Babak #4
YAZAR melihat Heris sedang asyik memainkan ponsel saat ia keluar dari dalam kamar, hendak ke dapur untuk membawa air minum. Hal yang jarang melihat Kakak satu-satunya itu duduk santai seperti saat ini. Biasanya, sehabis pulang sekolah, laki-laki berparas tampan itu akan disibukkan dengan jadwal latihan basket dan sederet agenda pemotretan.
Melupakan niatnya untuk mengambil air minum, langkah Yazar berbelok ke ruang tengah, tempat Heris berada saat ini. Ia ingat ada hal penting yang harus dibahas dengan sang kakak.
“Lo tahu enggak, Bang?” Yazar mendudukkan dirinya di samping Heris.
“Apaan?” tanya Heris tanpa mengalihkan fokusnya, tahu siapa yang baru saja duduk di sampingnya bahkan tanpa harus menoleh. Tampaknya Heris sedang asyik berkirim pesan dengan seseorang.
“Gue dipukulin temen-temen lo lagi.”
Seperti menyimpan kekuatan magnet, kalimat Yazar seketika menarik perhatian Heris. Laki-laki penyuka basket itu menoleh dengan cepat ke arah adiknya. Dan, bola matanya refleks membulat begitu melihat ada warna biru keunguan di sekitar wajah Yazar.
“Apa yang mereka bilang?”
“Enggak ada. Mereka tahu-tahu nyeret gue masuk gang, terus mukulin gue.”
Heris menyimpan ponselnya asal di atas meja. Lantas ia menyentuh wajah Yazar, memastikan luka yang didapat adik kesayangannya itu tak parah. “Brengsek! Mereka it—”
“Gue enggak apa-apa, Bang. Tapi, yang jadi masalah bukan itu.” Yazar menjauhkan tangan Heris dari wajahnya.
Heris mengernyit.
Yazar mengubah posisinya, bersila di atas sofa dengan posisi menghadap ke arah Heris. Ditatapnya bola mata sewarna mata miliknya itu dengan serius. “Lo sering, kan, liat gue pas lagi kumat?” tanya Yazar membuat kedua alis tebal Heris saling bertemu.
Meski bingung, Heris mengangguk mengiyakan.
“Hm, gue pas lagi kumat—” Yazar menggeleng, mengoreksi kalimatnya. “—maksud gue, muka gue jelek enggak pas asma gue lagi kumat?”
Sebenarnya, Heris cukup bingung dengan pertanyaan konyol Yazar. Namun, iseng akhirnya ia menjawab, “Jelek banget!”
“Serius?”
“Iya. Lo jelek banget kalau lagi kumat.” Heris tertawa kecil melihat wajah lucu si Adik tatkala mendengar jawabannya.
“Ah … malu, kan, gue jadinya,” desis Yazar. Laki-laki penyuka film-film Jackie Chan itu melesakkan punggungnya lebih dalam ke sandaran sofa. Ingatannya kembali berputar ke kejadian beberapa jam yang lalu. Dua gadis cantik yang lupa ia tanyakan siapa namanya itu pasti melihat wajah jeleknya tadi.
“Kenapa emang?”
Yazar menggeleng. Dalam satu gerakan, ia bangkit dari duduknya.
”Gue dapet banyak cokelat dari fans. Kalau lo mau, tinggal ambil aja di laci meja belajar gue.”
“Hm ...” Lantas, Yazar kembali melangkahkan kakinya menuju dapur. Tak benar-benar peduli dengan cokelat-cokelat milik kakaknya.
Nyaris setiap hari Heris mendapat tumpukan cokelat yang seminggu kemudian selalu berakhir mengenaskan di tempat sampah. Lagi pula, baik Yazar mau pun Heris bukan chocolovers yang doyan memakan makanan manis itu. Memangnya siapa yang mau menghabiskan setumpuk cokelat di saat ibunya, yang selalu menjunjung tinggi kesehatan, mengatur segala jenis makanan yang harus dikonsumsi anak-anaknya? Jika tahu Heris menyimpan tumpukan cokelat, omelan panjang ibunya pasti akan berdendang sepanjang hari di telinga mereka.
“Bilang sama Abang lo, kalau punya nyali, gue tunggu di lapang basket alun-alun kota entar malam.”
Ingatan tentang seberapa buruknya ia saat asmanya kumat, seketika memudar ketika kata-kata itu terngiang kembali dalam kepalanya. Mendadak semuanya terasa begitu sulit untuk Yazar.
Bukan apa-apa, bukan Yazar tak ingin memberitahu Heris perihal ancaman yang ia terima. Pasalnya, dulu kejadian serupa pernah terjadi—ia dirundung dan disuruh menyampaikan pesan pada kakaknya—dan, Heris pulang dalam keadaan Babak belur saat itu. Yazar hanya tak ingin hal itu terjadi lagi. Jadi, memutuskan untuk tidak bilang apa-apa pada Heris, Yazar pikir adalah keputusan terbaik.
Yazar terhenyak. Getaran ponsel yang ia simpan di atas meja belajar mengusik lamunan. Segera mungkin ia meraih benda mungil itu guna melihat apa yang ada di balik layar sempitnya. Satu pesan dari nomor tak dikenal.
