Babak #18
YAZAR baru saja hendak mengetuk pintu ruangan perawat saat pintu bercat putih itu terbuka. Kebetulan sekali sosok Dina yang muncul di hadapannya.
“Ibu ...” Yazar menghalangi langkah Dina di ambang pintu. Kejadian tadi pagi membuat Yazar akhirnya berkunjung ke rumah sakit tempat ibunya bekerja dan tak langsung pulang ke rumah.
Dina berdecak. Ia berusaha menyingkirkan tubuh Yazar, tetapi tampaknya tubuh putra bungsunya itu kini sudah jauh lebih tinggi darinya. Sulit sekali ditembus. “Ibu sibuk, Yazar. Pulang sana!”
“Iya, tetapi Ibu jangan marah, dong.”
“Ibu enggak marah!”
“Tapi ngambek?”
“Ibu enggak ngambek!”
“Ah, Ibu bohong ...” Yazar merentangkan tangan begitu Dina berusaha menerobos pertahanannya. Tak peduli seandainya orang yang melintas berpikir bahwa ia tak sopan. Terlebih saat ini ia masih mengenakan seragam sekolah lengkap.
“Yazar, jangan ngerengek kayak bocah!” Amarah Dina perlahan naik. Namun, ia masih berusaha menahannya untuk tidak meledak-ledak. Ingat kalau mereka tengah berada di rumah sakit saat ini.
“Ibu, kok, tiba-tiba kayak gini sih? Ibu cemburu sama Mbak Kikan, ya?”
“Awas, Yazar. Ibu harus memeriksa pasien, tahu.” Tak ingin membahas apa pun tentang Kikan, Dina kembali berusaha menerobos pertahanan Yazar. Namun, sulit sekali. Ia tidak mengerti kenapa Yazar yang kurus dan gampang sakit, bisa sekuat saat ini.
“Iya, tetapi Ibu kenapa dulu?"
“YAZAR!”
“Ibu, Yazar minta maaf kalau misalkan Yazar salah. Yazar ...”
“Suster Dina, bisa tolong bantu saya sebentar?”
Kalimat Yazar terputus. Seseorang baru saja menginterupsi perdebatan yang tengah terjadi. Menurunkan kedua tangannya, kemudian laki-laki pengidap asma itu membalikkan badan guna memastikan siapa yang mengganggu acara memohon ampunnya. Seorang wanita bule dengan name tag “Dr. Hellen” di balik snelli dokternya, tampak memenuhi penglihatan Yazar kini.
“Baik, Dok.” Dina mengangguk sopan. Berjalan melewati Yazar sebelum mendorong pelan tubuh anak bungsunya itu. Lantas, kedua wanita itu berlalu meninggalkan Yazar yang hanya bisa mematung di tempatnya.
Begitu tubuh Ibu dan rekan kerjanya itu menghilang di balik lorong rumah sakit, Yazar menghela napas panjang. Ia berjalan meninggalkan ruangan perawat dan mendudukkan diri salah satu kursi tunggu tak jauh dari ruangan tersebut. Ia bertekad akan menunggu Dina kembali dan mengajak si Ibu pulang bersama.
Guna mengisi kekosongan, Yazar memilih memainkan ponselnya. Tiga tahun berlalu, tetapi Yazar menolak untuk mengganti ponsel itu. Selain karena ia bukan tipe orang yang gampang bosan, yang mudah mengganti sesuatu hanya untuk mengikuti tren, Yazar juga enggan membuang semua kenangan yang ada.
Baginya, selain Nokia jadulnya yang rusak lantaran dihancurkan oleh teman-teman kakaknya dulu, ponsel seri itu juga menyimpan banyak memori yang tak akan pernah terhapus kendati zaman telah berubah. Kenangan itu adalah saat-saat indah bersama dia. Harum.
Lama, Yazar terdiam di sana. Menghabiskan waktu dengan memainkan game Ludo tanpa minat. Sampai suara derap langkah menarik perhatiannya. Guna memastikan kalau itu Dina, Yazar mengangkat kepala dan ia terperangah. Salah satu dari dua orang yang kini melintas di hadapannya adalah orang yang Yazar kenal jelas.
“Harum.” Mulut Yazar tak tahan untuk tidak memanggil nama itu.
Seketika, Harum menghentikan langkahnya. Ia menoleh ke arah orang yang baru saja memanggil namanya. Begitu pun dengan gadis berambut pirang di sampingnya.
