Babak #3
Tiga tahun sebelumnya...
”Gantengnya ...”
Jika saja dia bukan Harum, Kanis mungkin sudah memilih untuk melarikan diri dan pergi jauh-jauh dari gadis itu. Pasalnya, tak hanya berulang kali melafalkan kata bermakna pujian itu hingga Kanis bosan mendengarnya, gadis bernama lengkap Harum Areta itu juga mulai bersikap seperti orang tak waras.
Memangnya, orang waras mana yang mau menciumi layar ponsel di sepanjang jalan? Kanis bahkan hanya bisa tersenyum jengah saat menyadari kalau ia dan juga Harum kini menjadi fokus seluruh tatap orang-orang yang mereka lewati.
“Kenapa Heris Fiansyah ganteng banget, Ya Allah? Serius, Nis, gue pengen banget jadi pacarnya dia.” Harum kembali mengulir layar ponselnya. Sama sekali tak peduli dengan tatapan orang-orang di sekitarnya. Ia sibuk melihat-lihat Instagram Heris Fiansyah, model berwajah tampan yang juga siswa SMA Globantara, sekolah mewah yang letaknya tak jauh dari SMP tempat Harum dan Kanis bersekolah.
“Lo anak SMP, masih bau kunyit! Jangan mikir yang enggak-enggak bisa kali.” Kanis berdecak. “Lagian, Heris Fiansyah udah punya cewek. Namanya Kikan Carrissa, dia siswi paling cantik di SMA Hutama. Jadi, lo jangan kebanyakan mimpi.”
Tak bermaksud meruntuhkan rasa percaya diri sahabat baiknya. Kanis hanya ingin menyadarkan Harum kalau mengidolakan seseorang hingga sampai ke tahap berkhayal yang tidak pasti itu adalah sebuah kesia-siaan. Memangnya hidup ini sebuah drama picisan, apa? Gadis biasa yang berakhir bersama dengan seorang idola tampan dan menawan itu hanya ada dalam khayalan seorang penulis cerita fiksi.
Bukan merasa tersinggung dengan kalimat menusuk milik Kanis, Harum justru menodong Kanis dengan tatapan penuh curiga. “Lo kok tahu kalau Heris Fiansyah udah punya cewek? Lo nge-stalk dia juga, kan? Hayo, ngaku!”
“Ih, ogah! Apaan juga nge-stalk orang? Enggak penting banget tahu, enggak?” Kanis mendengkus, tak terima dengan tuduhan Harum. Ia mempercepat langkahnya begitu keluar dari gerbang sekolah.
“Terus?” Harum turut mempercepat langkahnya guna mensejajarkan diri dengan Kanis.
“Gue tahu dari anak-anak PMR tadi.”
Harum manggut-manggut, antara percaya dan tidak percaya. Ia ingin menggoda Kanis lebih jauh, tetapi postingan terbaru Heris Fiansyah di Instagram-nya seketika saja mengalihkan seluruh perhatiannya.
“Liat, deh, Nis! Gue baru tahu kalau Heris Fiansyah punya adek.”
Heris Fiansyah
❤697 likes
HerisFiansyah Me with my brother, Yazar Mahendra Fiansyah. Baru kali ini doi mau foto bareng abangnya.
View All 108 comments...
Mesa98 I love you so much, Heris.
Bara11 sumpah, cakepan adeknya
Miraaa kenalin sama gue, dong, Ris adeknya ...
”Wah, adeknya cakep juga ya? Tapi, masih cakepan ka—"
”Kayaknya itu ada yang berantem deh, Rum!” Kanis memotong cepat kalimat Harum saat netranya menangkap sekumpulan siswa SMA di ujung gang yang baru saja mereka lewati.
Melupakan ponsel dan Heris Fiansyah, Harum lantas memutar bola mata, menatap objek yang Kanis tunjukkan. Saat itu juga, bola mata sewarna gelap malamnya melebar sempurna. “Kanis! Mereka ngeroyok orang!” Harum yakin ada siswa berseragam SMP sepertinya yang jadi objek kekerasan di ujung gang sana. Dia terduduk lemas di bawah kaki anak-anak berseragam putih abu-abu.
