LARASATI #5

*sorry kalau masih ada typo. dan maaf bagi yang kemarin WA aku terus aku jawab agak judes ya, pas masalah Larasati di unpublish, peace waktu itu aku lagi galau. sekali lagi maaf. semoga gak kapok WA aku dan tanya-tanya XD

*bagi yang gagal fokus dan penasaran sama Pak Lek Marji, :3 itu mulmet di atas anggap saja kumpulan abdi dalem Juragan Adrian, Pak Lek yang kumisnya hitam. bagus toh? hahahahaha

___________________________________________________________________________________

            Pagi ini ku tatap pantulan tubuhku di cermin, sambil menyisir rambut panjangku. Aku ndhak tahu, hal-hal yang aku alami beberapa hari ini rupanya sudah banyak merubah diriku. Aku tersenyum lagi, melihat samar-samar pantulan tubuhku yang disinari oleh pelita. Dulu, orang-orang lebih memilih menggunakan pelita (lampu minyak) sebagai alat penerang. Bukan ndhak ada listrik, ada. Tapi, untuk memiliki lampu listrik itu butuh biaya cukup mahal, hanya kalangan orang-orang kaya saja yang menggunakannya. Kalau kami warga kampung menengah sampai miskin seperti keluargaku, harus puas dengan pelita. Bahkan, paling populer dulu adalah lampu teplok, dan lampu petromak, yang dimiliki satu, dan ditaruh di ruang tamu mereka.

DUK!

Setengah melompat ku genggam dadaku, kaget. Siapa toh, yang pagi-pagi seperti ini sudah menganggu. Ini belum subuh, bahkan Simbahku yang bangunnya selalu pagi pun belum bangun. Ku buka jendela kamarku, rupanya ada gulungan kertas yang di dalamnya ada batu kecil. Dari siapa? Ku edarkan pandanganku, takut jika itu adalah santet, tenung, atau semacamnya. Ini jaman di mana ilmu-ilmu seperti itu masih sangat dipercayai dan digunakan sebagai balas dendam.

"Ndhuk," Aku menoleh, di belakang rumahku ada sosok yang memeluk tubuhnya. Aku yakin, sosok itu kedinginan, karena di kampungku sangatlah dingin, apalagi menjelang pagi seperti itu. Tapi, siapa sosok itu? Apakah weden? (setan). "Ndhuk." Panggilnya lagi, duh Gusti, aku takut. Sosok itu mendekat, mataku membulat saat tahu siapa orangnya.

"Kang Mas!?" Tanyaku kaget, beliau tersenyum lebar, bibirnya membiru, sementara tubuhnya menggigil, sedang apa? Ndhak, apa yang dilakukan Juragan Adrian pagi-pagi seperti ini, di sini?

"Sudah 2 jam, aku di sini. Nunggu kamu, kok ya ndhak buka-buka jendela toh. Ndhak peka sekali kalau aku datang." Beliau marah, lha siapa yang tahu kalau beliau ada di sini, bilang saja ndhak kok.

"Maaf Kang Mas, aku ndhak tahu jika Kang Mas datang. Lagi pula, masak ada toh warga kampung bangun sepagi ini, ini masih bisa dikatakan malam lho."

"Ini, ada." Katanya, sambil menunjuk dirinya sendiri.

"Ngapain toh Kang Mas ini berdiri di sana? Apa ndhak dicari istri-istri Kang Mas?"

"Aku tadi sembunyi-sembunyi ke sini, namanya juga rindu. Kok ya ndhak seneng toh aku datang, mbok ya disuruh masuk ke kamar. Menghangatkan diri, diajak kelon." Ketusnya, aku ingin tertawa, kok ya ada orang tua nekat seperti beliau.

"Aku ndhak nyuruh Kang Mas buat ke sini kok." Ejekku, beliau merengut.

"Jadi kamu ndhak rindu aku?" Tanyanya, marah rupanya.

"Ya sudah, aku pulang. Percuma saja, aku bela-belain sembunyi di sini sampai dua jam, tapi yang dikangenin, ndhak kangen."

"Tadi kan sudah ketemu, Kang Mas."

"Itu tadi siang, ndhak sekarang." Bantahnya,

"Iya, Laras juga kangen." Aku menyerah, ndhak bisa debat kalau masalah ini. Beliau tersenyum lebar, kemudian mendekat, menggenggam kedua tanganku. Duh Gusti, tangannya sudah dingin sekali.