“Lo lagi ngapain di sini?” Melihat pandangan datar Harum, Yazar kembali melempar tanya.
“Menurut lo?” Ketus, Harum balik bertanya.
Yazar menganggukkan kepala beberapa kali seraya meringis. Padahal, di sekolah tadi Harum sudah lebih hangat. Namun, mendadak gadis itu kembali dingin seperti salju. Sebentar, Yazar mengalihkan pandangannya ke arah sosok yang sejak awal berdiri di samping Harum.
“Hai ...” Gadis berwajah bule itu melambaikan tangan singkat, menyapa lebih dulu.
“Hai,” balas Yazar. Senyum seramah mungkin ia sematkan.
“Aya Alia, saudarinya Harum.” Tak berselang lama, sebelum Yazar kembali memandang Harum, gadis bule yang rupanya bernama Aya itu mengulurkan tangan seraya memperkenalkan diri.
Tanpa ragu Yazar membalas uluran tangan itu. “Yazar Mahendra. Temannya Harum.” Dalam hati, Yazar bernapas lega karena cewek bule itu ternyata fasih berbahasa Indonesia. Pasalnya, Yazar tak begitu pandai berbicara bahasa asing.
“Bohong. Lo bukan temen gue.” Harum menyela cepat. Matanya menatap Yazar dengan runcing. Namun, bukan tersinggung, Yazar justru tertawa melihatnya.
“Gue teman yang terlupa lebih tepatnya.” Kemudian Yazar membenarkan, yang langsung membuat Aya terkekeh kecil sementara Harum hanya mendelik tak suka.
“Eh, kita lagi buru-buru, nih. Kapan-kapan kita ngobrol lagi, ya?” Pamit Aya saat Harum berusaha menarik tangannya untuk segera pergi meninggalkan Yazar.
“Eh, tunggu. Boleh minta ID LINE-nya enggak?” Menurut Yazar, ini kesempatan bagus untuk mengorek informasi tentang Harum dari gadis bule itu. Kalau tidak salah dengar, Yazar yakin tadi Aya bilang kalau ia adalah saudarinya Harum.
Apa Harum sudah bertemu dengan ayahnya? Lalu, karena ayahnya sudah menikah lagi dengan wanita bule dan mempunyai anak, terus Harum kemudian dibawa ke sana? Apa terjadi sesuatu di sana sehingga Harum kemudian amnesia dan melupakan dirinya? Lantas untuk apa Harum kembali ke Indonesia?
Ah, terlalu banyak yang ingin Yazar tanyakan kepada Aya sehingga tepat ketika ia mendapat anggukan setuju dari gadis pirang itu, senyum lebar Yazar langsung terlukis.
***
Yazar kembali mendudukkan diri di tempat yang sama. Sehabis kembali dari masjid rumah sakit guna melaksanakan kewajiban, Yazar sempat menanyakan keberadaan Dina kepada perawat yang lain.
Dari info yang didapat, Dina masih berada di ruang operasi bersama Dokter Hellen. Jadi, Yazar memutuskan untuk kembali ke tempat semula dan menunggu Dina. Padahal waktu sudah menjelang sore, omong-omong. Dan, Yazar merasa perutnya melilit, lapar
“Harusnya tadi gue beli makanan dulu di kantin rumah sakit.”
Guna mengalihkan rasa laparnya, Yazar kembali menyibukkan diri dengan ponselnya. Ia memilih untuk membaca puisi-puisi Harum yang pernah difotonya.
Aku berdiri bersama sesuatu yang asing.
Udara ini. Kursi ini. Jendela ini.
Aku membuka mata berharap kembali.
Tapi, hanya hampa.
Gelap tiada cahaya.
Tak berwarna
Hanya hitam pekat.
Di mana kenanganku tersesat.
Kenapa aku hanya bersembunyi dalam pekat.
Mundur, aku terlalu pecundang.
Maju, pecahan kenangan itu tak henti menghadang.
Langit ini tak lagi sama.
Benarkah?
Udara ini tak lagi sama.
Benarkah?
Aku melarikan diri
Dari sesuatu yang tak tahu apa.
Yazar tak sempat mendalami dan mencari makna di balik puisi-puisi itu lantaran tiba-tiba saja tenggorokannya gatal. Rasa ingin batuk datang bersamaan dengan sesak yang dengan tanpa aba-aba menyerangnya. Harusnya Yazar ingat kalau kondisinya belum begitu pulih pasca sakit kemarin. Wajar seandainya saja si asma sialan itu menyerangnya bahkan ketika ia tidak melakukan aktifitas berat.
