Babak #11
AH, kepala gue.”
“Kenapa kepala lo? Ketinggalan di rumah?”
Kekehan kecil Yazar kontan mengudara begitu pertanyaan dengan nada mencibir itu Ginan lemparkan.
Tanpa berminat menoleh ke arah Mika yang kini tengah menempelkan sebelah sisi wajahnya di atas meja, Ginan tetap fokus pada soal bangun ruang yang tengah ia pelajari bersama Yazar sejak beberapa menit yang lalu. Tiada peduli dengan layu dan kusut di wajah Mika. Padahal sahabat mereka yang satu itu biasanya selalu berapi-api dan penuh semangat.
“Emang, ya, kata-kata lo itu enggak bisa ngehibur banget, Nan.” Mika merengut. Mengangkat kepalanya dan mulai menatap Ginan.
Decak ringan Ginan lolos begitu saja, terlalu malas menanggapi ocehan Mika.
“Kenapa, sih? Lo sakit?” Yazar melontar tanya seraya menatap saksama wajah runyam Mika.
Sudah semestinya memang Mika bersyukur lantaran di saat sahabatnya yang satu begitu menyebalkan, ada sahabatnya yang lain yang baik hati dan perhatian.
“Gue enggak bohong kalau gue liat Kanis jalan bareng sama cowok. Sakit hati gue, Zar.” Mika menenggelamkan wajah di balik tangannya yang sengaja dilipat di atas meja. Semalam, sehabis sambungan teleponnya dengan Yazar terputus tiba-tiba, ia benar-benar tidak bisa tidur. Alhasil, pagi ini kepalanya terasa ingin meledak lantaran pening.
Ahiya, Yazar baru ingat pembicaraannya dengan Mika semalam. Ia berniat untuk menanyakan kejadian sebenarnya, tetapi belum bertemu dengan Kanis hari ini.
“Enggak usah lebay! Gue enggak percaya kalau cewek jadi-jadian model Kanis bisa bikin lo sakit hati dengan alasan pengkhianatan.” Ginan melepas pensil mekanik dalam genggamannya dan menutup buku yang sedari tadi ditekuninya. Penasaran juga sekusut apa teman baiknya itu.
Mika mendengkus, selagi kepalanya terangkat guna menatap Ginan. “Ejek aja terus, Nan. Enggak apa-apa gue ikhlas, dah.” Dilemparnya penghapus milik Yazar yang tergeletak asal di atas meja tepat ke hadapan Ginan.
“Itu pujian, bego!” Ginan meletakkan penghapus yang baru saja melayang ke arahnya di tempat semula.
Yazar buru-buru mengamankan penghapus itu di dalam saku seragamnya. Lantas melirik Ginan yang kini tengah menatap Mika dengan tatapan sarkastik andalannya. Sorot matanya seolah mengungkap kata, “Ayolah, Mika itu tampang-tampang playboy yang fans-nya bejibun. Rasanya enggak banget kalau harus patah hati lantaran gadis macam Kanis”.
“Terserah, deh.” Mika membalikkan badannya menghadap ke depan. Tiada ingin lagi terlibat percakapan apa pun dengan kedua sahabatnya. Kepalanya berat sekali.
“Ke game center pulang sekolah yuk, Mik?” Yazar mencolek punggung Mika dengan ujung pensil beberapa detik setelah Mika mengubah posisinya. Ia tengah mencoba menghibur sahabatnya itu. Biasanya saat mood mereka sedang buruk, mereka akan menghabiskan waktu bermain game bersama.
Tanpa berbalik, Mika berujar, “Gue piket hari ini. Sekali lagi gue enggak piket, kelar hidup gue.”
Mika memang sering kali meninggalkan piket. Ia lebih senang membayar denda ketimbang mau repot-repot membersihkan kelas. Namun, minggu ini ketua kelas mengancam akan mengadukannya kepada wali kelas jika Mika kembali meninggalkan piket.
Yazar menghela napas sebelum mengangkat tubuhnya untuk kemudian menarik tangan Mika, menyeretnya keluar kelas. “Yaudah, sekarang aja!”
“Sekarang apanya? Tujuh menit lagi masuk. Malah pelajaran Bu Inka lagi.”
Yazar tak mengindahkan gerutuan Mika, terus menarik tangan laki-laki yang selalu menarik perhatian gadis sesekolahan itu ke arah kelas paling ujung. Arah kelas Kanis berada.
“Ketemu Kanis dan tanyain semuanya. Sekar—”
“GUE ENGGAK PERCAYA KALAU LO ITU ENGGAK INGET SAMA GUE!”
