16
"Saya janji akan menceritakan tentang apa yang terjadi di antara saya dan Pangeran Youngseok pada masa lalu–dalam perjalanan pulang," ujar Yushin sebelum bangkit dari duduknya. "Sangat disayangkan, hari ini Anda tidak dapat tampil, tapi–"
"Siapa yang memutuskan itu?"
Mengira bahwa Haneul akan membatalkan penampilannya dan pulang untuk istirahat, Yushin mengerjap bingung. "Nangja, Anda baru saja pingsan."
"Ya, dan saya sudah cukup beristirahat. Waktunya tampil sekarang." Haneul mengulurkan tangan. "Bantu saya berdiri? Atau saya tak bisa menyanyi untuk Anda."
Walaupun tak langsung menyambut uluran tangan Haneul, pada akhirnya Yushin menyerah. Ia menggenggam hati-hati tangan mungil Haneul dan menyangga punggung gadis itu, membantu Haneul berdiri.
"Setidaknya," kata Yushin, terdengar lega sekaligus geli dengan semangat Haneul, "tunggulah guru Anda mengambilkan minuman."
***
Audiens terkejut ketika seorang soprano yang pingsan saat gilirannya menyanyi tadi kembali ke panggung menjelang akhir acara. Meskipun masih pucat, kepercayaan dirinya terpancar kuat. Suaranya yang merdu bergema dari seluruh penjuru hall, bahkan merebut perhatian orang yang awalnya tak tertarik dengan penyanyi-penyanyi sebelumnya, seperti Sungjae. Namun, sebenarnya hanya satu orang yang gadis itu ingin rebut perhatiannya.
Sungjae menyadari bahwa Haneul sesekali menatap Yushin yang duduk di sebelahnya. Dia juga bisa melihat terkembangnya sayap Haneul ketika menyanyi dan sayap Yushin yang ikut terkembang karena terpicu pasangannya.
"Gadis itu hebat juga, masih bisa tampil setelah terjebak dalam ilusi orang Gaya." Sungjae melirik Yushin sekilas. "Kau saja hampir mati."
"'Hampir mati' itu sudah termasuk rencanaku untuk melengahkan musuh. Aku percaya Kim Haneul dapat menyelamatkanku, jadi seharusnya," Yushin tersenyum mengejek ke arah Sungjae, "kau tidak usah panik seperti tadi."
Beberapa saat lalu, smartwatch Sungjae–yang terpasang di pergelangan tangan Yushin–menunjukkan denyut nadi nol. Si empunya smartwatch tak langsung bereaksi, mengira sistem deteksi gawainya mengalami galat sementara. Masalahnya, Yushin lama-lama tak bernapas; denyut nadinya tak teraba di pergelangan tangan, tetapi masih ada di leher. Tubuh Yushin juga makin melemas, maka Sungjae–'dengan gemetaran', mengutip salah satu saksi–mencoba membangunkannya. Bukannya bangun, tubuh Yushin malah merosot dari kursi seolah benar-benar tak sadar, menghebohkan area penonton tempatnya duduk. Beruntung, sebelum ambulans dihubungi, Yushin membuka mata.
Mendengar ucapan Yushin, Sungjae mendengus, mulutnya terbuka tak percaya. Bangsat kecil ini sudah menggantung di ujung lidahnya, tetapi atmosfer yang diciptakan nyanyian Haneul terlalu syahdu hingga ia rela menunda umpatan.
"Orang Gaya mana yang menyerang Kim Haneul? Apakah potongan sayap Baek Harin muncul lagi dan memancing orang itu?"
"Pangeran Youngseok." Nama yang Yushin ucapkan ini sejenak mengalihkan Sungjae dari panggung. "Tidak ada potongan sayap baru; ia menginginkan potongan yang sudah menyatu dengan Kim Haneul."
"Kukira dia sudah kehilangan gelar bersama runtuhnya Gaya."
"Meskipun sebagian besar daerahnya sudah dikuasai Tang Cina, Gaya belum runtuh. Hyeongnim memerintahkan pengetatan keamanan di wilayah Gaya yang tersisa atas persetujuan Ayahanda. Hyeongnim melindungi daerah itu menggunakan namanya, tetapi Pangeran Youngseok malah menyalahgunakan kebaikannya demi merebut sayap Baek Harin ...."
"Mengapa kau begitu yakin ia telah menyalahgunakan kebaikan kakakmu?"
"Ia membawa emblem khusus yang tak sembarang orang bisa mendapatkannya dari Hyeongnim, mengatakan bahwa ia bebas menggunakan nama Hyeongnim jika itu untuk menangkapku." Tangan Yushin mengepal di atas sandaran tangan. "Pangeran Youngseok sangat menginginkan kekuatan Harin untuk mengembalikan kejayaan Gaya hingga tak ragu menggunakan cara kotor."
