Larasati #6

*2 kemungkinan yang terjadi jika menulis ulang sebuah cerita. Pertama, cerita kedua bisa labih bagus dari cerita sebelumnya, atau kedua cerita kedua lebih buruk dari cerita sebelumnya. Dan aku merasa, jika cerita keduaku tidak sebagus cerita pertama, right? Membaca komentar kalian memberikan masukkan padaku tentang penilaian cerita ini. Tapi ketahuilah, aku sudah berusaha untuk membuatnya lebih menarik, sungguh. Dan semoga kalian tidak kecewa. Untuk part-part selanjutnya mungkin 50% akan ditambahi, 50% tetap sama dengan yang sebelumnya.

*Maaf jika updatenya lama, karena sekarang aku nulisnya tidak sendiri. Tapi dikasih masukan banyak oleh Kang Mas saya. Wekekekek, jadi nunggu aku dapet mood dan dia dapet mood buat nyiptain sosok Adriannya. Terimakasih.

--------------------------------------------------------------------------------------


"Juragan!"

Kulihat Pak Lek Marji melangkah dengan tergesa-gesa mengikuti langkah Juragan Adrian yang lebar-lebar, Juragan Adrian menarik gulungan sarungnya dengan tangan kiri, sambil memegang parang dengan tangan kanan, wajahnya memerah, matanya juga terlihat merah. Aku yakin, Juragan Adrian benar-benar marah sekarang.

"Jangan melakukan ini Juragan." Lanjut Marji setelah melampaui langkah Juragan Adrian,

Sedikit berlari aku juga melakukan hal yang sama, berlarian sambil menyincing kembenku bagian bawah, beberapa abdi dalem serta istri-istri Juragan Adrian juga ikut mengikuti, duh Gusti, bagaimana jika semua orang tahu tentang setatusku, aku takut jika aku merasakan hal yang sama seperti Biung dulu, aku belum siap.

"Tapi Marji, mereka sudah sangat kurang ajar, berani-beraninya mereka__" Marji mengedipkan matanya, kemudian dia menunduk, seolah memberi isyarat kepada Juragan Adrian, untuk ndhak lepas kendali, di sini, saat ini, ada kedua istri Juragan Adrian, dan Juragan Adrian ndhak boleh membuat semuanya terungkap.

"Ada apa ini Kang Mas? Kenapa Kang Mas membawa parang?" Dini, istri kedua dari Juragan Adrian bertanya dengan gugup.

"Aku hanya ingin menegakkan keadilan di Kampung ini, memberi perhitungan pada semua kacung yang sok berkuasa dengan uang orang tua mereka. " (bocah/anak kecil)

"Tapi Kang Mas ndhak perlu membawa parang, ora ilok Kang, apa lagi hanya untuk melindungi budak, cukup abdi dalem atau Marji saja cukup bukan?" (tidak baik) Kali ini Ayu yang berbicara, aku bisa melihat mata Juragan Adrian semakin memerah, matanya memancarkan emosi menatap ke arah Ayu.

"Ojo lames Dhek Ajeng! Lambemu jogo!" (jangan cerwet, mulutmu jaga) Bentak Juragan Adrian, "Marji, ayo kita ke Balai Desa, kumpulkan warga kampung dan para pemuda di sini!"

*****

Ndhak memakan waktu lama sebelum kami mengakhiri perjalanan untuk sampai ke balai desa kampung kami, aku melihat Baharudin, selaku Kepala Desa yang baru sedang duduk sambil menyesap rokok yang ujungnya di beri bolot (ampas kopi), sambil sedikit tertawa dengan beberapa pamong Desa lainnya. Mereka langsung berdiri secara serempak setelah melihat kami datang, aku tahu jika Baharudin sungkan dengan Juragan Adrian, Juragan terpandang di kampung ini.

"Sugeng enjang Juragan, ada apa Juragan di balai desa?" (selamat pagi) Tanya Baharudin, sedikit menunduk menunjukkan rasa hormatnya kepada Juragan Adrian, ku lihat Juragan Adrian langsung duduk, sambil menggedor meja dengan parangnya, membuat beberapa orang yang ada di sana terjingkat.

