Babak #6

PERSAHABATAN itu bukan sesuatu yang bisa kita buat, karena dia selalu datang dengan sendirinya.

Zar, buruan bangun. Kebo mulu, lo! Jogging brg gw sama Kanis, ayo!
Received
07:00:08
Today
From:
Arumanis

Yazar baru saja menyelesaikan ritual mandi paginya saat ia membuka ponsel dan mendapatkan pesan itu dari Harum.

Ini sudah hampir lima bulan lamanya setelah ia menemui Harum di jembatan waktu itu. Meski sampai sekarang ia tak menjawab ingin berteman atau tidak dengan Harum, pertemanan itu tetap saja terjalin. Faktanya, tak memerlukan ikrar untuk membuat sebuah persahabatan. Atau proposal untuk mengajukan pesetujuan memilikinya. Pada akhirnya, persahabatan itu hadir dengan sendirinya.

Sebenarnya Yazar tidak ingat kenapa ia dan Harum, tak lupa Kanis-—sahabat baik Harum—-jadi sering jalan bersama. Hanya saja, Harum selalu punya cara agar ia tidak bisa menolak setiap ajakan gadis ceria itu.

Gue udah bangun kali!
Males. Asma gue kumat entar.
sent
07:10:08
Today
To:
Arumanis

Sementara tangan kirinya sibuk mengeringkan rambutnya yang masih basah, tangan kanannya dengan lincah mengetik pesan balasan untuk Harum.

Yazar tidak suka olahraga. Olahraga jenis apa pun, Yazar tidak pernah menyukainya. Ia lebih senang menghabiskan waktu untuk menonton atau membaca komik saat libur seperti hari ini.

Tapi, gw sm Kanis udh di dpn rmh lo. Gmn dong?
Received
07:17:04
Today
From:
Arumanis

Tuh, kan, Harum selalu punya cara agar Yazar tak bisa menolak ajakannya. Tentu saja tidak ada alasan untuk Yazar tidak terkejut membaca pesan balasan itu. Terlebih saat …

“Yazaaar, ada temennya ini. Buruan turun!”

… teriakan Dina melayang, menembus pintu kamarnya yang masih tertutup, kemudian menembus indera pendengar. Yazar mulai sibuk sendiri di kamarnya. Ia belum siap untuk bertemu Harum dan juga Kanis. Kendati tubuhnya sudah dilingkupi wangi sabun dan sampo, tetapi penampilannya masih jauh dari kata rapi. Dan lagi, ini pertama kalinya ada teman perempuan yang datang ke rumah.

“Bodo, ah, bodo!” gumam Yazar seraya menggerakkan tungkainya menuju ke luar kamar. Ia menyerah. Tidak peduli dengan rambutnya yang masih basah dan juga penamilannya yang masih terlihat acak-acakan saat ini.

“Disisir dulu itu rambutnya. Temen-temennya cewek, loh. Cantik-cantik lagi,” komentar Dina saat melihat Yazar dengan tergesa menuruni undakan tangga.

“Bodo, ah, Bu. Rapi juga mereka enggak bakalan jatuh hati sama Yazar.” Kemudian Yazar berlalu menuju teras depan, tempat Harum dan Kanis menunggu.

Di tempatnya, Dina hanya tertawa kecil. Ini pertama kalinya Dina bertemu dengan teman perempuan Yazar. Anak keduanya itu memang tak seaktif Heris. Yazar jarang membawa teman-temannya ke rumah, sungguh lain dengan Heris yang kerap meramaikan rumah dengan membawa teman-teman berisiknya.

“Bilang, dong, kalau mau ke rumah.”

Baik Harum mau pun Kanis sontak saja mengalihkan pandangan ke arah sumber suara. Di ambang pintu sana, Yazar berdiri dengan raut wajah kesal yang tampak dibuat-buat.

“Harum, nih, Zar!” tuduh Kanis. menunjuk Harum yang kini tengah menatap Yazar dengan sangat serius.

Ada beberapa hal yang Harum sukai. Heris Fiansyah. Percy Jackson. Cokelat. Biskuit tabur chocochip. Dan, laki-laki berbaju putih dengan rambut basah yang belum disisir. Dan, dari semua penampilan Yazar yang pernah Harum lihat, ini adalah penampilan Yazar yang berhasil membuatnya terpukau dan mungkin …

“Woi!” Dengan agak keras, Kanis memukul pundak Harum hingga gadis itu tersentak.

… jatuh hati.

Buru-buru Harum mengalihkan pandangan ke arah lain. Pot-pot dengan geranium merah yang menggantung di pinggiran rumah, menjadi fokus iris kelamnya. “Suruh kita masuk, kek. Ngomel aja lo!” Lantas gadis itu berdecak, berusaha menelan bulat-bulat rasa gugupnya. Tiba-tiba saja, geranium itu tumbuh mekar juga di hatinya.

