Babak #17

“KATA Abang, Mbak jago masak, ya?” Yazar berjalan menghampiri Kikan dengan segelas air putih di tangan. Kakak iparnya itu tengah sibuk dengan semua bahan masakan pagi ini. Entah apa yang tengah dibuatnya.

“Enggak jago-jago amat, sih. Kenapa emang?”

Yazar meneguk setengah air dalam genggamannya sebelum menjawab, “Buatin Yazar bekal, dong,” celetuknya seraya menunjukkan deretan gigi putihnya.

“Emang kamu udah dibolehin masuk sekolah?” tanya Kikan mengingat kondisi Yazar yang belum sepenuhnya pulih pasca demam seminggu ke belakang. Lagi pula, rona pucat tampaknya masih melukis diri di wajah tampan adik kesayangannya itu.

Urung menjawab, Yazar hanya menunjukkan cengiran lebarnya sebagai jawaban.

“Entar Ibu marah, loh.”

“Sebenarnya dibolehin, sih, Mbak. Walaupun sambil ngomel-ngomel itu juga.”

Tawa kecil Kikan kemudian terdengar. Sudah terbayang bagaimana raut kesal Dina ketika mengomel. “Yaudah, mau dibikin bekal apa?”

Yazar memutar bola matanya, berpikir. “Itu aja. Nasi goreng yang lagi Mbak bikin.” Lantas laki-laki penderita asma itu berjalan ke arah lemari es dan rak tempat di mana ia menyimpan semua snacks guna melihat expired yang ada. Begitu tahu kalau tanggal kedaluwarsanya masih lama, Yazar segera mengambil semua makanan ringan itu dan menumpuknya di atas meja—termasuk snacks yang dibelinya bersama Kikan tempo hari.

Melihat tingkah aneh Yazar, gerakan tangan Kikan yang tengah menuangkan nasi goreng ke dalam kotak nasi seketika terhenti. Wanita cantik itu mengernyit dalam seraya melempar tanya, “Mau diapain?”

“Dibekal juga ke sekolah,” jawab Yazar. “Yazar siap-siap dulu, ya, Mbak?” Sebelum Kikan kembali melontar tanya, Yazar segera berlalu menuju kamarnya.

Tanpa mereka sadari, di balik pintu dapur sana, Dina menatap adegan itu penuh dengan kebencian. Marah dan cemburu jelas melumuri bola mata cokelatnya. Bahkan anak bungsunya itu tidak pernah bersikap semanis itu kepadanya.

Perlahan, kebencian itu menuntun langkah Dina untuk kemudian berjalan menghampiri si menantu. “Kamu deket banget, ya, sama Yazar?” Sinis terdengar kalimat itu. Tepat menusuk ke dalam sanubari si pendengar.

“Eh, Bu?” Kikan menutup rapat kotak nasi milik Yazar sebelum memasukkannya ke dalam papper bag untuk Yazar bawa. “Aku, kan, mbaknya. Wajar, kan, Yazar bersikap gitu sama aku?”

“Mencuri perhatian Heris enggak cukup, ya? Kenapa Yazar juga?”

Seolah baru saja anak panah menusuk dadanya, Kikan merasa begitu sesak sehingga untuk menelan ludahnya sendiri saja rasanya begitu sulit. Alhasil, alih-alih menjawab pertanyaan Dina, Kikan memilih bungkam selagi tangannya yang bergetar mencengkeram tali papper bag dengan kuat. Berusaha menahan tangis.

“Udah selesai, kan, Mbak? Yaz—eh, Ibu?” Yazar, lengkap dengan seragam dan tas sekolahnya berjalan memasuki dapur. Agak terkejut melihat Dina dan Kikan berdiri bersampingan saat ini.

“Kenapa, Bu?” Yazar bertanya begitu Dina berjalan tergesa melewatinya ke luar dapur. Ia berusaha meraih tangan si Ibu yang langsung di tepisnya dengan kasar.

“Marah sama kamu!” jawab Dina ketus.

“Kenapa?” Seketika saja alis Yazar bertaut bingung.