Langkah Mika jelas terhenti. Tak hanya karena Yazar tiba-tiba saja mematung di tempatnya, pun dengan suara nyaring yang baru saja menembus kasar gendang telinga. Kompak, kedua siswa berseragam yayasan SMA Globantara itu memutar bola mata guna memastikan apa yang sedang terjadi.
Di koridor seberang, Kanis tampak sedang berdebat dengan Harum. Beberapa siswa lain terlihat mengerubungi mereka lantaran penasaran dengan apa yang tengah terjadi.
“Minggir!” Harum mendesis, didorongnya tubuh Kanis ke arah samping. Bersamaan dengan itu, Yazar dan juga Mika buru-buru berlari ke arah mereka.
“Rum, lo sebenarnya kenapa, sih?” Kanis tak ingin menyerah. Selangkah kaki Harum meninggalkannya, dicengkeramnya lengan gadis itu dengan kuat. Menahan Harum pergi. Tak ingin Harum pergi lagi meninggalkannya seperti dulu.
Kanis sadar, dulu ia bukan sahabat yang baik. Acap kali ia melukai Harum dengan kata-kata kasarnya. Mengejek, mencibir, dan hal buruk lainnya. Namun, demi semua hal yang dicintainya, Harum adalah salah satu hal terpenting yang ada dalam hidupnya. Saat ia tahu Harum menghilang, ia bahkan butuh berbulan-bulan lamanya untuk bisa tidur dengan pulas.
Kebahagiaan Kanis mekar kala ia mendengar Harum Areta, sahabat baiknya, masuk ke sekolah yang sama dengannya sebagai siswa pindahan. Sungguh tak ada yang membuat Kanis bahagia selain mendengar kabar itu. Namun, tentu saja bukan keadaan seperti ini yang ia harapkan.
“Rum ...”
“MINGGIR!” Harum kesal. Dilepaskannya tangan Kanis sebelum mendorong tubuh gadis itu dengan keras.
Kanis yang berada dalam posisi tak siap, terhuyung sehingga tubuhnya menabrak orang-orang, yang sejak awal memang sudah mengerubunginya. Ia jatuh terduduk di atas lantai yang entah kenapa terasa sedingin salju.
Ketika Mika sibuk membubarkan kerumunan yang ada dan berhambur ke sisi Kanis, Yazar melihat Harum dengan santai mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya.
Satu botol air mineral.
“Siapa pun lo di masa lalu gue, jangan pernah mengusik hidup gue lagi.”
Rasanya terlalu cepat saat Yazar melihat Harum menumpahkan air dalam botol itu ke tubuh Kanis. Rasanya terlalu cepat saat Yazar mendengar seberapa runcingnya kalimat Harum. Rasanya terlalu cepat saat Yazar melihat Harum berbalik kemudian pergi meninggalkannya, meninggalkan Kanis, dan meninggalkan orang-orang yang hanya menatapnya tak percaya.
Tangisan Kanis pecah. Pecahan itu turut menancap dalam dada Yazar. Sesak sesaat menghimpit paru-parunya kala sadar Kanis yang tak pernah menangis, bahkan ketika kalah dalam pertandingan karate, kini terisak hebat dalam dekapan Mika.
Yazar menarik napas perlahan. Berusaha menguasai diri. Ia tidak berniat mengizinkan penyakitnya menyerang saat ini. Maka dari itu, setelah kesadarannya yang sempat ditelan bulat-bulat oleh keterkejutan kembali muncul, Yazar segera menghampiri Kanis. Menyampirkan jaket yang tengah dikenakannya di tubuh gadis itu. Lantas berlalu menyusul Harum setelah sebelumnya memercayakan teman perempuannya itu pada Mika
***
Yazar gelisah. Selama pelajaran berlangsung, fokusnya tak bisa ia kendalikan. Alih-alih mendengarkan Bu Inka—guru matematika paling judes di SMA Globantara—nyerocos soal materi pelajaran yang untungnya sudah ia pelajari bersama Ginan tadi, Yazar lebih sibuk mencuri-curi pandang ke arah Harum.
Harum tampak sedang asyik menulis sesuatu. Entah apa, Yazar tidak tahu. Mungkin materi yang sedang Bu Inka jelaskan. Mungkin juga hal lainnya.
“Ada apa sih, Zar?”
Gelengan singkat Yazar berikan sebagai jawaban atas pertanyaan Ginan. Kembali, ia mengalihkan tatapannya pada buku catatan. Pura-pura fokus pada angka-angka di baliknya. Padahal, ingatannya tengah menari-nari ke kejadian beberapa saat yang lalu.
