Babak #15
KENAPA enggak dibawa ke rumah sakit?”
“Yazar-nya enggak mau, Bu.”
Yazar bisa mendengar suara panik Dina memenuhi gendang telinga. Namun, matanya terlalu enggan untuk dibuka. Seperti ada lem superlengket yang sengaja dioleskan di sana. Bahkan, ketika tangan Dina menyentuh kening dan lehernya silih ganti, Yazar tetap memilih untuk memejamkan mata.
“Heris mana?”
“Inhaler Yazar habis, Bu. Jadi Mas Heris ta—”
“Kita ke rumah sakit!”
Baru Yazar mau membuka mata saat Dina memaksa tubuhnya untuk bangun. Namun, kepalanya sangat pusing dan perutnya sedikit mual. Alhasil, ia kembali membaringkan tubuhnya seraya menepis lemah tangan Dina.
“Enggak mau.” Serak terdengar suara Yazar.
Yazar tengah terlelap tidur saat tiba-tiba saja penyakit asmanya membangunkan. Ditambah suhu tubuhnya yang nyaris mencapai tiga puluh sembilan derajat celcius, memperparah kondisinya.
Beruntung Heris dan Kikan yang berniat untuk kembali ke Bangkok sore kemarin menunda keberangkatan mereka sampai pagi ini, sehingga saat tiba-tiba saja Yazar menelepon mereka kendati kamar mereka bersebelahan, mereka bisa menangani kondisi si Adik dengan cepat.
“Tekanan darah kamu rendah banget. Kita ke rumah sakit pokoknya.”
Yazar menggeleng. “Sengaja.”
Dina yang hendak kembali membangunkan Yazar seketika mengernyit. “Hm?”
“Sengaja biar Ibu pulang.”
Untuk sepersekian detik Dina memejamkan mata, sebelum membiarkan mata hitamnya menatap wajah pucat Yazar dengan saksama.
Sudah hampir seminggu, baik ia maupun Sandi tak pulang ke rumah dan meninggalkan Yazar. Kebencian yang mereka tanam untuk Heris dan Kikan tampaknya membuat mereka lupa dengan kesehatan Yazar yang beberapa bulan terakhir ini mudah sekali down.
“Ibu udah pulang, sekarang kita ke rumah sakit.” Dina kembali mengangkat tubuh Yazar dan membiarkan lengannya menumpu punggung anak bungsunya itu.
Di sampingnya Kikan hanya memperhatikan hal itu dalam diam. Ibu mertuanya masih saja tak menerima kehadirannya saat ini. Hal itu sungguh melukai perasaannya.
“Enggak mau.”
“YAZAR!” Dina geram juga. Tidak mengerti kenapa mendadak Yazar menjadi keras kepala seperti saat ini.
“Tinggal aja, ya, Bu?” Yazar berusaha menjauhkan tangan si Ibu dari tubuhnya. Beberapa kali ia terbatuk, dadanya kembali sesak. Ia mengubah posisinya, bersandar pada kepala tempat tidur seraya mengatur napasnya yang kian hilang. “Rawat Yazar di rumah bareng Mbak Kikan sama Abang. Yazar enggak mau ke rumah sakit.”
Dina menarik napas dalam. Mengalah. Sekali lagi ia memeriksa kondisi Yazar dengan alat-alat medis yang tersedia. “Kalau sampe siang nanti kondisi kamu enggak membaik, Ibu bakal telepon Ayah biar nyeret kamu ke rumah sakit.” Rasanya percuma saja ia memaksa Yazar saat ini.
“Hm ...” Yazar mengangguk lesu. Kendati begitu, ada senyum tipis di balik bibir pucatnya
***
Gerakan tangan Yazar yang tengah asyik menggulir layar ponselnya seketika terhenti begitu menyadari kehadiran orang lain di sekitarnya. Melupakan puisi-puisi Harum yang tengah dibacanya, Yazar biarkan manik sewarna kopi susunya berputar ke arah dua orang yang kini berjalan mendekatinya. Matanya agak membola kala melihat siapa orang yang datang menjenguknya kini.