“Tadi pas nyokapnya Yazar nyuruh masuk, lo bilangnya tunggu di sini aja. Enggak konsisten banget sih, lo!” Kanis misuh-misuh. Pelan, ia menoyor kepala Harum.

“Tadi, kan, kiranya Yazar mau jogging juga. Tahunya dia belum siap. Yaudah, kita enggak jadi jogging aja ya, Nis?” Harum menoleh cepat ke arah Kanis. Kanis mengernyit. “Kita main aja di rumah Yazar. Boleh, ya, Zar?” Lantas melirik Yazar yang hanya bisa menaikkan sebelah alisnya.

“Yaudah, masuk!” putus Yazar. Dari pada dipaksa ikut jogging, terus asmanya kumat. Meski dokter bilang jogging tidak menjadi pemicu asma kambuh, malah baik untuk kesehatan, tetapi Yazar kan tidak suka olahraga.

Yes! Dalam hati Harum bersorak. Tiba-tiba saja ia ingin melihat Yazar lebih lama dengan baju putih dan rambut basahnya.

“Ke mana, Bu?”

Yazar, Harum, dan Kanis baru saja hendak masuk ke dalam rumah saat Dina dengan pakaian rapinya berjalan tergesa menghampiri Yazar. Wanita berparas cantik kendati sudah menjadi Ibu dari dua anak bujang itu tiba-tiba mengecup singkat kening Yazar. Hal yang biasa untuk Yazar, tetapi cukup mengejutkan untuk kedua gadis di dekatnya.

“Panggilan darurat. Ibu harus ke rumah sakit. Kamu baik-baik di rumah, ya?” Dina melirik Harum dan Kanis seraya melayangkan senyum ala bintang filmnya ke arah kedua gadis itu. “Tolong jagain Yazar, ya?”

“Ibu kira Yazar balita apa?” protes Yazar. Matanya mendelik tak suka.
Dina hanya meringis dengan wajah cueknya.

“Jangan sok dewasa mentang-mentang ada cewek cantik.” Heris dengan pakaian yang tak begitu rapi—-ia masih tidur saat Dina memaksanya bangun dan meminta antar ke rumah sakit—-bersandar di balik dinding dengan kedua tangan tenggelam di balik saku celananya. Ia menatap Harum dan Kanis silih ganti, sebelum menatap Yazar yang kini tengah merengut kesal.

“Rese!” dumel Yazar.

Heris terkekeh. “Ayo, Bu!” Ia memberikan lengannya untuk Dina gandeng, macam pangeran kepada putri. Sungguh hubungan Ibu dan anak yang harmonis.

Demi langit, bumi, dan matahari, Harum benar-benar menahan napas sejak matanya menangkap langsung sosok Heris Fiansyah. Bener-bener sepuluh kali lipat lebih ganteng kalau diliat langsung, pikir Harum heboh. Seketika ia lupa seberapa memesonanya Yazar tadi.

***

“Kanis, gigit tangan gue coba!” Harum menyodorkan tangannya tepat di depan muka Kanis, tepat setelah Yazar mempersilahkan mereka duduk di atas karpet berbulu tebal yang halus dan empuk.

Ruangan paling barat menjadi pilihan Yazar. Mereka bisa duduk santai sambil menonton TV, bermain PS, atau sekadar menikmati udara pagi dari balik jendela. Ruangan itu paling dekat dengan halaman belakang rumahnya yang luas.

“Lo sinting?” Kanis berdecak.

“Gigit aja.”

“Enggak mau. Gue lagi diet, nyaho.”

“Gue enggak nyuruh lo makan tangan gue, bego!” Harum bersungut-sungut. Ia kembali menarik tangannya bersamaan saat Yazar yang sudah menyisir rambutnya datang dengan beberapa toples camilan. Di belakangnya, Dijah membantu membawakan dua gelas air putih.

“Lo enggak lagi mimpi. Ngapain nyuruh orang gigit tangan lo?” tanya Yazar yang tadi sempat mendengar perdebatan Harum dan Kanis. Ia menyimpan stoples berisi keripik kentang dan donat kukis di atas meja berkaki pendek di sisi ruangan.

“Gue enggak percaya aja ketemu Heris Fiansyah tadi. Dia bilang gue cantik malah.”

“Tapi enggak usah nyuruh gue gigit tangan lo juga, kali. Lagian, ketahuan kalau orang macam lo itu dagingnya pahit.”

Bibir Harum refleks saja maju beberapa senti saat Kanis dengan tanpa perasaan mencibirnya. Dijah yang hendak kembali ke dapur sampai tertawa mendengar kata-kata itu.

“Gue becanda, enggak usah baper. Lo sahabat gue yang paling manis.” Cubitan gemas Kanis berikan tepat di pipi cabi Harum. Meski pujian di akhir kalimatnya tak terdengar tulus, tetapi itu berhasil membuat Harum berhenti merajuk.

