerja lebih cepat, maka kita akan punya cukup waktu untuk menyerbu balik Tang."

"Sekali lagi mohon maaf jika terdapat kekeliruan dalam pandangan saya, Ayahanda, Hyeongnim. Menurut saya, kita tidak bisa memilih untuk menyelesaikan satu dari dua masalah ini. Kaum Sayap Kelabu memang telah mengancam keamanan negeri, tetapi bukankah Tang Cina juga melakukan hal yang sama terhadap Gaya? Mengapa memperlakukan keduanya berbeda?"

"Ini masalah prioritas saja. Kau seharusnya sudah mengerti itu, Yushin."

"Prioritas hanya berlaku jika kekuatan yang kita miliki terbatas, Ayahanda. Saya telah menyampaikan rencana ini sebelumnya, yang telah saya susun dan tinjau bersama para panglima, dan kami pikir pemecahan kekuatan itu tidak akan mengurangi peluang kita menang terhadap kaum Sayap Kelabu.

"Ayahanda, Hyeongnim, saya mohon kepada Anda berdua. Pangeran Youngseok telah mengirimkan begitu banyak surat permohonan bantuan kepada saya. Keadaan di sana terus memburuk sehingga ia menjadi semakin putus asa. Rakyat Gaya adalah rakyat kita juga, bukan? Kita harus menolong mereka segera ...."

"Ini urusan serius, Yushin. Jangan biarkan rasa iba kepada sahabat mengaburkan penilaianmu. Belajarlah untuk mengendalikan perasaanmu."

"... Maaf, Hyeongnim, tetapi–"

"Cukup, aku mengerti. Kita akan melancarkan serangan balasan dan mempertahankan Gaya yang tersisa, tetapi kekuatan yang lebih besar harus tetap terpusat di Seorabeol. Aku akan menjalankan rencanamu dengan sedikit perubahan, Yushin.

"Jinhyung, bawa pasukanmu dan pergilah ke Gaya."

"Apa?"

"Ayahanda, apakah Ayahanda bersungguh-sungguh? T-Terima kasih banyak!"

***

Taman belakang Paviliun Sinwolseong yang berada dalam istana Silla bersimbah cahaya. Bunga-bunga persik mekar mewangi di pohon masing-masing; warna merah jambunya seakan memancarkan cahaya sendiri. Cahaya lembut itu terpantul ke permukaan air yang jernih di bawah sebuah jembatan bata, penghubung taman dengan kompleks istana pangeran pertama Silla.

Namun, satu wajah yang dipantulkan danau di bawah jembatan tidak menampilkan ketenangan yang sama. Wajah pria muda yang biasanya menampilkan kedamaian di depan umum itu kini berkerut cemas. Sebelah sayap pria itu berwarna hitam kelam, seolah-olah dapat menyerap kelimpahan cahaya yang mengelilinginya. Auranya yang mencekam tak serasi dengan pemandangan indah di sekelilingnya; bahkan kasim dan dayang-dayang yang disiagakan untuk melayani segala kebutuhannya pun berjaga jauh darinya.

"Yang Mulia, saya–Kang Youngseok–datang menghadap ...."

Pria yang semula sendirian di atas jembatan didatangi seorang pria lain: Youngseok. Suara orang yang baru datang ini parau dan tersengal. Dengan mendengarnya saja, pria bersayap hitam tahu misi Youngseok gagal.

Youngseok berniat berlutut memberi hormat, tetapi ambruk karena luka-luka yang begitu parah di tubuhnya. Kalau bukan karena menyanggakan tubuh pada pedangnya, ia pasti sudah tersungkur di samping 'Yang Mulia'. Sebelah sayap ungu Youngseok juga koyak mengenaskan; darah dari sana menetes satu-satu ke jembatan bata.

Tahu-tahu, sebuah segel sihir–satu yang sama dengan yang Yushin retakkan di dunia ilusi–muncul kembali di depan mulut Youngseok. Segel itu masih sama tak utuhnya. Pemicu munculnya segel itu berasal dari segumpal kabut gelap di ujung telunjuk pria bersayap hitam. Telunjuk itu terarah ke mulut Youngseok–walaupun si empunya telunjuk masih belum berpaling dari jernihnya danau.