"Lihat, rasakan. Tanganku sampai seperti ini, cuma buat siapa? cuma buat kamu lho, Ndhuk. Lihat bibirku, sampai biru seperti ini, Cuma buat siapa? Buat kamu juga, sampai aku ndhak tidur, ini buat kamu."

"Terus?" Tanyaku, pasti beliau ini mau minta sesuatu.

"Ndhak bisa pulang ini, kalau ndhak di sun dulu." Katanya, benar toh dugaanku. Tapi, masak iya, hanya untuk sebuah 'sun' saja Juragan Adrian sampai seperti ini? aku benar-benar ndhak tahu, apa yang ada di dalam fikirannya.

"Nanti dilihat orang Kang Mas." Kataku, takut jika-ada warga yang melihatnya kan ndhak lucu.

"Ndhak ada. Pokoknya, disun baru aku pulang. Kalau ndhak disun, Kang Masmu akan di sini sampai Simbahmu bangun,"

Ku cium pipi kanannya sekilas, beliau sepertinya ndhak puas, alis tebalnya menyatu bersamaan dengan keningnya berkerut-kerut.

"Ndhak mempan itu." Katanya, ku cium lagi pipi kirinya, beliau masih merengut. Apa toh ini, sudah disun kok masih marah. "Ndhak mempan!" Katanya, dengan nada marah yang kentara.

"Lha terus Laras harus gimana toh Kang Mas? Kok ndhak mempan terus?" Tanyaku bingung, beliau tersenyum jail, kemudian menarik lenganku, sampai tubuhku sedikit maju ke depan.

Dengan penuh kemenangan beliau mencium bibirku dengan sedikit-panas. Kemudian menyudahinya, herlingan nakal diberikan padaku, aku malu.

"Yang aku maksud sunnya itu di situ." Katanya, sambil menunjuk bibirnya yang tipis. Bibir seksi yang membuatku ndhak bisa mengalihkan pandangan darinya.

"Sudah?" Tanyaku, beliau mengangguk semangat.

"Aku pastikan, nanti akan mimpi indah, karena sudah disun Larasku. Aku bali (pulang) dulu, Ndhuk. Jangan lupa, baca surat itu. Bacanya dengan hati, karena aku menulisnya dengan penuh perasaan, segenap jiwa dan raga."

"Ngapusi (bohong)." Kataku, di mana-mana menulis itu pakai tangan, masak ada menulis pakai hati, dengan jiwa dan raga, Kang Masku ini kadang-kadang garing juga.

"Lho, ora percoyo? Lihat saja, nanti kamu akan menangis membaca surat itu, dan terus menyebut nama 'Juragan Adrian, Kang Masku' dalam tidurmu, percayalah. Aku sudah memberi aji-aji di surat itu." Aku mengangguk saja, beliau kemudian melambaikan tangan kananya, tangan kirinya masih memeluk erat tubuhnya, pasti beliau sangat kedinginan.

Setelah tubuh Juragan Adrian menghilang dari pandanganku, segera ku tutup jendela kamarku. Ku buka surat yang ternya ditulis dengan buku tulis, aku tebak, kertas ini adalah salah satu dari kertas yang ada di buku tulis anaknya.

Tansah kelingan marang sliramu cah ayu... (masih teringat dengan dirimu cantik)

Genduk seng gawe aku ora bisa turu... (Gadis yang membuatku tak bisa tidur)

Saiki tresno iki terus dadi lambang ning ati... (Sekarang sayang ini terus jadi lambang di hati)

Tak enteni sliramu nang prapatan kampung isuk iki... ( Ku tunggu dirimu di perempatan kampung pagi ini)

Seperti orang bodoh aku tersenyum membaca isi surat itu. Benar katanya, jika setelah membaca surat ini aku akan memanggil namanya. Bahkan, setiap degupan jantungku seolah meronta untuk memilikinya. Juragan Adrian, Kang Masku. Lelaki yang akan selalu ku cinta, sampai akhir hayatku.

Ku rebahkan tubuhku, baru jam 3 pagi, tapi rasa rindu ini telah menguasai hati. Duh Gusti, kenapa bisa engkau ciptakan perasaan indah ini kepadaku. Aku tersenyum lagi, tanpa sadar nama Kang Masku terus-terusan ku sebut dalam tarikan nafasku. Andai saja, beliau tahu, jika aku sangat mencintainya, tapi beliau ndhak perlu tahu. Cukup aku saja.

