Levi x Reader [special Request] #AU
Levi x Reader [Special Request] #AU
• S E M U •
-Warning, bahasa terlalu begitulah. Dan pergantian POV cuma dikasi tanda **oOo** nggak dikasih tau POV siapa. Selamat mikir.-
Request from: Vessalius04
Sekalian sebagai ucapan terima kasih karena udah dibuatin 'Never Let Go' seniat itu :"
Hadirmu ibarat pagi buta, ibarat embun yang lulur membasahi daun talas, ibarat kicau burung gereja, dan hilangmu bagai malam petang, bagai bulan mati, bagai laut pasang.
-Cendarkna, Klandestin-
**oOo**
Aku seorang pengembara. Setidaknya boleh disebut begitu. Sejujurnya aku tak tahu-menahu apa sebutan yang pas untukku. Memangnya apa sebutan yang tepat untukku?
Ketika hari berganti, aku seringkali berada di berbagai macam tempat yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Seperti misalnya beberapa waktu yang lalu: aku berada di pinggir jurang. Sungguh, sangat pinggir hingga jika aku berani melangkah maju walau sesenti, kegelapan pekat beserta malaikat kematian akan mengecupku dengan mesra.
Dan ketika hari lengkap malam, seakan terbius oleh sesuatu, sekelilingku menjadi gelap dan--voila! Tubuhku sudah berada di antah berantah. Hebatnya lagi, waktu berlalu dengan cepat. Karena siang langsung menyambutku setelahnya.
Terkadang aku merasa bahwa aku ini penyihir atau sejenisnya. Bagaimana mungkin aku bisa berpindah dari tempat yang satu ketempat yang lainnya (dan percayalah, aku yakin jaraknya pasti jauh. Karena aku pernah merasakan panasnya terik matahari di padang pasir dan dinginnya salju dalam waktu dua hari saja) dalam waktu semalam? Mustahil.
Kelebihan ini kudapatkan secara tiba-tiba sejak lima bulan yang lalu. Selama lima bulan itu aku terus berpindah-pindah tempat, mengelilingi dunia. Melihat keindahan sang Ibu pertiwi. Embunnya di pagi hari yang membasahi dedaunan dan rerumputan, gemericik air sungai yang jernih, cicitan ria para burung, tingginya para gunung, dingin dan putihnya salju, guguran daun yang memerah dan masih banyak lagi yang jika kusebutkan tidak akan pernah selesai.
Andai mata bisa menjadi kamera....
Aku pernah bertemu dengan banyak orang—berbagai macam jenis malahan—tapi... tetap saja itu tak menghilangkan rasa kesepianku. Tak jarang aku menyapa mereka yang berpapasan denganku, tak pernah mereka menjawabnya. Aku sering berada di keramaian, dan tetap merasa sepi. Seakan semuanya tidak menyadari eksistensiku. Apakah manusia masa kini memang sesombong itu?
Tidak. Bukannya mereka sombong. Aku tahu persis apa yang sebenarnya terjadi dengan diriku. Dan aku belum bisa menceritakannya sekarang.
Tapi dia berbeda. Aku bertemu dengannya sebulan yang lalu.
Sungguh satu bulan yang indah.
Hari itu, aku tersadar di sebuah tempat yang indah sekaligus suram. Menikmati kesendirian dengan menyatu bersama angin—membiarkan kesepian terbawa embusan sepoi-sepoi angin, aku duduk di bangku kayu pinggiran taman yang sepi. Kuhirup aroma sore dalam-dalam. Taman ini hanya berisikan beberapa bangku panjang, bangku dan meja batu, petak bunga kecil, air mancur, dan sebuah ayunan lapuk.
Lumut-lumut menghiasi bangku dan meja batu yang ada di tengah taman. Air mancur batu yang tidak menyala itu juga dihiasi lumut. Tanaman rambat tak lupa menambah keindahannya. Taman ini memiliki keindahan dan kesuramannya sendiri.
Indah sekaligus suram. Memang aneh.
Hari sedikit mendung. Gerombolan awan gelap memenuhi langit, menahan tangisnya hingga beberapa menit, sedangkan sang mentari bersembunyi dibaliknya, ia mengintip malu, sinarnya meredup. Tak lama kemudian, air mata itu merintik halus, membasahi dedaunan dan rerumputan sekitar. Termasuk diriku.
Aku tetap bergeming, menikmati sensasi dan bau khas hujan. Bersenandung pelan sambil mengayunkan kaki, tiba-tiba air hujan serasa tak lagi membasahi tubuh.