"Celukono wadonan lan lanangan kampung ini Baharudin!" (panggil semua laki-laki dan perempuan kampung ini) Sentak Juragan Adrian, tanpa banyak bicara secara patuh mereka langsung berhamburan, pergi sambil menggunakan onthel mereka untuk memberikan berita penting ini kepada semua warga kampung, ndhak lama merekapun mulai datang.

Tentu sambil menundukkan kepala mereka kemudian duduk di lantai, sama sepertiku. Sementara abdi dalem Juragan Adrian, berdiri patuh di belakang kedua istri Juragan Adrian.

"Saya di sini ndhak perlu basa basi lagi," Juragan Adrian langsung berdiri, meneliti setiap pemuda yang ada di sana, aku yakin Kang Masku tengah mati-matian menahan amarahnya. "Siapa gadis di kampung ini yang masih perawan?" Semuanya tersentak mendengar pertanyaan Juragan Adrian, jujur, akupun sama.

Hampir seluruh gadis di kampungku angkat jari mereka, aku tahu ada beberapa gadis yang sudah ndhak-perawan semuanya mengangkat telunjuk mereka, sementara aku? Masih diam, bingung, harus bagaimana, sementara aku yakin, Juragan Adrian tahu kebenarannya.

"Saya ndhak percaya." Semuanya hanya diam, Juragan Adrian berjalan lalu memandangi para jejaka kampung seolah melecehkan.

"Pasti anak-anak Juragan kampungan ini sudah banyak yang menyetubuhi kalian, apa kalian akan diam saja! Di mana yang anak-anak keluarga Hafaz! Berdiri di depanku!"

Hening, aku tahu amarah Juragan Adrian membuat syok banyak warga, apa lagi dengan pertanyaan tabu seperti ini. Ingin mengadu, siapa yang berani? Seperginya Juragan Adrian, mereka pasti akan dapat masalah dengan mereka-mereka yang sok kaya.

"Kami Juragan." Dua lelaki itu berdiri, rasanya aku ingin berdiri dan mencekik leher mereka, tapi aku ndhak kuasa, hanya mengeratkan kebayaku yang ku bisa karena mencoba menahan emosi yang meletup-letup di dadaku.

PLAKK!!

"Tak gorok kowe cung!!!!" (tak gorok kamu nak!)

"Juragan!!!"

"Kang Mas!!!" Aku hanya tergugu, melihat Juragan Adrian membawa parangnya hendak menebas leher Juragan Naufal dan Juragan Aldhino, tapi segera di halangi Marji dan Baharudin.

"Sekali lagi kamu menyentuh Larasati, tak ketok manukmu!" (aku potong kejantananmu) Geram Juragan Adrian,

Kedua saudara tiriku meringis, berkali-kali Juragan Adrian nempeleng kepala mereka keras-keras, aku sadar itu adalah luapan kekesalan Juragan Adrian. Aku terharu, melihat Kang Masku melakukan semua ini, hanya untukku, mungkin.

"Masih belum ada yang ndhak berani mengaku? Atau kalian ingin dijamah terus oleh mereka? Wadonan goblok!" (wanita bodoh) Bentak Juragan Adrian lagi,

Satu-demi-satu gadis-gadis kampung berdiri, mereka menundukkan kepalanya sambil memilin ujung kebaya, aku tahu itu sulit, mengaku jika mereka sudah pernah di tiduri oleh salah satu dari lelaki hidung belang di kampung ini, dengan begitu pula mereka mungkin akan sulit untuk menikah. Bagaimana bisa seorang gadis yang sudah ndhak-perawan dilirik jejaka kampung? Mungkin semua akan menggunjing, tapi mengaku lebih baik dari pada terus-terusan menjadi pemuas nafsu mereka. Mungkin, nanti ada orang di kampung lain yang mau dengan mereka, semoga.

