LARASATI #7

HANYA REPOST XD (BAGI YANG UDAH BACA BISA SKIP AJA)

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Layangmu tak tompo wingi kui.. (suratmu sudah ku terima kemarin)

Wes tak woco opo karepe atimu.. (Telahku baca apa yang hatimu inginkan)

Renyuh ati iki moco tulisanmu.. (Bergetar hati ini, baca tulisanmu)

Ra kroso netes eluh ning pipiku... (Tak sadar menetes air mata di pipiku)

Umpomo tanganku dadi suwiwi... (Seandainya tanganku jadi sayap)

Iki ugo aku mesti enggal bali.... (Pasti aku akan langsung kembali)

Neng kepiye maneh, margo kahananku.. (Bagaimana lagi, karena keadaanku)

Cah ayu, entenono tekaku.... (Cantik, tunggulah kedatanganku)

Percoyo aku, kuatno atimu... (Percaya padaku, kuatkan hatimu)

Cah ayu entenono tekaku.. (Cantik, tunggulah kedatanganku)

Aku memeluk surat dari Kang Masku, Duh Gusti rasa kangen ini benar-benar menyiksa. Sudah 2 minggu aku bersekolah di sini di Universitas Jendral Soedirman, tapi 2 minggu juga Juragan Adrian belum sempat datang ke mari. Aku kesepian, aku rindu Kang Masku.

Sebenarnya sudah 5 hari yang lalu aku mengirimi Juragan Adrian surat. Yang aku tujuan di rumah Pak Lek Marji, karena ndhak mungkin sekali ku tujukan dirumah Juragan Adrian, dan kemarin Pak Pos datang ke kontrakan mungilku, mengirimiku surat yang berarti balasan dari Kang Masku. Cukup surat ini saja, yang ditulis dengan kertas folio bergaris, dengan minyak wangi khas Kang Masku sudah membuatku rindhuku sedikit terobati. Dengan memeluk suratnya seperti ini, mencium aroma parfumnya seperti ini, seakan-akan aku tengah memeluk tubuh Kang Masku, aku benar-benar rindu dirinya.

Aku kembali duduk di kursiku, mengambil sebuah buku cetak yang kemarin diberikan oleh Pak Lek Marji, titipan dari Juragan Adrian, agar aku giat belajar katanya, dan menjadi sarjana pandai. Sarjana hatinya, aku senyum saja saat Pak Lek Marji mengatakannya padaku, Pak Lek bilang Juragan Adrian suka marah-marah, kemudian bersiul-siul sendiri, dan sering melamun di pondok kecil yang selalu menjadi saksi bisu cinta kami. Duh Gusti, aku sudah ndhak sabar bertemu dengannya, memeluknya, bermanja-manja dengan Kang Masku.

"Larasati ayo berangkat sekolah!" Ku dengar suara Ella, teman baruku di Kota memanggil.

Aku segera merapikan bukuku dan ku bawa, aku ndhak lagi menggunakan kemben dan kebaya seperti yang ku pakai saat di kampung dulu. Juragan Adrian membelikanku selusin rok bermotif bunga-bunga untukku pakai saat sekolah, tapi jangan salah, Kang Masku juga membelikanku kemben. Untuk ku pakai saat dia datang nanti, agar ndhak perlu susah-susah membuka baju kalau kami akan melakukan hubungan suami-istri, katanya. Aku hanya menurut saja, biarkan dilakukan apa yang menjadi kesukaan Juragan Adrian, selama itu ndhak menyusahkanku, karena aku juga suka.

"Kamu sudah lama menunggu?" Tanyaku pada Ella, gadis kota yang rambutnya selalu dikepang dua.

Dia tersenyum manis ke arahku, sambil menarik tanganku menuju tepi jalan. Saat itu berangkat ke mana-mana harus naik angkot yang biayanya duaratus lima puluh rupiah, atau jalan kaki untuk menghemat uang atau bahkan ketinggalan angkot, maklum saja, dulu angkot itu masih langka, hanya ada 1 dan dua saja dan itu pun ndhak pasti.

"Lihat ada pemuda yang memperhatikanmu." Bisik Ella, ku lihat pemuda itu memang mengarahkan pandangannya padaku, membuatku menundhuk.

"Apa kamu ndhak suka? Kamu itu cantik, tapi kenapa kamu ndhak tertarik dengan para pemuda yang memperhatikanmu, apa di kampung kamu sudah punya calon suami?" Tanya Ella lagi, aku tersenyum, bingung.

"Aku hanya ingin fokus belajar, belum memikirkan hal-hal emosional seperti itu. Kasihan Eyang dan orang-orang yang mengharapkanku untuk jadi sarjana, jika aku ndhak sungguh-sungguh belajar." Jawabku.

"Alah, ngapusi.. wong wadon gak mungkin gak mikirne lanangan." (Bohong, cewek gak mungkin mikirin cowok) Bantah Ella, dia kembali menyikut lenganku.