“Tiba-tiba aja dia pengen dianter ke rumah lo.” Mika menjelaskan seraya mendudukkan diri di tepi tempat tidur. Sepintas ia melirik gadis cantik yang berdiri tak jauh dari tempatnya saat ini. Harum, dengan ekspresi datarnya melempar tatap ke arah Yazar.
Ini sudah empat hari sejak kejadian di rooftop sekolah, omong-omong. Satu hari setelah kejadian itu, Harum tidak kembali ke sekolah. Yazar merasa bersalah, dan sempat frustasi lantaran berpikir bahwa Harum kembali menghilang.
Dengan modal alamat rumah Harum yang ia dapatkan dari salah satu guru SMA Globantara, Yazar nekat mencari alamat itu. Namun, hasilnya nihil. Sebelum menemukan alamat itu kondisi Yazar memburuk dan tadi malam tumbang juga akhirnya. Namun sekarang, melihat Harum berdiri di sampingnya, membuat Yazar merasa berkali-kali lipat lebih baik.
“Hai, teman.” Yazar melambaikan tangan singkat. Sadar kalau ada selang infus yang menancap di sana.
Harum mendengkus, selagi matanya mendelik malas.“Gue bukan temen lo!” ketusnya.
“Hm …” Yazar mengangguk. Lo pacar gue, Harum. Lantas ia menjerit histeris dalam hati.
“Kanis enggak jengukin lo?” Mika menginterupsi keadaan. Ah, iya … hubungan Mika dan juga Kanis belum membaik sampai sekarang. Mereka masih perang dingin dan terkungkung dalam gengsi masing-masing.
“Belum.” Yazar menggeleng guna menjawab pertanyaan Mika. “Ginan mana?” sambungnya melontar tanya.
“Katanya pulang les entar baru ke sini. Hari ini gue juga sebenarnya ada latihan, sih, Zar. Gue balik ke sekolah, ya? Entar malem kalau enggak sibuk gue ke sini lagi.” Sebenarnya ia ingin saja menemani Yazar sampai sore nanti. Namun, pertandingan basket di depan mata. Sebagai kapten tim ia bertanggung jawab penuh untuk timnya. Meskipun pertandingan kali ini hanya sekadar pertandingan persahabatan, tetapi urusan basket, Mika tak ingin bermain-main.
Yazar hanya mengangguk singkat, paham bagaimana sikap temannya, yang bahkan masalahnya dengan Kanis kalah penting dari basket.
“Lo bisa pulang sendiri, kan?” Sebelum benar-benar pamit, Mika bertanya pada Harum.
“Hm …” Harum mengangguk tanpa menoleh sedikit pun ke arah Mika.
“Yaudah, Zar. GWS, ya.” Lantas setelah mendapat anggukan dari Yazar, Mika segera berlalu.
“Buku gue!” Selepas kepergian Mika, Harum tiba-tiba menghadapkan tangannya tepat di depan muka Yazar. Wajahnya jauh lebih ketus dari beberapa saat lalu.
Yazar mengedipkan mata beberapa kali, dikira udah lupa sama buku itu. “Lo ke sini bukan mau jengukin gue?” Mungkin ia terlalu percaya diri kalau Harum khawatir akan kondisinya. Dalam hati ia meringis terlebih kala melihat Harum mengangguk mengiyakan.
“Cepet balikin buku gue!”
“Gue lupa di mana, tuh, nyimpen bukunya.” Kalau tidak salah, seingat Yazar buku itu masih ada di dalam tas sekolah. Tapi, tadi ia melihat Dina mencuci tasnya dan membereskan semua buku yang ada di dalamnya. Harusnya buku itu ada di meja belajar.
“Jangan bohong! Balikin!” Harum menurunkan tangannya, tetapi suaranya tegas penuh perintah.
“Sadis! Gue beneran lagi sakit, loh, ini.” Yazar sengaja menunjukkan selang infus di tangannya. Hasil karya dramatis sang ibu.