“Ibu nginep di rumah sakit malem ini. Kamu udah ada yang jagain jadi enggak masalah kalau Ibu enggak ada.”

“Kena—”

“Ibu udah siapin bekal kamu dari subuh. Tuh, Ibu taruh di meja makan sama inhaler barunya.” Lantas setelah mengatakan hal itu, Dina segera berlalu. Meninggalkan Yazar yang kini mematung di tempatnya. Ia mengerti kenapa ibunya marah.

Dina membuatkannya bekal dan ia malah meminta Kikan membuatkannya bekal juga.

“Aku enggak tahu kalau Ibu bikinin aku bekal,” keluh Yazar, menghapus sisa spasi antara ia dan Kikan.

“Yaudah, Yazar bawa bekal dari Ibu aja,” usul Kikan. Suaranya masih terdengar bergetar.

Yazar tersenyum. Berniat menghibur si kakak ipar. “Enggak, deh. Aku ambil punya Ibu sama Mbak juga. Lagian, aku bisa kok ngabisin dua-duanya.”

“Serius?”

Yazar mengangguk semangat.

“Sama yang itu juga?” Kikan melirik tumpukan snacks di atas meja dapur.

“Iya.”

Kikan sontak tertawa kecil. Sejenak melupakan kata-kata sadis mertuanya yang sempat terekam begitu melihat tingkah menggemaskan si Adik.

***

“Mik, serius lo enggak mau ke kantin?” Yazar bertanya untuk ke sekian kalinya. Masalahnya, Mika yang biasanya selalu semangat saat bel istirahat berbunyi, mendadak malas bangkit dari tempat duduk. Ginan bahkan sudah melengos lebih dulu keluar kelas, walau tujuannya bukan kantin.

“Hm,” gumam Mika mengiyakan.

“Lo kenapa? Sakit?” Mika benar-benar tak seperti biasanya, Yazar begitu khawatir melihatnya.

“Sakit hati,” jawab Mika sambil menidurkan kepalanya di atas meja. Bayangan Kanis dan Ginan kembali berkelebat.

“Yaelah ...”

“Lo kalau mau ke kantin, ke kantin aja.” Suara Mika makin hilang. Turut tenggelam bersama wajah lusuhnya di balik lipatan tangan.

“Oh, yaudah.” Menggendong tasnya, Yazar segera berlalu. Tak lupa dengan papper bag berisi bekal buatan Kikan dan ibunya. Sebelum benar-benar berlalu, Yazar menyimpan satu bungkus roti dan susu kotak yang ia bawa di samping sahabat baiknya itu.

“Kok, bawa-bawa tas segala, sih, Zar?” Mika kembali mengangkat kepalanya guna menatap objek apa yang Yazar simpan di mejanya. Namun, fokusnya malah pada tas yang Yazar gendong.

“Suka-suka, lah. Lo makan aja itu kalau emang males ke kantin.” Kali ini Yazar benar-benar meninggalkan kelas.

Mika berdecak. “Terserah lo, deh, Zar. Kadang lo emang enggak bisa dimengerti kayak cewek.” Sedetik selepas Yazar keluar dari kelas, Mika bisa mendengar kegaduhan.

“HEI! PADA MAU ENGGAK?”

Seketika saja seluruh siswa yang tengah asyik bercanda ria di sepanjang koridor menoleh ke arah Yazar.

“Apaan, Zar?” tanya salah satu dari mereka. Kendati tidak semua siswa yang berkumpul di koridor adalah teman sekelasnya, tetapi mereka mengenal Yazar dengan baik. Bukan karena Yazar memang terkenal siswa paling ramah dan baik, tetapi juga popularitas Heris sebagai aktris lulusan Globantara membuat nama Yazar juga turut terkenal.

“Makanan.” Yazar menaruh tasnya di atas bangku besi di pinggir kelas.

Mendengar kata makanan, langsung saja semua orang dengan jumlah tak sedikit itu mengerubungi Yazar penuh semangat.

“Kok dibagi-bagi, sih, Zar?”

