Part. 14 - Review
Written by. Sheliu.
Neil mendelik tajam pada Ayle yang terus mengganggunya dengan menaruh barang secara kasar sehingga menimbulkan gaduh yang mengganggu konsentrasi bekerjanya.
“Kalau kamu nggak mau cuci piring, tinggalin aja di situ. Saya pusing denger kamu banting-banting. Kalau sampai ada yang pecah, bayaran kamu nanti saya potong!” tegur Neil tajam.
Ayle langsung berbalik sambil memegang spons dan piring untuk menatapnya dengan mata menyipit tidak suka. “Kalo gitu, jangan harap lu bisa dapet enak, alias gue bikin lu nanggung.”
Neil menaruh dokumen yang tadi dibacanya dengan kasar dan menyilangkan tangan sambil bersandar di kursinya. “Sekarang, kamu maunya apa?”
Ayle langsung menaruh spons dan piringnya, lalu bergegas mencuci tangan, mengeringkannya, dan berlari kecil untuk menghampiri Neil. Tapi belum sempat menggapainya, Neil sudah memberi tanda agar Ayle berhenti.
“Stop right there! I don’t want... shit! Kenapa kamu duduk di atas saya?” umpat Neil sambil melotot tajam pada Ayle yang tampak santai dan membetulkan posisi duduk di pangkuannya.
“Nggak usah marah-marah, biasa juga demen kalo gue di atas lu. Pokoknya, gue butuh kepastian! Proyek baru yang diajukan Pak Renald udah sampe mana? Pihak investor yang lain udah...”
“Bukankah saya sudah menjawab bahwa proyek itu ditolak? Untuk apa merger tapi porsi yang diterima perusahaan cuma 30%? Di samping itu, ada banyak biaya lain-lain, termasuk entertain bos kamu itu yang bakalan membludak!” sela Neil sinis.
“Kita nggak usah keluar modal, Neil. Investor itu yang akan urus semua dokumentasi dan support finansial sampe akhir. Kita cuma incharge untuk ngelobi pihak pemerintah buat mempercepat proses. Porsi 30% yang diterima Sinergindo, anggap aja kayak ucapan terima kasih karena udah bantu-bantu tembusin sampe ke pihak pemerintah. Nggak ada yang rugi,” balas Ayle menjelaskan.
“Progres ini masih belum pasti, Ayle. Pihak investor yang kalian ajukan juga nggak jelas! Akan ada banyak biaya yang keluar dengan percuma!”
“Persis kayak yang lu bilang belum pasti. Proyek ini bisa jadi mendatangkan keuntungan yang jauh lebih pasti. Gue yakin biaya yang udah keluar akan balik cepet, kalo proyek ini udah berjalan.”
Neil menggertakkan gigi sambil menatap Ayle tajam. Tidak heran jika wanita itu bisa menjadi personal assistant dari seorang direktur marketing, karena kegigihannya dalam memenangkan dan menjelaskan proyek incaran.
“Ini proyek ratusan milyar, Ayle,” ucap Neil tegas.
“Ya iya lha, Bapak Kodok. Kalo cuma ratusan juta, ngapain gue peduli? Justru karena ratusan milyar, gue rela jadi pembantu di rumah lu. Misalkan itu berhasil, gue minta bonus yah! Nggak usah gede-gede, satu persen aja udah oke,” balas Ayle sambil mengedipkan matanya.
“Terus saja bermimpi dan ngomong semaumu, Ayle. Masih bagus kalau kamu bisa kerja dan nggak dipecat karena udah kurang ajar sama saya,” sahut Neil sambil mendengus.
Seperti tidak mengindahkan kekesalan Neil, Ayle memeluk leher Neil dan bergelayut mesra. “Mimpi kan nggak bayar, itu masih gratis. Lagian, tinggal diokehin aja sih, apa susahnya? Nggak sadar kalo udah hampir seminggu, gue bersikap murahan cuma buat ngerayu lu?”
Senyum sinis Neil mengembang sambil menatap Ayle meremehkan. “Sejak kapan kamu menjadi mahal, Ayle? Setahu saya, kamu memang sangat mudah untuk didapatkan dengan tarif yang cukup murah.”