Rupanya, seseorang memayungkan diriku. Mata dengan spontan menatap sang empunya payung.
Maniknya keabuan....
"Bodoh," katanya, suaranya berat dan dalam. "Hanya orang yang tidak waras berhujan-hujanan di tengah taman." Iris keabuannya menatap setajam pisau yang baru diasah. Seakan tak membiarkan siapapun menatap rendah dirinya.
Dan memang tak mungkin ada yang berani menatap rendah dirinya.
Postur tubuhnya memang kurang tinggi untuk seumurannya--kutebak ia berusia duapuluhan atau tigapuluh. Tapi rambut hitam potongan undercut, sorot mata keabuannya, ekspresinya, dan ditambah aura yang menguar darinya membuat ia tampak memesona.
Memesona sekaligus menyeramkan.
Aku menganga seperti orang idiot. "Kau bicara denganku?" Kutunjuk diriku sendiri, lalu menengok sekitar—mencari eksistensi orang lain. Tidak ada siapapun selain kami.
Lelaki itu menautkan alisnya, memperkuat aura mengintimidasinya. "Pertanyaan tolol macam apa itu?"
Ada rasa senang tak terkira yang tumbuh. Maksudku, aku bukan senang karena dia mengucapkan kata 'tolol', tapi karena dia mengajakku bicara. Entah sudah berapa lama tak ada yang menyapaku. Bayangkan kau hidup berhari-hari atau bahkan berbulan-bulan tanpa ada yang mengajak bicara, tentu sekalinya ada yang mengajak bicara pasti rasanya senang, kan? Walau kata-katanya kasar, setidaknya ia menyapaku duluan. Aku tak memedulikan kata-kata kasarnya lagipula.
Aku pun mengulas senyum manis—semanis yang kubisa—lalu mengulurkan tangan, mengajaknya bersalaman.
"Terima kasih! Aku [name], kau?"
Hening beberapa detik.
Ia balas menjabat tanganku. Dan seketika aku merasakan sesuatu yang aneh mengalir dari tangannya, seperti sengatan kelebatan memori dan kenangan miliknya terlintas di kepalaku secara tiba-tiba, berganti dengan cepat, acak, dan tidak jelas. Semuanya tampak hablur.
"Levi," ucapnya rada serak. Anehnya terdengar seksi.
Yang pasti ada satu hal jelas yang kurasakan dari orang ini; kesepian.
Aku tak tahu dari mana aku tahu. Itu terlintas begitu saja, rasanya seperti kelebatan kenangannya membisikan sesuatu padaku.
**oOo**
Aku bertemu denganmu sebulan yang lalu.
Aku pun tak tahu apa yang membawaku untuk memberikan payung padamu. Itu terjadi begitu saja. Saat itu aku sedang tidak mood ke kantor dan memilih refreshing. Toh, aku pemilik perusahaanku.
Masalah kantor juga sedang membuat otakku tidak bisa berpikir jernih.
Dan kau, dengan senyummu yang sangat cantik mengajakku bersalaman. Sempat terlintas di otakku untuk mencibirmu dengan mengatakan, "Memangnya anak TK?" Tapi kutelan bulat-bulat kalimat itu, dan malah balas menjabat, sambil menyebutkan namaku.
Jabatan tangan itu terasa sangat nyata. Dan segala masalah yang ruwet di otak langsung sirna.
Aku, sejak awal merasa bahwa mengenal orang sampai ke ranah privasinya atau membiarkan ia masuk ke ranah privasiku adalah hal paling merepotkan seumur hidupku.
Tak akan kubiarkan mereka memasuki daerah itu, maka kubangun tembok super tebal untuk menghadang. Sekalipun mereka mengebom, memanjat, mencakari, berusaha menghancurkan tembok itu tidak akan pernah bisa hancur.
Bahkan tak jarang, kata-kataku yang tanpa filter ini membuat mereka sakit hati dan menjauh dariku. Aku bahkan tak peduli itu.
Biarkan aku tahu mana yang benar-benar ingin mengenalku dan mana yang hanya penasaran denganku.
Toh, pada akhirnya jika aku mulai memercayai seseorang, maka seseorang itu akan pergi jauh dariku. Seperti Isabel dan Farlan. Dan ibuku. Oh, dan tak lupa calon tunanganku—walau aku belum memercayainya.
