Babak #16

LAGI-LAGI lo di sini?”

Kanis terhenyak seketika. Ginan baru saja duduk di sampingnya. Kali ini dengan satu cup es krim rasa vanila yang langsung dihadapkan tepat ke arahnya. Dengan senang hati Kanis menerima es krim itu, tetapi tak lantas membukanya.

Hening.

“Gue lagi mikirin seseorang.” Kanis memulai, sadar kalau Ginan terlalu dingin untuk memecahkan kebekuan yang ada.

“Mika?”

Kanis refleks menggeleng. “Mika sebenernya penting banget buat gue. Bagaimana pun juga dia itu cowok pertama yang bikin gue ngerasa jadi cewek seutuhnya. Dimanja, disayang, diperhatiin, dipeduliin. Tapi, ada seseorang yang lebih penting dari dia sekarang.”

“Siapa?”

“Lo.”

Dengan cepat Ginan menoleh ke arah Kanis, sebelah alisnya terangkat.

“Becanda.” Kanis terkekeh saja melihat ekspresi Ginan. Ia membuka es krimnya dan mulai menikmatinya perlahan. Untuk kedua kalinya ia bertemu dengan Ginan di  tempat yang sama. Begitu tahu Ginan sering mampir ke tempat ini sepulang les, Kanis jadi suka juga duduk di sana. Setiap ada resah dalam hatinya, ada atau tidak adanya Ginan, ia akan duduk berlama-lama di sana.

“Lo tahu self injury?” tanya Kanis, menyendok es krimnya sebanyak mungkin. Ada sesak yang menohok hatinya mengingat kata itu.

Lagi Ginan dibuat mengernyit dengan pernyataan Kanis. “Maksud lo orang yang senang menyakiti diri sendiri?” Beberapa kali ia pernah membaca tentang penyakit kejiwaan itu di buku psikologi milik ayahnya.

Kanis mengangguk mantap. “Mereka itu orang gila, kan?”

Ginan menggeleng cepat. “Gue enggak mau nyebut mereka para pengidap penyakit kejiwaan dengan istilah orang gila.”

Kanis diam. Ia ingin berpikir seperti Ginan. Namun, baginya tetap saja mereka yang tidak normal dalam pandangannya adalah orang-orang gila. Ia tidak pernah berpikir akan hidup berdampingan dengan hal-hal berbau drama seperti saat ini. Namun, kenyataannya ia dihadiahi sesuatu yang sedikit pun tak ia pikirkan akan terjadi dalam hidupnya.

“Ada masalah?” Ginan bertanya.

Gelengan singkat Kanis berikan sebelum akhirnya ia tertawa pelan, jelas ia tengah menutupi keresahan hatinya dari Ginan.

“Gue sama Mika masih marahan, Nan.” Membelokkan pembicaraan tampaknya jauh lebih baik. “Menurut lo gue harus gimana? Gue bahkan enggak berani chat dia duluan.”

Ginan menarik napas dalam. Ia pusatkan seluruh atensinya pada hamparan langit yang mulai dihiasi lembayung. Wajah Sarah terlukis indah di sana. Sampai saat ini ia masih saja memikirkan gadis itu.

“Gue cuma mau ingetin lo, Nis. Sekali pun, jangan berpikir buat nahan perasaan lo hanya karena gengsi. Karena lo enggak bakal tahu kapan perasaan orang paling berarti dalam hidup lo berubah.”

Tak langsung merespons, Kanis justru memperhatikan Ginan dengan serius saat ini. Dalam posisi seperti itu, Ginan terlihat lebih memesona.

Sadar tengah diperhatikan, Ginan segera menoleh sehingga kini tatap mereka saling beradu.

Pipi Kanis merona dan ia buru-buru mengalihkan perhatiannya ke arah lain. “Gue enggak nyangka kalau lo bisa ngomong panjang juga. Gue kira kosakata yang lo hafal cuma ‘hm’ doang,” elak Kanis dengan tawa riang yang dibuat-buat. Sekali pun ia tidak menyangka kalau dadanya bisa berdebar hanya karena tatapan Ginan.

“Gue serius juga.” Ginan mendelik.

“Gue becanda.”

Ginan hanya bisa mengulas senyum tipis kini. Baru pertama kali, selain dengan Sarah, ia bisa senyaman saat ini duduk bersama seorang gadis.

“Ih, lo bisa senyum juga ternyata.”

“Berisik! Gue janji mau ke rumah Yazar.” Tak ingin mendengar lebih jauh godaan Kanis, segera saja Ginan bangkit dari duduknya lantas berjalan meninggalkan Kanis.

“Sama. Ayo, bareng!”

Tanpa mereka tahu, seseorang tengah berdiri tak jauh dari tempat mereka saat ini, memperhatikan mereka dari sejak awal. Kedua tangannya meremas kuat bola basket dalam genggaman, selagi rahangnya terkatup sempurna guna menahan marah. Mika.

***

“Makasih banyak, loh, udah mau jagain Yazar sampai kita balik.”

