Babak #13

Ginan baru saja keluar dari minimarket saat ia melihat Kanis tengah duduk tertunduk di salah satu bangku pertokoan, tak jauh dari tempatnya saat ini. Ia tak tahu apa yang sedang dilakukan gadis tomboi itu sendirian malam-malam seperti ini. Meski enggan, tetapi pada akhirnya laki-laki minim ekspresi itu melangkah mendekat juga.

Tanpa bicara sedikit pun, Ginan langsung saja mendudukkan dirinya di samping Kanis, membuat si gadis terkejut dengan kehadirannya.

Sekilas Ginan melihat layar ponsel Kanis. Game pac man yang tengah Kanis mainkan baru saja berakhir game over lantaran kini gadis berambut sebahu itu lebih sibuk memperhatikannya.

“Bikin kaget aja!” Kanis mendumel singkat, menutup permainan yang tengah dimainkannya. Aksi mengherankan Ginan, sosok yang selama ini memelihara rasa antipati terhadapnya, tetapi tiba-tiba saja bersedia duduk di sampingnya, membuat kedua alis gadis itu saling bertemu. “Ngapain?” Selanjutnya ia bertanya penasaran.

Alih-alih menjawab, Ginan malah menghadapkan salah satu es krim yang sempat ia beli untuk adiknya ke hadapan Kanis.

Dahi bersih Kanis makin berkerut, tak paham dengan sikap laki-laki sedingin kulkas itu. “Gue enggak suka es krim,” celetuknya kemudian, tak lantas ingin menerima pemberian Ginan begitu saja.

Menghela napas panjang, Ginan memutuskan untuk kembali memasukkan es krim itu ke dalam kantong plastik di tangannya. 

“Gue enggak suka es krim rasa cokelat, gue suka vanilla,” cetus Kanis cepat.

Mendengar hal itu, segera saja Ginan menyodorkan es krim beserta kantong plastik itu kepada Kanis seraya berujar, “Gue cuma beli rasa cokelat sama stroberi.” 

Kanis merengut, tetapi mengambil alih es krim itu juga pada akhirnya. Hanya sekadar untuk menghargai pemberian orang lain. Lagi pula, Kanis lihat Ginan  terlihat tulus memberikan es krim itu.

“Sebenarnya lo ngapain di sini?” tanya Kanis setelah beberapa menit terbuang dalam keheningan. Ia sendiri sedang melepas penat saat ini. Biasanya, ia akan duduk di jembatan favoritnya untuk melepas segala resah. Namun, kala mengingat kejadian tak mengenakkan di sekolah tadi, Kanis akhirnya mengurungkan niat dan malah menghabiskan waktu untuk duduk sendiri di pinggir pertokoan seperti ini. 

“Suka-suka gue.” Ginan menjawab datar, mengundang dengkusan kasar dari Kanis.

Hening. Lama.

“Gue berantem sama Mika.” Kanis membuka suara, bersamaan saat tangannya mulai membuka bungkus es krim rasa stroberi untuk ia nikmati.

“Bukan urusan gue.”

Ingin saja Kanis menimpuk kepala Ginan dengan es krim di tangannya kini. Berharap jika seperti itu manisnya es krim yang tengah ia makan bisa sedikit menular kepada laki-laki di sampingnya. Namun, tentu saja Kanis tak ingin terlalu ambil pusing, sudah biasa dengan sikap ketus Ginan. Alhasil, meski tahu Ginan tak akan terlalu peduli dengan ceritanya, Kanis tetap mengoceh. Anggap saja ia tengah curhat dengan es krim di tangannya saat ini.

“Mika nuduh gue selingkuh masa? Emangnya gue ada tampang-tampang tukang selingkuh apa?”

Kendati masih larut dalam kebisuan, Ginan sebenarnya menyimak baik-baik cerita Kanis. Sejujurnya ia memang penasaran dengan alasan bolosnya Mika, pun keanehan Yazar di sekolah tadi.

“Tahu, lah. Gue sebenernya enggak mau cerita sama lo. Tapi, karena lo tiba-tiba aja duduk di samping gue, terus sampai kasih es krim segala, itu artinya lo mau juga dengerin gue cerita, kan?”

“Jangan kegeeran!” desis Ginan tajam.

“Gue tahu kalau lo itu nyebelin.” Kanis memasukkan satu suapan terakhir es krim yang  tengah dimakannya dan membuka es krim lainnya. Tak sadar kalau sekarang ia memakan es krim rasa cokelat juga, padahal tadi bilang kalu ia tidak menyukainya. “Tapi, gue tahu kok kalau sebenarnya lo itu orang baik,” sambungnya.

Ginan memutar bola mata malas. “Gue psikopat, asal tahu aja.”

Kekehan Kanis lolos begitu saja kala uraian kalimat itu terlontar dari mulut Ginan. Ia mengangguk-anggukkan kepala, sepakat. “Ya, tampang lo emang psikopat banget. Lo, kan, paling seneng nyakitin orang sama kata-kata tajam lo!”