Meskipun aku tak berniat tunangan, menurutku itu hanyalah formalitas belaka. Supaya tidak ada gosip aneh, misalkan aku gay, dan sebagainya. Karena umurku sudah cukup matang untuk menikah.
Dan kenapa aku bilang memercayai? Karena cinta itu tidak ada, menurutku. Cinta adalah hal absurd, begitulah kata kamusku.
Isabel dan Farlan mati terbunuh oleh orang yang dendam padaku. Saat itu, peluru mereka salah sasaran mengenai kepala Isabel. Dan peluru kedua mengenai jantung Farlan. Itu terjadi lima tahun yang lalu, saat aku baru berhasil membangun perusahaanku. Dan tentu saja orang yang dendam itu sudah mati di tanganku.
Ibuku mati di hadapanku sendiri, yang aku pun tak tahu sampai sekarang penyebab kematiannya. Saat itu aku masih terlalu muda untuk mengerti. Dan sampai sekarang pun aku tak tahu.
Sedangkan calon tunanganku—entahlah—dia mati atau bagaimana. Katanya bunuh diri, karena tidak suka dijodohkan atau apalah.
Sejak itu aku tidak tahu bagaimana harus berekspresi—sebenarnya sejak awal aku memang tidak tahu bagaimana harus berekspresi. Dan terus berpikir bahwa aku harus bertahan hidup di dunia yang keras ini.
Meski sudah memiliki perusahaan sendiri, tapi tetap saja aku merasa ada yang kurang.
Seperti, rasanya tetap tidak bahagia.
Sepeninggal Isabel dan Farlan, aku selalu sendirian. Meski terkadang ditemani Hanji, rasanya berbeda. Hanji memang tidak memasuki daerah privasi, tapi dia 'mengerti'. Hanya dengan beberapa kata kulontarkan, dan dia langsung paham. Dia aneh dengan caranya sendiri.
Tapi kau? Kau seolah mengerti isi pikiranku, bahkan sebelum aku mengucapkan apa-apa. Bagaimana bisa?
Kau bilang kau pernah merasakan seluruh hal yang ada di bumi ini. Dari dinginnya salju, tingginya gunung, dan sebagainya itulah. Memang kedengaran seperti tidak masuk akal, tapi toh aku tak memerdulikan itu.
Anehnya, dengan mendengarmu bercerita, aku tak bosan-bosannya menyimak, sambil sedikit mengamati berbagai perubahan ekspresimu. Membuatku membiarkanmu masuk ke ranah privasiku.
Bukan membiarkanmu masuk, justru aku yang mengajakmu.
Aku menceritakan masa kecilku, kematian Isabel dan Farlan, dan ibuku. Itu semua kuceritakan tanpa kau bertanya—padahal orang lain tidak akan pernah kuceritakan hal itu, meski mereka bertanya. Dan bahkan, sesudah aku bercerita, kau tidak menanyakan apa-apa. Seakan kau sudah mengerti sejak awal.
Kau malah tersenyum dengan sangat cantiknya, kepalamu tengadah menatap awan-awan gelap itu, lalu berkata, "Kau tahu? Aku pernah membaca sepenggal kalimat puitis yang bersangkutan dengan hujan."
Aku bertanya. "Apa?"
"'Cinta adalah hujan yang tak pernah bertanya di mana ia akan dijatuhkan'. Aku pernah baca kalimat itu di suatu novel kesukaan ibuku. Kalimatnya indah, bukan?" Kau menoleh ke arahku, masih dengan senyuman itu, mata kita bersipandang agak lama.
Dan kau benar-benar membuatku jatuh. Sejatuh-jatuhnya. Seperti kau memaksaku bertekuk lutut padamu. Kau memesona dengan caramu sendiri.
"Ya." Tidak hanya memesona, kau juga seperti candu.
Bukan dengan berdandan dan sebagainya, tapi dengan kepribadianmu. Kau menarikku ke duniamu.
Bersamamu, waktu bagai berhenti, seperti hukum relativitas Einstein. Topik apapun seakan tak pernah habis. Meski balasanku kasar seperti itu, kau tetap menanggapinya dengan santai, dan menjadikan itu bercandaan. Bagaimana bisa?
Kau menghancurkan tembok penghalang yang super tebal itu bahkan tanpa menyentuhnya. Seperti tembok itu retak dan hancur berkeping-keping dengan sendirinya. Dan aku kerap kali menanyakan pada diriku, bagaimana bisa?