Namun, jika aku berhasil menyelamatkan Gaya lebih awal, Pangeran Youngseok tidak akan seputus asa itu untuk memulihkan kerajaannya ....
Yushin bersandar ke kursi, mengatur emosinya dengan bernapas dalam-dalam. Dadanya sempat berdenyut nyeri oleh rasa bersalah, tetapi dengan cepat pula menghilang; Caro nome Haneul seakan menyisip ke balik iga dan meluruhkan semua rasa sakitnya. Yushin memejam agak lama; ketika membuka mata, Haneul menatapnya dengan lembut, memancing senyumnya.
Terima kasih banyak, Haneul-nangja.
"Kau terlalu cepat menyimpulkan tidak terlibatnya Jinhyung dalam hal ini."
Yushin memicing. "Im Sungjae, apa kau menuduh Jin-hyeongnim ingin merebut sayap Baek Harin?"
Yang ditanya mengedikkan bahu. "Youngseok bisa saja cuma berbohong buat memanipulasi pikiranmu, tetapi kalau dia benar, itu berarti Jinhyung menghendaki penangkapanmu dan sayap Baek Harin. Masalahnya, Youngseok dan dua musuhmu sebelumnya tidak mengikuti alur penangkapan formal istana."
Haneul mengakhiri Caro nome-nya dengan brilian. Orang-orang bertepuk tangan, tak terkecuali Sungjae, tetapi tidak Yushin.
"Jin-hyeongnim tidak terlibat dalam penyerangan-penyerangan ini." Yushin bersikeras.
"Terserah kalau kau tak percaya," ucap Sungjae datar, masih bertepuk tangan dengan mata terarah ke panggung. "Aku tidak tahu siapa dua orang yang sebelumnya mengejar sayap Baek Harin, tetapi taruhan, mereka juga orang-orang terdekat Jinhyung. Kalau aku benar, maka mungkin Jinhyung bergerak sendiri di luar hukum Silla."
"Cukup," potong Yushin geram. "Kau tidak mengenal Hyeongnim. Jangan bicara apa pun lagi tentangnya. Bahkan mulut hinamu itu tidak berhak menyebut namanya."
Sungjae sedikit kaget. Ia dan Yushin biasa saling mencemooh, tetapi ada yang berbeda dengan tajamnya ucapan Yushin kali ini. Yushin tak pernah betul-betul menyerangnya, bahkan saat mereka masih menjadi lawan semasa Pemberontakan Sayap Kelabu. Jadi, ketika Yushin betul-betul menyerangnya, ia berhenti bertepuk tangan dan tanpa sepatah kata beranjak dari bangku penonton.
Sementara itu, Yushin mendadak merasa bersalah, tetapi menolak untuk mengalah. Sungjae benar soal Hwang Changjun dan Lim Yunhyeong yang merupakan orang-orang terdekat Jinhyung. Apakah sang dokter juga benar soal keterlibatan Jinhyung di balik layar?
***
"Aigoo, anak ini ternyata sudah pacaran di belakangku?" tanya Guru Cheon dengan agak terlalu keras setelah membaca pesan di ponsel Haneul, membuat gadis itu segera menyembunyikan ponselnya. Hari sudah sore, konser sudah selesai, dan keduanya sedang menyusuri halaman Seoul Arts Center. Aslinya, Guru Cheon akan mengajak Haneul belok ke parkiran agar mereka bisa pulang dengan mobilnya, tetapi rupanya, Haneul memiliki rencana lain.
"Pantaslah kau semakin menghayati lagu-lagu cintamu," lanjut Guru Cheon. "Sudah waktunya kau berpindah pada pemuda itu dan melupakan yang lama, bukan?"
"Ssaem! Saya sudah melupakan–orang itu, jadi mengapa diingatkan lagi?"
Guru Cheon menertawakan muka Haneul yang semerah tomat. "Aku mengerti, aku mengerti." Sang guru kemudian mengalihkan pandang ke satu arah dan tersenyum lebih jahil lagi. "Ah, dia betulan sudah menunggu di depan gedung. Selamat berkencan!"
Setelah menepuk bahu Haneul, Guru Cheon pun berlalu, meninggalkan anak muridnya yang jengah sekaligus geli dengan sikapnya. Namun, tatapan Haneul serta-merta melembut ketika mendekati Yushin yang baru saja menyimpan ponsel dalam saku celana.
"Anda tidak bersama Dokter Im?" tanya Haneul basa-basi. Anehnya, cahaya di mata Yushin meredup ketika nama Sungjae disebut. Haneul juga merasakan denyut nyeri yang samar dalam dadanya. Denyut itu mirip dengan yang dirasakannya dalam dunia ilusi Youngseok.
