Part. 8 - Exclusive Private Session

WARNING : MATURE CONTENT (21+)
Written by. Sheliu.

Hari Kamis, bukanlah hari yang dipergunakan Neil untuk mencari kesenangan duniawi yang biasa dilakukan di akhir pekan. Tapi kali ini, pengecualian. Semua karena hasrat yang tertahan atas permainan mulut Ayle yang tidak selesai, juga ekspresi amarah bercampur sedih yang ditampilkan wanita itu saat berhadapan dengan lelaki tua yang berada di depan lobby apartemennya.

Setibanya di rumah dan sudah membersihkan diri, tetap saja Neil merasakan pening di kepala karena belum menuntaskan hasrat sialan yang membuatnya terngiang akan permainan mulut wanita ular itu. Alhasil, dia pun menelepon kenalannya untuk menyiapkan ‘barang’ yang dibutuhkan.

“Yes, Bos!” suara Sergio terdengar di sebrang sana, saat dirinya sedang bergegas menuju garasi.

“Pesen satu buat gue malam ini,” ucap Neil dengan nada malas.

Tumben amat hari gini minta? Biasanya, lu minta di Sabtu,” balas Sergio heran.

“Nggak usah banyak tanya!” sahut Neil ketus sambil membuka pintu mobil.

“Tapi double fee yah kalo dadakan kayak gini.”

“Terserah! Yang penting, gue nggak mau cewek sembarangan.”

“Ya, ya, ya, gue tahu selera lu kayak gimana. Cari cewek buat main di kelab, tapi maunya nggak sembarangan. Untung temen lama, kalo pelanggan baru sih, bisa gue bacok!”

Neil hanya terkekeh dan menutup teleponnya. Memang lucu jika mencari wanita yang bukan sembarangan di klub malam, karena itu adalah hal yang mustahil. Tapi, bukan sembarangan versi Neil adalah wanita yang tarifnya selangit, yang sudah pasti tidak sering dipakai oleh pria sembarangan, selain memiliki uang banyak.

Sebenarnya, bukan hal sulit bagi Neil untuk mendatangi bar atau kafe eksklusif, dan mencari wanita dengan mengajak berkenalan, lalu menjalani ritual one night stand yang berkesan. Itulah yang sering dilakukan untuk memenuhi kebutuhan batinnya. Tapi sekali lagi, malam ini adalah pengecualian.

Suasana hatinya begitu buruk dan membuatnya ingin segera menuntaskan hasratnya tanpa basa basi, atau melakukan perkenalan yang membuatnya terlihat seperti pria yang haus birahi. Malam ini, dia akan mendapatkan keinginannya tanpa perlu membuang waktu, tapi justru bisa memegang kendali.

Untungnya, Sergio memberitahukan bahwa ada satu wanita pilihan yang bisa melayaninya malam ini. Sergio menjamin jika wanita itu termasuk jajaran eksklusif, yang tidak begitu sering menerima job seperti itu, tapi pelayanannya tidak mengecewakan.

Dan sialnya, wanita terpilih itu adalah wanita ular, yang justru membuatnya mengambil jalan pintas untuk menuntaskan gairahnya malam ini. Ayle. Fuck! Tidak mengerti apa yang terjadi saat ini, Neil cukup kaget mendapati Ayle yang memiliki pekerjaan sampingan di luar Sinergindo dalam balutan yang... sangat nakal.

Memiliki kekagetan yang sama, juga dengan berani menolak dirinya, Ayle benar-benar sudah membuatnya muak. Keadaan diperparah saat wanita itu memperlihatkan kebolehannya dalam melakukan pole dance, tampak mempesona dengan setiap gerakan tariannya yang erotis, dan sukses membuat kepala Neil semakin pening oleh gairah.

Tidak salah jika Neil menjulukinya sebagai wanita ular, karena Ayle benar-benar tahu bagaimana caranya menggoda. Ciumannya begitu luar biasa, tapi tidak cukup mampu untuk membalas kekasaran Neil. Tubuhnya begitu seksi dan menggoda, tapi tidak cukup tangguh untuk menghadapi sentuhannya.

Seperti yang pernah dilakukan sebelumnya, meski berani menggoda secara terang-terangan, tapi pertahanan Ayle seolah memiliki batas tertentu, hingga akhirnya, menunjukkan kerapuhan dirinya sendiri.