Ayle langsung terdiam dan tidak langsung membalas. Mungkin sekitar beberapa detik, wanita itu bungkam dengan ekspresinya yang tidak terbaca. Sayangnya, Neil tidak merasa ada yang salah dengan ucapannya karena itu benar adanya.
“Kenapa diam? Apa yang saya omongin itu benar, kan?” tanya Neil dengan satu alis terangkat.
Ayle berdecak pelan dan beranjak dari pangkuannya. “Niat awal gue cuma bercanda, tapi gue lupa kalo lu memang nggak sehumoris itu.”
“Seharusnya, kalau mau cari bahan bercandaan, itu dipikir-pikir dulu. Saya rasa dengan kamu yang ngomong bersikap murahan dengan mudah, itu udah berarti kamu sadar diri,” balas Neil santai.
“Emangnya itu perlu diperjelas banget yah, Neil?” tanya Ayle dengan nada pahit.
Neil memperhatikan Ayle yang sepertinya berubah menjadi tidak senang. Lagi pula, dia memang menginginkan ketenangan tanpa adanya gangguan dari Ayle sejak pagi. Proyek sudah ditolak, tapi Ayle terus gigih. Meski Neil sudah menyuruhnya tidak usah datang, tapi Ayle tetap mendatanginya dan membuatkan makan malam.
“Apa kamu mau saya perjelas lagi?” tanya Neil balik.
“Nggak ada yang perlu diperjelas, kalo semuanya udah jelas, Neil. Sori kalo gue udah ganggu lu, gue balik dulu,” jawab Ayle masam dan segera berbalik untuk mengambil tas, lalu kemudian pergi meninggalkan apartemennya.
Neil segera beranjak dan menuju kembali ke meja kerjanya ketika gangguan itu sudah pergi. Masih ada beberapa dokumen yang harus dipelajarinya karena banyak proyek menanti dan sudah pasti lebih menguntungkan. Seharusnya, dia sudah bisa berkonsentrasi saat ini, tapi tidak bisa.
Ayle sudah pergi, tapi gangguan itu masih ada. Pikiran tentang Ayle yang pulang sendirian, Ayle yang sedih, atau mungkin saja menangis, mulai membuat Neil terusik. Sial! Apakah Ayle harus terus mengganggu ketenangan hidupnya? Lagi pula, apapun yang dilakukan wanita itu, bukan urusannya.
Sialnya lagi, bukan lagi dokumen penting yang belum sempat dibacanya yang diambil sekarang, melainkan proposal yang diajukan Ayle sejak seminggu lalu untuk dibaca dan dikaji ulang. Tidak ada masalah tentang proyek yang bernilai tinggi itu jika sudah berjalan, tapi tetap saja riskan untuk dilakukan. Neil tidak begitu menyukai proyek kerjasama dengan pembagian yang tidak seimbang. Untuk itulah, dia lebih memilih proyek yang bisa berdiri sendiri tanpa harus melakukan kesepakatan terlebih dahulu yang sudah membuang waktu.
Keputusan sudah dilakukan setelah bekerja hingga dini hari. Neil berangkat bekerja lebih awal seperti biasa, dan segera menuju ke ruangannya. Alisnya terangkat saat mendapati segelas kopi dan seporsi sarapan di sana. Tidak menyangka jika Ayle tetap melakukan tugas yang diperintahkan oleh Neil, meski awalnya hanya untuk mengerjainya.
Nilai lebih dari wanita itu adalah tanggung jawab. Meski terkesan tidak peduli, tapi Ayle melakukan apa yang sudah menjadi tugasnya tanpa cela. Dia juga menyiapkan segala sesuatunya dengan tepat waktu setelah mengobservasi sejak awal tugasnya. Termasuk layanan seks yang diberikan.
Suara ketukan pintu terdengar saat Neil baru melepas jasnya. Tampak Romeo datang sambil berjinjit dengan gayanya yang centil. Ya Lord, Neil tidak tahu apa yang sudah dilakukannya selama ini sampai harus terus berhubungan dengan sumber masalah.
“Pagi, Bapak Ganteng. Hari ini...”