“Ayo, kita tolongin!"
“Kita lapor polisi aja! Mereka cowok semua, Kanis! Kita—”
“Ayo!”
Belum sempat Harum menyelesaikan kalimatnya, tahu-tahu tangan Kanis sudah menariknya lebih dekat ke tempat kejadian perkara. Kanis mungkin memang jago ilmu beladiri. Namun, untuk melawan anak laki-laki dengan postur tubuh lebih besar dan tinggi, tentu saja membuat Harum tak yakin dengan keputusan sahabat baiknya itu.
“Anak SMA, kok, beraninya sama anak SMP? Pengecut banget, sih, lo semua!” Kanis berseru, mengundang tolehan dari ketiga orang pelaku kekerasan di hadapannya. Meski gentar—karena ia sadar siapa lawannya saat ini—Kanis tetap mencoba untuk bersikap tegas dan berani.
Hal terpenting untuk mengalahkan seseorang adalah, menekan rasa takut dan tetap bersikap seolah kita yang paling kuat.
Sementara Kanis berdiri menantang orang-orang yang lebih dewasa darinya, Harum terus berpikir bagaimana cara agar tak terjadi perkelahian antara Kanis dan juga anak-anak SMA itu. Ia menggigit kuku jarinya gugup, terus berpikir seraya memutar bola matanya ke berbagai arah.
Harum benar-benar tak bisa berpikir selain ...
“Kakak-kakak, tolong maafin temen aku ini, ya? Dia ini, selain jago karate, ayahnya juga polisi. Jadi, kalau kalian masih ngotot tetep di sini dan ngelawan kami, jangan salahkan kami berdua kalau kalian Babak belur terus masuk penjara.”
... percaya pada kemampuan beladiri Kanis adalah pilihan terakhir. Dan, sedikit berbohong tentang profesi ayah Kanis tentu saja.
Ketiga anak SMA itu mendecih, menggeram marah.
Sementara Kanis mulai mengambil posisi kuda-kuda, Harum memilih untuk menghampiri sosok yang saat ini tengah terduduk lemas di pojok gang. Wajahnya tak begitu Babak belur, hanya beberapa memar di sudut bibir dan matanya. Diduga kalau brandal-brandal itu belum lama mengeroyoknya. Namun, yang parah bukan itu melainkan ...
“Da-hh-da … gu-e. To-long! Gue ga-bi-hh-sa nap...”
“Lo enggak bisa napas? Lo asma?!” Harum memekik panik. Ia melihat laki-laki dengan seragam putih biru sepertinya itu mencengkeram dadanya dengan kuat. Melihat bagaimana pucat dan kesakitannya sosok itu tentu membuat kepanikan spontan mencuat dalam diri Harum.
Dan, kepanikan Harum mau tidak mau membuat seluruh mata kini beralih ke arahnya. Melihat seberapa buruknya kondisi orang yang telah mereka keroyok, ketiga orang itu langsung berlari meninggalkan tempatnya. Jelas kalau mereka takut dan tak ingin bertanggung jawab dengan semua hal buruk yang akan terjadi selanjutnya.
Kanis hanya bisa mendecih tak suka melihat kepergian mereka. Walau ia cukup bersyukur dengan hal itu.
Melihat Harum tak bisa menangani laki-laki itu dengan benar, Kanis langsung mengambil alih posisi Harum. “Harum, lo jangan panik! Bantu gue cari inhaler di dalam tasnya,” titahnya seraya merangkul si penderita asma itu guna menegakkan tubuhnya.
Kanis sering berkumpul dengan anak-anak PMR di sekolah, dan ia juga pernah mengikuti simulasi pertolongan pertama penderita asma saat Pramuka di SD dulu. Sedikitnya ia tahu bagaimana cara menangani situasi mendesak seperti ini.
“Lo tenang, oke! Bernapas pelan-pelan dan ikutin gue.” Kanis menarik dan mengembuskan napasnya perlahan, memberi isyarat agar laki-laki di hadapannya itu turut mengikuti caranya bernapas. “Enggak apa-apa, lo tenang. Lo bakal baik-baik aja,” lanjutnya.