Gugup, canggung, dan takut, itulah yang dirasakan Neil ketika Ayle mulai terbuai dalam desiran gairah yang diciptakan oleh Neil padanya. Berusaha menahan diri lewat ekspresi angkuhnya yang palsu, Ayle meneguk minuman banyak-banyak untuk mengusir kegugupan, tapi justru salah langkah. Neil bahkan menikmati ketidaksanggupan Ayle dalam menghadapinya. Bisa jadi, rasa kagetnya masih belum pudar sehingga melakukan hal diluar akal sehat.

Cat got your tongue, huh?” bisik Neil dengan sinis, ketika Ayle mendesah keras di bawahnya.

Ayle berada di bawah tindihannya. Telanjang. Panas. Bergairah. Deru napasnya kian memburu dan sepasang payudaranya mengayun lembut setiap kali dia bernapas. Terbaring pasrah, membiarkan mulut Neil menyesap kulit lehernya, kedua kaki yang sudah dilebarkan dengan satu tangan Neil bermain di celah basahnya, Ayle sudah tidak berdaya.

“Brengsek!” umpat Ayle dengan parau, dan kembali mendesah saat Neil sudah mengulum putingnya, lalu menggigitnya dengan keras.

Harus diakui Neil jika Ayle merawat tubuhnya dengan baik. Sejauh ini, tubuh Ayle adalah terlembut dan terindah yang pernah dijamahnya. Payudara yang membusung indah, begitu pas di telapak tangan, memberi kesenangan tersendiri saat menyesap keras di sekitaran payudara, dan meninggalkan jejak merah di sana.

Tubuh Ayle melengkung, mulai gelisah, dan desahannya semakin terdengar berat. Bahkan, dia sudah sangat basah, memudahkan dua jari Neil tertanam di dalam tubuhnya, dan bergerak maju mundur. Cairan gairah Ayle semakin banyak, terlebih lagi ketika Neil memainkan klitorisnya dengan ibu jari.

“Ah, ah,” erang Ayle frustrasi.

“Enak, hm? Nggak pernah ngerasain seenak ini selama jadi mainan?” ejek Neil.

Ayle menatapnya dengan sorot mata sayu, tapi ekspresinya mengejek. “Gue berusaha bikin lu sombong, biar lu... n-nggak terkesan cupu. Ouch!!!”

Neil menekan dua jarinya lebih dalam, lalu menarik dan mendorongnya lebih keras. Hal itu sanggup membuat napas Ayle terengah. Meski mulutnya terus mengeluarkan ejekan, tapi tubuhnya berkata lain. Kentara sekali jika Ayle menahan diri untuk tidak menikmati, tapi justru erangannya yang mendamba membongkar semua kepalsuannya.

Tubuh Ayle menegang, Neil tahu jika Ayle akan segera mendapatkan pelepasannya, dan tentu saja, dia tidak akan mempermudah. Dengan sengaja, dia menghentikan gerakan jarinya dan membuat Ayle mengerang kecewa.

“Frog!” sembur Ayle kesal.

“Kenapa? Butuh bantuan?” balas Neil sambil menyeringai licik.

Ayle mengatupkan bibir dan menatapnya dengan ekspresi kesal. Terlihat bersusah payah untuk menahan dirinya yang tampak kewalahan dalam menenangkan diri yang hampir saja meledak.

“Nggak!” putusnya keras kepala.

Neil menarik dua jarinya dan kini mengusap naik turun celah basah Ayle, kembali menaikkan reaksi tubuh Ayle dengan mudah.

“Kalau mau lanjut, cukup minta tolong,” bisik Neil.

Ayle menggelengkan kepala, tapi kemudian mengerang parau saat Neil menggelitik klitoris Ayle dengan jari tengahnya. Sentuhan Neil bagaikan sengatan listrik yang sudah membakar habis gairah Ayle hingga luluh lantah. Tubuhnya kembali menegang, bahkan menaikkan pinggul untuk Neil memperdalam sentuhan sambil memejamkan matanya dengan erat, seakan tidak mampu membendung gejolak kenikmatan yang akan mendera.

Seperti mengetahui Neil yang akan menghentikan sentuhan karena tidak kunjung mendengar permohonannya, Ayle menahan tangan Neil sambil menatap dengan lirih.

“Apa?” tanya Neil dengan satu alis terangkat.

“P-Please,” jawab Ayle dengan suara berbisik.

“Nggak kedengeran. Yang kenceng ngomongnya,” balas Neil sambil mengarahkan telinga pada bibir Ayle.

Neil mengulum senyum geli ketika bisa mendengar geraman Ayle, tapi bukan umpatan yang terdengar, melainkan sebuah permohonan dalam nada yang begitu lembut dan terkesan malu di dalamnya.