Tidak butuh waktu lama sebelum mereka mengucap siapa lelaki yang sudah memperalat, atau bahkan memaksa mereka, bahkan nama-nama yang disebutkan sungguh mengejutkan. Juragan Adrian dan Baharudin juga sedikit terkejut saat itu, saat nama-nama pesohor kampung disebut mereka, apa mungkin yang bernasib sama denganku banyak? Lantas, apakah aku harus maju juga dan mengadukan Juragan Adrian? Duh Gusti, mikir opo toh aku iki, (Tuhan, mikir apa aku ini) aku kan suka rela memberikan diriku pada Juragan Adrian, toh dia memberi balasan yang setimpal, selain kehidupan ekonimiku yang membaik, juga sekolahku.

"Tirab mereka ke seluruh pelosok Kampung, telanjangi dada mereka. Sebagai pembelajaran untuk para warga agar ndhak memperlakukan perempuan dengan seenak jidat mereka saja, perempuan itu makhluk yang harus dilindungi, bukan makhluk yang harus di rendahkan seperti ini. Marji, kirimi semua gadis ini beras dan kopi, jahe dan bahan makanan lainnya sebagai ganti rugi mereka selama ini!" Putus Juragan Adrian, semuanya mematuhi perintahnya.

Juragan Adrian berjalan kearahku sambil mengikat kedua tangannya di belakang, seolah hal itu adalah kebiasaannya, ndhak bisa dibilang cukup dekat jarak kami karena lebih dari satu meter kami berdiri, Juragan Adrian berhenti, memandang ke arah luar Balai Desa, aku yakin ini adalah salah satu cara berkomunikasi denganku, lantaran di sini, banyak orang terlebih ada dua istrinya.

"Tunggu aku di kebun pisang sebelah pondok Ndhuk, nanti aku akan ke sana, membawakanmu pakaian ganti. Apa kamu tahu, untuk apa mereka aku beri beras dan juga sembakau?"

"Karena Kang Mas kasihan dengan mereka?" Tebakku, ku lihat gurat senyum menghiasi wajah tampannya, Duh Gusti, aku benar-benar terjerat pesona Juragan satu ini, bagaimana bisa di usianya yang bisa dibilang ndhak-muda lagi, beliau begitu sangat mempesonaku.

"Bukan, apa kau mau tahu alasan sebenarnya?" Tanyanya, aku sedikit menoleh, penasaran juga dengan alasan Juragan Adrian sebenarnya, "Karena aku ingin memberimu beras, dan beberapa kopi tapi aku ndhak punya alasan, beruntung ada hal ini, membuatku menemukan cara untuk memberimu beras."

Aku langsung menoleh, tapi Juragan Adrian sudah berjalan pergi, mendekati kedua istrinya untuk diajak pulang. Apakah benar seperti itu? Hanya untuk memberiku beras, Juragan Adrian sampai rela mengeluarkan puluhan karung beras dan beberapa bahan makanan untuk di bagikan kepada para gadis di kampung ini? Begitu istimewanyakah aku di mata Juragan Adrian? Sampai dia melakukan hal itu? Duh Gusti, aku langsung memegangi kedua pipiku yang pasti sudah merona sekarang. Setelah sadar dari lamunanku, aku segera pergi, menuju ke kebun pisang milik Juragan Adrian dan menunggunya di sana.

*****

Ah ternyata sudah hujan, hujan pertama di kota Karang Anyar setelah musim panas yang berpanjangan. Aku tersenyum mengingat kejadian itu, aku lupa. Selimut puteriku turun dan aku harus menatanya lagi, agar puteriku tidur dengan nyaman, takut malaikat kecilku kedinginan. Ku lihat jam dinding yang berada di sudut kamar tidurku, sudah pukul 01.00 dan suamiku belum pulang. Aku lupa, jika malam ini suamiku tidak sedang ada di rumah, Beliau sedang berada di luar kota untuk memantau para karyawan baru di kebun teh barunya.