“Please, jangan kambuh, dong. Entar gue dikira cari simpati lagi.” Yazar menegakkan tubuhnya. Mengurut pelan dadanya, berharap dengan begitu bisa melonggarkan rasa sesak di sana.
Berusaha untuk tidak panik dan tetap mencoba mengambil udara dengan perlahan, Yazar merogoh tasnya. Tidak ada. Inhaler yang dicarinya tidak ia temukan dalam tasnya.
“Sial! Pasti jatuh pas anak-anak ngambil makanan tadi.” Yazar mulai panik. Napasnya mulai terasa memendek diselingi batuk yang kian parah.
“Ibu enggak boleh tahu. Gue harus pulang.” Yazar kemudian mengambil keputusan. Ia bangkit dari duduknya, berjalan terseok dengan sebelah tangan bertumpu pada dinding rumah sakit. Kakinya mendadak begitu lemas. Keringat dingin mulai bercucuran di sekitar kening dan punggungnya.
Yazar ingin menegakkan tubuhnya untuk mengambil udara yang makin lindap dan hilang, akan tetapi rasa sakit di dadanya memaksa ia untuk membungkuk dalam selagi tangannya sibuk menekan dadanya sekuat yang ia bisa.
Disela kepayahan dan keputusasaan itu, Yazar melihat dua pasang kaki, berlari menghampirinya. Lantas merengkuh tubuhnya dengan kuat.
“Ya ampun, Yazar!” Suara Dina tampak begitu khawatir. Hampir tiga jam ia dihadapkan pada situasi menegangkan di ruang operasi, dan sekarang kondisi buruk Yazar makin membuat perasaannya tak keruan.
Yazar berusaha menghimpun udara sebelum berujar, “Enggak apa-apa, Bu. Yazar mau pulang.”
“Pulang apanya, hah?” Amarah Dina merambat cepat melihat sikap Yazar. Dokter Hellen hanya bisa mematung di tempatnya, ingin membantu, tetapi kepanikan yang Dina ciptakan membuatnya bingung.
“Tadi, kan, Ibu suruh Yazar pulang.” Pandangan Yazar mulai memburam.
“Kamu, tuh, jangan bodoh. Di mana inhaler kamu?”
“Yazar enggak mau pake.” Padahal benda itu tak sengaja Yazar hilangkan.
Yazar kembali terbatuk. Batuknya terdengar begitu menyakitkan dan terus bersambung. Tepat ketika Dina berusaha menarik tas Yazar guna mencari inhaler, tubuh Yazar sudah tumbang lebih dulu. Kesadarannya direnggut dalam gelap seiring napasnya yang kian menghilang.
***
Yazar menggeliat pelan dalam tidurnya. Sesuatu membuatnya tak nyaman. Udara yang bersumber dari masker oksigen terasa menusuk langsung hidungnya. Juga rasa kebas di tangannya akibat tusukan jarum infus, sungguh membuat anak bungsu keluarga Fiansyah itu merasa terganggu. Kemudian, Yazar biarkan iris sewarna kopi susunya terbuka. Namun, sedetik setelah itu ia menutupnya kembali. Silau lampu ruangan menusuk tepat bola matanya.
“Yazar?”
Itu suara Dina, ibunya. Terlalu eksplisit untuk tak Yazar kenali.
“Ada yang sakit?” Dina bertanya cemas. Hal yang selalu menghantui si Ibu sampai saat ini adalah melihat Yazar pingsan dan kemudian tak membuka mata dalam waktu yang begitu lama. Sama seperti kejadian tiga tahun yang lalu ketika ia nyaris kehilangan Yazar untuk selamanya.
Yazar membuka mata perlahan, menyesuaikan retina matanya dengan pencahayaan yang ada. Lantas, ia biarkan fokusnya jatuh di mata Dina yang sarat dengan kekhawatiran. Meskipun mata itu selalu dipenuhi ketegasan yang tak terbantahkan, tetapi Yazar tahu ada kelembutan yang tersembunyi di baliknya. Dan, kelembutan itu selalu hadir di saat-saat seperti ini.
Yazar menggeleng singkat. Menunjuk masker oksigen di wajahnya seraya berujar serak, “Boleh dilepas, kan?” Sungguh, Yazar merasa tak nyaman dengan benda itu.
Dina bangkit, hendak melakukan pemeriksaan terlebih dahulu untuk memutuskan boleh atau tidak. Namun, suara ketukan pintu membuat niatnya tertunda. Kedua pasang mata Ibu dan anak itu pun kompak berputar ke arah sumber suara.