Apalagi dengan perkenalan kita yang tergolong singkat. Biasanya, aku tak semudah ini membuka diri, Hanji saja perlu waktu bertahun-tahun untuk sepaham denganku.
Sekali lagi, bagaimana bisa?
***
Suatu hari yang cerah, kau berkata, "Aku bosan. Tidakkah kau ingin membawaku ke suatu tempat yang indah?"
"Aku tidak suka keramaian. Lagipula, jalan-jalan itu melelahkan. Merepotkan. Membosankan. Apalagi denganmu."
"Apalagi denganku?" Kau cemberut, dan memalingkan wajah dariku. "Baiklah kalau begitu. Biarkan saja aku mati kebosanan di sini. Lagipula orang yang biasa berkutat dengan kertas mana tahu tentang keindahan atau estetika. Urusi saja teman tipismu itu."
Kau menyebut kertas sebagai 'teman tipis'? Dasar.
"Cih, aku tidak bilang tidak, kan? Bodoh." Aku berdiri, dan mulai berjalan ke luar taman.
"Tapi kau bilang itu melelahkan."
"Aku yakin wajah konyolmu yang tak enak dipandang itu mampu menghapus rasa bosan." Itu adalah dusta yang besar.
Bagaimana mungkin wajah yang bagai candu itu tidak enak dipandang? Konyol sekali kata-kataku.
"Dan masalah keramaian, kita bisa mendatangi tempat sepi yang indah," lanjutku.
Lalu senyummu merekah. Dan itu cukup untuk membayar rasa lelahku. "Tunggu aku, Levi!"
"Kutinggal kalau kau lama!"
***
Kita mendatangi sebuah danau kecil. Danau itu bisa ditemukan jika sudah melewati hutan terlebih dahulu.
Aku duduk di batang pohon yang sudah tumbang. Dan kau berlari mendekati danau, bermain dengan airnya. Di sekitar danau terdapat beberapa bunga teratai.
"Lihat, ada teratai! Airnya jernih sekali!" Kau pun mengoceh ria. "Tidakkah menurutmu teratai ini sangat cantik?"
Aku menghampirinya, berjongkok di sebelahnya. "Berisik." Kujitak kepalanya. "Kau bilang kau sudah pernah melihat berbagai keindahan dunia, teratai seperti ini harusnya biasa saja."
Kau mencebikkan sudut bibirmu. "Memang, tapi kan ini masuk ke dalam salah satu 'hal-hal yang indah di dunia'."
"Kau bodoh? Teratai ini tidak ada spesialnya. Masih banyak ratusan bahkan ribuan bunga yang lebih indah dari ini. Dan banyak ratusan hal yang jauh lebih indah dari bunga."
Kau berdiri, berkecak pinggang, dan dengan tatapan menantang berkata, "Coba sebutkan ratusan hal yang jauh lebih indah dari bunga, huh!"
"Itu rahasia," jawabku. "Kau tidak perlu tahu."
Jawabannya adalah: kau. Aku sampai tidak bisa membedakan surga dan dunia jika ada kau.
"Bilang saja kau tidak tahu." Masih dengan wajah menantang, dan berkecak pinggang. "Kau hanya mencari alasan rahasia supaya terlihat keren, kan? Maaf itu tid—"
Masih posisi berjongkok, aku menoleh ke arahnya. "Kupikir, lebih indah yang memujinya." Ini spontan kuucapkan.
Mata kita bersitatap. "Maksudmu?"
Aku kembali menatap air. "Kau punya otak, kan? Atau otakmu seperti ubur-ubur?"
"Duh, ubur-ubur itu indah, tahu," balasmu. "Kau hanya tahu ubur-ubur tidak punya otak. Meski begitu mereka indah. Daripada kau. Kau sendiri punya otak tapi... begitulah."
Anehnya, aku tertawa dalam hati. Dan mungkin tak sengaja tersenyum, karena kau berkata, "Levi, kau bisa tersenyum!"
"Hah? Tidak!"
"Aku melihatnya dari pantulan air, jadi kau tidak bisa berbohong! Hei, tersenyum di hadapanku, dong! Senyummu indah!"
"Tidak. Kau hanya mengkhayal saja."
"Tapi—"
"Kau mengkhayal. Karena otakmu seperti ubur-ubur, efek sampingnya jadi suka mengkhayal, ya?"
Kau memberengut. Lalu kembali berjongkok di sampingku, menatap danau. Ikan-ikan berenang di tepian, menyenggol pelan teratai itu. Aku menatapmu dari samping. Matamu tampak mendambakan sesuatu hanya dengan melihat ikan-ikan itu.
