Part. 6 - Double shit
Written by. Sheliu.
Seumur hidupnya, Neil yakin tidak pernah menggoda atau melempar tantangan yang konyol seperti tadi. Apa katanya soal pembuktian ukuran payudara Ayle? Tentu saja Neil bisa melihat dengan mata kepalanya sendiri jika ukuran payudara yang dimiliki wanita itu di atas rata-rata. Bulat, padat, dan sempurna. Neil pernah menyentuhnya dan meremasnya, yang terasa pas di telapak tangannya.
Dan keadaan diperparah dengan kegilaan wanita itu yang menantangnya balik tanpa ragu. Sepertinya radar kegilaan Ayle menular pada Neil yang terjebak dalam tantangan yang tidak masuk akal saat ini. Semua karena wanita ular itu yang mengganti pakaian tanpa malu di dalam mobil vintage-nya, yang sukses membuat tubuh Neil menegang hingga berdenyut nyeri. Dia bahkan menahan napas ketika melihat Ayle yang setengah telanjang saat berusaha memakai pakaian santainya tadi.
"Okay, stop! Nggak usah buka-buka!" seru Neil sambil menahan tangan Ayle yang sudah menarik ujung kaosnya, hendak melepas atasannya.
Satu alis Ayle terangkat dan menatapnya dengan ekspresi merendahkan. "Ckck! Nggak berani kan lu? Bilang aja punya lu kecil, takut keburu malu jadinya..."
Neil segera membungkam mulut Ayle dengan ciumannya. Tidak begitu suka bagaimana mulut itu terus mengeluarkan perkataan yang kasar dan begitu lancang, herannya memicu keinginan Neil untuk menghentikan dengan caranya yang sudah menjadi kesukaan. Yaitu menciumnya dengan rakus.
Harus diakui berciuman dengan Ayle terasa menyenangkan. Balasan yang diterima Neil dari Ayle tidak kalah liarnya, seolah bisa menandingi tekniknya dalam memainkan lidah, mengeksplorasi rasa, dan mengembangkannya menjadi sebuah hasrat yang menggelora.
Satu tangan Ayle bergerak dengan cepat untuk meraba ketegangan yang sudah terjadi sedaritadi. Selain meraba, Ayle mengusap naik turun, lalu mengerang penuh damba sambil meremasnya pelan. Shit! Kepala Neil tiba-tiba pening oleh gairah yang semakin tak tertahankan.
"You're big, Frog! Damnit!" ucap Ayle dengan suara tercekat, lalu mengerang parau ketika tangan Neil sudah menyelinap masuk ke dalam kaos dan meremas payudaranya dari balik bra.
"Hmmm, not bad, Woman!" balas Neil.
Ayle segera mendorong bahu Neil, melepas ciuman itu, dan menatapnya dengan ekspresi mendamba. "Gue pengen nyobain lu."
Ayle segera beranjak dari kursinya untuk berpindah ke sisi kemudi yang ditempati Neil, sementara Neil spontan memundurkan jok kursi hingga batas terjauh. Tubuh Ayle yang mungil membuatnya mudah berlutut di depan pangkuan Neil.
Dengan sorot mata yang mengerling nakal, Ayle sudah bekerja untuk membuka celana Neil, dan membebaskan ketegangannya yang langsung membuat napas Ayle memberat.
"Sial! Ini yang bikin gue basah!" umpat Ayle dalam suara bergumam.
"What? Nggak pernah ngeliat yang kayak gini? Kasian," ejek Neil dengan seringaian puas saat melihat ekspresi kaget Ayle.
Ayle memutar bola matanya sambil mengarahkan dua tangan untuk menggenggam sepenuhnya milik Neil. Shit! Ayle benar-benar tahu bagaimana caranya memijat, meremas, bergerak naik turun, lalu dilakukan berulang pada ketegangannya, sampai Neil melepas sebuah erangan berat.