*****

"Ndhuk. Apa benar kabar jika kamu ini akan melanjutkan sekolah?" Aku tersenyum kaku, duduk di samping Simbahku. Lupa, jika beliau seharusnya orang pertama yang tahu.

"Iya Mbah, sekolahku memberiku biaya untuk melanjutkan kuliah gratis." Dustaku, memang nanti akan dibuat seperti itu sama Juragan Adrian, agar warga kampung ndhak curiga.

Meski toh aku tahu, walaupun aku bukan termasuk siswa yang bodoh di sekolahku dulu, aku juga bukan termasuk siswa yang pandai. Hanya saja, karena ketekunanku belajar, membuat guru-guru mengenalku. Sudahlah, itu ndhak penting, yang penting sekarang aku bisa kuliah. Ku ulang lagi kejadian hampir sebulan belakangan ini, ekonomi keluargaku sudah mulai membaik, berkat bantuan dari Kang Masku. Bahkan, hutang keluargaku sekarang sudah mulai menipis, tidak begitu kentara memang, mengingat Kang Masku satu itu mengaturnya dengan sangat apik. Lagi-lagi, aku harus bersyukur padanya.

"Kapan berangkat, Ndhuk?"

"Lusa Mbah." Simbah menghela nafas beratnya, aku tahu beliau kepikiran. Untuk ukuran yang sudah sepuh dan menggantikan posisi Biung di dalam hidupku, aku tahu apa yang beliau fikirkan, sangat tahu.

Pelan ku genggam tangannya yang mulai keriput. Mata bulat itu memandangku dengan sayu, seulas senyuman tulus ditunjukkan padaku, aku terharu, ingin rasanya aku menangis saat ini juga, di pangkuannya.

"Simbah ada tabungan, Ndhuk. Bisa kamu pakai di sana nanti. Hidup di kota itu susah, kamu sendirian, apa-apa mahal. Jadi, pakailah simpanan Simbah untuk biaya sehari-harimu."

"Simbah ndhak usah mikirin bagaimana aku di sana nanti, semuanya sudah diurus. Ndhak usah memberiku uang, uang itu untuk beli susu Junet, atau beli kebutuhan sehari-hari Simbah sama Bulek. Laras hanya minta satu, cukup di doakan saja dari sini, agar Laras bisa sukses, bisa membuat bangga Simbah dan Bulek." Juga Kang Masku. Tentu, aku ndhak bisa berbicara seperti itu langsung, tapi akan aku tunjukkan jika pengorbanan mereka tidak sia-sia. Semoga, aku bisa membuat mereka bangga.

Beliau memelukku, kemudian mencium keningku. Jujur, saat-saat seperti ini yang ku rindukan. Saat-saat menjadi kecil lagi, andai bisa, aku ingin tetap menjadi Larasati kecil untuk selamanya, agar bisa bersama dengan Biungku. Aku, merindukannya, wanita terhebat dalam hidupku, wanita yang selalu ingin ku banggakan.

*****

"Aduh yang mau kuliah." Sedikit bingung saat kawan-kawan kampungku datang ke rumah. Padahal ini masih cukup petang, dan rencanaku sebelum subuh aku akan ke pondok. Untuk menemui Kang Masku, tapi langkahku terhenti, saat Amah, Saraswati, Sari dan Arum datang. Membawa anyaman bambu mereka, kemudian duduk di dipan depan rumahku.

"Kamu mau kuliah memangnya nanti mau jadi apa toh? Menteri? Guru? Insinyur? Atau Presiden?" Saraswati bertanya, dengan nada yang aku bisa menebaknya seperti apa itu. Tidak perlu aku kasih tahu kan? Kalian bisa membayangkannya sendiri.

"Iya, kami saja SD ndhak lulus, Saraswati malah hanya SMP, kok kamu mau kuliah toh. Memangnya mau nyari apa Laras? Lulus SMU juga kamu ndhak kerja kan? Malah ikut memetik teh di kebun bersama kami." Amah menambahi, aku tersenyum saja, ikut duduk di samping mereka.

"Belajar itu ndhak hanya masalah untuk bekerja. Tapi menuntut ilmu itu perlu, mencari barokahe marang Gusti pengeran (mencari berkah Tuhan)." Jawabku, Arum dan Saraswati mencibir, biarkan.

"Wong Wadon iku pantese ning pawon. Ora sekolah. (perempuan itu baiknya di dapur, bukan sekolah.)" Kata Saraswati lagi.