"Levi, suatu saat nanti... ajak aku ke sini lagi, ya?" pintamu, masih menatap gerombolan ikan. Aku tak tahu kenapa nadamu terdengar sendu. Atau itu hanya perasaanku?
"Tidak. Tempat ini membosankan." Daripada tempat ini, aku akan mengajakmu ke tempat yang lebih indah lagi.
Kau meninju lenganku amat keras, nyaris saja aku tercebur ke kolam. Aku menatapmu sinis.
Kau tersenyum. "Dasar muka triplek!" Kau tersenyum lagi. "Kau nggak cocok muka seram, tahu. Tapi lebih aneh lagi kalau kau tersenyum, sih."
Andai bukan kau, aku akan memakinya habis-habisan.
"Awas kau, [name]. Kubalas ka—"
Cup.
Kau mengecup pipi kiriku dengan super cepat, lalu berlari sambil tertawa memutari danau. "Ha, ha, ha, kau tak bisa membalasku maupun mengejarku, Levi! Kau sudah jadi om-om! Persendianmu terlalu rapuh! Kau rematik!"
Tingkahmu kadang seperti bocah, tapi tetap saja....
Ya, tetap saja.
Saat aku berlari mengejarmu, kakimu tersandung dan nyaris jatuh. Aku dengan sigap menahanmu agar tak jatuh. "Bodoh, kalau lari jangan hanya dengan kaki, matamu juga pakai."
Aku melepaskan tanganku yang kupakai untuk menahanmu, tak disangka kau malah memelukku erat. "Makasih, Levi." Aku mengelus rambutmu dengan pelan.
Dan aku merasakan kenyamanan tiada tara saat kau memelukku. Aku hanya berharap semoga debaran jantungku tidak terdengar. Aku tidak punya muka jika kau mengetahui itu.
Saat-saat itu benar-benar menyenangkan. Tapi ada satu hal yang aneh, aku melihat bayanganku di air. Tapi aku tidak melihat bayanganmu. Padahal kau jelas-jelas di sampingku.
Bagaimana bisa?
Sampai suatu sore di taman yang biasa, kita mengobrol biasa, hanya berdua. Seperti biasa. Ditemani seekor kucing hitam di pangkuanku.
Tiba-tiba Hanji datang dengan wajah panik. Ia menceritakan apa yang terjadi dengan rumahku. Katanya, Connie dan Eren nyaris membakar rumah.
Dan di akhir kalimat, pertanyaan menyeramkan itu terucap. "Sedang apa kau sendirian di sini sejak tadi?"
**oOo**
[S E C O N D P . O . V]
[5 bulan yang lalu]
Ruang tamu itu masih sangat rapi. Kau dan keluargamu berkumpul di sana, membicarakan hal penting terkait masa depanmu.
"[name], biar aku dan ibumu perjelas. Kau akan kunikahkan dengan pemilik perusahaan yang terkenal, namanya Ac—"
Kau pun tak kuasa menahan amarah. "Aku tidak mau dinikahkan dengan siapapun! Apalagi dengan yang tidak kucintai!"
Ibumu angkat bicara. "Sayang, dengar dulu. Dia bisa menjamin masa depanmu, daripada kau susah-susah bekerja, menggapai cita-cita yang tak mungkin itu padahal ujung-ujungnya jadi isteri orang, lebih baik sama dia saja daripada dengan pria yang tak jelas juntrungannya."
"Cita-citaku tidak mustahil, Ibu!" Kau menggebrak meja. "Aku tidak mau hanya berakhir menjadi 'isteri orang'. Aku juga punya cita-cita yang harus kukejar! Aku ingin jadi pramugari. Ingin mengelilingi dunia, mengabadikan keindahan-keindahannya entah dengan foto atau dengan mataku. Seperti burung yang bebas terbang di langit sana."
Ayahmu menguap. "Itu mustahil, sayang. Lebih baik kauturuti kemauan kami, kau akan hidup enak. Ini semua demi kebaikanmu juga, kok."
"Lagipula, perempuan seumurmu kalau bercita-cita terlalu tinggi dan akhirnya gagal, kau malah menghancurkan diri sendiri lantaran gagal lalu kecewa tak bekesudahan. Kami tidak mau kau seperti itu, [name]," sahut ibumu.