Neil bersandar sambil memejamkan mata ketika Ayle mencium kepala kejantanannya, lalu menjilat sekali, dua kali, dan mengulum semampu yang dia bisa, kemudian diakhiri dengan mengisap hingga terlepas. Hisapan kembali dilakukan, semakin keras di hisapan berikutnya, dan sukses membuat Neil seperti melayang.
Napasnya sudah memburu kasar, menikmati layanan blow job yang paling terhebat yang pernah dirasakannya, dan mampu membuatnya hilang akal. Seperti sekarang. Persis saat dia yakin jika dirinya akan mencapai pelepasan, kenikmatan itu berhenti tanpa permisi.
Neil segera membuka mata dan mendapati Ayle beranjak dari posisi untuk kembali pada kursinya.
"What the fuck are you doing?" desis Neil sambil melotot tajam.
Ayle mengusap bibirnya dengan tissue, membuka tasnya dengan santai, dan mengambil cermin kecil untuk memperbaiki penampilan.
"Lipstick di bibir gue hilang, jadinya gue perlu touch up. You know? Lipstick is my life, jadi ngerasa kurang seksi aja gitu kalo bibir gue pucat," ujar Ayle sambil menyeringai licik.
Neil mengumpat dalam hati sambil menenangkan diri untuk meredakan ketegangan selagi Ayle memulas bibirnya. Dia sudah merasa begitu dongkol karena niat balas dendam Ayle yang begitu sukses mempermalukannya sekarang.
"Udah mulai horny sama gue? Enak nggak kalo lagi udah mau sampe, tapi lu berenti gitu aja?" cibir Ayle sambil meliriknya singkat, lalu kembali menyempurnakan polesan bibirnya.
"Jadi kamu niat buat ngebales?" celetuk Neil sambil membetulkan kembali celananya dan membetulkan posisi kursi.
"Nggak juga. Gue cuma mau lu tahu kalo gue bukan cewek yang gampang kasih sesuatu kayak gitu, kecuali kalo gue yang mau," ujar Ayle sambil menutup lipstick dan menaruhnya ke dalam tas.
"Padahal kamu udah sering begituan sama cowok lain, kan?"
"Kata siapa? Nggak usah sotoy. Gue emang keliatan gampangan, tapi nggak murahan. Biar gini, gue juga milih-milih."
"Penyuka seks bebas?" tanya Neil sambil melirik pada Ayle yang sedang menyibak rambut panjangnya.
"Emangnya lu nggak?" balas Ayle sambil menoleh dengan ekspresi malas.
"Wajar kalo cowok," sahut Neil.
Ayle tertawa hambar sambil menyilangkan tangan, yang spontan membuat Neil menunduk untuk melihat sepasang payudaranya yang menggoda.
"Kenapa sih pikiran lu itu sama kayak penampilan lu? Sama-sama ketinggalan zaman! Cowok boleh ngeseks sama siapa aja, kenapa cewek nggak? Sama-sama enak kok, juga sama-sama butuh."
"Anggap aja saya kudet. Apa kamu nggak malu dijadiin bahan omongan orang?" tanya Neil sambil menyalakan mesin mobilnya.
Mobil tua yang sudah menjadi kesayangannya adalah pemberian kakek yang sangat dihormati Neil. Sama-sama penyuka mobil vintage, kakeknya sampai menulis dalam surat wasiatnya tentang mobil itu harus dirawat oleh Neil dan dia sudah melakukannya. Meski tetap saja, mesin yang ada di dalam mobil tua itu cukup terdengar mengganggu saat dinyalakan.
"Kenapa gue harus malu kalo yang bikin dosa nyinyir itu orang lain? Biarin aja mereka mau ngomong, mulut orang mana bisa gue tahan? Aarrrggghhh, kenapa sih lu nggak bawa mobil yang bagusan dikit?" keluh Ayle frustrasi.
"Nggak ada masalah dengan mobil ini," balas Neil enteng.