Ini perasaan bersalah Yushin-ssi. Apa yang terjadi antara dia dan Dokter Im?
"Dia sudah pulang lebih dulu," ucap Yushin. "Nah, saya datang untuk memenuhi janji. Di mana kita bisa bicara?"
Haneul sudah mempersiapkan ini dan tersenyum riang. "Saya akan memperkenalkan sesuatu pada Anda, yang pastinya tidak ada di Silla. Mari!"
***
Haneul melangkah ringan memasuki pintu sebuah swalayan dekat Seoul Arts Center, diikuti Yushin yang masih menebak-nebak apa yang sebenarnya Haneul ingin tunjukkan.
"Yushin-ssi," tanpa menoleh kanan-kiri, Haneul berjalan ke rak makanan dan minuman instan, "Anda sudah pernah mencoba 'memasak' di swalayan?"
"Belum. Kita bisa melakukan itu?" Yushin mengedarkan pandang ragu. "Saya pikir kita hanya perlu mengambil dan membayar barangnya?"
"Inilah istimewanya swalayan. Mereka punya lebih banyak pilihan menu dari restoran, sama saja enaknya, tetapi lebih murah dan lebih bebas meraciknya," kata Haneul, bangga dengan pengetahuan yang diperolehnya dari bertahan hidup sebagai anak rantau. "Yushin-ssi pasti belum makan siang, kan?"
"Benar."
"Nah, mari, mari!" Setelah mengambil keranjang belanja, Haneul berjingkat ke sisi microwave. Di dekat situ, ada rak pendingin dengan berbagai makanan yang siap dihangatkan. "Satu nasi kepal untuk saya, lalu ... Yushin-ssi, apa nasi kotak ini oke?"
Yushin mengiakan, masih bingung. "Apa Nangja tidak ingin makan lebih banyak?"
"Saya baik. Sebetulnya, saya lebih merasa haus daripada lapar." Haneul mencemplungkan barang-barang tadi ke dalam keranjang. "Sekarang, bagian kesukaan saya!"
Membuka kulkas, Haneul mengambil cup plastik berisi es batu, lalu beralih ke rak atasnya yang tak dingin untuk mengambil pouch kopi dan susu pisang. "Yushin-ssi suka kopi? Cokelat? Mau coba latte pisang juga?"
"Apakah teh ada?" tanya Yushin, pusing dengan jajaran minuman warna-warni di hadapannya. Hanya teh dan alkohol yang Yushin cukup akrabi di dunia modern ini; ia pernah mencoba kopi yang ditawarkan Sungjae dan terbatuk-batuk saking pahitnya. Susu dan jus jeruk yang disajikan pelayan Sungjae saat sarapan tidak terlalu buruk, tetapi Yushin tak terlalu menyukainya juga. Alkohol, tentu saja, tidak untuk diminum di sore hari, apalagi ketika berjalan berdua saja dengan seorang gadis.
"Tentu saja ada!" Haneul berbalik ke dispenser dengan rak akrilik di atasnya. Di rak itu, berjajar rapi gelas-gelas kertas bertutup. "Di sebelah sini kalau Yushin-ssi mau yang hangat."
Yushin tidak berlama-lama menjatuhkan pilihan. Haneul mengerjap cepat membaca tulisan di permukaan gelas kertas kuning yang Yushin pilih.
"'Teh bunga krisan'. Wah, selera Anda benar-benar di luar dugaan."
Wajah heran Haneul membuat Yushin terkekeh. Hatinya terasa ringan. "Anda kira saya suka minuman apa?"
"Espresso, mungkin? Yang tanpa gula, tanpa susu begitu. Atau soda." Haneul mengangkat keranjang, mengisyaratkan Yushin untuk memasukkan tehnya. "Ternyata, Anda sukanya teh herbal. Saya teringat nenek saya di Suncheon."
Yushin tertawa lagi saat memasukkan gelas kertasnya. Panik, Haneul buru-buru meralat ucapannya. "M-Maksudnya bukan saya mengatai Anda seperti orang tua, lho ...."
"Tidak masalah. Im Sungjae–Dokter Im juga sering bilang begitu." Saat Yushin mengatakannya, sekali lagi dada Haneul berdenyut nyeri samar-samar, padahal Yushin masih tersenyum. Ini, sih, jelas ada apa-apa antara mereka berdua, duga Haneul. "Selanjutnya, apa yang harus kita lakukan?"
Haneul membawa semua belanjaan ke kasir, tetapi Yushin lebih cepat mengangsurkan kartu debit begitu kasir menyebutkan total belanjaan. Terngangalah Haneul dibuatnya.
"Tapi, saya mau mentraktir Anda untuk merayakan penampilan saya!"