Tak terasa air mata mengalir, menuruni pipimu. "Kalau aku sudah bercita-cita untuk berhasil, mengapa berencana untuk gagal?! Bagaimana kita tahu kalau tidak dicoba dulu? Ibu atau ayah kira, para ilmuan atau penemu tidak mengambil risiko dengan mencoba? Jika mereka tidak mencoba, atau takut mengambil risiko, mana mungkin teknologi jadi semaju sekarang."
Kau mengusap air matamu dengan kasar, lalu berlari meninggalkan ruang tamu itu dan pergi ke jalanan. Mengabaikan teriakan dan panggilan ayah maupun ibumu.
Kau terus berlari dengan mata sedikit buram, dan tak sadar telah mencapai belokan jalan raya. Belokan itu adalah sebuah rawan kecelakaan karena tidak adanya kaca lalu lintas. Dan benar saja, sebuah mobil dengan kecepatan tinggi sedang melaju.
Kau yang matanya sedang buram tidak sadar keberadaan mobil itu. Pengendara mobil ituu juga terlambat menginjak rem.
Semua terjadi begitu cepat.
Kau tertabrak, dan terlempar sejauh sepuluh meter. Kesadaranmu menghilang, dan semua menggelap.
***
Kau terbangun di kasur rumah sakit, tapi yang anehnya, kamu melihat tubuhmu sendiri terbaring kasur, dipenuhi dengan selang-selang aneh. Di samping tubuhmu yang terbarung, ada ibumu yang menangis tersedu-sedu.
"Ibu... kenapa kau menangis? Aku ada di sini." Kamu merasakan matamu memanas, lalu mengasihani diri. "Itu aku... kalau begitu, aku ini apa? Hantu? Tapi tubuhku masih ada di sana," gumammu tak jelas, sesenggukan.
**oOo**
Semenjak bertemu temannya Levi yang berkacamata, aku tak berani menampakan diri sedikitpun. Takut akan mengecewakan Levi. Dia pasti merasa dirinya gila karena bertemu roh penasaran sepertiku.
Toh, sedari awal aku sudah tahu, hubungan ini tidak mungkin. Hanya saja aku terlalu egois, tidak memberitahu sejak awal. Jarakku dengannya sejauh matahari dan Pluto.
Kita tidak akan bisa jadi setidakterpisahkan seperti api dan bara, ataupun pantai dan laut. Itu hanyalah angan-angan. Aku tahu ini egois, pada akhirnya aku tidak memberitahu hal ini karena aku menyimpan perasaan padanya.
Aku tak sanggup menghentikan sesuatu yang akan berakhir buruk saat sesuatu itu masih menjadi 'indah'.
Sejak saat itu, aku hanya berdiam diri di rumah sakit, menunggui ragaku yang terbaring tak berdaya di kasur, dipenuhi oleh selang-selang aneh. Dan lagipula, biusan yang biasanya datang menghampiriku, yang membuatku tiba-tiba ada di antah-berantah sekarang sudah tidak ada. Aku pun tak tahu kenapa.
Jadi, aku datang ke rumah sakit ini dengan berjalan kaki. Percaya atau tidak, jarak rumah sakit ini dengan taman yang waktu itu lumayan dekat rupanya. Meski tertidur. Aku tetap terbangun di tempat yang sama; kamar rumah sakit.
Kerap kali ibuku berkunjung menjenguk ragaku bersama ayahku, tapi mereka tak pernah melihatku. Kenapa mereka tak bisa melihatku? Kenapa Levi bisa?
Lama aku memikirkan hal itu, aku tahu akhirnya. Aku kesepian. Levi pun kesepian. Kita memiliki gelombang yang sama. Sedangkan orangtuaku masih saling memiliki satu sama lain, rasa kesepian itu belum sedalam aku ataupun Levi.
Aku juga sering bertanya pada diri, kenapa aku masih di sini? Kenapa tidak lekas pergi ke alam sana? Ataukah nyawaku berada di tengah-tengah itu makanya tak bisa pergi? Entahlah.
Semua ini membingungkan.
Ibu hanya menangis di sisi ranjang, memanggil namaku dan menyalahkan dirinya.
Aku merasa gagal sebagai anak.
***
Hari ini kamarku damai. Tiada yang menjenguk. Dan memang selalu begitu. Ketika aku terbangun, seperti biasa, bau khas rumah sakit merangsek masuk ke dalam pernapasanku dengan spontan.