"Ingat kodrat, jangan nyalahi kodrat Laras, ndhak baik itu." Kodrat mana yang aku langgar? Aku ndhak merasa menyalahi kodrat manapun, apakah hanya karena aku perempuan lantas aku ndhak boleh sekolah tinggi? Itu pemikiran picik karena terlalu menjunjung tinggi tradisi kuno, menolak mentah-mentah zaman yang berlahan sudah berubah.

"Lho kok kalian yang sewot, toh? Kalau kawan kita sukses itu, mbok ya didukung, diberi selamat, ndhak malah diperlakukan seperti ini." Sari menengahi, Amahpun mengangguk.

"Ya lucu saja toh, anak simpanan kok cita-citanya ketinggian. Seperti katak menginginkan rembulan, ya lucu."

"Ya sudah, aku mau ambil air dulu, buat masak." Putusku, meninggalkan mereka. Ku telan semua ucapan pedas Saraswati, ataupun Arum. Aku ndhak mau berdebat, karena biar bagaimanapun, bagiku mereka adalah kawanku.

Sepertinya aku rindu Biung, sebentar lagi aku akan pergi jauh dari kampung ini. Sebelum ke pondok, ku langkahkan kakiku menuju makam Biung. Nampaknya, hari sudah mulai subuh. Lihat saja, pemuda kampung sudah duduk di sudut pematang kebun sambil memamerkan motor mereka, bagi anak-anak orang kaya, dan pemuda lainnya menjadi penonton setia karena meminjampun ndhak akan diperbolehkan, itulah rutinitas mereka, di mana yang kaya pamer, dan yang miskin hanya bisa melihatnya dengan senyum seolah tanpa beban, sungguh ironis.

"Lho, ada Larasti toh. Mau ke mana, Ndhuk? Kok sendirian saja, sini, Kang Basrul temenin." Basrul, anak dari seorang pemilik usaha anyaman bambu di sini, mencoba menggoda. Dan aku tahu, tentunya bukan dia saja, karena kawan-kawannya bersiul nakal padaku.

"Juragan Naufal, itu kan adikmu toh? Adik haram." 'Anak haram' 'adik haram' kenapa semua orang senang sekali mengataiku seperti itu?

Ku lihat dari ujung mataku, Juragan Naufal dan Juragan Aldhino membuang ludahnya, seolah jijik melihatku, ndhak sudi menerimaku, sebagai seorang Adik. Aku berusaha pergi, nampaknya Hilal, menghalangi jalanku. Aku ndhak tahu, apa keinginan mereka, yang aku tahu, keinginan mereka jelas ndhak baik.

"Dia itu siapa toh? Gadis kampung! Anak simpanan! Ndhak pantas jika disebut Adikku, pantasnya itu dijadikan simpanan sama seperti Biungnya!" Ujar Juragan Naufal, jika kalian ingin tahu rasanya hatiku saat ini, akan ku beritahu, sakit.

"Tolong, biarkan aku lewat." Kataku, mencoba sopan. Ku lihat pandangan Juragan Naufal setelah mendekat semakin tajam, seolah dia ingin mengulitiku hidup-hidup, binar kebencian itu, kentara di matanya.

"Melihat wajahmu saja, itu sudah membuatku benci! Karena wajahmu, mengingatkanku betapa kotor Biungmu itu! Simpanan!"

"Tolong, jangan menyebut Biungku seperti itu. Sampean (kamu) ndhak tahu toh, bagaimana menderitanya Biung selama ini, sampean boleh menghinaku, tapi jangan Biungku."

"Menderita? Itu salahnya sendiri! Dan kamu, gadis binal. Sebaiknya ndhak usah sok suci di kampung ini, mau sekolah setinggi apapun kamu, tetap saja semua orang tahunya kamu itu anak pelacur! Anak simpanan! Faham?" Juragan Aldhino menambahi, aku terus meronta untuk pergi, tapi lenganku dicengkeram kuat oleh Juragan Naufal, sakit, sungguh.

"Aku beritahu, janjiku sebelum Romo meninggal. Jika aku dan saudaraku ini, akan menjadikanmu perempuan paling rendah di kampung ini, sama seperti Biungmu."

PLAK!!

Mataku terasa panas, emosiku melonjak naik karena ucapan kedua saudara, bukan, Juragan sok suci ini. Sudah aku katakan, mereka ndhak apa-apa menghinaku, aku akan terima, tapi ndhak dengan Biungku.