Please, lanjutin. Jangan berhenti.”

Ucapan Ayle sukses melambungkan hasrat Neil hingga melesak naik ke kepala, yang membuat rasa peningnya semakin berdenyut. Juga, ketegangan pada tubuhnya berkedut nyeri dan sudah tidak sabar untuk mendapatkan pelepasannya.

Dengan gerakan cepat, Neil mengambil posisi sambil melebarkan kedua kaki Ayle, dan mengarahkan kejantanannya pada celah basah Ayle. Dalam satu hentakan kasar, Neil memasuki Ayle dengan mulus dan keduanya langsung mengerang penuh nikmat.

Neil bahkan memejamkan matanya untuk menikmati hangat dan sempitnya tubuh Ayle di sepanjang ketegangannya. Degup jantungnya bergemuruh kencang, hasratnya semakin bergejolak, dan pinggulnya bergerak otomatis untuk memulai gerakan maju mundur.

Menarik dan mendorong ke dalam tubuh Ayle yang basah. Bahkan, semakin terasa licin di setiap kali Neil mengulang gerakannya. Sama sekali tidak bermain pelan, justru semakin kencang. Hentakan yang dilakukan Neil begitu keras, dan mendesak tubuh Ayle dengan tergesa.

“Ahh, N-Neil!” jerit Ayle kencang, saat mendapatkan klimaksnya sambil menaikkan pinggul agar Neil bisa masuk lebih dalam, untuk menambah kenikmatannya.

Denyutan klimaks Ayle terasa di sepanjang kejantanannya, membuat ketegangannya semakin keras, dan membesar. Napas Neil semakin memburu, seolah berpacu dengan waktu yang kian menipis dalam mencapai garis finish. Neil terus memompa tubuh Ayle, menggali lubang kenikmatan lebih dalam dan lebih banyak, menambah klimaks Ayle dalam hitungan detik dalam jeritan yang lebih kencang dari sebelumnya.

“Fuck!” erang Neil parau, ketika napasnya memberat, kepalanya semakin pening, dan kehangatan itu menjalar di sekujur tubuhnya.

Mendesak lebih kuat dan mengentak lebih keras untuk yang terakhir kali, di situ Neil mendapatkan pelepasannya dalam denyutan keras di tubuh Ayle. Keduanya melebur dalam klimaks yang terasa panjang dan saling merengkuh dalam pelukan untuk menikmati penyatuan yang masih terjadi.

Selama beberapa saat, keheningan tercipta dalam ruangan itu. Hanya deru napas keduanya yang terdengar dan masih memburu kasar. Masih berusaha menenangkan diri, Neil memejamkan mata dan membawa Ayle dalam pelukan yang lebih erat. Ayle pun tidak menolak, tapi justru tampak nyaman bersandar di dadanya.

“Gue akui, lu cukup hebat di ranjang,” ujar Ayle pelan.

Neil membuka mata dan menunduk untuk menatap Ayle jenuh. “Atau mungkin kamu yang nggak pernah dapetin enaknya yang kayak tadi.”

“Gue pernah dapet yang lebih hebat kayak tadi,” balas Ayle seolah tidak mau kalah.

“Hm, terserah.”

Neil tidak ingin berdebat dengan hal yang konyol seperti itu. Jika Ayle memang hebat soal pria, seharusnya dia tahu jika tidak semua pria mampu memberikan multiple orgasm seperti yang dia berikan. Bisa jadi, Ayle belum pernah merasakan orgasme sebelumnya, sampai harus menjadi begitu sensitif terhadap sentuhannya yang belum seberapa.

Kemudian, Ayle mendorong Neil dan melepaskan penyatuan di antara mereka. Neil mendesah pelan ketika penyatuan itu terlepas. Dia masih terbaring di sofa bed itu, saat Ayle mulai membersihkan diri.

“Kenapa buru-buru? Ada langganan lain yang nungguin?” tanya Neil datar.


“Perjanjian kita cuma satu kali main. Habis itu, kelar,” jawab Ayle sambil memungut pakaian seksinya yang tadi. 

“Habis itu, kamu lanjut dan...”

“No. Gue nggak pernah ambil double job dalam satu malam. Lagian, gue baru satu kali terima job dalam bulan ini, dan sialnya malah dapetin lu,” sela Ayle yang sedang memakai pakaiannya.

Neil menyunggingkan senyum sinis dan menatap aktifitas Ayle yang sedang berpakaian dalam posisi membelakanginya dengan tatapan menilai. Wanita itu tampak tidak fokus, sepertinya efek minuman yang diteguknya tadi sudah bekerja, dan juga aksi bercinta mereka membuatnya lelah.