Ku ingatkan kalian lagi tentang kampungku yang asri dulu, di Desa Kemuning yang berada di Kecamatan Ngargoyoso, Karang Anyar-Jawa Tengah. Waktu itu hujan ndhak begitu deras, mungkin gerimis rintik-rintik, membuat aku harus memeluk tubuhku sendiri karena kedinginan, ku lipat kembenku lebih tinggi dan menggu Juragan Adrian datang. Kebun pisang milik Juragan Adrian terbilang sangat luas, aku perkiraan hampir 5 hektar luas kebun ini, dan ditumbuhi pisang dengan sangat lebatnya, di sela-sela pohon pisang, ada beberapa pohon singkong, ubi dan pohon mangga yang mungkin sengaja di tanam sebagai selingan di kebun pisang ini.

Aku menoleh, sedikit berjinjit untuk melihat siapa yang datang, saat mendengar sebuah mesin mobil mulai mendekat, ku intip di balik gedeg (tembok dari bambu) gubug ini, ada sebuah mobil berwarna merah berjalan mendekat.

Ndhak berapa lama, Juragan Adrian turun sambil membawa kresek hitam yang agak besar, aku tebak di dalam pasti isinya jarik (batik yang masih berupa kain, biasanya dipakai untuk kemben) serta kebaya yang tadi beliau janjikan. Aku langsung duduk di sudutt gubug.

"Tunggu aku di sini, atau di dalam mobil saja Marji. Aku ingin di sini, berduaan dengan Larasati, arep gendakan." (Mau pacaran) Kata Juragan Adrian, aku tersenyum sendiri, ucapannya benar-benar seperti anak remaja yang tengah jatuh cinta, oh Kang Masku, andai kamu tahu jika aku juga menginginkan hal yang sama saat ini.

"Inggeh Juragan." Ku dengar Marji menjawabnya dengan patuh,

Langkah Juragan Adrian semakin mendekat membuatku kelimpungan, apakah wajahku sudah cantik? Aku ndhak sempat bersolek tadi, apa lagi rambut dan tubuhku terkena air gerimis saat berjalan ke sini.

"Kamu selalu cantik Ndhuk, ndhak usah begitu". Ucapnya, dia seperti tahu apa yang ada di dalam otakku.

"Kang Mas mulai belajar jadi dukun." Balasku sambil menjulurkan lidah, tapi aku sama sekali ndhak menyangka, jika tingkah menjulurkan lidahku malah berdampak berlebihan bagi Juragan Adrian, beliau mendekat dan mengingit lidahku dengan pelan, kemudian beliau tersenyum, membuatku kembali tersipu malu.

"Ingat, ndhak boleh begitu di depan lelaki lain. Hanya boleh didepanku saja Ndhuk." Hardiknya, aku mengangguk patuh. "Ini untukmu, aku harap kamu suka. Aku sengaja datang ke pasar dan membelinya."

"Benarkah Kang Mas?" beliau kembali tersenyum membuatku makin merona, rupanya pandai betul lelaki ini membuatku tersipu-sipu, ah aku lupa, beliau kan lelaki berpengalaman.

"Cuma seperti itu?" Tanyanya, aku ndhak mengerti ucapannya itu,

"Hadiahnya hanya kata 'benarkah'?" Tanyanya lagi, aku melotot seolah memberi isyarat kemudian beliau menunjuk pipi kanannya.

"Sun." (cium)

Tanpa aba-aba aku langsung mencium pipinya, kemudian aku menarik diri dengan cepat, membuatnya tersenyum semakin lebar, dan mata kecilnya seolah menghilang.

"Aku ingin menggantikanmu baju."

"Aku bisa sendiri."

"Tapi kalau kamu sendiri, aku ndhak dapat upah." Katanya, aku menarik sebelah alisku, memangnya upah apa lagi? Kemudian aku mencium pipi kirinya.

"Sudah ku beri upah." Kataku, tapi tangannya masih berada di kembenku.