"Siapa orangnya?"

"Apa?" Tanyaku bingung,

"Yang ada di hatimu." Godanya, wajahku tiba-tiba terasa panas, aku ndhak bisa untuk ndhak tersenyum, apa lagi jika membayangkan wajah Kang Mas menatapku sambil tersenyum.

"Ada, lelaki, ganteng." Jawabku jujur, masih malu-malu.

"Seganteng apa? Artis?" Tanya Ella lagi, aku menundhuk sambil menyelipkan anak rambutku yang terjatuh di wajah.

"Lebih ganteng dari artis, pujaan wanita." Jawabku lagi, memang Juragan Adrian ganteng, karismatik, dan berwibawa. Dia adalah idola di kampungku.

"Ngapusi Ti, Mungkin ya Bojone wong iku" (Bohong Ti, mungkin suami orang), Ucapan Ella seperti menamparku, senyumku langsung memudar seketika. Iya, memang, dia suami orang. Tapi aku ndhak berani berucap.

*****

Di Kampus, mungkin dulu lebih tepat sekolah. Bangkunya masih bangku dari kayu yang memanjang, yang muat untuk 4-5 orang. Sedangkan Dosen yang mengajar mengenakan pakaian kebaya (wanita) dengan sanggul besar sambil nginang (makan daun sirih) yang membuat gigi mereka merah. Katanya, jaman dulu nginang adalah salah satu cara untuk kesehatan mulut, selain membersihkan gigi, juga membuat nafas harum, salah satu rutinitas yang dilakukan para orang-orang sepuh (tua) atau juragan-juragan kaya, tapi untung saja Juragan Adrian ndhak melakukannya, karena melihat warna merah jigong itu aku sedikit ndhak suka.

Setelah pelajaran Bu Saropah, umumnya dulu kuliah mayoritas memang jurusan keguruan, materi yang diajarkanpun hampir sama. Ella menyikutku saat aku masih sibuk menulis, menulis adalah hal yang sangat dibanggakan, karena belum ada mesin fotocopy dan komputer. Mungkin ada, tapi hanya untuk tempat-tempat tertentu, sedangkan kami, murid. Lebih memilih mencatatat berbuku-buku tulisan yang dituturkan Dosen agar ndhak ketinggalan pelajaran.

"Ayo bali." (ayo pulang), Ella mengajakku. Tumben, biasanya dia lebih senang untuk berlama-lama di sekolah, melihat para pemuda dan gadis-gadis dari kota yang cantik-cantik dengan gayanya, perlu aku tegaskan, dia memang gadis kota, tapi dia ndhak kaya, dia dari keluarga berekonomi menengah yang sederhana.

"Tumben, ndhak nyambangi Mas Ipul?" Tanyaku, Ipul ketua Mahasiswa di sini, mungkin bisa disebut dengan Presiden Mahasiswa.

"Bang Ipul wes nduwe wadonan, Iris." (Bang Ipul sudah punya pacar, Iris), Rupanya Ella patah hati, pantas saja dia ngajakin pulang.

"Ojo nesu, goleko liyane." (jangan marah, cari yang lain) Kataku, mencoba menghiburnya. Matanya sudah merah, aku yakin sebentar lagi dia menangis.

Aku ikut prihatin, dari aku kenal Ella dia begitu getol mencari perhatian Mas Ipul. Mulai dari sering tanya hal yang dia tahu, sampai dibela-belain ikut berjalan kaki saat Ipul pulang dengan kawan-kawannya.

"Ada tamu negara?" Tanya Ella, aku menoleh saat para Dosen mulai sibuk, ada mobil datang. Tahu kan, mobil menjadi barang yang langka, yang hanya kalangan pejabat dan orang kaya saja yang punya.

Aku diam memperhatikan, seperti pernah lihat mobil merah itu, tapi di mana? Belum sempat aku putar otakku, senyumku sudah mengembang dulu. Sebenarnya, ingin sekali aku lari dan memeluk orang yang baru saja keluar dari mobil itu, yang sekarang tengah melepas topi putihnya, tapi aku tahan. Aku ingat di sini banyak orang, dan mungkin Juragan Adrian adalah tamu penting di sini.

"Juragan kaya datang!" Bisik-bisik kawan-kawanku, aku hanya diam, mencoba menjadi pendengar.

"Baguse rupane Gusti." (Tampan sekali wajahnya) Ella menatap Juragan Adrian dengan tatapan aneh, dia Kang Masku! Ingin sekali aku mengklaim Juragan Adrian saat itu juga, tapi aku ingat, aku ini siapa.

Aku melihat Juragan Adrian menebarkan pandanganya, apakah mencariku? Saat tatapan kami bertemu, beliau tersenyum. Senyum yang selalu membuat mata kecilnya nyaris hilang, Duh Gusti. Aku merindukan Kang Masku, rindu setengah mati.