“Langsung ke intinya, saya nggak perlu basa basi!” sela Neil sambil duduk di kursi kebesarannya dan menyalakan laptop.
Romeo merengut cemberut sambil memberikan ekspresi sedih dan menutup setengah wajahnya dengan dokumen yang dibawanya. “Ihh, galak amat sih pagi-pagi. Adinda nggak bisa diginiin sama Kakanda.”
Neil menghela napas lelah dan meraih segelas kopi yang tersaji di meja, lalu meneguknya perlahan. Perasaannya membaik jika sudah mendapatkan cairan kafein yang sudah menjadi favoritnya.
“Kalau ada pertemuan sampai akhir minggu, tolong batalkan saja. Atur kembali di minggu depan,” ujar Neil tanpa basa basi.
“Lho, kenapa? Bos Ganteng lagi nggak mau diganggu? Butuh teman pelepas dahaga dan penambah tenaga? Adinda bersedia lahir batin, Bos,” balas Romeo dengan nada yang terdengar seperti mendesah, sambil merapikan rambut hipsters-nya dengan gaya berlebihan.
“Sekali lagi kalau kamu nggak bisa jaga mulut, saya pecat!” desis Neil tajam.
Romeo kelabakan dan menggumamkan kata maaf. Bibirnya komat kamit tanpa suara, mungkin sedang mencibir tapi Neil tidak peduli.
“Pesankan tiket ke Tanjung Pandan untuk malam ini. Saya harus survey lokasi untuk proyek terbaru yang ditawarkan Pak Renald minggu lalu,” tukas Neil sambil mengetik cepat di laptopnya.
“Pergi berdua sama Eyke, Bos?” tanya Romeo penuh harap.
“Romeo, enough!” ucap Neil penuh peringatan.
“Jadi, Bos Ganteng sama siapa?”
“Konfirmasi ke pihak marketing untuk kirim satu perwakilan yang akan dampingi saya,” jawab Neil tanpa menoleh lagi pada Romeo dan sudah fokus pada pekerjaannya.
Dia tidak menyadari tatapan Romeo yang tertegun, lalu mengulum senyum penuh arti dan mengundurkan diri. Entah karena merasa bersalah terhadap ucapan kasarnya pada Ayle semalam atau memang proyek itu pantas dipertimbangkan kembali, Neil merasa perlu bertanggung jawab untuk memperbaikinya.
Neil melakukan panggilan kepada calon investor yang akan bekerjasama. Tentu saja, melakukan janji temu dan...
Brak! Neil tersentak kaget saat ada Ayle yang tiba-tiba membuka pintu ruangannya tanpa diketuk. Dia merutuk dalam hati dan menelan umpatannya karena sedang melakukan telepon saat ini.
Ayle menyeringai lebar dan menutup pintu ruangan, lalu memekik girang dengan sikap tidak sabaran untuk menunggu Neil menutup teleponnya. Ketika Neil sudah selesai, Ayle segera melompat di atas Neil dan memeluknya erat.
“Apa-apaan kamu, hah?” desis Neil geram sambil melepas pelukan Ayle dan mendorongnya agar turun dari pangkuannya.
“Thanks banget! Romeo tadi bilang kalo lu mau survey ke lokasi proyek? Lu ada bilang butuh perwakilan dari kami untuk pendampingan? Serius, Neil? Proyek itu nggak jadi ditolak? Beneran?” seru Ayle bertubi-tubi dengan nada tidak percaya dan girang di saat yang bersamaan.
Neil terdiam saat melihat ekspresi ceria Ayle yang terlihat benar di matanya. Sorot mata yang melebar senang, senyuman yang begitu sumringah, dan tampak seperti anak kecil yang melompat-lompat girang sambil menangkup dua tangannya di sana. Kali ini, kesan murahan dari Ayle tampak positif, yaitu mudah melupakan apa yang sudah lalu dan kembali pada suasana hatinya yang baik.
“Jangan senang dulu, masih perlu dikaji ulang. Makanya, saya perlu survey lokasi,” jawab Neil kejam.