"Iya, yang masalah itu lu. Jadi kepala divisi di Sinergindo, gaji udah tiga digit! Pak Renald aja pake SUV Porsche, Pak Dion pake BMW M140i, dan yang lainnya udah pake kendaraan berkelas. Cuma lu aja yang pake mobil butut. Pelit banget sih lu jadi orang! Heran!"
"Saya nggak butuh prestise yang nggak guna kayak gitu. Lagian, berapa gaji saya, nggak perlu kamu tahu."
"Helloooo... yang mau kepohin gaji lu itu siapa? Gue cuma bilang kalo lu perlu banget ganti mobil. Seriusan deh, lu nggak pernah ada kejadian mogok atau apa? Mobil ini aja udah jauh lebih tua dari umur gue yang masih ababil gini!"
"Mogok udah sering, dan itu biasa."
"What? OH. EM. JI... salah apa hamba ya Lord? Tahu gitu gue bener-bener naik taksi! Rugi bandar kayak gini. Naik mobil butut, kasih semi blow job, dan uuuggghhhh, panas banget! AC mobil lu kenapa pake rusak sih?"
Neil menggeram pelan ketika mendengar keluhan wanita itu yang seolah tidak ada habisnya. "Bisa diem aja gak, sih? Berisik banget!"
"Cewek kalo nggak berisik, lu nggak bakalan tahu kalo cewek itu enak ato nggak!"
"Oh, jadi kamu termasuk yang cukup berisik? Hmm."
"Nggak juga. Selama ini nggak ada satu pun yang pernah bikin gue sampe senikmat itu. You know why? Itu artinya permainan cowok itu rata-rata payah."
"Mungkin kamunya aja yang mainnya kurang jauh," cibir Neil tanpa ekspresi.
Ayle terkekeh geli. "Bilang aja kalo lu masih kesel karena nanggung tadi. Meski mulut lu ngomong nggak horny, tetep aja batangan lu yang nagih. Nggak usah gengsi kalo sama gue, biar gini, gue bisa bedain jenis kodok macam apa cowok kayak lu."
"Begitu?"
"Lagian juga, lu tuh jenis purba yang harusnya udah nggak ada di bumi. Culun, kaku, belagu, sinis, ck!"
Neil tidak menggubris ejekan Ayle dengan memusatkan perhatian pada jalan saja. Merasa cukup heran dengan dirinya yang bisa mengobrol dengan orang lain sesantai ini dan membiarkan Ayle mengejeknya. Itu sudah biasa, pikir Neil. Jika ada banyak orang yang mencemooh dirinya, terutama soal penampilan, itu berarti Neil sudah berhasil dalam menjaga image yang dipertahankannya selama ini.
Lagi pula, orang terlalu cepat menilai seseorang dari penampilan. Untuk apa hal itu bisa menjadi perdebatan antara baik dan buruk? Apa salahnya memakai kacamata tebal karena penglihatan yang berkurang? Dimana letak keanehannya saat memakai pakaian lama yang sudah ketinggalan zaman, meski sudah dipakai dengan rapi dan sopan? Buruk secara visual, tidak berarti memiliki kepribadian yang sama buruknya dengan apa yang terlihat.
Pikiran Neil terbuyar ketika ada yang salah dengan mobilnya. Laju kendaraan perlahan melambat, lalu kemudian tersendat-sendat, sama sekali tidak membantu ketika Neil sudah berusaha menginjak pedal gas dalam-dalam, karena mobil itu kini sudah sepenuhnya tidak melaju seiring dengan mesin yang sudah mati begitu saja.
"OH. EM. JI!!!! Gue bener-bener sial dengan harus terima tawaran lu buat dianter pulang!" pekik Ayle histeris. "Mobil rongsokan lu mogok?"
Neil tetap berusaha menyalakan mesin sambil menginjak pedal gasnya, dilakukan berulang-ulang tapi tetap tidak menyala. Damn! Penyakit lama yang kembali kambuh, entah itu overheat akibat pendingin yang tidak berfungsi atau alternator yang kembali rusak.