"Lho mengsemi aku." (Lo tersenyum padaku) Girang Ella sambil menggoyang-goyangkan tubuhku. Kegirangan Ella semakin bertambah saat Juragan Adrian semakin mendekat. Aku masih diam, nanti, pasti aku akan mengadu, dan akan kumarahi Kang Masku, agar ndhak datang ke sekolah. Agar ndhak membuat kawan-kawan wanitaku jatuh hati dengannya.

Aku kaget, Juragan Adrian memegangi kedua pinggulku, setelah beliau meletakkan sekuntum bunga sepatu warna ungu yang diselipkan di telingaku. Aku yakin, semuanya memandangi kami, dan itu semakin membuatku malu.

"Aku iso bento mok tinggal nang kene Ndhuk." (aku bisa gila kau tinggal disini) Kata Juragan Adrian, aku menunduk malu, disini masih ada Ella, aku yakin dia akan bertanya-tanya, tapi dia masih bingung.

"Kang Mas, ada orang banyak." Bisikku malu-malu, Juragan Adrian menebarkan pandangannya, beliau lalu melihat ke arah Ella.

"Kawan Laras di kota?" Tanyanya, Ella mengangguk sopan.

"Ella, kawan Larasati." jawab Ella sopan.

"Adrian,__" Aku menatap Juragan Adrian yang menggantung kalimatnya, aku yakin beliau bingung, mau menyebut dirinya ini siapaku, ndhak mungkin kalau dia akan bilang aku simpanannya, kan?

"Bakal bojone Laras." (calon suaminya Laras), Aku memekik kaget, calon suami? Kang Mas,

"Ella aku pamit pulang dulu ya, ndhak apa-apa toh?, kalau kamu pulang sendiri? Atau barengan?" Ajakku bingung, takut nanti Juragan Adrian ndhak suka.

"Aku pamit, pulang sendiri saja Ti. Monggo Kang Adrian." Pamit Ella, aku menatap Kang Masku lagi,

"Ndhak baik lho Kang Mas, kok seperti ini di tempat umum. Nanti kalau ada yang tahu bagaimana? Citra Kang Mas bisa buruk."

"Kalau di sini ndhak usah sungkan cah Ayu, aku sengaja mencarikan tempat sekolahmu yang jauh dari Kampung, dan yang ndhak banyak orang yang mengenalku. Jadi kita bisa pacaran." Ucapnya, ndhak sopan lagi, seperti remaja, pacaran segala.

"Lalu yang tadi?" Tanyaku, aku sebenarnya ndhak berani bertanya tentang jawabannya yang diberikan kepada Ella.

"Yang mana Ndhuk?" Tanyanya "Oh, iku toh" (itu toh) Seolah beliau mengingat sesuatu, beliau kembali tersenyum, aku ndhak mengerti, sekarang ini Juragan Adrian suka sekali tersenyum, tahu saja kalau senyumnya itu manis, ngangeni.

"Sopo ngerti sokmben keturutan, dadi bojone Larasati seng ayu dewe." (Siapa tahu nanti kesampaian, jadi suaminya larasati yang cantik),

"Kang Mas," Manjaku sambil mencibit perutnya,

*****

Pasar Wage penuh dengan andong yang saling antri, kusirnya mungkin menunggu penumpang, sementara angkot sangat jarang. Paling banyak 2-3. Aku dan Juragan Adrian turun di sana, untuk jalan-jalan, kata Kang Masku ingin belanja sedikit, untuk persediaan beberapa hari, beliau akan bersamaku 2 hari ini, entah apa yang dibuat alasan untuk kedua istrinya di Kampung, tapi setidaknya aku bisa memilikinya 2 hari, aku senang.

"Kamu mau naik andong berdua?" Tanya Juragan Adrian, ada beberapa orang yang sedang naik andong sekarang berlalu lalang selain orang yang jalan kaki ataupun naik becak, aku menggeleng. Memangnya mau ke mana pakai naik andong segala, pasarnya kan tinggal beberapa langkah lagi. "Kita bisa ke alun-alun naik andong." Lanjutnya, gemar sekali Kang Masku ini naik andong, atau dia belum pernah naik andong sebelumnya?

"Nanti mobil Kang Mas?"

"Marji yang urus." Aku mengangguk menurut, Kang Masku tertawa. beliau membuka tangannya di depanku sambil sedikit membungkuk. "Tak gandeng." (aku gandeng) Katanya, aku meraih tangannya dan kami pun bergandengan tangan.

"Mundhak ilang."(biar tidak hilang) Godanya lagi, semakin ku eratkan genggaman tanganku, seolah aku ndhak ingin melepaskannya, ini benar-benar seperti pasangan remaja yang kasmaran, aku dan Kang Masku, senangnya aku. "Kamu tahu, Ndhuk. Berjalan sambil bergandengan tangan seperti ini, baru kali ini aku rasakan, rasanya hatiku ini lho, deg-deg ser (bergetar), apalagi yang aku gandeng ini Larasati. Awakku kemruntus (tubuhku bekeringat),grogi."