Kutengok jendela, menunggu sang mentari terbit, melihat embun di dedaunan, mendengar kicauan para burung, menghirup aroma pagi yang sangat segar. Suasana pagi hari memang sangat menenangkan.
Tapi, tiba-tiba saja terdengar suara gaduh di depan pintu kamar. Terdengar teriakan laki-laki, dan para perempuan. Mereka sepertinya saling membentak.
"—karang belum jam besuknya, Pak!"
"—dak peduli, singkirkan tangan kotorm—"
Dan pintu kamar menjeblak terbuka. Menampakan sesosok laki-laki yang sangat kukenal.
Potongan undercut.
Mata keabuan yang menyorot tajam.
Dan tingginya yang... yah segitulah.
Dia tengah dipegangi oleh satpam, perawat, serta suster yang menghalangi untuk masuk ke kamarku.
"[name]!"
Aku seolah membeku ditempat, melangkah pun tak bisa—seakan kaki menempel dengan lantai yang kupijak sekarang ini. Ingin menangis pun tak mungkin. Rasanya sekujur tubuh bergetar hebat.
Suaranya tetap sama, serak, berat, dan dalam. Bagaimana mungkin aku melupakan suaranya yang khas?!
"Singkirkan tangan kalian!" Levi menepis tangan si satpam. "Atau kalian ingin rumah sakit ini bangkrut dalam sekejap?" Praktis, semuanya langsung melepaskan cowok keras kepala itu. "Pergi!" Dan semuanya langsung pergi tanpa kata.
Pintu pun ditutup.
Keheningan menyelimuti atmosfer.
Dan di sinilah aku. Gemetar ketakutan, menanti kata-kata menyakitkan apa yang akan terlontar darinya. Hei, lagipula mengapa harus takut?
"[name]...," panggilnya lagi. Kali ini tersirat nada nelangsa di dalamnya. "Kenapa kau pergi padahal urusan kita belum selesai, bocah?"
"Aku takut." Jawaban itu terlontar secara otomatis, mengabaikan kata bocah yang dilontarkannya. "Kau tentu sudah tahu aku ini apa, kan?"
"Peduli setan kau itu apa. Jelas-jelas kau sedang tertidur di sana." Levi menunjuk ranjang tempat ragaku terbaring tak berdaya. "Kau tidak perlu melarikan diri begitu, bodoh. Segitu inginnya kau kukejar, hah?"
Air mata tak terasa lulur membasahi pipiku. "Aku... itu... itu percuma, Levi. Kau tidak akan punya masa depan denganku."
Sebenarnya aku pun tak tahu apa sebutan yang pas untukku. Roh? Hantu? Arwah? Tapi saat menyentuh Levi, tekstur itu terasa nyata. Dan aku bisa menembus dinding. Jadi sebenarnya aku ini apa?
**oOo**
"Aku... itu... itu percuma, Levi. Kau tidak akan punya masa depan denganku." Air mata meleleh di pipimu. Bagaimana mungkin aku tidak akan punya masa depan denganmu jika masa depanku adalah kau.
Bahkan aku tak tidur semenjak kau menghilang, [Name]. Kau tak tahu itu, kan? Aku mencari informasi tentangmu dengan berbekal nama, dan mengingat cerita-cerita yang kau lontarkan. Aku mengerahkan orang-orangku untuk menemukanmu, bisa kau bayangkan itu?
Dan kenapa aku yang tidak peduli ini harus mencarimu sekuat tenaga?
Karena aku telah jatuh terlalu dalam.
"Singkirkan kata-kata tolol tadi dari pikiranmu, [Name]. Kau bisa kembali ke tubuhmu, tapi hanya ada dua pilihan: hidup atau mati."
Ya, aku mengetahui hal ini setelah bertanya ke sana kemari tentang arwah dan roh semacamnya ke ahlinya.
Bayangkan saja, Hanji mengira aku gila. Eren memaksa untuk memeriksakan kondisi kejiwaanku. Dan Mikasa, mendukung Eren tentunya. Mereka sudah pasti sepaket.
Sekejap, matamu memancarkan cahaya harapan, kemudian meredup. "Kalau aku hidup, orangtuaku akan menjodohkanku. Perkataan mereka adalah mutlak. Aku tidak mau jika bukan denganmu." Kau mengalihkan pandang, dan berekspresi malu-malu.
Hei, degupan apa ini? Haruskah aku berdebar sekarang? Uh, aku merasa seperti cewek saja.