"Itu masih kurang." matanya berkedip membuatku bingung,

"Aku ingin denganmu di sini." Aku tahu maksudnya 'dengamu' hanyalah makna kiasan untukku, itu berarti Juragan Adrian sedang ingin melakukan hubungan suami-istri denganku, di gubug ini, dan di sana ada Pak Lek Marji. Duh Gusti, kerasukan apa Kang Masku ini,

"Tapi di sini ada Paklek Marji Kang Mas, di sini juga tempat terbuka."

"Di sini sepi, ndhak ada yang ke mari, lagi pula gubug ini tertutup, jadi ndhak masalah." Ujarnya, membuatku jadi bingung, aku ndhak berani menolak jika Juragan Adrian memang ingin, akupun mengangguk pelan.

"Aku pengen ngeloni sliramu sedhurunge lungo, gawe tombo kangen ning atiku cah ayu." (aku ingin tidur denganmu sebelum kau pergi, buat obat rindu di hatiku cantik) Bisik Juragan Adrian dengan senyuam jenakanya.

Tangannya yang besar sudah membuka kembenku, tapi ndhak dibuka sutuhnya, aku tahu Juragan Adrian juga mengerti jika aku sedikit risih di tempat ini, dan membiarkanku hanya telanjang dada, duduk di atas pangkuannya yang celananya sudah di turunkan tadi, kemudian beliau menarik ke atas kembenku, menurunkan celana dalamku dan memasukkan burungnya padaku. Beliau kembali tersenyum saat tubuhku bergerak ke atas dan ke bawah sambil sedikit menahan nafas.

"Gaya baru." Ujarnya, membuatku mengerutkan kening,

"Gaya baru?" Tanyaku bingung, Juragan Adrian mengangguk,

"Ku beri nama gaya ini sebagai gaya Adrian-Larasati bagian pertama." Jawabnya, aku tersenyum kemudian memeluk lehernya, selera humor Juragan Adrian sekarang jauh lebih baik dari dulu.

Mungkin dulu aku akan mengenal Juragan Adrian sebagai Juragan yang karismatik, sedikit angkuh dan ndhak tersentuh meski senyumnya terlihat ramah. Tapi sekarang nilai baru yang ku beri untuk Kang Masku, beliau adalah lelaki yang humoris, yang selalu bisa membuatku tertawa bahagia.

****

Pagi ini aku sudah bersiap, untuk pergi, dan belajar dengan giat di Universitas Jendral Soedirman. Bulek ndhak bisa mengantar, karena Junet sangat rewel, terlebih hari ini Junet badannya panas, kata Bulek nanti akan dipijit. Sementara aku, akan pergi ke terminal dengan Simbah.

Meski aku terus menolah untuk diantar Simbah, beliau tetap saja memaksa. Aku tahu, jika Beliau ingin mengantarkan kepergianku. Ditinggal lama olehku, mungkin saja Beliau akan sedih.

"Laras, mau berangkat kuliah?" Danu, yang aku ndhak tahu dari mana asalnya tiba-tiba datang. Tergopoh-gopoh dia mendekat, sambil menyeka keringat di keningnya.

"Iya." Jawabku, aku hendak menolak saat Danu meraih tasku, sebagai isi dari baju-baju gantiku, tapi aku kaget, saat tangan lain memegangi tasku itu.

"Lho, mau ke mana ini?" Ternyata Juragan Adrian toh, beliau turun dari mobil bersama dengan Pak Lek Marji, sementara warga kampung sudah berkumpul untuk mengantar kepergianku.

Dulu, ndhak seperti ini, bahkan mereka terlihat acuh denganku. Tapi, saat mendengar kabar jika aku akan sekolah lagi, mereka langsung mendekat seperti semut yang hendak memakan gula.

"Mau mengantar Laras ke terminal, Juragan." Jawab Simbah, aku menunduk, ndhak berani menatap Kang Masku, meski jujur, aku sudah rindu.

"Ndhak ada yang mengantar toh ini? Kasihan lho, Simbah sudah sepuh."

