Part. 12 - Deep Kiss
Written by. Sheliu.
Seharusnya Neil sudah berada di balik meja dan mengerjakan beberapa pekerjaan penting sekarang. Tapi lihat apa yang dilakukannya sekarang? Neil justru duduk di bangku mini bar, memperhatikan Ayle yang sedang membuat makanan di dapurnya yang tidak pernah terjamah olehnya.
Semua karena kiriman rekaman cctv oleh Zul tentang apa yang terjadi di lobby, juga keterangan dari seseorang yang adalah staff keamanan, yang memergoki Ayle tengah dipukul oleh pria tua yang katanya adalah ayahnya.
Itu saja sudah membuat Neil mengurungkan niat untuk ke kantor dan lebih memilih untuk kembali ke unit apartemennya. Dan yang lebih membuatnya tidak suka adalah Ayle menangis sendirian.
Apakah wanita itu selalu kesepian? Bagaimana mungkin dia bisa menjual diri di usianya yang masih sangat belia? Kemana orang tuanya? Dimana ibunya? Apa yang dilakukan ayahnya sampai harus membuat anak perempuannya menjajakan diri? Shit. Berbagai pertanyaan yang muncul dalam benak, mulai menggelitik rasa ingin tahunya tentang wanita itu.
“Kenapa nggak mau jawab pertanyaan saya?” tanya Neil dengan alis terangkat, ketika Ayle tak kunjung memberi jawaban tentang bekas luka seperti sayatan di dada.
“Lu bayar gue cuma buat seks, bukan buat kepohin urusan gue,” jawab Ayle akhirnya, dan kembali melanjutkan kegiatan memasaknya.
Benar juga, pikir Neil. Kenapa dirinya harus bertanya tentang urusan pribadi? Minatnya adalah pada seks dan kenikmatan yang bisa didapatkan dari tubuh Ayle yang molek. Tapi, lagi-lagi rasa kemanusiaan yang besar, membuat Neil merasa ingin tahu lebih banyak.
Ayle yang kini membelakanginya, masih dengan bra dan rok ketat yang membalut indah bokong bulatnya. Keisengan Neil hanya untuk mengalihkan perhatian Ayle, dan rasanya sudah cukup keterlaluan untuk membuat wanita itu terlihat memalukan.
Dia beranjak dari kursi dan segera menuju ke kamar, mengambil sebuah kaus dari dalam lemari. Kaus rollingstone berwarna abu gelap adalah kesayangannya dan dia membawa kaus itu keluar kamar untuk menghampiri Ayle.
Ayle tersentak kaget saat Neil sudah berada di belakangnya dan tampak bingung dengan Neil yang sudah memakaikan kausnya yang kebesaran di tubuh Ayle tanpa berkata apa pun.
“Kenapa lu pakein gue baju?” tanya Ayle sinis.
“Saya minta maaf kalau udah semena-mena sama kamu,” jawab Neil kalem, sambil menautkan rambut Ayle ke belakang telinga. “Kamu itu cantik, tapi sayangnya, kamu nggak bisa menghargai kecantikan kamu dengan benar.”
“Lu ngomong apa sih?”
“Saya memang bukan orang suci, tapi saya juga nggak sampai hati lihat orang sampai sengsara kayak gitu. Soal Papa kamu, nggak usah kuatir. Saya udah suruh pihak keamanan untuk mengenalinya dan melarangnya masuk, kalau dia sampai datang lagi untuk nyakitin kamu,” ujar Neil dengan lugas.
Mata Ayle tampak berkaca-kaca, tapi buru-buru dia mengerjap cepat dan berdeham. “Lu nggak usah repot dan kepo kayak gitu. Gue bisa urus diri sendiri.”
“Kalau kamu bisa urus diri sendiri, harusnya nggak perlu sampai kayak gini. Seperti yang saya bilang, kalau saya nggak nggak suka kekerasan, apalagi wanita yang jadi korban. Juga, mendiamkan hal ini bukan jalan keluar, tapi mendidik Papa kamu menjadi orang yang nggak benar. Sekali lagi saya lihat dia perlakuin kamu dengan kasar, saya akan bertindak,” ucap Neil tegas.
“Neil, lu nggak usah ikut campur urusan gue,” balas Ayle keras kepala.