“Jadi, sekarang kita mau ngapain, nih?”

Harum dan Kanis sontak menoleh ke arah Yazar. Kemudian kompak memutar bola mata, berpikir.

“Main monopoli gimana?” usul Yazar.

Mendengar usul itu, kontan Harum dan Kanis saling pandang.

“Lo mah emang ya, kuno banget jadi orang. Monopoli udah hampir punah tahu enggak, sih, lo?”

Yazar sudah tidak pernah tersinggung lagi dibilang orang kuno oleh Harum, omong-omong. “Bodo. Orang kuno itu jauh lebih hebat tahu enggak?”

“Masa?"

“Coba lo pikir. Orang zaman dulu, tuh, enggak pernah salut sama orang zaman sekarang. Tapi, orang zaman sekarang selalu salut sama orang-orang zaman dulu. Lagian percuma follower Instagram lo bejibun, tapi lo bahkan enggak tahu orang yang nyiptain Instagram siapa.”

Harum melotot, merasa tersinggung dengan ucapan Yazar. “Emang lo tahu siapa?”

“Tanya aja sama Mbah Google. Percuma ponsel lo android kalau cuma dipake buat ngepoin abang gue.” Yazar berdecak. Kanis tertawa terbahak melihat ekspresi cemberut Harum.

“Rum, Yazar emang masih pake Nokia jadul, terus dia enggak punya facebook, twitter, dan kawan-kawannya. Tapi, dia itu tetep aja masuk generasi melenial. Otak dia itu enggak sekuno manusia purba juga kali.” Kanis ikut nimbrung.

“Tahu, ah, nyebelin lo pada.”

“Jiah ... ngambek dia.

***

“Pencipta Instagram itu, Kevin Systrom sama Mike Krieger.”

“Lo, kok, tahu?”

“Gue ketemu di tukang cilok waktu itu. Terus kenalan, deh.”

“Yeee, enggak lucu!” Kendati begitu, tawa Harum mengudara di sepanjang jalan yang mereka lewati senja itu. Mereka sedang berada di perjalanan menuju rumah Harum saat ini, setelah berpisah dengan Kanis di pertigaan sebelumnya.

Setelah memikirkan kegiatan apa yang akan mereka lakukan, akhirnya ketiga anak SMP itu memutuskan untuk bermain Ludo. Dilanjut dengan memutar DVD dan menonton film. Pada akhirnya, Pan's Labyrint, film yang mereka putar, malah meninabobokan ketiganya hingga sore.

“Dihapalin, tuh. Jangan cuma hapal nama-nama idola aja. Hapalin juga siapa ilmuwan-ilmuwan zaman dulu, biar lo enggak nyepelein orang-orang kuno kayak gue,” nasihat Yazar saat mereka sama-sama berhenti di gerbang depan rumah Harum.
Harum mencebik. “Iya, gue hapalin.”

“Yaudah, sana masuk!”

“Lo pulang naik apa?” tanya Harum, ia belum ingin berpisah dengan Yazar kendati seharian ini mereka menghabiskan waktu bersama. Rasanya selalu nyaman saat dekat dengan laki-laki itu.

“Naik burok. Ya, naik angkotlah, Harum. Tadi, kan, gue ke sini juga pake angkot.”

“Lagian, di rumah lo ada banyak motor. Lo malah nganterin gue sama Kanis pake angkot. Dasar, kuno!”

“Kuno juga yang penting taat sama aturan. Gue enggak bisa berlaga sok nganterin cewek pake motor, tapi tahunya ditilang gara-gara enggak punya SIM.”

Harum mendelik. “Bisa aeee.”

“Yaudah, masuk sana. Udah mau malem ini.”

“Ngusir banget, sih, lo! Depan rumah gue juga.”

“Ih, bawel, lo!” Yazar memaksa tubuh Harum berbalik membelakanginya. Lantas mendorong pelan tubuh yang lebih kecil darinya itu memasuki gerbang rumah. “Jangan berbalik. Gue tungguin lo sampe masuk rumah.”

“Enggak usah, makasih. Pulang aja, sana!”

“Ngusir banget sih, lo!”

Harum tak berkomentar lagi. Tanpa berbalik seperti perintah Yazar, gadis berambut sepunggung itu berjalan menjauh.

Yazar diam di tempatnya, memastikan kalau Harum benar-benar menghilang di balik pintu rumah itu. Namun, selang beberapa menit, Yazar tak kunjung melihat gadis itu membuka pintu. Harum malam mematung di sana.

Kernyit bingung mulai melukis diri di kening Yazar saat tiba-tiba saja Harum berbalik dan kembali berlari ke arahnya.

“Gue enggak mau masuk.” Gadis itu memeluknya dengan erat. Yazar tahu Harum menangis. Dada tempat di mana wajah Harum terbenam saat ini, terasa basah olehnya.

Bersambung
Bandung, 03 April 2022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top