“Sayang aja kalau dibuang. Gue pergi dulu. Entar tolong balikin tasnya ke kelas gue, ya?” Lantas, sambil menenteng papper bag di tangannya, Yazar segera berlalu meninggalkan keributan yang baru saja ia ciptakan. Teman-temannya itu mulai sibuk berebut makanan yang ia bawa.

***

“Udah makan?” Pembukaan yang cukup menarik. Tanpa basa-basi. Gadis berkucir dua itu bahkan sontak menoleh ke arahnya.

Setelah mencari ke perpustakaan, tempat yang biasanya Harum kunjungi di jam istirahat, dan Yazar tak menemukannya sama sekali. Spekulasi kedua Yazar tentu adalah halaman belakang sekolah ini. Dan benar saja, gadis yang paling dirindukannya itu tengah anteng membaca novel di salah satu bangku, di bawah pohon rambutan yang entah kenapa tak pernah berbuah.

Harum hanya menoleh sekilas sebelum kembali menekuni bacaannya. Acuh tak acuh. Sungguh, baginya berurusan dengan laki-laki bernaman Yazar itu adalah hal paling merepotkan.

Yazar mengambil tempat di samping Harum. Tanpa berucap apa pun, ia menyodorkan satu kotak nasi berisi nasi goreng buatan Kikan ke hadapan gadis itu.
Harum tak merespons.

Hela napas panjang Yazar mengudara. Ia menyimpan kotak nasi yang tak diterima itu di samping Harum. “Gue tulus, loh, pengen temenan sama lo. Bukan sebagai masa lalu lo. Tapi, sebagai teman baru lo. Serius!”

Meski enggan, mendengar nada lesu, tetapi penuh ketulusan dari balik suara Yazar, akhirnya membuat Harum menoleh juga. “Kenapa?” Lantas pertanyaan itu lolos begitu saja dari mulutnya.

“Gue suka aja temenan sama cewek cantik kayak lo.”

Rona merah yang dengan tiba-tiba menyebar di pipi Harum mau tidak mau membuat Yazar terkekeh. Selagi tangannya sibuk membuka kotak nasi, pandangan Yazar tak lepas dari wajah manis kekasihnya—di masa lalu—itu.

“Kalau lo nerima pertemanan gue, lo makan bekal ini. Tapi, kalau lo nolak itu, berarti lo jadi pacar gue.”

“Yeee... apaan?!” Bola mata Harum melebar seketika, tanda tak setuju dengan kata-kata Yazar.

Yazar tertawa melihat raut wajah Harum yang jauh lebih menggemaskan. “Iya, makanya lo makan aja.” Kembali Yazar menghadapkan kotak nasi itu ke hadapan Harum. Meski tak langsung dimakan, tetapi Yazar senang karena Harum mulai menerima pemberiannya.

Hening. Lama.

“Yazar,” panggil Harum. Gadis itu menggenggam kotak nasi dengan kuat.

Merasa terpanggil, Yazar yang tengah sibuk dengan bekalnya segera menoleh. Bahagia mendengar namanya disebut gadis cantik itu. “Kenapa?”

“Gue ingat seseorang di masa lalu gue. Wajahnya, suaranya, juga namanya. Tapi, gue enggak tahu dia itu siapanya gue.” Ketika mengatakan hal itu, Harum hanya bisa menatap sendu nasi goreng dalam genggamannya. Beberapa hari ini ia mencoba mengingat sosok itu siapa, tetapi Harum sama sekali tak ingat.

“Siapa namanya?” Mata Yazar berbinar seolah pengakuan Harum membawa setitik cahaya terang. Berharap cahaya itu bisa menjadi titik awal kembalinya ingatan Harum.

“Heris Fiansyah.”

“Eh?” Mata Yazar seketika membola. Tak percaya kalau harus kakaknya yang pertama kali diingat oleh Harum.

“Gue enggak yakin. Tapi, gue pasti pernah menyukai orang itu.”

“Hm, kayaknya, sih, gitu.” Yazar tersenyum miring.

Bersambung
Bandung, 07 Oktober 2022

....

Abangnya Yazar.

Kisah Heris & Kikan itu sebelumnya dibahas di cerita EXOPLAST, btw. Nanti, insya Allah selesai ini saya publish ulang di akun ini.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top