Lucu, pikir Neil lagi. Wanita itu terkesan kuat, tapi rapuh. Keras kepala tapi ragu, juga mandiri tapi tidak cukup mampu untuk menghargai nilai diri. Apa yang dipertahankannya, yang dilihat Neil hanyalah kepalsuan. Bersikap sok untuk menutupi masalah hidup yang sepertinya cukup pelik.
Shit! Maki Neil dalam hati. Hari ini, pikirannya bekerja begitu ekstra untuk hanya memikirkan nasib dari wanita yang seharusnya tidak pantas untuk mendapatkan perhatiannya. Tapi berumur 15 tahun sudah menjual diri, itu menjadi sebuah tanda tanya besar bagi Neil.
“Ibarat kata investasi, saya udah keluar duit banyak untuk kamu, dan kamu adalah asetnya. Bagaimana mungkin kalau aset saya bermasalah, dan itu bukan urusan saya? Apa bedanya saya buang duit dengan percuma?” tanya Neil tengil, yang langsung membuat ekspresi Ayle memucat dan bungkam seketika.
Teringat dengan urusan memasaknya, Ayle segera berbalik untuk mematikan kompor. Neil melirik isi panci yang ternyata adalah sop daging berisi wortel dan kentang.
“Gue nggak tahu lu suka apa, tapi isi kulkas lu ada daging dan sayuran, jadinya gue bikin yang simple dan tinggal cemplung-cemplung kayak gini aja,” ujar Ayle memberitahu.
Neil memeluk Ayle dari belakang dan menaruh dagu di bahu Ayle. Wanita itu seperti menahan napas dan menoleh padanya dengan gugup.
“Saya makan apa aja, asal dessert-nya itu kamu,” tukas Neil dengan senyum setengah, yang sukses membuat Ayle mendengus.
“Perjanjian kita adalah dua jam, Frog. Nggak lebih!” desis Ayle.
“Hari ini pengecualian, yang namanya beli barang, ada trial and error, apalagi udah bayar lunas di muka,” ujar Neil kalem.
Ayle berdecak kesal. “Bisa gak sih, sebentar aja otak finance lu ditaro dulu? Gue bukan barang!”
“Apa bedanya? Kamu menjual diri ke saya, dan saya berhak ngapain aja. Masih bagus saya nggak kasih ultimatum tentang ganti rugi jika pelayanan kamu buruk,” balas Neil yang semakin membuat Ayle geram.
Ayle melepas kedua tangan Neil yang melingkar di perutnya, dan bergeser menjauh untuk bisa berdiri berhadapan dengan Neil. Kali ini, ekspresi kemarahan sudah dilemparkan.
“Gue. Bukan. Barang!” ucap Ayle dengan penuh penekanan. “Gue nggak sembarangan terima tawaran kayak gini. Mungkin bagi lu, duit segitu nggak berarti apa-apa karena lu tahunya cuma enak!”
“Memang harusnya begitu, karena zaman sekarang, nggak bisa menghasilkan duit sebanyak itu dalam waktu singkat.”
“Gue paham kalo orang kaya itu bebas! Tapi nggak dengan jadi brengsek kayak gini. Lu nggak tahu rasanya di posisi gue.”
“Apa saya perlu tahu? Rasanya nggak penting karena...”
“Memang nggak penting karena seumur hidup lu nggak pernah kekurangan!” sela Ayle dengan suara gemetar dan mata yang sudah memerah. “Mungkin lu nggak tahu yang namanya perlu berusaha sendirian, di saat lu masih terlalu kecil untuk menanggung beban orang dewasa. Lu masih main mobil-mobilan dan bisa pilih menu makanan di restoran mahal, di saat banyak anak-anak yang lain nggak tahu kapan dia bisa dapat makan. Lu hidup dari kasih sayang, tapi orang lain dari belas kasihan.”
Neil menahan napas ketika melihat Ayle menumpahkan seluruh amarahnya dalam isak tangis yang terdengar pilu. Memang keterlaluan, tapi cara Neil berhasil untuk membuat wanita itu terpengaruh dan secara tidak sadar sudah memberi garis besar untuk jawaban yang dibutuhkan Neil.