“Jadi, Om-Om yang samperin kamu di lobby apartemen itu siapa? Langganan yang komplain karena kamu mainnya kurang bagus?” tanya Neil tanpa beban, dan berhasil membuat aktifitas berpakaian Ayle terhenti.

Wanita itu menoleh padanya dengan ekspresi dingin. “Ngapain lu kepohin urusan gue?”

“Cuma nanya,” balas Neil enteng.

“Nanya itu udah termasuk kepo!” sahut Ayle kesal.

Suasana hati Ayle langsung memburuk setelah pertanyaan Neil barusan. Ada yang tidak beres, pikir Neil. Sepertinya, lelaki tua yang dilihatnya tadi bukan seperti apa yang dipikirkannya.

Kemudian, Neil segera beranjak dan mulai berpakaian. Ayle mengumpat ketika kesusahan dalam memasang korsetnya. Terlihat gugup, juga gelisah, entah apa yang membuatnya seperti itu hingga tampak berbeda dari siang tadi. Neil yakin jika Ayle baik-baik saja, selain masalah heels-nya yang patah.

Tapi saat ini, Ayle tidak seperti biasanya. Juga, sikap yang ditampilkan padanya bukan seperti wanita yang sukarela menjajakan diri untuk mendapatkan nilai rupiah yang tidak seberapa, meski mungkin saja kejutan seperti dirinya yang menjadi pelanggan termasuk salah satu alasan yang membuatnya seperti itu.

“Berapa yang kamu terima dari Sergio setelah selesai?” tanya Neil sambil memakaikan jas-nya untuk menutupi tubuh Ayle.

Ayle tersentak kaget dan menoleh padanya dengan sengit, meski tidak menolak jas milik Neil yang kebesaran di tubuhnya yang mungil.

“Emangnya kenapa? Lu mau kasih gue tip? Transfer aja ke rekening gue, lu kan tahu semua nomor rekening karyawan karena lu yang urus gaji,” balas Ayle ketus.

“Yang saya tahu, gaji karyawan di Sinergindo, sudah lebih dari cukup untuk biaya hidup dan belanja kebutuhan. Nggak perlu sampai jual diri kayak gini,” sahut Neil sambil menyilangkan tangan.

“Gue mau beli tas baru, sekaligus sepatu baru yang udah lu bikin patah! Puas?” balas Ayle dengan nada tersinggung.

“Saya yakin, Pak Renald akan bawain oleh-oleh dari London. Minimal handbag Burberry atau Gucci. Dan soal sepatu, itu kamu yang cari penyakit sendiri.”

Ayle mendengus kesal sambil bertolak pinggang. “Kalo lu nggak mau kasih tip, yah bilang aja. Gue udah yakin kalo lu tuh orangnya pelit!”

“Saya cuma tanya, berapa yang kamu dapat dari Sergio? Kamunya aja yang ngomongnya ngalor ngidul.”

“Sepuluh juta! Puas?”

Neil memberikan ekspresi datar ketika mendengar nominal yang tidak seberapa. Dia bahkan membayar Sergio sebanyak tiga kali lipat dari jumlah yang disebutkan Ayle. Sungguh, cara Sergio dalam mencari keuntungan sudah keterlaluan, meski sebenarnya itu bukan urusannya.

Tapi, jika Ayle hanya mendapat jumlah sedikit itu, rasanya tidak pantas untuk ukuran tubuh dan pelayanan yang cukup memuaskan seperti tadi. Ayle layak mendapatkan nominal yang lebih dari itu.

Sebuah ide tiba-tiba terlintas, dan senyuman sinis Neil mengembang begitu saja. Rasanya tidak ada yang dirugikan di sini, melainkan keuntungan bagi satu sama lain.

“Ngapain lu senyum-senyum? Nggak usah sok kegantengan, karena lu lebih cocok jadi culun kayak tadi siang daripada kayak yang sekarang,” sewot Ayle dan mulai memakai sepatu tingginya.

“Saya antar kamu pulang,” ujar Neil.

Gentleman sekali Anda, bisa anterin cewek kayak gue pulang. Apa selalu kayak gitu kalo lu abis main?” ejek Ayle sambil meliriknya sinis.

“Ibarat habis nabrak kucing, supaya nggak sial, harus nguburin kucingnya sampe kelar,” tukas Neil tanpa beban. “Anggap aja, itu tip dari saya.”

“Nggak, makasih! Dianter pulang sama lu, udah pasti gue yang sial!”