"Dan calonmu adalah Aku," kataku akhirnya. Aku tak pernah merasa sebersyukur ini mengetahui kaulah calonku.
Ekspresimu tampak kaget luar biasa. Sudah kuduga.
"Ja-jadi aku bisa kembali?" tanyamu terbata.
"Bisa," jawabku. "Tapi kau harus niat sepenuh hati ingin kembali ke tubuhmu. Dan setelah arwah atau roh sebutannya itu sudah menghilang, sisanya urusan dokter dan yang Maha Kuasa. Aku tak bisa menjamin kau langsung sadar, bisa jadi baru 5 tahun kemudian kau sadar. Dan bisa jadi kau pergi ke alam sana. Jadi pilihlah pilihanmu. Kalau seperti sekarang ini, kau hanya terombang ambing diantara dua dunia."
Dengan menjelaskan seperti itu, aku merasa mempermalukan diri sendiri. Jika Hanji melihatnya sudah pasti sekarang aku ada di RSJ. Dan kacamatanya akan terbelah dua.
Tapi demi kau.
Kau menutup mata sejenak, mungkin memikirkan pilihan yang terbaik.
"Baiklah," katamu akhirnya. "Aku akan kembali. Meski aku akan mati sekalipun, setidaknya aku mencoba."
Kau tersenyum. Dan itu nampak sangat cantik. Tolong, jangan buat senyum itu seakan jadi senyummu yang terakhir. Tolong.
"Kalau seandainya aku mati nanti..." Matamu berkaca-kaca. "Jangan lupakan aku. Di manapun kau berada, Levi, di situlah aku ada." Kau berjalan mendekatiku, menyentuh dadaku. "Aku ada di hatimu. Selalu." Mata kita bersitatap, senyum itu masih tak hilang.
"Selalu." Kuhapus air mata yang meleleh di pipimu, dan kurengkuh kau ke dalam pelukan panjang. "Aku tidak akan menungguimu di sini dengan sering, kau tahu? Aku sibuk." Tapi aku akan menungguimu setiap hari.
"Tentu saja." Kau tertawa kecil.
________________________
Author's Note:
Pokonya tolong komen dah biar semangat gitu ;_;
MAAFKAN SAYA ENDINGNYA GABAGUS. MAAF BANGET BANYAK YANG BOLONG BOLONG. BELOM SEMPET PRIKSA ULANG, DAN GAMAU MENUNDA NI REQUEST LEBIH LAMA LAGI. MAAFKAN KALO BANYAK YANG DILUAR LOGIKA DAN AKAL SEHAT. MAAFKAN ALUR. MAAFKAN SEMUANYA!!
Kalo nemuin bagian yang ganjal, tolong langsung bilangin ya. Makasih banyak! Makasih yang sudah mau baca juga. Pokonya makasi buat ketua Vessalius04 kebaikannya dan kesabarannya menunggu ni request tiada tara bung! Makasih buat LectaIruka yang nyemangatin neken tombol publish 😂. Jujur, gue gayakin banget sama ni cerita. Aneh, tapi ah sudahlah. Lanjutkan. Tabras sajah.
Oh iya, kata-kata "hujan adalah cinta yang tak pernah bertanya di mana ia dijatuhkan." Itu gw ngambil dari novel klandestin, karya L M Cendana.
MAKASIH BUAT SEMUANYA. YAUDA. gt aj si.
Hehe.
[Tambahan]
Setahun kemudian.
"Hei, [Name]. Kau tidak lelah tidur terus?" Lelaki bersurai hitam, potongan Undercut itu terus memegangi tangan wanita yang bak aurora. Perempuan itu sudah tertidur nyaris setahun lamanya.
Harapan lelaki tersebut nyaris pupus, tapi tiap teringat senyuman itu, ia tak jadi menyerah. Selalu menunggu di sisi sang Perempuan bernama [name], sambil memandang mentari terbenam dari jendela rumah sakit itu.
Tapi, penantian sang lelaki berhenti hari ini.
Tangan pucat itu bergerak sedikit. "Le... vi...." Suara lirih [name ] terdengar. Dan lelaki dengan surai hitam bernama Levi itu langsung meneriaki nama [name] lalu memanggil dokter dengan panik dan sigap.
Kelopak mata itu terbuka perlahan.
Senyum itu perlahan muncul, meski sangat kecil.
Syukurlah, [name], batin Levi.
.
.
.
.
.
Rlly rlly end skarang. 😂
Tolong kritik saran. Hehe.
[24/12/16]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top