four

Kutatap tanah basah yang ditaburi bunga itu dengan mata berair. Tama sudah pulang dalam dekap Tuhan. Menyisahkan luka yang teramat menyakitkan. Aku pernah berkata, Tama adalah pelangi untukku. Memberi warna untuk hidupku yang abu-abu. Setelah itu, setelah bahagia yang Tama ciptakan hanya sementara, aku bisa apa? Kamu meninggalkan aku dengan sejuta luka.

Perlahan, aku menyentuh nisan yang bertuliskan nama Pratama Putra. Merasakan betapa dinginnya nisan itu. "Saat itu, kamu marah sama aku kan, Tam," lirihku pelan.

"Aku salah, aku salah lebih milih Raka dari kamu." Kuusap perlahan air mata yang mulai merembes keluar. "Maafin aku, Tam. Aku udah bikin kamu, pelangi di hidupku menghilang." Kutaburkan dengan perlahan bunga dalam keranjang yang kubawa.

"Tama, kenapa bahagia yang aku rasain cuma sebentar? Kamu tau gak rasanya pacaran sehari aja terus ditinggalin selamanya? Sakit tau. Sehari, Tam, bahkan belum dua puluh empat jam aku ngerasain kasih sayang kamu, tapi kamu udah pergi duluan." Aku mengusap air mataku yang terus merembes keluar.

"Sekarang, siapa yang bakal nganterin aku pulang kalo Raka gak bisa? Siapa lagi yang buat aku ketawa kalo gak kamu? Siapa yang bakal gantungin converse punyaku di atas pohon kalo gak kamu? Semua bahagia yang aku rasain cuma sebentar, Tam."

Aku mendekap nisan itu erat, kembali meraung meluapkan segala amarah dan juga rasa sesal. "Saat hatiku udah mulai terbuka buat kamu, kamu pergi, ninggalin aku sendiri dengan hati yang setengah terbuka. Membiarkan sedikit demi sedikit angin masuk ke dalamnya.

"Tama, mungkin aku terlambat buat bilang semua ini, tapi sejujurnya hatiku emang udah terbuka buat kamu."

"Rissa, cukup."

Aku yang mendengar itu semakin terisak. Bahuku bergetar hebat. Semakin merasa bersalah akan semua ini.

"Kalian pulang a-aja." Aku berucap lirih.

Raka berlutut di hadapanku. Diikuti oleh Indri dan juga Tante Eni. "Rissa, kamu gak salah. Semua ini udah takdir Tuhan," ucap Indri halus.

Dini, kakak perempuan Tama menepuk bahuku pelan. "Everythings gonna be alright."

Tante Eni membuka suara. Matanya yang sendu menatapku. "Sebelum Tama pergi, dia nitip surat ke Tante buat dikasih ke kamu."

Respon-ku hanya mengangguk lemah, mataku mengisyaratkan mereka untuk pergi. Aku masih ingin bersama Tama lebih lama. Meski aku tau, aku dan dia terpisah oleh sekat yang tidak bisa kulalui.
Tama sudah tertimbun di dalam tanah. Hal itu cukup membuat hatiku teriris pedih. Memang, ditinggalkan seseorang karena kematian itu lebih sakit dari apa pun. Karena sebesar apa pun aku merindukannya, dia tidak akan kembali kepadaku.

Aku beranjak dari tempat sunyi sepi itu, menapaki tanah yang becek karena hujan. Embusan angin terasa hampa saat ini. Bersama angin, aku tau bahwa Tama selalu ada untukku. Menyertaiku setiap saat tapi selalu kuanggap tiada.

Dalam sepersekian detik, kutatap surat yang berada di genggamanku. Mataku masih berair, tapi kucoba untuk tetap tersenyum meski pedih.

Selamat tinggal, Pratama Putra.

•••

thanks to indrindahsr eniristiani rakapratama dinodinsky

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: #teenfiction