Ginan tak lagi menimpali. Ia lebih fokus dengan lalu lalang kendaraan di hadapannya, sementara Kanis sibuk menghabiskan sisa es krim.

Waktu sudah hampir menunjukkan pukul setengah delapan malam. Baru setelah es krim yang Ginan beli untuk Disha itu habis, Kanis berniat untuk pergi sebelum suara Ginan menahan pergerakannya.

“Emang sebenernya lo sama Mika ada apa?” tanya Ginan tiba-tiba.

Di sekolah tadi …

“Lo, Yazar, sama Harum itu ada hubungan apa, sih, sebenarnya?” Selagi tangannya sibuk mengeringkan rambut Kanis dengan handuk, Mika melontar tanya penasaran.

“Gue lagi pengen sendiri, Mik. Lo bisa tinggalin gue?” Kanis enggan menjawab pertanyaan Mika. Ia mengambil alih handuk di tangan kekasihnya itu dan mengeringkan rambutnya sendiri.

Pada dasarnya, Kanis bukan gadis yang senang diperlakukan berlebihan seperti yang Mika lakukan. Untuk hal kecil seperti mengelap rambut basah, Kanis merasa bisa melakukannya sendiri dan tak butuh bantuan orang lain.

“Enggak mau,” ketus Mika tak setuju.

“Batu. Lo bisa ketinggalan pelajaran entar.”

“Bodo. Lo lebih penting buat gue.”

Kanis mendengkus. Tidak mengerti kenapa Mika tiba-tiba saja menjadi keras kepala seperti saat ini. “Gue mau pulang. Jadi, lo balik aja lagi ke kelas,” putusnya. Selain seragamnya benar-benar basah, dan ia tak menyimpan seragam ganti di loker, mood-nya juga benar-benar buruk. Melihat seberapa mengerikannya Harum tadi membuat Kanis begitu terluka, tentu saja. Ia merasa perlu menenangkap perasaan saat ini.

“Biar gue anter, ya?”

“Keras kepala banget, sih, lo! Pokoknya lo balik ke kelas!” Kanis mulai kesal.

Mika menarik napas. Tak ingin memperburuk keadaan, Mika akhirnya menyerah dan mengalah; yang sebenernya keras kepala itu siapa sih? Mika membatin sebentar sebelum berujar, “Yaudah, lo hati-hati, ya?” Kemudian ia melangkah keluar ruang kesehatan, tempat mereka berada saat ini, dengan kekecewaan yang terasa menampar keras relung hatinya.

Sejak awal hubungan mereka terjalin, Mika sadar kalau Kanis memang selalu terlihat tak benar-benar mencintainya. Sempat ia berpikir, mungkin cinta yang dimilikinya hanya cinta bertepuk sebelah tangan saja.

“Jemput gue di sekolah bisa, kan? Gue enggak enak badan, nih. Hm, gue tunggu di depan, ya?”

Mika yang masih berdiri mematung dan belum benar-benar menjauh dari ruang kesehatan, menangkap jelas suara Kanis di dalam sana. Ia yakin Kanis tengah berbicara dengan seseorang. Mika yakin kalau orang itu adalah selingkuhannya.

Ketika gendang telingnya menangkap suara langkah sepatu Kanis mendekati pintu, laki-laki berwajah menawan itu buru-buru menyembunyikan diri di balik tembok yang menjorok sebelum akhirnya diam-diam melangkah mengikuti Kanis.

***

“Lo enggak mau gue anter gara-gara mau balik sama cowok lain, ya?” 

Kanis yang baru saja hendak membuka pintu mobil seketika mematung. Buru-buru ia membalikkan badan dan sudah menemukan Mika berdiri di hadapannya. “Gue udah nyuruh lo balik ke kelas, kenapa lo malah ngikutin gue, sih?” ketus Kanis tak suka. Meski jauh dalam hatinya ia cukup khawatir dengan kesalahpahaman yang akan terjadi.

“Lo enggak mau gue anter gara-gara mau balik sama cowok lain?” Mika mengulang pertanyaan serupa, tak ada niat untuk menjawab pertanyaan Kanis. Bersamaan dengan itu seorang laki-laki membuka pintu mobil dan berdiri tepat di samping Kanis.

“Dia kakak gue, Mika,” jelas Kanis.

“Bohong! Sejak kapan lo punya kakak cowok? Dia pacar lo, kan?”

“Iya.”

Tak hanya Mika, tetapi juga Kanis, kontan saja membelalak tak percaya saat laki-laki berwajah tampan itu tiba-tiba nyeletuk dengan cueknya. Mika menatap tajam sosok itu. Aura dinginnya jauh lebih parah dari Ginan.

“Ga!” Kanis memekik, menarik lengan baju saudaranya itu sebagai bentuk protes.