"Kok bisa Kang Mas.?" Beliau menghentikan langkahnya, menatapku lekat, kemudian tersenyum.

Tangan lainnya mengelus rambutku, membuatku tersipu malu, kemudian tubuhnya didekatkan padaku, mengajakku berjalan lagi.

"Kamu ndhak tahu, kenapa kamu ini wanita pertama yang aku pegang tangannya? Kamu juga ndhak tahu kalau kamu ini wanita pertama yang ku ajak jalan beriringan?" Aku menggeleng, beliau kembali tersenyum, senyuman yang sangat menyejukkan, senyuman yang ndhak akan bisa aku lupakan.

"Nanti, kamu juga akan tahu, kenapa kamu menjadi yang pertama untuk itu. Tapi kamu juga harus berhenti berfikir, jika kamu ini simpananku, Ndhuk."

"Kenapa Kang Mas?"

"Karena bagiku, kamu lebih dari itu." Aku hanya diam, meski bahasanya Kang Masku ini muter-muter, ndhak tahu kenapa tapi hatiku senang, apa itu maksudnya? Apakah itu sejenis perasaan, cinta?

"Mau beli apa Kang Mas?" Tanyaku mengalihkan perhatian, aku ndhak mau Kang Masku mendengarkan detak jantungku, karena pastinya aku akan malu.

"Bukan Aku Ndhuk."

"Lalu?"

"Ini kebutuhanmu." Aku bingung, kebutuhanku? Apa?

"Kutang?" Tanyaku bingung, karena sejak terakhir kali ketemu, Juragan Adrian membicarakan kutangku yang kekecilan semua.

"Lambemu tak sun lho." (bibirmu, aku cium lo) Spontan saja, aku menutup mulutku. "Tuku gencu, gawe sliramu cah ayu." (beli lipstik buat kamu cantik) Lanjutnya, aku tersenyum lagi, memang gincuku hanya satu, yang warnanya kembang segerat.

"Ini Kang Mas." Tunjukku ke gincu warna merah jambu, Juragan Adrian menggeleng keras.

"Elek, saru. Aku gak seneng." (Jelek, aku ndhak suka)

"Ini?" Tanyaku lagi, sekarang memegangi yang warna kunir bosok (orange), Juragan Adrian menggeleng lagi.

"Ini bagus." Katanya, sambil mengangkat gincu berwarna merah hati. "Tapi hanya boleh dipakai kalau kamu bersamaku, karena warnanya menggoda," Ujarnya, wajahku semakin bersemu merah. Aku yakin, penjualnya mendengar ucapan Juragan Adrian.

"Dan aku ndhak mau lelaki lain tergoda."

"Kang Mas pandai merayu."

"Mung sliramu seng tak rayu Ndhuk." (Cuma kamu yang tak rayu)

"Ngapusi." (bohong)

"Titenono yo mengko bengi." (Tunggu nanti malam) Cepat-cepat aku pergi saat mendengar penjual gincu itu tertawa sendiri, mungkin, Bu Lek itu fikir kami pasangan pengantin baru, terlihat jelas dari wajahnya yang mengsam-mengsem dari tadi.

****

Aku ndhak terlalu fokus dengan gumaman Juragan Adrian yang bernyanyi-nyanyi kecil di depan cermin, sambil menata bajunya, karena Kang Masku itu baru selesai mandi. Sedangkan aku, masih berbaringan di ranjang. Tubuhku sakit semua, rasanya semua persendian dan tulang-tulangku mau rondok. Kalian tahu, ternyata ancaman Juragan Adrian kemarin itu dibuktikan. Semalaman sampai pagi dia mengajakku berhubungan suami-istri, Duh Gusti, lelaki tua itu ternyata tenaganya seperti kuda, ndhak lelah meskipun semalam kami melakukannya, aku sebal, kemarin'kan aku belum sempat makan malam, tapi dia sudah mengajakku begituan, sampai aku kehabisan tenaga, sekarang'pun tubuhku lemas, ndhak berdaya untuk berdiri.

"Kamu ndhak masak, Ndhuk?" Tanyanya, bagaimana mau masak kalau tubuhku sudah diremukkan semalaman, rasanya masih ngantuk.

"Nanti sarapan beli di warung Bu Dhe saja ya Kang Mas, Laras masih mengantuk." Jawabku, sambil menguap berkali-kali.

Juragan Adrian tersenyum, kelihatannya Kang Masku tahu kenapa aku ini sampai malas untuk bangun dari ranjang. Beliau malah sekarang ikutan tidur, menindihku. Ndhak bisa ku bayangkan kalau dia mau lagi, bisa-bisa aku nanti di kubur, mati karena kebanyakan melakukan hubungan suami-istri.