Hoi, Yazar Mahendra?
Received:
19:07:12
Today
From:
08561254XXX
Semula Yazar berpikir kalau itu pesan dari Mira, sahabat Heris yang memang sering iseng mengganggunya. Namun, begitu ingat kalau ia sudah menyimpan nomor Mira, dan juga ingat kalau tadi ia sempat memberikan nomor ponselnya pada seseorang, Yazar mulai ngeh pada akhirnya. Namun, bingung harus membalas apa, ponsel Nokia edisi tahun 2005 itu kembali bergetar.
Ini gw Harum, yg nolongin lo tadi. Tmnn sm gw,
mau g?
Received:
19:13:20
Today
From:
08561254XXX
Yazar spontan saja terkekeh membaca pesan itu. Bukankah gadis yang rupanya bernama Harum itu terlalu to the point dan blak-blakan? Kendati begitu, Yazar membalas pesan gadis itu.
Palingan lo mau temenan sama gue
gara-gara gue adiknya Heris Fiansyah.
Sent:
19:17:29
Today
To:
08561254XXX
Tahu j. Skrg kasih gw ID LINE abang lo, dong.
Received:
19:20:01
Today
From:
08561254XXX
Gue belum bilang mau temenan sama lo. Jadi,
harus ya gue kasih tahu?
Sent:
19:25:00
Today
To:
08561254XXX
Oya, gw lupa. Hp lo kan masih cinitnit. Palingan lo jg g tahu ID LINE abang lo. Lagian, lo jd org kuno bgt, tahu g? Zaman android juga.
Received:
19:27:09
Today
From:
08561254XXX
ID LINE lo apa?
Sent:
19:30:15
Today
From:
08561254XXX
Ish, serius lo nanyain ID LINE gw? Dari awal gw g percaya kalau lo g pnya Android.
Received:
19:35:25
Today
From:
08561254XXX
Kasih aja, ribet banget sih, lo!
Sent:
19:37:30 am
Today
To:
08561254XXX
arumanis16
Awas aja kalau lo macem-macem.
Received:
19:40:20 am
Today
From:
08561254XXX
Begitu balasan terakhir Harum diterima, Yazar buru-buru bangkit dan keluar dari kamarnya. Sedikit berlari menuruni undakan tangga, ia menghampiri Heris yang masih duduk anteng di tempat yang sama sejak Yazar meninggalkannya.
“Bang, pinjem hape lo bentar.” Dengan agak terengah, Yazar mengulurkan tangannya ke hadapan Heris. Heris menyatukan kedua alis tebalnya begitu Yazar berdiri di hadapannya. Meski bingung, ia menyerahkan ponselnya seraya berujar, “Enggak usah pake lari-larian bisa kali.”
Yazar tak merespons dan sibuk mengetik sesuatu di ponsel milik kakaknya itu.
*
Harum tengah menunggu balasan dari Yazar sembari memilah-milah lagu kesukaannya saat notifikasi LINE-nya berbunyi. Sigap, jari berkuku polosnya membuka notifikasi itu, dan bola matanya seketika melebar.
Heris Fiansyah added you as a friend
Ia bersorak kegirangan.
Baru saja Harum hendak men-screenshot notifikasi itu untuk ia pamerkan kepada Kanis dan teman-temannya yang lain, saat Yazar kembali mengiriminya pesan.
Abang gue udah add lo, tuh. Jadi, jangan sms gue lagi. Gue enggak mau jadi temen lo.
Received:
19:50:03 am
Today
From:
Yazar Mahendra
Harum kira, Yazar meminta ID LINE-nya untuk ia add sendiri, dan membuktikan kalau adik dari model terkenal itu memiliki smartphone juga. Memangnya, di zaman seperti sekarang ini, anak muda mana yang tidak memiliki smartphone? Terlebih itu Yazar yang termasuk jajaran anak orang kaya. Namun, ternyata tidak begitu. Yazar justru memberikan ID LINE-nya kepada Heris Fiansyah.
“Dia itu beneran enggak punya smartphone atau emang sok jual mahal, sih?” Harum memutar bola mata, sibuk menerka-nerka alasan sebenarnya.
“Ah, udahlah. Yang penting, kan, gue udah berteman sama Heris Fiansyah.”
Harum tersenyum lebar. Terus menatapi friend list-nya yang menampilkan nama Heris Fiansyah. Oh Tuhan, Harum merasa sangat beruntung. Entah kenapa ia merasa malam ini berkali-kali lipat lebih indah. Namun, itu sebelum terdengar suara deru mesin kendaraan di pekarangan rumah.
Melupakan niatnya untuk mengetik pesan kepada Heris Fiansyah, Harum meninggalkan ponselnya di atas tempat tidur untuk kemudian berjalan mendekati jendela. Ia menyibak pelan gorden ungu muda yang ada, dan hanya bisa menghela napas lelah melihat pemandangan di bawah halaman rumah sana. Rasanya malam indahnya telah berlalu secepat kilat.
Bersambung
Bandung, 25 Maret 2022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top