Neil bisa menyimpulkan bahwa bukan tanpa alasan, Ayle menjajakan dirinya. Bukan karena keinginan untuk memiliki barang mewah, atau menjadi sosialita demi pengakuan yang tidak diperlukan. Ayle membutuhkan uang untuk bertahan hidup, atau bisa jadi, menjadi tulang punggung untuk mengemban beban keluarga.
Isakan Ayle semakin keras ketika Neil maju untuk memberinya pelukan. Dia membiarkan Ayle menangis sepuasnya, karena memang itu yang diperlukan Ayle saat ini. Neil bahkan menggendong Ayle untuk mendudukkannya di kursi, mengusap kepalanya dengan lembut, dan mengambilkan segelas air untuknya.
Tidak berkata apa-apa, Neil beranjak untuk ke dapur dan menyiapkan makan siang untuk dirinya, juga Ayle. Menyendokkan nasi pada dua piring, dan menuangkan sop daging ke dalam dua mangkuk, lalu menyajikannya di meja makan.
“Ayo makan,” bujuk Neil lembut, sambil mengarahkan sendok garpu pada Ayle.
Meski masih terisak, Ayle mengambil sendok garpu dan mulai menekuni makan siangnya. Sesi makan itu berlangsung hening, hanya dentingan sendok garpu dan sisa isakan Ayle yang masih belum selesai. Neil menghabiskan makanannya dan Ayle hanya mampu menghabiskan sampai setengah porsi saja.
Wajahnya begitu sembap dan matanya membengkak. Ayle tampak begitu lelah dan rapuh. Sedih? Rasanya Ayle terlihat lebih dari itu. Seperti tadi, Neil menggendong Ayle kembali, kali ini menuju kamar tidurnya.
“Kamu mau ngapain?” tanya Neil ketika dia melihat Ayle spontan melepas kaus dan rok-nya.
“Lu bilang dessert-nya mau...”
“Nggak! Saya bawa kamu ke kamar untuk supaya kamu bisa tidur,” sela Neil.
“Mendingan gue pulang aja,” ujar Ayle.
“Dengan konsekuensi kalau Papa kamu akan datangin kamu ke apartemen dan mengasari kamu?” balas Neil dengan satu alis terangkat.
Ayle tampak terdiam dengan pikiran menerawang. Mungkin saja dia berpikir bahwa Neil benar. Lagi pula, Neil tidak akan membiarkan Ayle pulang begitu saja, sebelum dia memastikan wanita itu dalam keadaan baik-baik saja.
“Gue boleh tidur di sini?” tanya Ayle akhirnya.
Neil mengangguk dan melebarkan kedua tangan. “Right in my arms.”
Ayle tampak ragu sesaat, lalu menghela napas dan mendekat pada Neil untuk berbaring dengan hanya memakai pakaian dalamnya. Neil masih dengan pakaian kerja, hanya saja kemejanya sudah tidak dimasukkan. Dia membuka selimut dan melebarkannya untuk berbagi dengan Ayle.
Kepala Ayle bersandar di dada Neil dan tubuh mungilnya direngkuh erat oleh lengan besar Neil. Tidak ingin bersuara, sebab Neil ingin wanita itu terlelap dan tidak lagi bersedih dalam memikirkan masalah hidupnya untuk sementara waktu.
“Thank you, Neil. Ini pertama kalinya, gue curhat sama orang lain,” ujar Ayle tiba-tiba.
“Emangnya tadi curhat? Bukannya nangis, yah?” balas Neil datar, tapi Ayle langsung meninju pelan dadanya.
“Lu tuh jadi orang kayak rollercoaster. Suka nggak ketebak dan bikin sport jantung. Tadi lu sengaja bikin gue nangis, sekarang lu ngeledek. Maunya lu tuh apa sih?” keluh Ayle dengan ketus.
“Saya nggak suka mengusik dan diusik. Saya juga nggak bisa tinggal diam kalau ada yang keterlaluan. Jika ada masalah, saya bisa cari orang itu sampai dapat dan ngelakuin hal yang bikin dia menyesal pernah dilahirkan. Maka dari itu, saya nggak suka ngeliat kamu kayak gini. Bukan karena perhatian atau kepo, tapi terlanjur mengetahui semua itu dengan terpaksa. Kamu paham kan maksudnya?” balas Neil dengan nada yang masih sangat datar, hingga membuat Ayle ingin memukul kepalanya.
“Iya, gue paham. Nggak usah dibahas lagi, yah? Gue lagi nggak mood,” sahut Ayle masam.