“Dengan konsekuensi kamu bakalan dikerjain sama cowok lain, di saat kamu udah mulai mabok?”

“Apa bedanya dengan gue yang udah dikerjain sama lu barusan?”

“No, saya nggak ngerjain. Kamu yang mau dikerjain dan minta tolong sama saya untuk puasin kamu tadi.”

Shit! Makin pusing kepala gue kalo ngomong sama lu! Intinya, urusan kita kelar di sini, dan gue mau pulang sendiri aja!”

“Saya punya tawaran menarik, hitung-hitung bisa jadi tambahan buat kamu.”

“Apa?”

“Kalo kamu tertarik, ikut saya.”

Sambil memasukkan dua tangan ke dalam saku celana, Neil berbalik dan berjalan santai untuk keluar dari ruangan itu. Senyumnya mengembang ketika Ayle mengikutinya di belakang. Saat mereka berjalan menyusuri koridor, beberapa siulan terdengar untuk Ayle, dari pengunjung pria yang sedang menunggu antrian di sisi kanan.

Neil menoleh dan mendapati Ayle hanya menatap remeh pada lelaki yang bersiul ke arahnya. Perlu diakui jika wanita itu menjunjung tinggi harga dirinya yang Neil nilai tidak seberapa. Atau mungkin, sama sekali sudah tidak ada? Hm.

Ayle melewatinya untuk berjalan lebih cepat ketika sudah tiba di lantai satu dan masuk ke dalam sebuah ruangan. Ada beberapa wanita yang berpakaian minim keluar dari ruangan itu, melambaikan tangan sambil mengedipkan sebelah mata pada Neil, dan ada juga yang dengan sengaja menyentuh dirinya.

Tidak lama kemudian, Ayle keluar dan sudah berganti pakaian kasual. Meski hanya memakai kaus putih dan skinny jeans, tetap saja wanita itu terlihat menarik.

Frog, udah deh. Gue pulang naik taksi aja. Supir taksi di sini rata-rata udah gue kenal. Kalo niat lu buat nganterin gue pulang, cuma karena mau ngancem soal malam ini, lu tenang aja, gue juga nggak sudi digosipin sama lu,” ujar Ayle ketus, setelah mereka sudah tiba di lobby klub.

Neil berbalik dan menatap Ayle yang tampak kacau. Bukan karena penampilan, tapi ekspresinya. Dia tahu jika Ayle tidak akan membocorkan urusan malam ini. Hanya saja, Ayle sudah mengetahui sosok dirinya yang sekarang dan dia tidak ingin hal itu sampai diketahui oleh semua orang di kantor.

Sebagai seorang yang anti dalam memiliki affair dengan staff atau rekan kerja, Neil tidak ingin urusan pribadi dicampur-adukkan dengan urusan pekerjaan. Tapi dengan Ayle, sepertinya itu bisa dijadikan pengecualian. Dia yakin jika wanita itu membencinya, demikian juga dirinya yang sama sekali tidak tertarik pada Ayle, selain seks semata.

“Saya butuh seks dan punya uang,” ucap Neil blak-blakan. “Kamu butuh uang dan punya vagina. Nothing to lose.”

Ayle tertegun, lalu membuka mulut sambil membelalakkan matanya. Tampak kaget dengan ucapan Neil barusan. Ide itu cukup gila, tapi harusnya tidak menjadi masalah.

“Saya bisa kasih lima kali lipat dari yang Sergio kasih ke kamu malam ini sebagai imbalan, selama kamu siap layanin saya, kapan pun saya butuh. No strings attached, just sex,” lanjut Neil santai.

“L-Lu tawarin gue jadi simpanan?” tanya Ayle dengan ekspresi yang masih kaget.

“Terserah kamu mau bilangnya apa. As long as I got what I want, and you got the amount of money,” jawab Neil.

Seringaian sinis Neil mengembang ketika bisa melihat Ayle bungkam. Dan tentu saja, tawaran menggiurkan itu sudah pasti tidak akan bisa ditolak. Karena Neil bisa melihat ada tujuan yang diinginkan Ayle dalam mencari kesenangan dan keuntungan. Sebab, segala sesuatu akan dipermudah jika memiliki uang yang banyak karena bisa membeli semua yang diinginkan. Termasuk wanita, juga Ayle.



🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷


Ya, ya, ya, part ini ada inputan dari
CH-Zone karena beliau bantu revisi.
Orangnya kepengen banget di-tag, heran 😑

See you next week!



03.05.2020 (18.29 PM)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top