“Ini inhaler-nya!” Harum bersorak setelah beberapa saat mengogbrak-abrik Palazzo hitam milik laki-laki itu. Ia segera menyodorkan inhaler itu kepada Kanis.
Kanis dengan segera membantu si penderita menggunakan inhaler-nya. Dan, mereka mulai bernapas lega saat melihat keadaan laki-laki berambut hitam legam itu mulai membaik.
“Makasih.” Yazar—si penderita asma yang juga korban pengeroyokan barusan—berujar tulus setelah beberapa menit kemudian kondisinya membaik. Ia membereskan semua isi tas yang sempat Harum keluarkan sebelum menatap kedua gadis di hadapannya dengan canggung. Kejadian barusan sungguh memalukan.
“Sebenernya ada apa?” Kanis bertanya penasaran sementara Harum lebih asyik memperhatikan laki-laki itu dengan serius. Merasa pernah melihatnya, tetapi lupa di mana.
“Enggak tahu. Mungkin gara-gara gue adik—"
“Heris Fiansyah! Lo adik Heris Fiansyah, kan?” Harum bertanya heboh begitu ingatannya mampir ke unggahan terakhir Heris Fiansyah. Ia mengeluarkan ponselnya dengan segera guna memastikan kalau orang yang saat ini berada di hadapannya itu orang yang sama dengan orang yang ada di Instagram Heris Fiansyah.
“Benar! Lo adiknya Heris Fiansyah, Yazar Mahendra Fiansyah, kan?” Harum memekik senang saat yakin kalau orang yang ditolongnya itu benar-benar mirip dengan orang yang ada di dalam foto.
Sementara Yazar mengangguk ragu, Kanis refleks mengernyit melihat tingkah Harum. Gadis berambut sebahu itu tampak seperti baru saja mendapat hadiah undian dari tutup botol minuman.
“Gue minta pin lo, dong.”
Jujur, Kanis ingin saja menimpuk Harum dengan apa pun yang ada di sekitarnya saat ini. Di saat-saat seperti ini, Kanis kadang tak ingin mengakui Harum sebagai temannya. Sungguh memalukan!
”Gue enggak punya pin.” Yazar mengusap belakang kepalanya.
Mendengar jawaban Yazar, kontan saja kedua alis Harum bersatu. Ia menatap Yazar curiga, tak percaya dengan apa yang laki-laki beriris cokelat muda itu katakan. “Kalau gitu, Line. Gue minta ID LINE lo.”
“Gue juga enggak punya.” Setengah meringis karena nyeri akibat luka di sudut bibirnya, Yazar juga merasa tak enak dengan raut kecewa yang baru saja terlukis di balik wajah gadis itu. Namun ...
“Lo, kan, udah gue tolongin. Masa, sih, ngasih pin sama Line aja lo enggak mau.”
... Yazar tidak berbohong. Ia benar-benar tak punya akun sosial media apa pun.
“Harum udahlah! Lo kok maksa banget, sih?” Kali ini Kanis benar-benar menjitak kepala Harum sehingga gadis ceria itu meringis lantaran nyeri. “Lagian, nolongin orang, tuh, harus ikhlas tahu!”
“Iya … ikhlas, kok.” Harum mengerucutkan bibirnya lucu.
“Sorry, gue emang beneran enggak punya pin sama akun sosial media apa pun. Tapi, lo …” Yazar mengeluarkan ponselnya dan menghadapkannya ke arah Harum. “… boleh save nomor gue kalau emang perlu. Gue cuma punya itu doang.”
“HAH?” Harum melotot tak percaya ke arah Yazar. “Serius! Lo adiknya Heris Fiansyah, tapi ponsel lo Nokia jadul gini?”
“HARUM! LO WARAS ENGGAK SIH?” pekik Kanis tak habis pikir.
Bersambung
Bandung, 20 Maret 2022
....
Selalu ingetin untuk jangan lupa jadiin list koleksi novel kalian yaaa...
Termasuk Last Memory ini. Tapi, karena versi novel cerita ini juga lagi proses revisi, mulai dari cover layout dan semuanya, jadi order nanti yang versi baru aja yaaa...
Makasih...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top