"Kau adalah pangeran Gaya meskipun kerajaanmu sudah mati," ucap pria bersayap hitam dengan dingin. "Karena itu, aku menganggap bahwa kekuatan ilusi serta ketahanan pikiranmu jauh melampaui orang Gaya lainnya. Tidak kusangka, kau dikalahkan semudah itu oleh Yushin."

"Beribu ampun, Yang Mulia. Tolong beri saya kesempatan sekali lagi," pinta Youngseok, gemetar. "Saya telah melakukan sebuah kesalahan fatal. Saya tidak mengira manusia itu–Kim Haneul–dapat menggunakan kekuatan biikjo Baek Harin dengan baik. Manusia itu ternyata telah terikat cukup kuat dengan Yushin ...."

"Meremehkan lawan adalah jalan menuju kekalahan, Youngseok. Aku mungkin akan memaafkanmu–"

Kata-kata pria bersayap hitam menyiratkan pengampunan. Mata Youngseok berbinar oleh harapan. Sayang sekali, terlalu cepat baginya menyimpulkan.

Sebelum Youngseok sempat berterima kasih, sebilah pedang telah menembus jantungnya. Milik siapa lagi jika bukan pria bersayap hitam?

"--tapi ini tentang Yushin, maka aku tidak akan berkompromi."

Dayang-dayang yang menyaksikan kejadian itu terenyak, menghela napas takut, menyumbat pekikan mereka dalam tenggorokan. Youngseok sendiri tumbang tanpa suara; tiada teriakan, tiada pula rintih memohon, tetapi matanya yang terbelalak sebelum ajal menceritakan semuanya. Pria bersayap hitam di hadapannya tidak menunjukkan penyesalan sama sekali ketika membunuhnya. Sementara itu, meskipun mungkin cuma ditujukan untuk menjebaknya, hingga batas tertentu Yushin jujur soal penyesalannya terhadap kehancuran Gaya.

Emblem perunggu bunga persik yang tergantung di tasel pedang Youngseok jatuh, lalu terbelah dua. Rupanya, itu bukan emblem perunggu asli, hanya tiruannya yang dibuat dari keramik berlapis cat.

Jadi, selama ini aku telah dibodohi–dan tidak menyadarinya sedikit pun?

Ternyata, saya telah memercayai orang yang salah, Yang Mulia Yushin .... Maafkan saya ....

Youngseok menitikkan air mata untuk terakhir kali sebelum memejam untuk selama-lamanya. Di penghujung hidupnya, ia mendengar gaung lemah suara Yushin sebelum diserang membabi buta dalam dunia ilusi.

"Memang salahku tak mampu membagi kekuatan untuk menjaga keutuhan Silla dari dua sisi–dan inilah penebusan dosaku untukmu, untuk orang-orangmu ...."

Sayap hitam yang semula hanya sebelah kini terkembang sepasang, bersamaan dengan menguarnya kabut gelap dari pedang di dada Youngseok. Sejenak, langit tak berawan yang menaungi area paviliun itu mengelam; sayap hitam benar-benar menyerap semua cahaya dan energi di sekelilingnya. Kabut hitam dari pedang juga terus meluas, menelan tubuh Youngseok dalam ketiadaan. Saat pria bersayap hitam menyimpan pedangnya, sayapnya ikut terlipat–dan Youngseok tidak ada di mana pun, seolah-olah tak pernah ada di sana.

"Itu sebenarnya bukan tindakan yang bijaksana, Yang Mulia."

Sayup-sayup, terdengar suara seorang wanita memasuki taman. Sepasang sayapnya–yang juga berwarna hitam–tampak aneh karena berumbai-rumbai di ujungnya seperti sulur beringin. Saat ia berjalan, rumbai-rumbai tersebut memanjang, mencekik satu demi satu dayang serta kasim yang dilewatinya, memingsankan mereka. Masing-masing sulur kemudian menusuk dahi para pelayan, menarik keluar cahaya tipis dari sana, sebelum kembali memendek mendekati sayap asalnya.

Pria bersayap hitam menoleh, tatapannya kosong. Ia lantas membungkuk, memberi hormat seadanya kepada perempuan bersayap rumbai.

"Nyonya Park."