"Maaf, karena lancang menampar Juragan. Aku permisi." Kataku, buru-buru pergi sebelum mereka mengeroyokku.

*****

Ngombe jamu, nang pinggir kali.. (Minum jamu, di pinggir kali)

Eh, aku ketemu karo Ndhuk Larasati... (Eh, aku ketemu dengan Larasati, LOL)

Ku dongakkan wajahku, setelah ku usap pipiku dengan kasar, ku lihat Juragan Adrian, berdiri dengan gagahnya, di sampingku. Tahu saja, jika aku di sini.

"Kang Mas." Kataku, beliau kemudian berjongkok, di sampingku. Mengelus makam Biungku.

"Sepertinya kita berjodoh, lihat saja, kita bertemu terus, Ndhuk." Ucapnya dengan senyum menawan yang pasti membuatku terpesona.

"Lha jenengan (anda) saja mengijuti Laras kok ndhak bertemu dari mana toh Juragan." Pak Lek Marji berseru, ku lihat Kang Masku ndhak suka, kemudian Pak Lek Marji menunduk, takut.

"Ganggu wong pacaran wae. (ganggu orang pacaran saja.)" Ketusnya.

"Kang Mas, ndhak boleh gitu."

"Inggeh sayang, eh keceplosan," Ujarnya lagi, aku menunduk, malu. " Kangen Biungmu?" Tanyanya, aku mengangguk, ku tampilkan seulas senyum pada Kang Masku.

"Iya, aku rindu dengan Biung Kang Mas. Terlebih, lusa aku sudah pergi dari kampung ini. Rasanya, berat jika ingat Biung ada di sini. Kang Mas sendiri?"

"Aku? Aku juga mau bicara hal penting dengan Biungmu." Ku kerutkan keningku bingung. Hal penting apa? Seperti Biung hidup saja.

"Apa Kang Mas.?"

"Sebentar, aku grogi. Bertemu dengan calon mertua," Duh Gusti, orang tua ini, kok ya ada-ada saja, calon mertua dari mana? Memangnya beliau ingin meminangku? Ndhak kan?

Beliau nampak menghela nafasnya, mengusap keringat yang ada di keningnya, kelihatannya, beliau ini benar-benar grogi lho.

"Mariam, anakmu gawe aku yo, mengko tak ganti, karo putu seng lucu," (Mariam, anakmu untuk aku ya, nanti aku ganti, dengan cucu yang lucu.) Katanya, aku hanya diam, ndhak bisa berbicara apa-apa, aku terharu, sungguh.

"Aku akan senang kalau kamu menginginkan cucu banyak, biar aku semakin semangat membuatnya dengan Laras, ya kan, Ndhuk?" Katanya, meminta persetujuanku.

"Iya Kang Mas." Jawabku, beliau tersenyum lebih lebar dari sebelumnya.

"Nah, aku sudah meminta restu Biungmu. Giliran Simbahmu, nanti."

"Mau bilang bagaimana sama Simbah, Kang Mas?"

"Mau bilang terimakasih, sudah merawat perawan cantik seperti Larasati."

"Ngapusi. Kok pinter tenan toh ngerayu." (Bohong, kok pintar sekali merayu)

"Ndhak percaya?" Aku menggeleng, beliau mendekatkan dirinya padaku.

"Tanya saja pada Biungmu, pasti dia bilang 'iya'." Percaya dirinya itu lho, yang membuatku semakin jatuh hati sama orang tua ini.

"Iya, Laras percaya."

"Lho, ya harus! Percaya dengan Kang Masmu ini wajib lho. Percaya sama Aku saja, ndhak usah sama yang lain, apalagi sama Marji."

"Lho kok bisa?"

"Dia itu manusia ndhak bisa dipercaya, tapi dia tangan kananku yang paling istimewa," Aku tersenyum saja, sambil melihat Pak Lek Marji juga tersenyum, rupanya hubungan Juragan-bawahan ini lebih dekat dari sekedar kawan.

"Ndhuk."

"Ya Kang Mas?"

"Tanganku loro, njalok disun." (tanganku sakit, minta dicium) Katanya, ku kerutkan keningku bingung. Beliau sudah mengulurkan tangannya yang mengepal tepat di depanku.

Ku turuti saja apa maunya, ku cium tangan beliau yang mengepal itu. tapi perlahan tangan itu terbuka. Betapa kagetnya aku, saat melihat cincin mungil yang ada di telapak tangannya.