"Apa bedanya jika saya yang membayar? Perayaannya toh sama saja," kata Yushin sembari menerima kantong belanja dari kasir. "Anda bilang kita bisa memasak di sini."
"Benar juga." Seperti lupa kekesalannya, Haneul kembali ke pojok microwave dan dispenser air panas. "Nah, mari kita hangatkan nasi yang dibeli tadi di sini."
Haneul membuka pintu microwave. Atas instruksinya, Yushin meletakkan nasi kepal serta nasi kotak ke dalam microwave. Yushin memperhatikan dengan saksama selagi Haneul memencet beberapa tombol di microwave danmenjelaskan fungsinya. Haneul juga mengajari Yushin menyeduh teh dan menunjukkan di mana pria itu bisa membuang sampah setelah semuanya selesai. Setelah itu, dengan berseri-seri, Haneul memamerkan keahliannya meracik latte pisang–yang sebenarnya cukup mudah. Gadis itu menuangkan seluruh isi kopi pouch serta setengah botol susu pisang, mengaduknya sedikit, dan minum dari sedotan.
"Mm! Sayang sekali Yushin-ssi tidak memilih minuman dingin. Lihat warna yang cantik ini! Minuman kafe sebenarnya sama saja dengan ini, cuma lebih mahal." Baru mau membanggakan lebih lanjut minuman swalayan racikannya, Haneul disela oleh microwave yang berbunyi. "Ah, makanan kita sudah hangat!"
Yushin membulatkan bibir saat menerima nasi kotaknya yang hangat. Ia juga menatap kagum pada gelas tehnya yang beruap. Haneul tak bisa berpaling dari wajah itu, yang selalu menampilkan keheranan setiap kali ditunjukkan cara kerja dunia modern.
Bagaimana aku bisa tidak memercayai wajah polosnya itu? Haneul membatin sambil mengupas bungkus nasi kepalnya.
"Rasanya seperti makan masakan yang baru matang. Hebat sekali," puji Yushin.
"Benar, kan? Saya lebih suka masak sendiri, tetapi kalau benar-benar kelelahan habis kerja paruh waktu atau mengambil kelas malam, saya akan mampir makan di swalayan. Mereka menyediakan tempat duduk juga, jadi bisa makan dan mengobrol dengan nyaman."
Haneul memberi penekanan pada 'mengobrol' sebagai isyarat agar Yushin ingat lagi tujuan mereka bertemu.
"Saya tidak bisa memulai jika Anda tidak bertanya lebih dahulu."
Seperti biasa, sense-nya sangat tajam! Haneul memuji dalam hati. Tidak membuang waktu, Haneul segera bergeser mendekati Yushin.
"Yang saya pahami, Pangeran Youngseok berasal dari kerajaan yang sudah runtuh, bukan? Apa hubungannya kerajaan itu dengan Silla, juga apa hubungan kalian? Dia juga menyebutkan bahwa Anda memiliki kekuatan yang cukup besar untuk menyelamatkan kerajaannya. Siapa Anda hingga memiliki kekuatan sebesar itu dan mengapa Anda seakan bertanggung jawab untuk menyelamatkan sebuah kerajaan?"
"Banyak sekali pertanyaan Anda. Saya mungkin melewatkan sesuatu; tolong ingatkan saja nanti." Yushin memulai ceritanya. "Pangeran Youngseok adalah pangeran terakhir dari Kerajaan Gaya, yang wilayahnya berada di bawah kekuasaan Silla sejak dua puluh tahun silam. Kerajaan itu berada di perbatasan tenggara Silla, dekat sekali dengan Kerajaan Tang Cina."
Haneul manggut-manggut. Ia tidak seberapa ingat pelajaran sejarah semasa SMA dulu, maka ia tidak tahu apakah kondisi kerajaan biikjo di langit sana persis dengan versi daratannya. Namun, nama-nama kerajaan yang Yushin sebutkan mirip dengan yang Haneul kenal di buku teks.
Mungkin itulah mengapa Kang Youngseok bilang aku 'cukup berpengetahuan', pikir Haneul.
"Saya dan Pangeran Youngseok tidak terlalu dekat, tetapi sering bertemu karena ia sering mengunjungi istana. Ia lebih dekat dengan pangeran Silla, Yang Mulia Jinhyung, sementara saya bertugas di militer. Saat perbatasan Gaya diserang oleh Tang Cina, ibukota Silla juga sedang bergejolak oleh pemberontakan kaum biikjo berdarah campuran." Yushin menyumpit nasi dan lauk, makan dengan perlahan. Ia baru meneruskan setelah menelan. "Saya ditugaskan memimpin pasukan kerajaan untuk meredam pemberontakan itu."
Haneul menarik napas dramatis. Kedua tangannya menutup mulut.
"Jadi, Anda seorang tentara kerajaan?" []
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top