Yang dipanggil balas membungkuk, tetapi sapaannya lebih ringan, ceria. "Mengapa Yang Mulia masih enggan memanggil saya 'Bibi'? Bagaimanapun, saya tetap adik dari mendiang ibu Yang Mulia. Saya bahkan masih menjaga Anda hingga saat ini seperti seorang ibu, tetapi Anda masih menjaga jarak."

Pria bersayap hitam tidak menjawab. Ia kembali memandangi danau, seolah-olah dia tak habis membunuh seseorang.

"Pangeran Youngseok adalah orang penting di Gaya," kata perempuan bersayap rumbai. "Biarpun tentu saja saya sudah menghapus ingatan semua pelayan barusan, menghilangnya Pangeran Youngseok dapat menimbulkan kecurigaan orang-orang Gaya."

"'Youngseok dibunuh oleh Yushin di Bumi.' Cerita karangan yang sederhana, tetapi orang-orang akan percaya. Saya kira Nyonya Park sudah terpikirkan gagasan tersebut lebih dahulu," tandas pria bersayap hitam. "Lagi pula, tanpa diserang Tang Cina, Gaya sudah ditakdirkan untuk hancur sendiri. Kekuatan ilusi mereka terus berkurang entah karena apa sehingga mereka akan berakhir menjadi biikjo biasa. Wilayah itu juga tandus dan tidak menghasilkan apa-apa; Ayahanda cukup bodoh menjadikan kerajaan itu vasal atas dasar rasa kasihan. Sama bodohnya dengan Yushin yang berkawan dengan Youngseok dan berusaha menyelamatkannya dahulu."

Pria bersayap hitam terbatuk beberapa kali hingga punggungnya melengkung. Ia kemudian meludahkan segumpal cairan hitam ke danau. Warnanya menyebar cepat, menelan cahaya yang dipantulkan danau itu sebelum hilang terlunturkan badan air. Sesak hebat membuat tubuh pria bersayap hitam merosot ke atas jembatan, tersengal-sengal kehabisan tenaga karena batuk-batuk hebat.

Wanita yang tadi mendatanginya segera bersimpuh, memeluknya dari samping, dan menusukkan sulur-sulur pada sayapnya dengan hati-hati ke sekujur tubuh pria bersayap hitam. Secara berangsur-angsur, sayap hitam yang warnanya memudar kembali menjadi kentara. Napas si pria juga berangsur teratur dan warna kulitnya cerah lagi, tanda bahwa serangan nyeri hebat yang membuatnya terbatuk tadi sudah mereda.

"Yang Mulia Jinhyung, tolong jangan biarkan emosi menguasai Anda–atau Anda akan kambuh." Wanita yang memeluk pria bersayap hitam terdengar seperti akan menangis. "Ayah Anda, Yushin, dan orang-orang yang telah berbuat seenaknya pada Anda atas nama Silla, satu demi satu akan kita balas perbuatannya. Saya tidak akan pernah meninggalkan Anda, sumpah demi mendiang kakak saya tercinta."

Ketika Jinhyung–si pria bersayap hitam–sudah lebih menguasai diri, ia menatap hampa danau, taman, istana, serta pelayan-pelayannya yang jatuh bergelimpangan di taman. Menumpukan tangannya ke pegangan di pinggir jembatan, ia berusaha berdiri sendiri tanpa dibantu Nyonya Park.

"Ya, saya percaya kepada Anda. Rasa sakit ini–saya akan buat Yushin merasakan yang sama." Bertukar peran, kini Jinhyung mengulurkan tangan pada Nyonya Park yang masih bersimpuh. Senyum Jinhyung terkembang, tulus dan damai, ketika Nyonya Park menyambut tangannya dan berdiri dengan bantuannya. "Terima kasih banyak. Tetaplah berada di sisi saya ... Bibi."

Nyonya Park yang terenyuh serta-merta merangkul Jinhyung–pangeran pertama Silla itu. Disisihkannya benteng gelar dan kedudukan yang terbentang di antara mereka.

"Oh, Anakku, Anakku ...." Nyonya Park mengelus kepala Jinhyung dengan lembut, memanggilnya tanpa sebutan 'Yang Mulia'--yang pasti akan membuatnya dihukum berat jika dilakukan di istana utama. Di Paviliun Sinwolseong, untungnya hanya ada dirinya dan sang pangeran. "Betapa malang, betapa malang dirimu. Aku akan selalu melindungimu ...."