"Kenapa kamu cah ayu? Tumben sekali, biasanya pagi-pagi sudah rajin, mandi, nyapu dan pergi ke pasar kalau di kampung." Tanyanya, aku menjauhkan tangannya, yang mau menurunkan sarung yang saat ini kupakai sebagai selimut, untuk menutupi tubuhku yang ndhak memakai apapun. Tuh kan, Kang Mas nakal, tangannya itu lo, ndhak pernah mau diam.

"Belum mandi Kang Mas, Laras masih bau." Kataku, beliau tersenyum lagi. Andai dia suamiku, Duh Gusti, mikir apa aku iki. (mikir apa aku ini)

"Bagiku kamu itu selalu wangi,"Jawabnya, sambil membenamkan wajahnya di dadaku, jujur aku geli.

"Irung mbangir, weke sopo dek?" (hidung mancung punyanya siapa dek?) Tanyanya, sambil nembang, jari besarnya sudah nyentuh hidungku.

"Irung mbangir yo duwekmu." (hidung mancung ya punyamu) Ku jawab ragu, sambil ikutan nembang, tapi gak berani keras-keras, karena malu, malu sama Kang Masku.

"Lambe tipis weke sopo dek?" (bibir tipis punya siapa dek?)

"Lambe tipis yo duwekmu." (Bibir tipis ya punyamu)

"Awak montok weke sopo dek?" (tubuh seksi punya siapa dek?)

"Kang Mas." Rajukku, beliau tertawa, tambah ganteng saja. Ucapannya Juragan Adrian semakin hari semakin aneh-aneh saja,

"Jawab Ndhuk." Katanya, aku memiringkan wajahku, karena malu. Wajah Juragan Adrian sudah ada beberapa inci dari wajahku, menatapku sungguh-sungguh.

"Awak montok yo duwekmu." (tubuh seksi ya punyamu), Pelan aku jawab itu, malah seperti gumaman. Juragan Adrian terbahak, membuatku semakin sebal.

"Rasanya aku pengen lagi Ndhuk." Bisiknya, aku tahu apa maksudnya, tapi apa beliau gak tahu kalau aku sudah kehabisan tenaga karenanya.

"Tapi aku lagi pengen jalan-jalan Kang Mas, mumpung sekolah libur. Jalan-jalan berdua." Ajakku, Juragan Adrian mengangkat wajahnya, dahinya berkerut-kerut.

"Ke mana? Ke pasar? Aku malah pengen berduaan di kamar seharian ini Ndhuk." Katanya,

"Baturaden Kang Mas, pengen ke sana." Aku takut, jika Juragan Adrian menolak. Jika toh Juragan Adrian minta untuk berduaan di kamar seharian, aku siap melayaninya,

"Tempate lutung kasarung lho." (tempatnya lutung kasarung) "Nanti Kang Masmu yang ganteng ini jadi lutung." Godanya, aku memeluknya erat, ndhak perduli jika disebut lancang.

"Ya endhak toh Kang Mas, Kang Mas itu diapa-apain tetep ganteng, ndhak mungkin jadi lutung, itu'kan hanya cerita rakyat." Kataku, beliau tertawa, membalas pelukanku rupanya.

"Sekalian di pancuran pitu lan pancuran telu ya." Ajaknya, aku mengangguk semangat.

"Mandi Ndhuk, dandan jangan cantik-cantik. Nanti orang sana kepincut, aku ndhak mau wadonanku di pek uwong." (wanitaku diambil orang) Aku hanya senyum saja, memangnya siapa yang mau mengambilku. Memang Kang Masku ini begitu lucu.

*****

Udara di kaki gunung selamet sangat sejuk, membuatku berkali-kali memeluk tubuhku sendiri, meski menggunakan kebaya yang aku rasa sudah tebal, tetap saja hawa sejuknya masuk ke dalam. Aku sedikit terkesiap, takjub melihat pemandangan di sini, sangat indah. Aku bisa melihat kota Purwokerto dari sini, pulau Nusa Kambangan dan beberapa pantai yang membentang luas di Cilacap. Duh Gusti, sembah syukur, indah sekali karunia yang engkau ciptakan ini. Ndhak berkedip aku melihatnya, takjub karena pemandangannya sangat mempesona.

"Juragan Adrian!!" Aku menoleh, ternyata di sana penduduk kampung sudah berjajar rapi di luar. Aku bingung, apakah mereka mengenal Kang Masku?

Ku lihat Juragan Adrian tersenyum ramah, sambil mengikat kedua tangannya di punggung, beliau berjalan mendekati penduduk. Aku dan Marji membuntuti langkah Juragan Adrian dari belakang, karena ndhak sopan jika menyejajarinya, ndhak ilok (gak pantas).