"Frog! Kenapa lu diem aja? Jawab gue!" seru Ayle geram.
"Mobil ini baik-baik aja," ujar Neil dengan tenang, sementara ketenangannya membuat Ayle semakin menggila.
"Baik-baik aja gimana? Ini berhenti, Bego! Kita di tengah jalan! Ya ampun, emang nggak ada bagus-bagusnya kalo deket sama lu. Kalo nggak kesel, yah sial."
"Ayo kita turun," putus Neil sambil melepas sabuk pengaman.
"Hah? Turun gimana?" tanya Ayle bingung.
Neil menoleh pada Ayle yang wajahnya sudah memerah karena kepanasan dan berusaha untuk menahan senyuman geli karena hal itu. "Seperti yang kamu bilang kalo kita di tengah jalan."
"Terus?"
"Kita harus menepi ke bahu jalan supaya nggak macet. Mumpung jalanan lagi sepi."
"Gimana caranya bawa ke tepi, ini kan lagi mogok?"
"Exactly! Caranya adalah kita turun dan kamu bantu saya untuk dorong mobil ini."
Seruan kemarahan langsung diluncurkan oleh Ayle saat Neil membuka dan menutup pintu. Dia hanya mengulum senyum geli sambil berjalan ke belakang dan menghela napas ketika melihat mobil kesayangannya sudah dalam tahap memprihatinkan. Sepertinya memang benar jika mobil itu harus masuk ke dalam garasi khusus koleksi mobil vintage di rumah orangtuanya, karena kali ini, mobil itu benar-benar tidak bisa dikemudikan.
Neil mulai menggulung kemeja sampai batas siku saat Ayle sudah keluar dan menyusulnya dengan ekspresi cemberut. Dia memperhatikan penampilan Ayle yang terlalu sempurna untuk membantunya mendorong mobil tapi itu bukan masalah. Setidaknya, ada hal yang bisa mengalihkan kesedihannya pada mobil kesayangan yang sudah rusak.
"Yakin mau pake sepatu itu buat dorong mobil?" tanya Neil dengan satu alis terangkat.
Ayle mendengus. "Terus gue harus pake apa? Nyeker di aspal? A big no!"
"Terserah. Kalo gitu, kamu dorong bagian situ, saya di sini."
Sebenarnya, Neil mampu mendorong mobil itu seorang diri karena sudah terbiasa dengan aksi mogok yang sering terjadi pada mobilnya. Akan tetapi, dia merasa perlu mengerjai Ayle untuk membuatnya semakin kesal. Gerutuan panjang dirapalkan Ayle, tapi cukup membuat Neil senang.
Keduanya sudah mendorong, meski sebenarnya Neil yang berhasil menggerakkan mobil itu dengan mudah, tapi Ayle tampak bersusah payah. Baru dua langkah, umpatan Ayle kembali terdengar, kali ini lebih histeris dan begitu heboh hingga membuat telinga Neil berdengung.
"Shit! Shit! Shit!" umpat Ayle yang langsung terisak sambil mengangkat satu kaki dimana heels-nya patah.
Neil hanya menyeringai sinis. "Apa saya bilang? Kamu yang ngotot tetep mau pake sepatu, kan?"
Ayle mendongak dan menatap Neil dengan murka. "Ini heels limited edition dari Christian Louboutin yang cuma ada 100 pasang di dunia! Gue beli ini tuh ampe begadang cuma demi bisa dapetin heels ini!"
"Terus?"
"Terus gara-gara lu, heels gue patah! Mau lu ganti, juga nggak bakal dapetin sepatu kayak gini, Froggie!"
"Saya sama sekali nggak minat buat ganti."
Ayle memukul bahu Neil dengan kesal. "Ini salah lu! Gara-gara dorong mobil rongsokan lu, sepatu gue rusak! Dasar Kodok jelek! Nyesel banget gue ikut lu!"