Sebentar Harum menatap Yazar penuh simpati, sebelum akhirnya kembali memalingkan muka ke arah lain. Beberapa botol obat dan inhaler yang ia lihat di meja lampu di samping tempat tidur Yazar tiba-tiba saja menarik dirinya memasuki lorong waktu.
Kembali ia melihat dirinya tengah mengobrak-abrik tas seseorang. Mencari benda serupa dengan yang dilihatnya saat ini. Di gang sempit bersama dengan dua orang. Sama seperti ingatan sebelumnya.
“Lo enggak percaya, ya, kalau sakit gue ini beneran? Lo enggak ngerasa kasian gitu sama gue? Masa iya gue garus nyari-nyari buku pas duduk gini aja rasanya kepala gue mau jatuh.” Yazar memasang raut semenderita mungkin, berharap simpati dari gadis di hadapannya.
“Lo pikir kalau lo ngomong gitu, gue bakal peduli? Cepet balikin buku gue!” Harum keukeuh. Kelebatan bayangan itu lagi-lagi membuat kepalanya pusing, sebelum akhirnya cerocosan Yazar menariknya kembali dan meredam sakit itu.
“Dikutuk sama siapa, sih, lo bisa jadi kayak batu gini?” Menyerah, Yazar sibak selimut yang sejak awal menutupi setengah badanya dan turun dari tempat tidur, seraya menenteng kantung infus di tangannya. Namun, belum sempurna kakinya berdiri tegak, segala sesuatu dalam pandangannya terasa berputar. Alhasil, ia hampir tersungkur jika saja Harum tak dengan sigap menahan tubuhnya.
“Yaudah, enggak usah! Tapi janji bakal balikin bukunya entar.” Meski kesal, Harum tetap membantu Yazar untuk kembali duduk di tempat tidur. Meski tertutup di balik sikap apatis dan dinginnya, tetapi Yazar melihat ada simpati yang timbul di balik mata indah itu.
“Hm, janji.”
“Gue balik kalau gitu.”
“Jangan!” Yazar mencengkeram tangan Harum erat, berharap gadis itu tetap tinggal, selalu tinggal. Rasanya ia takut jika saja Harum kembali meninggalkannya.
“Nyokap gue baru aja pergi kerja, terus Abang gue lagi pergi bareng istrinya. Di sini enggak ada siapa-siapa. Jadi, temenin gue sampe salah satu dari mereka balik, ya?”
“Lo pikir gue itu ba—”
“Waktu itu, gue pernah nyaris mati. Enggak ada siapa pun di rumah dan asma gue kambuh. Sialnya inhaler gue habis dan enggak ada satu pun anggota keluarga gue yang angkat telepon gue. Waktu itu pacar gue telepon, tapi gue enggak bisa angkat panggilan dia. Sampai akhirnya dia—”
“Gue enggak ada niat buat dengerin cerita lo, serius!” potong Harum cepat.
Senyum tipis Yazar layangkan, sementara tangannya meraih tangan Harum dan menggenggamnya. “Hm, gue bakal diem, tapi lo tetep di sini, ya? Gue cuma takut kondisi gue yang payah ini bikin gue kehilangan lo lagi, Harum.”
Harum mematung. Tangan basah Yazar yang kini menggenggam erat tangannya mengalirkan energi tak biasa ke dalam jiwa. Lain dengan rasa sakit yang kerap ia rasa kala ia berjalan mundur untuk mengingat masa lalunya, perasaan itu jauh lebih hangat, tenang, dan …
Ia tengah berputar dalam bianglala. Di hadapannya seorang laki-laki dengan wajah samar menemaninya. Ia mengetik sesuatu di balik layar ponsel, dan ia dengan jelas melihat nama tertera di balik layar itu.
… Harum menoleh dan menatap Yazar dengan lama. Memperhatikan tiap gurat wajah laki-laki itu. “Yazar M. Ya-zar M. Lo cowok itu?”
Bersambung
Bandung, 30 September 2022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top