“Daritadi saya diam, kamunya aja yang ngajakin ngobrol duluan.”
“Kumat lagi deh resenya! Udahlah, nggak usah ngomong apa-apa, gue jadi keki sendiri.”
“Kalau keki, nggak usah ajak ngomong.”
Ayle mendongak dan menatap Neil tajam. “Gue cuma mau bilang makasi. Ntar kalo nggak ngomong makasi, lu bilang gue nggak tahu diri.”
“Kamu yang ngomong kayak gitu, bukan saya.”
“Nyebelin banget, yah! Lu tuh...”
Neil mengangkat dagu Ayle dan segera mencium bibirnya dengan lembut. Bukan ciuman yang menuntut, tapi pengalihan untuk membuat Ayle merasa tenang. Dia ingin Ayle merasa layak dan tidak merasa rendah diri.
Bibirnya menyesap bibir bawah Ayle, perlahan mulai mendalam, kemudian menggigitnya pelan. Bibir Ayle terbuka, dan sudah saatnya untuk lidah Neil meringsek masuk, mengabsen gigi Ayle yang berbaris rapi, lalu menari-nari di rongga mulutnya.
Keduanya memejamkan mata sambil memberi ciuman yang berbalas. Tidak ada tuntutan hasrat, melainkan kebutuhan yang memberi pengertian tanpa perlu diucapkan, dan berbagi rasa dalam tautan lidah yang membuat degup jantungnya berdetak dua kali lebih kencang.
Ciuman itu tidak tergesa, juga tidak melambat, seolah keduanya sama-sama ingin menikmati setiap detiknya dalam eksplorasi rasa dan pengertian yang ada. Sampai akhirnya, ciuman itu diakhiri ketika keduanya sama-sama menarik diri dan mengadukan kening untuk menatap dengan sorot mata dalam kelembutan yang sama.
“Love yourself instead of abusing yourself, Ayle. Because that’s the first thing to reach your happiness,” ucap Neil tulus.
Ayle tidak membalas, hanya menatapnya dalam diam dengan ekspresi haru yang jarang dilakukan. Dua sudut bibir sudah terangkat, membentuk sebuah senyuman manis tapi sendu. Kemudian, Ayle kembali menyandarkan kepalanya di dada Neil, dimana Neil spontan mengeratkan pelukan dan berbagi kehangatan untuk mendapatkan lelap yang panjang.
Memang benar tidak semua orang mendapatkan kehidupan yang sama dan setara, bukan juga harus merasa berhak merendahkan ketika salah satu berada di pihak yang lebih tinggi. Yang terpenting adalah pengakuan diri, bahwa hari ini adalah kesempatan untuk menjadi lebih baik dan esok akan mendapatkan harapan yang pasti.
Neil tahu kerasnya kehidupan, juga paham betul perbedaan antara kasih sayang dengan belas kasihan. Hidup berkelimpahan bukan berarti hidupnya tidak ada hambatan. Justru, terlalu banyak persimpangan yang harus dilaluinya dengan rasa sakit yang mendalam. Akan tetapi, dia tidak akan pernah kembali pada jalur yang rusak itu. Tersesat, mungkin saja terjadi saat di dalam perjalanan, tapi bukan berarti tidak ada arah tujuan, yang justru banyak menawarkan pilihan selama ada kompas hidup yang digenggam.
Dan kali ini, Neil merasa bahwa dirinya adalah kompas bagi Ayle. Wanita muda yang masih mencari arah tujuan dan tersesat di persimpangan yang bertemu dengannya secara kebetulan. Atau mungkin juga takdir? Entahlah. Yang pasti, saat Neil menelepon dan meminta Sergio untuk mencarikan wanita, itu adalah telepon terakhir yang dilakukannya untuk memenuhi keinginan duniawinya yang maksiat.
Sama seperti dirinya, Neil akan memastikan bahwa Ayle akan menjadi wanita panggilan terakhir lewat dirinya.
🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷
Selamat berbuka dengan yang manis.
Monmaap kalo nggak sering balas komen kalian, tapi aku baca.
Terima kasih untuk semangat kalian yang antusias dan menunggu cerita ini.
Semoga harimu menyenangkan.
GBU 💜
17.05.2020 (16.37 PM)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top