"Kenapa Juragan ke sini ndhak bilang-bilang toh ya, kami kan bisa siap-siap untuk menyambut Juragan." Ku lihat, lelaki paling tua menodong Juragan Adrian, aku tebak dia adalah sesepuh di kampung.

"Aku hanya ingin jalan-jalan saja." Jawab Juragan Adrian dengan senyumannya, "Bagaimana panennya? Bagus?" Tanyanya, semua warga kampung mengangguk, aku tebak jika Juragan Adrian mungkin memiliki beberapa petak tanah, maksudku hektaran tanah di sini.

Semua warga kampung terdiam, mereka memperhatikanku yang dari tadi sibuk dengan pikiranku sendiri. Aku langsung menundhuk, malu. Aku yakin Juragan Adrian nanti akan mengenalkanku sebagai abdi dalemnya yang kebetulan ikut, atau puteri dari Marji, karena ndhak mungkin jika aku dikenalkan sebagai simpanannya, mustahil.

"Ayu Juragan." Kata sesepuh di sana, semua mengangguk setuju, membuatku semakin malu.

Juragan Adrian menarik lenganku, kemudian beliau menggenggam tanganku, beliau tersenyum lebar, kemudian beliau menatapku.

"Pancen cah Ayu," (Memang cantik), Jawabnya masih dengan senyuman. "Larasati pancen ayu, kembang Deso asli Ngargoyoso.. Larasati pancen ayu, sumpah mati aku tresno sliramu." (Larasati memang cantik, bunga desa asli Ngargoyoso. Larasati memang cantik, sumpah mati aku mencintaimu), Aku malu. Bahkan aku yakin wajahku sudah memerah mendengar Juragan Adrian nembang, menyebut namaku di depan orang-orang kampung.

"Istri Juragan?" Tanya warga kampung lagi, Juragan Adrian mengangguk.

"Bojo seng paling tak tresnani." (Istri yang paling ku cintai) Jawabnya, aku bingung.

"Penduduk belum pernah tahu istri Juragan Ndhuk, jadi kamu di sini aman. Istri-istri Juragan ndhak pernah diperbolehkan ikut jika Juragan bertandang ke sini." Bisik Pak Lek Marji padaku, aku jadi faham sekarang. Kenapa Kang Masku ini menyuruhku bersekolah di sini, di Purwokerto. Ternyata tempat ini memang aman, di mana beliau menyembunyikan siapa keluarganya dengan apik. Aku mengangguk menanggapi ucapan Marji.

"Aku mau ke pancuran pitu, Laras minta ke sana. Bisa nanti larang semua warga untuk ke sana? Mungkin kami akan berbulan madu." Kata Juragan Adrian, aku menundukkan wajahku lagi, malu.

"Inggeh Juragan." (Iya Juragan) Jawab mereka patuh,

Juragan Adrian kembali mengajakku berjalan lagi, menuju kesebuah kali (sungai) yang bisa kurasakan hangatnya bisa mengalahkan kesejukan tubuhku sebelumnya.

"Kamu tunggu saja di sana Marji, aku dan Laras mau mandi." Perintahnya, Pak Lek Marji mengangguk patuh, kemudian dia undur diri, berjalan menuju sebuah gubug kecil yang ndhak jauh dari sana.

"Ayo Ndhuk turun." Ajak Kang Masku, ku genggam tangannya kuat-kuat, kemudian turun. Sejenak aku terjingkat dan memeluk Juragan Adrian dengan erat-erat, panas. Mungkin kira-kira suhunya 60-70 derajat celcius, apa kalian fikir aku kuno ndhak pernah masuk ke dalam pemandian air panas? Biarkan, aku memang orang kuno.

"Kang Mas, mungkin aku akan jadi manusia rebus di sini!" Ujarku panik, masih memeluk leher jenjang Kang Masku. Juragan Adrian tersenyum, beliau menggendongku masuk ke tempat yang lebih dalam, dan lebih sunyi, tempat yang sedikit tertutup dari pemandangan orang-orang.

"Ini namanya air panas, bisa menyembuhkan penyakit kulit. Lagi pula, udara di sini'kan sejuk. Kamu jadi ndhak akan merasa kedinginan Ndhuk." Udara di sini dulu sama sekarang beda. Lebih sejuk dulu, ku beritahu kalian.

Aku mengangguk, Juragan Adrian menurunkanku. Saat aku hendak jatuh, spontan aku berpegangan padanya, tapi aku salah. Yang ku pegang malah burungnya yang sudah keras, Duh Gusti, aku malu.

"Maaf Kang Mas." Kataku kikuk, takut, malu, bingung, semua jadi satu.