“Boleh saya masuk?” Kepala Dokter Hellen menyembul di balik pintu. Begitu tahu siapa yang tengah berdiri di luar sana, Dina langsung saja mengangguk.
“Udah sadar, hm?” Dokter cantik itu bertanya begitu tubuhnya sempurna berdiri di samping ranjang Yazar.
Yazar mengangguk pelan, mengamati sosok itu dengan saksama. Ia merasa Dokter Hellen mirip dengan seseorang. Namun, entah siapa. Mungkin aktris Hollywood, pikir Yazar.
“Tadi katanya pengen dilepas masker oksigennya.” Dina memberi tahu.
Mendengar hal itu, tanpa diminta, Dokter Hellen langsung melakukan pemeriksaan. Begitu selesai, senyum simpul ia sematkan di balik bibir tipis berlipstik merahnya. “Sini, saya bantu melepasnya.” Dengan lembut tangan Dokter Hellen menjauhkan alat pernapasan itu dari wajah Yazar.
“Dokter, saya sungguh berterima kasih. Saya panik. Saya benar-benar tidak tahu apa yang akan terjadi kepada Yazar kalau dokter tidak bersama saya tadi.” Dina berujar tulus.
“Sama-sama. Itu sudah kewajiban saya. Kadang menangani keluarga sendiri emang suka lebih sulit, ya?” Dokter Hellen tertawa kecil. Dina hanya tersenyum tipis mendengarnya. Faktanya, setiap kali Yazar sakit, konsentrasinya selalu pecah dan terkadang ia gagal menangani kondisi Yazar.
“Asma anak kamu sepertinya sudah parah. Tolong diperhatikan. Rajin-rajin check-up juga.” Dokter Hellen mengingatkan. Dina mengangguk mengiyakan sementara Yazar hanya diam menyimak di tempatnya.
“MOM!”
Teriakan itu menggema, mengundang tolehan dari semua mata yang ada di ruangan itu. Kepala berambut pirang seorang gadis baru saja menyembul di balik pintu. Yazar kenal orang itu. Aya Alia.
“Jaga kebiasaan berteriakmu, Aya. Ini rumah sakit dan ini sudah malam, ingat?” Dokter Hellen menegur tepat ketika Aya—tanpa diminta—berjalan masuk dan berdiri tepat di hadapan Hellen. Yang punya dosa hanya nyengir saja.
Yazar ingat sekarang. Pantas ia merasa Dokter Hellen mirip dengan seseorang. Ternyata itu Aya, gadis yang ia temui tadi siang.
“Hai, Yazar. Aku kira kamu bukan pasien di sini tadi.” Aya melirik Yazar. Senyum manis tersemat di bibirnya.
Yazar tak berujar apa pun. Hanya melempar senyum sebagai respons. Toh, ia bukan benar-benar pasien di sini. Jauh sebelum ibunya bekerja di rumah sakit ini, ia sudah menderita penyakit asma dan menjadi pasien di rumah sakit lain.
“Kalian udah saling kenal?” tanya Hellen.
“Tadi ketemu di luar.” Setiap kali matanya beradu dengan mata cokelat muda milik Yazar, gadis bernama Aya itu tak tahan untuk tidak tersenyum.
“Harum mana?” Hellen kembali bertanya.
“Udah nunggu di luar. Makanya, ayo, cepetan!” Aya menarik tangan si Ibu sementara Hellen segera pamit meninggalkan ruangan.
Kemudian, setelah kedua orang itu menghilang di balik pintu, hening kembali merajai. Sampai Yazar tiba-tiba saja menutupi mata dengan lengan bebas infusnya. Lantas, beberapa sekon kemudian isakan pelan mulai memecahkan keheningan yang sempat tercipta. Yazar menangis. Hal yang jarang sekali terjadi.
Kening Dina sesaat berkerut. “Kenapa?” Bingung dan panik membuat pertanyaan itu refleks lolos dari mulutnya.
“Yazar sayang, kok, sama Ibu.” Suara Yazar tersendat, sesak. Ia tahu menangis bukan hal yang baik untuknya. Namun, rasa kecewa dan sedih yang selama beberapa tahun terakhir ini menyiksanya, membuat ia tak tahan lagi.
Aksi diam-diaman yang terjadi antara anggota keluarganya membuat Yazar merasa seluruh polusi di muka bumi berkumpul dalam dadanya. Rasanya bahkan jauh lebih menyesakkan dari apa pun.