"Ndhak ada yang punya mobil Juragan, ndhak ada juga yang punya motor." Juragan Adrian berdehem, kemudian beliau mendekat, mengikat kedua tangannya di punggung, kemudian membungkuk agar bisa sejajar dengan Simbah yang sudah bungkuk.

"Bagaimana kalau aku yang mengantar? Ndhak baik lho, kalau Simbah ini berangkat sendiri? Nanti pulangnya bagaimana? Simbah'kan sudah sepuh, takutnya pikun, dan nyasar. Bener, toh?" Tanyanya, mencoba meminta pendapat warga kampung.

Mereka mengangguk kompak, sambil muji-muji Kang Masku. Meski jujur, aku tahu jika beliau berkata seperti itu hanya karena ingin mengantarkanku, setelah kemarin aku menolak tawarannya mentah-mentah.

"Waduh, apa ndhak meropatkan toh? Juragan ini orang sibuk lho."

"Ndhak kok, Mbah. Adrian ini selalu ada waktu buat Simbah," Jawabnya percaya diri, "Barangnya letakkan saja, pasti berat, toh?" Simbah mengangguk, pelan beliau dituntun Juragan untuk masuk ke dalam mobil. Awalnya Simbah sempat menjerit, karena takut jika mobil Juragan akan ambruk, tapi setelah duduk di dalam beliau tenang.

"Marji, angkat barangnya, Laras, kamu masuk." Perintahnya, aku mengangguk takut. Beliau sudah duduk di depan, sementara aku takut, mau naik mobil ini.

Seumur hidupku, baru kali ini aku naik mobil, aku ndhak tahu nanti aku bisa bernafas atau ndhak berada di dalam benda kotak itu lama-lama.

"Ayo masuk, Ndhuk." Kali ini Pak Lek Marji berujar.

"I..Iya Pak Lek." Jawabku takut.

Kepalaku membentur bagian atas mobil dan itu rasanya sakit sekali, aku ndhak bisa mengendalikan keseimbangan tubuhku karena mobil ini goyang. Ku tutup pintu mobil Juragan, kok ya ada yang aneh.

"Pak Lek! Jarikku dimakan mobil!" Teriakku takut, Duh Gusti. Rupanya pintu mobil itu menggigit ujung kembenku, sampai-sampai kemben bagian atasku melorot.

Ku lihat dari ujung mataku, Juragan Adrian terkekeh, ada apa toh? Lha wong kembenku dimakan mobil kok beliau malah tertawa, memangnya ada yang lucu?

"Ini ndhak dimakan mobil, tapi ini kecantol pintu mobil, ndhuk." Katanya, setelah keluar sambil membuka pintu mobil lagi, memasukkan ujung kembenku kemudian beliau kembali. Duh Gusti, aku malu, kok ya ndeso sekali toh aku ini.

"Sudah siap berangkat Mbah? Ndhuk?" Tanya Pak Lek Marji, takut-takut kami mengangguk, saling berpegangan, dan tangan lainnya dari kami memegang ujung kursi mobil kuat-kuat, takut, dibawa terbang.

"Monggo sedoyo." (mari semua) Pamit Pak Lek Marji. Kemudian mobil itu berjalan pelan, mulai meninggalkan kampung tempatku tinggal.

Sepanjang perjalanan, diam-diam ku pandangi bagian belakang tubuh Kang Masku. Lihatlah, betapa indahnya ciptaan Gusti Pangeran, kok ya ada laki-laki yang dilihat dari sudut mana saja terlihat tampan. Ku pandang kaca mobil Juragan Adrian, rupanya, beliau sedang memandangku, saat mata kami bertemu di kaca mobil itu beliau nampak tersenyum, kemudian mengedipkan matanya nakal, sungguh, aku malu.

"Mbah, kok ndhak di kawinkan saja toh Laras ini, malah disuruh sekolah. Apa Simbah ndhak pengen punya cucu mantu?" Juragan Adrian, mulai bertanya lagi sama Simbah. Ku lihat Simbah tersenyum, tangannya mengelus punggung tanganku dengan sayang.