Ayle masih merutuknya sambil menjauh dan melompat-lompat kecil dengan satu kaki ke bahu jalan. Neil mengabaikannya dengan terus mendorong mobil hingga ke tepi dan segera mengeluarkan ponsel untuk menelepon supir pribadinya. Untungnya, jalanan yang tidak jauh dari komplek rumahnya cukup lengang sehingga Neil tidak perlu merasa malu atas aksi marah-marah Ayle yang semakin memalukan.
Wanita itu merutuk sambil menangisi heels-nya yang patah, memperlakukan sepatu tinggi berwarna gold yang tampak biasa saja bagi Neil secara berlebihan. Apakah perlu bersikap dramatis hanya karena heels yang patah? Neil rasa dengan memakai lem perekat khusus sepatu, masalah pun selesai.
"Nggak usah nangis. Kamu..."
"Diem lu! Gue nggak mau denger lu ngebacot!" desis Ayle tajam dan segera membuka pintu mobil untuk mengeluarkan tasnya.
"Kamu mau kemana?" tanya Neil datar.
"Panggil ojol buat balik! Gue bego banget sampe nggak kepikiran ada aplikasi yang lebih beradab buat pulang ke rumah!" jawab Ayle sambil mengetik cepat di ponsel dalam isakan yang masih terjadi di sana.
"Apa sampai harus sesedih dan semarah itu cuma karena sepatu? Lagian, salah kamu sendiri karena saya udah bilang..."
"Diem!" sela Ayle kesal. "Semua emang salah gue! Puas?"
Neil menghela napas sambil merebut ponsel Ayle dan menatapnya tajam. "Saya udah bilang kalo saya mau anter pulang."
"Gue. Nggak. Mau! Sini, balikin hape gue!"
"Nanti," ujar Neil sambil lalu dan bergerak ke depan ketika melihat ada sebuah sedan berwarna hitam metalik sedang berjalan ke arahnya.
"Nanti kapan?" seru Ayle sambil menjerit histeris. "Gue mau pulaaanngggg."
"Nanti kalo kamu udah sampe di rumah," jawab Neil sambil mengarahkan satu tangan dengan santai, dimana mobil sedan yang hampir mendekatinya pun menepi dengan patuh.
Ketika sebuah mobil sedan Aston Martin Vantage itu berhenti tepat di depan Neil, Ayle bungkam dan menatap mobil itu dengan mata terbelalak kaget. Bayu, supir pribadinya keluar dari mobil dan segera menghampiri Neil.
"Bawa mobil ini ke bengkel biasa. Saya mau komplain kenapa masih mogok padahal baru service total minggu lalu," perintah Neil dalam suara rendah dan Bayu langsung mengangguk.
"Siap, Pak. Sebentar lagi, mobil derek datang."
Merasa umpatan dan rutukan tidak terdengar lagi, Neil menoleh dan memperhatikan ekspresi Ayle yang langsung membuatnya berckck ria dalam hati. Belum lagi air liur yang hampir menetes di sudut bibirnya saat memperhatikan mobil itu.
"I-Itu mobil lu?" tanya Ayle dengan sorot mata berbinar.
Untuk sorot mata familiar yang selalu dibenci oleh Neil, sorot yang menampilkan ketamakan dari seorang wanita, yang menatap seperti dirinya adalah pabrik masa depan, tentu saja Neil tidak akan memberi lebih dari apa yang dilihat Ayle saat ini.
"Bukan. Cuma mobil sewaan," jawabnya sambil lalu dan membiarkan ekspresi Ayle berubah menjadi lebih tolol dari sebelumnya.
🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷
Monmaap, kalo aku suka bikinnya kentang dan sebentaran 😅
Selamat berbuka bagi teman2 yang menjalankan ibadah, dan tetap semangat dalam menjalani hari2mu besok.
Untuk yang tanya cerita lain kapan update, aku masih belum mood.
Lagi kumpulin niat, karena momen WFH ini cukup menyita perhatian.
Borahae 💜💜💜
26.04.2020 (18.40 PM)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top