Yazar kangen dengan suasana rumah yang hangat.
Yazar kangen mencium bau bawang goreng kala Dina memasak setiap pagi dan sore.
Yazar kangen mendengar suara pembawa berita yang Sandi dengarkan setiap malam.
Yazar kangen bagaimana Heris mengusili dirinya setiap hari. Mengganggu tidurnya, memakan makanan favoritnya, atau membaca pesan-pesan di ponselnya untuk kemudian menggodanya sepanjang hari.
Meski kadang ia selalu iri dengan prestasi gemilang dan kepopuleran Heris, yang kerap membuat Dina dan Sandi tak henti-hentinya memuji si kakak, tetapi Yazar jauh lebih memilih saat-saat itu.
Saat di mana hubungan ketiganya rekat seperti lem. Saat di mana Ayah dan ibunya belum menanam benih kebencian untuk putra sulung mereka. Karena faktanya, kebencian yang mereka tanam itu berimbas pada dirinya juga.
“Yazar sayang, kok, sama Ibu.” Kembali, Yazar mengulang kalimatnya. Suaranya makin lindap ditelan isak tangis.
“Iya, Ibu tahu. Kamu jangan kayak gini. Nanti asma kamu kumat lagi.” Dina mengelus kepala Yazar, berusaha menenangkan. Cemas, takut-takut penyakit Yazar kembali kambuh karena menangis.
Yazar menggeleng pelan. “Ibu enggak tahu.”
“Ibu tahu, Yazar.”
“Enggak. Kalau Ibu tahu, Ibu enggak bakal cemburu sama Mbak Kikan. Ibu enggak bakal marah sama Yazar dan biarin Yazar nunggu lama tadi. Emang apa salahnya Yazar ke Ibu?” Sebelum melanjutkan Yazar berusaha menarik napas lewat mulutnya lantaran kini ia merasa ada yang menyumbat hidungnya.
“Yazar ...”
“Ibu tahu? Meskipun di bumi ini ada ribuan wanita yang jauh lebih baik dari Ibu, tapi Yazar enggak mungkin gantiin posisi Ibu dalam hidup Yazar. Ibu kadang emang suka nyebelin. Ibu suka ngatur-ngatur hidup Yazar. Ibu sering bawel ngingetin Yazar buat ini dan itu. Ibu sering nyuruh Yazar buat melakukan banyak hal. Tapi, demi Tuhan, Bu. Ibu tetap nomor satu dalam hidup Yazar. Jadi, untuk apa Ibu marah sama Yazar hanya karena Yazar dibuatin bekal sama Mbak Kikan?”
“Udah Yazar!” Dina menyibak lengan Yazar. Lantas menatap mata anaknya yang telah basah itu dengan sendu. Sejurus kemudian wanita it menarik tubuh Yazar dalam pelukannya. Ia turut menangis juga. Rasa haru akan apa yang Yazar paparkan membuat perasaan bersalah menelusup cepat sanubarinya.
“Maafin Ibu, hm?”
“Yazar tadi makan bekal dari Ibu, kok. Yang dari Mbak Kikan Yazar kasih ke temen. Sumpah!”
“Iya, terima kasih. Maafin Ibu, ya?” Elusan lembut Dina berikan di punggung Yazar. Suara napas Yazar yang mulai terdengar tak beraturan membuatnya khawatir.
Hening. Lama.
“Ibu ...” Ketika napasnya kembali terkontrol dengan baik, Yazar melepaskan pelukan Dina. Ditatapnya mata si Ibu sedalam mungkin. Berusaha menyelami telaga di baliknya. Entahlah ... Yazar hanya yakin kalau masih ada sisi malaikat dalam diri ibunya sehingga ...
“Mbak Kikan lagi hamil. Emangnya Ibu enggak kasian apa cuekin dia terus?”
... lambat laun hatinya pasti akan terbuka dan mulai menerima kenyataan yang ada.
Bahwa seberapa kelamnya pun masa lalu Kikan, dan seberapa hinanya pun wanita itu —di mata Dina dan Sandi—Kikan tetap seseorang yang begitu putranya—Heris Fiansyah—cintai dan sayangi setulus hati. Seharusnya mereka juga turut memberi cinta yang sama untuk Kikan jika mereka benar-benar menyayangi Heris.
Setidaknya harapan Yazar seperti itu.
“Kamu serius?”
Yazar mengangguk
Bersambung
Bandung, 09 Oktober 2022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top