Kembali, Harum serasa disedot sebuah lorong waktu. Ia dipaksa berdiri di perbatasan masa silam dan menyaksikan bayang dirinya sendiri kala suara itu, senyum itu, wajah itu, membingkai sempurna di balik pelupuk matanya.

Sama seperti sekarang, di tempat yang sama, depan rumah Yazar, sosok itu berdiri dengan senyuman yang sama. Senyum yang entah kenapa sesaat membuatnya terpukau dan meleleh. Lain dengan kenangan sebelumnya yang hanya menampakkan bayangan samar, kali ini bayangan itu terlihat begitu nyata, bahkan terlalu eksplisit sehingga kelebatan lainnya terasa mencengkeram kuat kepalanya.

“Gantengnya…”

“Kenapa Heris Fiansyah ganteng banget, ya Allah?”

“Gue pengen banget jadi pacarnya Heris Fiansyah.”

“Lo baik-baik aja?”

Pertanyaan itu kembali menarik sadar Harum. Sebentar ia berusaha menetralkan fokusnya yang sempat blur lantaran vertigo yang selama beberapa detik menyerang, sebelum akhirnya mulutnya menggumamkan sebuah nama, “He-ris Fi-an-syah?” ejanya perlahan.

Sesaat Harum melihat sosok di hadapannya mengernyit, sebelum akhirnya ia memutuskan untuk berlalu. Kepalanya pusing sekali. Sungguh! Ia sangat benci dengan puzzle kenangan yang tak juga tersusun itu. Ia benci ketika kelebatan itu mengusik hidupnya lagi. Seolah tak pernah ingin membuatnya hidup tenang dan damai, hantu bernama masa lalu itu terus menggentayanginya setiap detik.

Tak memedulikan langkahnya dan fokus dengan segala sesak dan sakit, Harum tak sadar kalau baru saja ia menabrak Kanis dan Ginan yang berpasasan dengannya di depan gerbang depan.

Kanis mendumel dan hendak menarik tangan Harum, tetapi gadis itu berlari terlalu cepat. Sehingga ia hanya bisa menggerutu, selagi kakinya melangkah panjang-panjang menyusul Ginan yang berjalan beberapa langkah di depannya.

***

Harum baru saja berlalu setelah hampir dua jam penuh menemaninya, dan Yazar hendak kembali berbaring saat ia merasakan hawa keberadaan orang lain di kamarnya. Kini netranya menangkap sosok Kanis dan Ginan tengah berjalan, menghapus spasi antara mereka sebelum akhirnya mengambil tempat di posisi masing-masing. Ginan duduk di meja belajarnya sementara Kanis memilih duduk di tepi tempat tidur.

“Tadi gue liat Harum di depan. Dia habis nengokin lo?” Kanis melempar tanya, mencoba membantu Yazar untuk bersandar di kepala tempat tidur.

Anggukan kecil Yazar berikan sebagai jawaban.

“Karena lo sakit, dia sadar kalau sikap dia itu salah?”

Kali ini Yazar menggeleng. Sebentar ia melirik Ginan dan Kanis secara bergantian. Heran kenapa kedua sahabatnya itu bisa datang bersamaan seperti saat ini. “Harum amnesia, Nis.” Namun, Yazar tidak ingin bertanya dulu tentang keakraban Ginan dan Kanis yang terasa mendadak saat ini. Perihal Harum jauh lebih penting.

“Maksud lo?”

Untuk beberapa saat Yazar memutar bola matanya, mencari eksistensi ponsel kesayangannya. Saat menemukan ponsel itu berada tepat di samping guling, segera ia meraihnya dan memperlihatkan beberapa puisi yang sempat ia foto kepada Kanis.

“Gue mau kirim ke lo kemarin. Tapi, gue keburu sakit,” jelas Yazar.

Kanis tak merespons dan sibuk membaca bait-bait puisi di balik layar ponsel Yazar, yang sejak tiga tahun yang lalu belum juga diganti. “Sebenernya apa yang udah terjadi sama Harum waktu itu?” Entah kepada siapa Kanis bertanya, karena bahkan fokusnya tidak berubah sama sekali. Seperti sebuah tali yang mencekiknya, puisi-puisi yang Harum tulis membuat Kanis merasa begitu sesak. Ada nyeri dalam dadanya.

Apa yang gue lewatin selama ini? Seberapa menderita sahabat gue selama tiga tahun ini? Kanis merasa dirinya begitu buruk.

“Gue bakal nyari tahu kenapa Harum bisa kayak gini. Lo tenang aja.” Lengkap dengan senyum simpulnya yang manis, Yazar berujar tenang. Ia menyambar cepat ponselnya dari tangan Kanis dan mengamankannya di sisi bantal begitu melihat ada begitu banyak luka di balik mata Kanis.

Kanis menatap Yazar sendu sementara Ginan hanya menyimak dalam diam. Tanpa harus bertanya lebih jauh, Ginan cukup pintar untuk menebak apa yang sedang terjadi saat ini. Tentu saja ia tahu kalau Yazar dan Kanis memiliki hubungan dekat dengan Harum di masa lalu.

“Omong-omong, lo berdua, kok, bisa dateng barengan?” Yazar memicingkan mata, menatap Kanis dan Ginan silih ganti.