"Ini cita-citanya, aku ndhak bisa melarang," Katanya, "Lagi pula, Laras ini sulit sekali disuruh menikah, ndhak tahu ada apa."

"Mungkin nyari yang cocok, Mbah. Memangnya Simbah ingin suami seperti apa toh buat Ndhuk Larasati ini?" Aku memelototkan mataku, saat Juragan Adrian bertanya seperti itu, rupanya beliau ini suka sekali menggoda orang tua.

"Ya yang baik, ndhak butuh seng sugeh. Yang penting tresno putuku lahir lan batin." ( tidak butuh kaya, yang penting sayang cucuku lahir dan batin)

"Walah Mbah, ada laki-laki seperti itu di kampung kita, hanya ada satu, satu-satunya."

"Siapa toh? Danu?" Tanya Simbah penasaran,

"Yo jelas ora. Danu iku mata keranjang lho, ndhak bisa ngemong." (jelas tidak)

"Lalu? Siapa toh Juragan?" Kini Simbah penasaran juga, dan diam-diam aku juga ikut penasran dibuatnya.

"Namanya Adrian Hendarmoko, bagus rupane lan kelakoane, Mbah." (tampan wajah dan hatinya), gombal!

"Walah Juragan, kok ya bisa saja toh bercanda." Juragan Adrian hanya tersenyum, ndhak menanggapi lagi ucapan Simbah.

"Sudah sampai, Mbah." Pak Lek Marji turun, kemudian menuntun Simbah dengan hati-hati.

Sementara Juragan Adrian, berdiri di sampingku tapi ndhak berani dekat-dekat, mungkin sungkan, sama Simbahku.

"Kamu hati-hati ya Ndhuk, kota itu tempatnya lebih jahat dari pada di kampung. Ndhak usah keluar-keluar kalau ndhak pergi sekolah, ndhak boleh dekat-dekat dengan jejaka sana, karena jejaka kota itu medheni." (nakuti)

"Aku setuju itu, ndhak boleh dekat-dekat pemuda kota. Banyak yang suka memberikan CP." Katanya, ku kerutkan keningku bingung.

"CP apa toh Juragan?"

"Cinta Palsu. Ndhak ada yang tulus, yang tulus itu cuma satu," Katanya, sambil menunjuk dirinya sendiri dan berbisik "Cuma aku." Untung saja Simbah ndhak lihat, coba saja kalau lihat, ndhak tahu bakal jadi apa.

"Iya, Mbah. Laras pamit dulu, jangan kerja terlalu keras, jaga kesehatan. Laras ndhak bisa jagain Simbah lagi, Laras ndhak bisa mijitin Simbah lagi, jadi Simbah harus baik-baik ya, di kampung." Ku lihat Simbahku menangis, ku peluk erat tubuh Simbahku. Jujur, ini sangat berat, meninggalkan Simbah yang sudah tua sendiri. Aku tahu jika di rumah masih ada Bulek, tapi dia sudah sibuk dengan Junet.

Juragan Adrian yang berada di belakang Simbah merentangkan tangannya lebar-lebar, seolah ingin aku peluk. Aku menggeleng, dan beliau membuat wajah sedih yang sangat lucu, sementara Pak Lek Marji hanya tersenyum melihat tingkah aneh Juragannya itu.

"Aku berangkat dulu, Mbah." Pamitku, Simbah melambaikan tangannya sementara Juragan Adrian? Ya, aku dengar meski samar, beliau menyanyikan sebuah tembang, yang aku tahu jika itu untukku. Tunggulah aku Kang Mas, tunggu aku kembali di sampingmu lagi, menemanimu lagi, dan menghabiskan hariku lagi denganmu. Kang Mas Adrian, meski kamu ndhak tahu, tapi perasaanku ini tulus untukmu.

Kusuma ning ati, duh cah ayu seng tak nant-nanti...

Mung balimu, biso gawe tentrem ning atiku...

ڙb

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top