"Kamu itu hebat Ndhuk, gendong kamu saja sudah buat burungku berdiri," Wajahku semakin merona, beliau tertawa puas. "Lepas kebayamu, kita mandi bersama. Aku menggosok punggungmu, kamu menggosok punggungku, kamu menggosok dadaku, aku menggosok dadamu." Mulai fulgar lagi, kupukul pelan dada bidang Kang Masku, tapi tanganku ditahan. Ku tatap beliau, wajahnya yang kena percikan air terasa lebih ganteng. Rambutnya yang biasa rapi sekarang sudah ndhak karuan, Kang Masku terlihat lebih muda.

"Laras bukain baju Kang Mas."

Aku mulai melepas bajunya, dan menaruh baju Juragan Adrian di batu besar, mulai menurunkan celananya dan menggantikannya dengan sarung, sekarang Juragan Adrian hanya pakai sarung, dan aku hanya pakai kemben yang sudah setengah basah.

"Pakai kutang?" Tanyanya, aku menggeleng, aku memang sudah persiapan ndhak membawa kutang, karena aku sudah tahu apa yang Kang Masku inginkan. Beliau tersenyum lalu menuntunku untuk menghadap batu besar itu.

"Kita buat gaya Adrian-Laras bagian kedua." Ujarnya, "Kamu memunggukiku, dan hadapkan bokongmu ke arahku." Aku menurut saja, meski aku ndhak faham apa maksudnya. Ku letakkan kedua tanganku di atas batu besar itu, membuatku sedikit membungkuk, dan ku arahkan padanya.

Beliau menyibak sedikit kembenku, kemudian mendekatkan tubuhnya, dan memasukkan burungnya yang sudah keras itu ke arahku. Ah gaya Adrian-Larasati bagian kedua, ndhak buruk, batinku.

Duh Gusti, andai saja bisa setiap hari seperti ini, rasanya ingin sekali waktu aku hentikan. Apalagi kalau ingat besok Kang Masku sudah harus kembali ke Karang Anyar, aku ndhak rela.

"Bojoku seng ayu dewe." (Istriku yang paling cantik) Beliau menggenggam kedua bahuku, aku memeluknya, aku ndhak perduli jika itu ndhak sopan. Juragan Adrianpun membalas pelukanku dengan sangat erat, sebenarnya aku ingin bilang, kalau Juragan Adrian ndhak boleh kembali dulu ke Karang Anyar, aku masih rindu. Tapi aku ndhak berani mengatakannya,

"Tunggu aku di gubug itu Ndhuk bareng Marji, aku mau ke balai desa dulu." Ucapnya, aku mengangguk.

Kami berjalan bedua, Juragan Adrian mengantarkanku ke gubug. Pak Lek Marji yang tahu langsung mempersilahkanku duduk, sudah seperti aku benar-benar istri seorang Juragan saja.

"Tunggui Laras." Perintah Juragan Adrian, dia'pun pergi berjalan melewati beberapa pematang kebun.

"Bagaimana? Kamu ndhak sakit Ndhuk?" Tanya Pak Lek Marji, aku hanya diam, bingung. "Juragan mengajakmu melakukan itu berkali-kali, kamu ndhak sakit? Kamu'kan masih perawan, masih kecil." Jelasnya, aku menundhuk kemudian menggeleng kecil, malu.

"Endhak Pak Lek." Jawabku singkat, aku malu membahas ini dengan orang lain.

"Kamu jangan jatuh hati sama Juragan lho." Katanya, spontan aku menoleh. "Secinta-cintanya Juragan denganmu, kamu ini hanya simpanannya, jadi kamu pasti akan dibuang kalau sampai istri-istri Juragan tahu, bagus-bagus kalau kamu dijadikan istri nomor tiga Ndhuk, tapi Pak Lek ndhak yakin, istri-istrinya akan setuju," Aku menundhuk lagi, kuremas kembenku kuat-kuat. Aku tahu itu, tapi aku ndhak tahu, aku merasa sedih mendengarnya, aku ini apa? Tapi aku tahu kalau hatiku sudah cinta sama Kang Masku, aku sudah jatuh hati sama beliau.

"Yang penting kamu jangan sampai hamil, karena itu akan mempersulitmu Ndhuk."

"Bagaimana biar ndhak hamil Pak Lek?" Tanyaku, jujur aku ndhak mengerti. Ku lihat Pak Lek Marji memandangku terkejut, lalu kemudian dia menghela nafasnya panjang.

"Jangan biarkan Juragan mengeluarkan air maninya di dalam tubuhmu." Jelasnya, aku mendekik. Keringatku mulai bercucuran gak karuan.

Selama ini aku berhubungan suami-istri dengan Juragan Adrian, Kang Masku itu selalu mengeluarkannya di dalam. Kugenggam dadaku yang mulai takut, keringat dinginku mulai bercucuran. Aku takut, bagaimana nanti jika aku hamil? Apakah nanti nasibku akan sama dengan Biungku dulu? Ditelantarkan dan menjadi ejek-ejekan warga kampung.