“Becanda.” Laki-laki itu melirik Kanis. Ekspresi datarnya membuat Kanis merengut kesal. “Jadi pulang enggak?” sambungnya kemudian, tak memedulikan Mika yang kini tengah mengepalkan tangan kuat-kuat, menahan amarah yang perlahan merambat menuju ubun-ubun.

Kanis mengangguk cepat. Baru ia hendak masuk ke dalam mobil saat tiba-tiba saja Mika menarik bahu si Kakak dan memukul sosok itu dengan penuh tenaga.

“Mau lo apa, sih, Mik? Dia kakak gue, ya ampun! Lo jangan cari gara-gara, dong!” Kanis memekik, menatap Mika kesal di saat kakaknya hanya melempar pandangan sarkastik. Terlalu defensif untuk pukulan ringan seperti itu. “Gue enggak percaya!” Mika hendak kembali memukul laki-laki berkulit putih pucat itu saat tiba-tiba saja Kanis menahan tangannya, memelintirnya, dan dalam satu jurus menghantamkan tubuh yang jauh lebih besar darinya itu pada jalan beraspal yang panas, lantaran sejak pagi dibakar panasnya mentari.
Mika mendecih. Sungguh ada hal yang benar-benar ia lupakan. Kanis, kekasihnya, adalah anggota ekskul karate.

Sial!

“Terserah lo mau percaya sama gue atau enggak. Ayo, Ga!” Segera saja Kanis masuk ke dalam mobil begitu  kalimat itu terlafal sempurna.

Sekilas Mika melihat laki-laki yang Kanis bilang kakaknya itu menatap datar dirinya, sebelum masuk ke dalam mobil untuk kemudian tancap gas dan meninggalkannya. Baru saat Hyundai hitam itu raib dalam pandangan, Mika mengaduh seraya meremas kuat bahu kirinya.

“Argh, tangan gue!”

***

“Parah banget, sih, lo, Mik.”

Kembali ke malam ini di tempat yang berbeda … 

“Ya, abisan gue kesel, Zar.” Mika masih saja sibuk memijit-mijit bahunya. Nyeri akibat serangan Kanis masih terasa. Ia rasa posisi tulangnya bergeser atau mungkin patah, entahlah. Sama sekali tidak disangka kalau Kanis benar-benar berani menyerangnya seperti tadi.

“Masalahnya lo kenapa mukul anak orang juga? Mau lo dituntut entar?”

“Anjir, lo malah ngomelin gue. Jadi aja, deh, gue loncat dari sini.”

“Loncat aja udah!” Lagi pula, saat Mika mengirimnya pesan, Yazar tidak percaya kalau Mika benar-benar berani melakukan tindakan dramatis seperti itu.

Oh, tentu saja, jangan lupakan Mika yang kadar lebay-nya memang berada di atas rata-rata. Buktinya, saat Yazar menyuruhnya meloncat, laki-laki itu masih saja terduduk lesu. Bersandar pada birai rooftop dengan posisi yang sama sejak ia datang menemui sahabatnya itu.

Sejak kejadian di depan sekolah tadi, Mika tak kembali ke kelas dan malah menyendiri di atas atap sampai saat ini. Ia memikirkan banyak hal. Tak hanya tentang siapa laki-laki yang menjemput Kanis tadi, tetapi juga tentang bagaimana sebenarnya perasaan Kanis terhadapnya.

“Gue ngerasa kalau Kanis enggak bener-bener sayang sama gue, Zar.” Mika tertunduk. Suara seraknya terdengar menyimpan kekecewaan yang mendalam.

Hela napas panjang Yazar mengudara bersama angin malam yang dingin. “Lautan yang dalam mungkin bisa dijamah dan dilihat. Tapi, sedalam-dalamnya lautan hati manusia, siapa yang bisa melihatnya?” Yazar biarkan manik kopi susu miliknya melirik Mika yang juga tengah menatapnya kini. Lantas dilemparkannya senyum simpul, selagi tangan kurusnya meraih bahu si sahabat untuk ia rangkul. Tak peduli andai saja Mika tak paham apa yang ia katakan.

“Auw!” Mika mengerang, melepaskan diri dari rangkulan Yazar. Refleks Yazar turut meringis melihat ekspresi kesakitan yang Mika tunjukkan. Benar, ia lupa kalau Mika sedang terluka saat ini.

“Yaudah, lah, Mik. Karena lo enggak jadi bunuh dirinya, jadi kita balik aja, yuk? Luka lo kayaknya juga harus diobatin. Ke rumah sakit, ayo!”
“Ogah, ah!”

“ Yaudah, gimana kalau kita nongkrong di kafe depan sana aja? Gue lagi peng——YA, TUHAN! Mbak Kikan!” Yazar memekik kala ingat kalau ia meninggalkan Kikan sendirian.

Bersambung
Bandung, 11 Juni 2022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top