Dari kejauhan, di sudut yang tersembunyi, seorang wanita muda dengan sayap hitam serupa Jinhyung menyaksikan semuanya. Ia menggigit bibir dan meremas pakaiannya di bagian dada. Segeralah ia berbalik meninggalkan tempat itu, tak sanggup lagi menyaksikan orang yang disayanginya hancur pelan-pelan oleh kegelapan.

Apakah tak ada yang bisa kulakukan agar Jinhyung berhenti mendengarkan perempuan itu?

***

"Kau tidak punya tekad kuat untuk kabur, Kim Hayeon. Sudah berkali-kali kau lari dari rumah, tetapi tujuanmu selalu sama. Orang tuamu sudah bisa membaca pola itu, maka mereka tidak akan menanggapi serius permintaanmu."

"Jadi, kau berpikir aku harusnya pergi ke tempat yang lebih jauh, asing, dan berbahaya? Dengan risiko orang tuaku tetap mengabaikan permohonanku? Tunggu dulu, memangnya yang punya badan ini siapa: aku atau kau, Yoon Kyunghee? Aku ini calon aktris masa depan, tidak boleh terjadi apa-apa pada tubuh ini, tahu."

Hyunseo yang menyaksikan percakapan teler antara Kyunghee dan Hayeon membulatkan bibir dan bertepuk tangan sunyi, sementara Haneul menangkup wajahnya frustrasi.

Mengapa kami bisa ada dalam situasi absurd ini?

Seperti yang Kyunghee katakan, Hayeon tak punya tempat untuk pergi di Seoul selain asrama kakaknya, maka gadis SMA itu selalu kabur ke tempat yang sama demi alasan keamanan di kota besar. Ia pergi ke asrama Munkwang bersama kakaknya dan Yushin menggunakan bus, tetapi mereka berdua turun duluan dibanding Yushin.

Saking seringnya Hayeon kabur ke asrama, ia juga jadi dekat dengan Kyunghee dan Hyunseo. Dua sahabat Haneul itu ternyata sudah terlalu sumpek mempersiapkan ujian sehingga berniat rehat sejenak dan mengajak Haneul minum, tetapi karena ada Hayeon yang di bawah umur, mereka berakhir cuma minum soda dan makan ayam goreng di kamar Kyunghee. Lebih lanjut, Kyunghee yang ingin mengetes kemampuan akting Hayeon menyuruhnya pura-pura mabuk saat minum soda–dan Kyunghee pun bicara sok teler untuk memancing kemampuan Hayeon. Tak disangka, Hayeon menjalankan peran itu dengan sangat baik meskipun mereka cuma main-main saja. Demikianlah situasi 'absurd' yang Haneul maksud.

"Hayeon ini dulunya aktris cilik, kan?" tanya Hyunseo sebagai konfirmasi. "Rasanya aku sering menonton drama di mana kau jadi pemeran pendukung. Masa itu tidak cukup buat meyakinkan orang tuamu?"

Hayeon (pura-pura) cegukan sebelum tersenyum miring, berdecak, dan menggeleng-geleng. Ia mengacungkan sloki yang baru diisi soda dengan tangan yang bergoyang ke arah Hyunseo.

"Masa jayaku dianggap sudah berlalu justru ketika aku sedang bersinar. Dunia ini memang kejam, Lee Hyunseo-yang. Orang-orang dewasa itu menguburku dalam bertumpuk-tumpuk buku karena mengira tak ada masa depan untuk karierku." Hayeon menandaskan isi slokinya, lalu mengeluarkan 'ah!' yang parau lagi puas sebelum setengah membanting slokinya ke meja. "Mereka salah besar, orang-orang sok tahu itu."

"Tidak baik mengatai Appa dan Eomma begitu. Ingatkah kau mengapa mereka menghentikanmu dari berakting?" Haneul menuding Hayeon dengan paha ayam yang tergigit sebagiannya. Mulut gadis itu masih penuh. "Waktu pekerjaanmu sedang ramai-ramainya, kau bisa sakit tifus dua kali dalam sebulan. Demam-demam juga kau masih syuting sambil pakai plester kompres. Gemuk sedikit, agensi langsung memintamu diet. Kau masih lima tahun waktu itu! Bagaimana Appa dan Eomma tidak mengamuk?" []

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top