"Pak Lek tahu kalau Juragan itu jatuh hati sama kamu. Tapi itu ndhak cukup Ndhuk, di belakang Juragan ada orang tua dan kedua istrinya, itu sulit. Walaupun toh Pak Lek tahu kalau Juragan ndhak mencintai mereka, kamu itu beruntung lho. Jadi wadonan katresnane Juragan." (wanita yang cintai), Aku tersenyum hambar membalas ucapan Marji, "Ndoro Ayu itu dulu dijodohkan sama Juragan, karena Ndoro Ayu kaya, orang tua mereka sama-sama juragan kaya di kampungnya. Tapi baru 5 bulan mereka menikah, ternyata Ndoro Ayu sudah melahirkan, sejak itu Juragan kaget dan sampai sekarang ndhak mau berhubungan badan dengan Ndoro. Ora sudi katane (gak sudi), karena Ndoro Ayu bekas orang yang sampai sekarang Juragan ndhak tahu itu siapa. Kalau yang Ndoro Intan soyo nemen (tambah parah)"

"Parah bagaimana toh Pak Lek?"

"Sebenarnya Ndoro Intan itu simpanannya Juragan sepuh, Ayah dari Juragan Adrian. Ndoro Intan anak dari salah satu abdi dalem Juragan dulu, Ndoro tiba-tiba hamil, dan jadi berita hebat di keluarga Juragan, untuk menutupi malu keluarga, yang kebetulan Juragan Adrianlah yang pantas, jadi mau ndhak mau, Ndoro Intan di nikahkan sama Juragan untuk menutupi aib. Itu juga sama saja, Juragan ndhak menyentuhnya, karena bekas Juragan sepuh."

"Jadi anak-anaknya?" Tanyaku kaget, ini berita yang baru aku dengar.

"Iya Ndhuk, mereka bukan anak-anak Juragan. Kamu itu wadonan pertama seng ditresnani Juragan." (kamu wanita pertama yang dicintai Juragan). Jelas Marji,

"Memangnya Juragan Ndhak punya adik atau Kang Mas toh Pak Lek?"

"Punya adek, usianya masih muda waktu itu. Masih SMU, mungkin 5 tahun di atasmu, wajahnya mirip sama Juragan, hanya saja lebih muda. Sekarang baru berusia 22 tahun, namanya Juragan Nathan." Aku mengangguk faham, agak besar kepala kalau Pak Lek Marji bilang aku cinta pertamanya Juragan Adrian, tapi jujur, aku senang jika Juragan jatuh hati padaku. Apa itu yang dimaksud Kang Masku tadi di pasar?

"Ayo makan mendoan." Aku hampir kaget, ternyata Juragan Adrian sudah duduk di sampingku. Beliau membawa bakul (tempat nasi) yang di dalamnya ada mendoan, (makanan khas sini), biasanya mendoan ini kami makan pakai cabe, kalau ndhak pakai sambal kecap biar lebih terasa enak.

*****

"Kang Mas." Kataku, sekarang ini kami berdua sedang berada di depan rumah. Pak Lek marji sudah ada di dalam mobil.

Juragan Adrian hendak kembali ke Karang Anyar tapi hatiku masih berat, ndhak rela. Baru dua hari dia di sini. Aku masih pengen ditemani Kang Masku.

"Ojo bali." (jangan pergi) Pintaku.

Juragan Adrian memelukku, kemudian beliau mencium keningku. Lama beliau memandangi wajahku, mataku sudah berair, dan hendak terjatuh.

"Rasane abot pengen bali (rasanya berat ingin pergi), tapi tanggunganku di sana banyak Ndhuk." Aku menangis seperti anak kecil, menggenggam ujung bajunya semakin erat, jika difikir aku manja, silahkan. "Marji!" Juragan Adrian berseru pada Marji, Pak Lek Marji langsung berjalan cepat menghampiri kami, bingung.

"Pulanglah dulu, bilang sama orang rumah, ada masalah di Purwokerto, jadi aku ndhak bisa pulang bareng kamu. Besok sore, aku akan pulang sama Narto." Jelasnya, aku terkesiap begitu juga dengan Pak Lek Marji, Pak Lek Marji menatapku, tampaknya dia tahu kenapa Juragan Adrian bilang seperti itu.

"Inggeh Juragan." (iya Juragan) Jawab Pak Lek Marji, kemudian dia berpamitan pergi.

"Hanya satu hari Ndhuk, ndhak boleh seperti ini lagi." Katanya memperingatkan, aku mengangguk. Kemudian memeluk Kang Masku, mengajaknya untuk kembali masuk ke dalam kontrakan.

Hatiku senang, sentidaknyanya Kang Masku mau mendengarkanku, setidaknya aku masih bisa bersama Kang Masku meski itu Cuma sehari. Karena nantinya aku tahu, ndhak mungkin setiap sebulan sekali Kang Masku bisa kesini. Jadi, aku harus memanfaatkan waktu sebaik-baiknya, dengan Kang Masku.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top