Tadinya, Neil ingin sedikit memainkan emosi Ayle dengan tidak memberi apa yang diinginkannya. Tapi, Ayle justru terlihat semakin girang.
“No problem, Frog! Lu bisa mau survey aja, gue udah sujud syukur. Gue jamin, lu nggak akan nyesel karena udah approve proyek ini,” seru Ayle meyakinkan.
Neil menyeringai licik sambil memindahkan arah kursi untuk menghadap Ayle dan menyilangkan kaki. “Jadi, apa kamu yang ditunjuk untuk mendampingi saya?”
“Ya iya lha, masa yang lain? Kan gue yang ajuin proposalnya,” jawab Ayle lugas.
“Bagus. Kalau gitu, sini!” balas Neil sambil memberi kode lewat jari telunjuk agar Ayle maju mendekat padanya.
Ayle segera beringsut maju dan merangkul bahu Neil, memberikan senyuman nakal andalannya sambil menggigit bibir bawahnya. Wanita itu memakai terusan di atas lutut yang memudahkan Neil untuk menarik ujung terusannya ke atas.
Holy bloody hell! Ayle mendengarkan syaratnya tentang tidak memakai celana dalam saat bersamanya. Bahkan, Ayle merenggangkan kedua kakinya untuk Neil bisa melihat lebih banyak.
“Apa kamu sengaja menggoda saya dengan datang ke sini?” tanya Neil dengan satu alis terangkat.
Tangannya sudah terarah untuk membelai celah Ayle, lalu kemudian mengusap klitorisnya dengan ibu jari dalam gerakan memutar. Desahan pelan terlepas dari mulut Ayle dan rangkulannya di bahu Neil mengerat.
“Karena... gue yakin lu butuh,” jawab Ayle dengan suara tercekat.
“Hm, good girl,” gumam Neil yang sudah menyelipkan satu jarinya ke dalam celah Ayle yang sudah basah.
“Oh, Neil!” desah Ayle.
“I want to fuck you. Now, Ayle!”
Neil beranjak dan mengangkat Ayle ke atas meja sambil melebarkan kedua kakinya. Dia membungkuk untuk menjilat tubuh Ayle dengan bernapsu, merasakan kembali kenikmatan yang selalu berhasil mengalihkan perhatiannya dari apapun, dan berharap jika dia akan langsung mencapai pelepasannya dalam sesi singkat di pagi hari.
Tapi belum sempat dia membuka celana, atau baru hendak melakukan itu, tiba-tiba pintu ruangannya terbuka, membuat Neil dan Ayle sama-sama menegang karena pintu belum terkunci, lalu menoleh untuk mendapati Romeo yang datang.
Di akhir cerita, ketiganya memberi reaksi yang berbeda. Ayle yang langsung beringsut turun dan membenarkan pakaiannya, Neil yang mengumpat kasar, dan Romeo yang histeris setelah menutup kembali pintu ruangan dengan gayanya yang seperti cacing kepanasan.
“Astagananang, mata eyke, mata eyke, ya ampun. Mau ditutup, tapi sayang nggak keliatan. Dibuka begini, jadi pengen. Aduh, Mas Geboy... mau dong disodok jugaaaa!!”
🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷
Kasian juga jadi Neil.
Terlalu serius, sekelilingnya pada gila.
Memang dunia itu kudu seimbang yes?
Nggak bole tumpang tindih,
juga nggak boleh bertabrakan
#efeknontonkingmonarch 🤣
Happy Ied Mubarak, Genks.
Mudah2an timbangan nggak naik, tapi kantongnya menggendut karena dapet THR
Buat yang jomblo, selamat!
Akhirnya pertanyaan seperti :
'Pacarnya mana?'
'Kapan nikah?'
'Sama yang itu, gak jadi juga?'
'Ini jd amplop trakhir ya, taon depan kamu yang kasih amplop buat sodara'
Nggak kamu dapatkan di tahun ini, karena lebaran #dirumahaja.
Jadi, siap2 dari sekarang untuk menghadapi pertanyaan yang sama di tahun depan 🤣
I purple you 💜
Aku hiatus dulu, mau ngehalu Lee Gon 🙈
24.05.2020 (18.40 PM)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top