Di sampingnya, Ginan tak ingin berkomentar lebih jauh juga kendati rasa penasaran berkumpul dalam kepalanya. Pasalnya, ia tidak tahu kejadian apa yang telah ia lewatkan beberapa menit yang lalu. Mika tiba-tiba bolos, dan sekarang Yazar terlihat begitu aneh.
Yazar menatap bangku di hadapannya. Kosong. Mika belum kembali. Kemungkinan masih menemani Kanis yang tengah terpukul saat ini.
Bagaimana pun juga, dibanding dirinya, Kanis jauh lebih dekat dengan Harum. Hal wajar jika gadis itu merasa sangat terluka lantaran teman baiknya, teman yang ia sayangi, yang pernah turut melukis warna dalam lembaran hidupnya, tempat berbagi banyak hal, kebahagiaan dan kesedihan, tiba-tiba menghilang dan kembali dengan fakta yang sungguh memilukan.
“Siapa pun lo di masa lalu gue, jangan pernah mengusik hidup gue lagi.”
Kata-kata Harum kembali terngiang. Membuat kepala Yazar terasa akan pecah dan hancur berkeping-keping. Rasanya seperti seluruh polutan yang ada di alam raya ini berkumpul dalam kepalanya. Begitu penuh. Tanpa sadar, Yazar memukul-mukul kepalanya sendiri. Mengundang tolehan heran dari Ginan.
Baru Ginan hendak melempar tanya, saat Bu Inka memaksa ia mengulum kembali pertanyaan itu. Guru bertubuh sintal itu baru saja memanggilnya, menyuruh ia mengisi deretan soal hitungan di papan tulis.
“Ah, pusing banget!” Yazar menidurkan kepalanya di atas meja, sementara Ginan berjalan ke depan kelas, selepas melirik laki-laki itu sekilas.
***
“Zar, gue ada les.”
“Hm ...” Sebelum mengambil sapu di pojok ruangan dekat pintu, Yazar menyempatkan diri untuk menghampiri Ginan yang kini berdiri di ambang pintu. “Yaudah, lo duluan aja.”
“Harus, ya, lo yang ngerjain?”
Yazar mengangguk selagi bibir pucatnya mengulas senyum tipis. “Enggak apa-apa, cuma beresin kelas doing, kan? Lagian ada Gita sama Amel juga yang bantuin. Lo burun pergi, gih. Telat, loh, entar.” Didorongnya pelan tubuh laki-laki itu itu keluar dari dalam kelas.
Ginan berdecak. Heran kenapa ada orang macam Yazar yang selalu menomorsatukan kepentingan orang lain. “Mika harus bayar denda dua puluh kali lipat sama lo entar,” ujarnya, lantas menggerakkan tungkainya menjauhi tempatnya.
Yazar hanya terkekeh mendengar kata-kata Ginan. Meski selalu diam, Yazar tahu kalau laki-laki yang selalu disibukkan dengan tumpukan buku-buku pelajaran itu menyimpan perhatian lebih untuk orang-orang terdekatnya. Ia adalah salah satunya
Yazar mulai mengambil bagian paling pojok ruangan, tempat di mana Harum duduk, setelah membawa sapu di tangannya.
“Kok lo mau, sih, Zar, gantiin Mika piket? Lagian, orangnya juga enggak peduli.” Amel yang saat ini berada tak jauh dari posisinya tiba-tiba bertanya. Teman sekelas yang juga piket di hari yang sama dengan Mika.
“Enggak tahu juga, sih, kenapa gue mau.” Yazar tertawa kecil. Ia mengangkat bangku ke atas meja. Dan, saat itu juga netranya melihat gulungan kertas jatuh di bawah kakinya.
“Jadi orang jangan terlalu baik juga, sih, Zar. Ya kali, kalau orang yang lo baikin itu tahu diri.”
Yazar tersenyum sebentar ke arah Gita yang juga turut memberi komentar sebelum mengatakan, “Oke.” Hanya itu yang bisa ia berikan sebagai respons lantaran kertas di bawah kakinya kini jauh lebih menarik perhatian.
Penasaran, Yazar buru-buru memungut kertas itu dan melihat isinya. Seketika ia membeku melihat apa yang ada di balik kertas berwarna hijau stabilo itu.
Di sana, ada tulisan tangan Harum. Yazar kenal betul tulisan itu.
Bersambung
Bandung, 17 Mei 2022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top