Kini, Kanis dan Ginan melempar pandang.
Senyum tipis tergurat di balik bibir  pucat dan kering Yazar. “Gue, sih, seneng aja sekarang lo berdua akur. Tapi, gimana ceritanya? Kok, bisa?”

“Akur lo bilang?” Ginan berdecak, mendelik, membuang muka ke arah lain.

Yazar tertawa kecil melihat reaksi Ginan. Pun dengan Kanis yang tiba-tiba saja mengalihkan pembicaraan.

“Mika enggak ke sini?”

“Tadi nganterin Harum doang ke sini. Tapi, dia ada latihan jadi enggak lama terus balik ke sekolah,” jelas Yazar.

“Mika keliatan baik-baik aja tanpa gue.” Kanis berujar lesu. Beberapa hari ini Mika terlihat cuek saja. Laki-laki penyuka basket itu bahkan tidak menghubunginya sama sekali untuk meminta maaf.

“Tadi dia nanyain lo juga, kok.” Meskipun cuek dan kadang terlihat tidak peduli, tentu saja Kanis itu perempuan yang bisa sensitif juga jika dihadapkan pada permasalahan hati. Secuek-cueknya seorang perempuan, selalu ada rasa peduli dalam hatinya.

Terkadang, dia yang bersikap tak acuh justru menyimpan kepedulian yang jauh lebih besar. Hanya saja mereka tak tahu cara menunjukkannya.

“Dia enggak kabari gue sama sekali buat minta maaf.” Kanis kembali berujar.

“Soalnya dia ngerasa enggak salah.” Yazar ingat percakapannya dengan Mika di rooftop sekolah tempo hari.

“Dia mukul kakak gue, mana bisa di ngerasa enggak punya dosa gitu?”

“Mika, kan, enggak tahu juga lo punya kakak, Kanis.” Memijit pelan keningnya, Yazar berusaha mengingatkan Kanis. Ia juga sebenarnya penasaran siapa laki-laki yang Mika maksud.

“Dia kakak tiri gue, ya ampun! Mika kok enggak inget, sih, kalau bokap gue tiga tahun yang lalu nikah lagi? Dia anaknya Mama Ayana dan baru tiga minggu yang lalu mutusin tinggal bareng gue!” Kanis sibuk mencak-mencak. Merutuki kebodohan Mika, dan juga kebodohan dirinya.

“Lo harusnya jelasin dari awal sama Mika. Kan, jadinya enggak salah paham juga.” Ginan mulai bersuara, sementara matanya sibuk memperhatikan Yazar. Laki-laki itu berkali-kali memijit keningnya. Yazar sedang sakit dan ia butuh istirahat lebih, bukan malah memikirkan masalah sahabat-sahabatnya.

“Yaaa, gimana gue mau jelasin kalau dia main tonjok anak orang gitu aja, coba? Gue, kan, kesel juga jadinya.”

“Bukannya lo nyerang Mika juga, Nis? Tahu enggak kalau bahu Mika sampe lebam. Katanya tulangnya sampai geser gitu.” Yazar memejamkan matanya lama. Kepalanya mendadak pusing dan ia butuh berbaring, tetapi merasa tak enak karena teman-temannya masih ada di sampingnya.

“Seriusan?” Mata Kanis membulat. Ditatapnya Yazar yang sudah membuka mata kembali. Laki-laki itu mengangguk samar.

“Lagian, lo cewek apa badak, sih?” celetuk Ginan tiba-tiba.

“Lo lebih manis kalau diem aja, Nan. Serius!” Tatapan tajam sesaat Kanis todongkan ke arah Ginan.

Yang ditatap cuek saja, ia malah berdiri dari duduknya seraya berujar, “Zar, gue balik, ya? Lo cepet sembuh, deh.” Ditepuknya bahu Yazar sebelum akhirnya melempar tatap ke arah Kanis. “Ayo, balik!”

Kanis mencebik sebentar sebelum menatap Yazar. Raut pucat dan lemah Yazar membuat Kanis mengerti kalau ia harus segera pergi dan membiarkan Yazar beristirahat.

“Minta maaf duluan enggak ada salahnya, Nis. Tahulah Mika itu kalau marah kayak cewek, suka lama.”

“Hm …” Kanis mengangguk. “Lo istirahat aja. Jangan mikirin apa pun. Gue bakal nyelesain masalah gue sama Mika sendiri. Gue balik, ya.” Lantas gadis itu memeluk Yazar singkat. “Cepet sembuh, oke!”

Anggukan kecil Yazar berikan. Ia tak lagi bicara dan langsung membaringkan tubuhnya saat tubuh Kanis menghilang di balik pintu kamarnya. Rasanya kepalanya benar-benar seperti hendak pecah. Terlebih ketika ingatan beberapa jam yang lalu kembali.

“Yazar M. Ya-zar M. Lo cowok itu?”

“Hah?”

“Lo pasti salah satu orang yang pernah nancepin luka dalam hidup gue.”

“Harum…”

Bersambung
Bandung, 03 Oktober 2022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top