"Kamu itu seperti keajaiban, Ndhuk. Lihat saja, tanganku kamu sun saja keluar cincin, apalagi yang lainnya. Pasti lebih dari itu." Ujar Kang Masku, ku peluk tubuhnya, tapi buru-buru ku sudahi pelukan itu. Duh Gusti, aku lupa jika ada Pak Lek Marji.

"Maaf Kang Mas."

"Lho, ndhak apa-apa, aku malah senang. Sini, peluk aku lagi." Katanya semangat.

"Laras, Juragan, kok di sini?" Danu, berdiri tidak jauh dari tempat kami. Buru-buru aku berdiri, bagaimana ini? apakah tadi dia melihat? Semoga ndhak.

"Danu?" Kataku yang lebih seperti pertanyaan, dia berjalan mendekat, sementara Juragan Adrian, sepertinya ndhak suka dengan kedatangan Danu.

"Juragan? Kok dengan Laras?" Tanya Danu lagi.

"Kebetulan, lewat, lha kamu, kenapa ke sini?" Tanya Juragan Adrian ketus, Danu menunduk sopan,

"Mau bertemu Laras."

"Ada kepentingan apa? Kamu ini siapanya Ndhuk Laras? Atau__"

"Juragan." Suara Kang Masku terhenti, saat Pak Lek Marji mengingatkan. Aku yakin, Pak Lek Marji takut, jika hubunganku dengan Kang Masku ketahuan.

"Kok ndhak ke pasar pagi ini Laras, ada apa?"

"Yo terserah toh. Yang ke pasar Larasati kok kamu yang repot."

"Juragan!" Kali ini aku yang bersuara, ndhak enak sama Danu.

"Juragan ada masalah sama saya toh? Kok ketus sekali." Danu memandang Juragan Adrian dengan tatapan anehnya.

"Ada, kenapa?"

"Apa?"

"Terserah toh, masalah, masalahku, kok kamu repot tanya-tanya. Kamu mau berduaan sama Laras? Aku bilangin orang kampung, kalau anak RT mau menggoda gadis kampung, biar kamu di sidang."

"Bukan, Juragan ini salah paham."

"Anak kecil jaman sekarang itu ya seperti kamu, sok-sokan mendekati perempuan. Tapi ndhak nyadar kalau masih bau kencur. Sana, pergi! Biar Laras aku antar pulang, biar ndhak diganggu sama kamu."

"Ngapunten Juragan. Laras, aku pergi dulu, sampai ketemu besok."

"Sekarang, besok, dan selamanya, ndhak usah ketemu Laras. Kok semangat sekali rupanya kacung ini." Danu pergi, sementara Pak Lek Marji hanya bisa geleng-geleng kepala.

Aku berjalan pergi, tapi Juragan Adrian menyusulku dengan langkah lebar-lebarnya. Aku ndhak suka caranya memperlakukan Danu, aku tahu Danu dia pemuda yang baik, ndhak sepantasnya Kang Masku seperti itu.

"Nesu?" (marah?) tanyanya, aku berhenti kemudian menatap Juragan Adrian, sungguh, marah bukanlah hakku, karena aku hanyalah seorang simpanan yang mengabdikan seluruh hidupku untuk Tuannya.

"Aku ndhak suka cara Kang Mas memperlakukan Danu, dia itu pemuda yang baik. Kenapa Kang Mas bersikap seperti itu."

"Iya-iya, ndhak suka. Maaf, ndhak akan aku ulangi lagi. Kang Mas janji," Beliau menjewer telinganya sendiri, persis seperti anak-anak yang sedang meminta maaf kepada Biung mereka. "Jadi, dimaafin ndhak ini Kang Masnya?" Tanya, aku mengangguk pelan kemudian beliau membingkai wajahku dengan kedua tangan besarnya.

"Kalau dimaafkan, mengsem toh (senyum toh), biar tambah cantik."

"Kang Mas." Rajukku, tapi aku tersenyum juga karenanya.

"Haduh, lihat Larasku tersenyum, tentram rasanya hatiku ini."

"Ngapusi."

*****

Seperti biasa jam 10.00 aku berangkat ke rumah Juragan Adrian, menjual susu. Langkahku terhenti saat aku melihat Juragan Naufal dan Juragan Aldhino, saudara tiriku, sedang bercengkerama dengan teman-temannya, orang-orang ningrat. Sepertinya mereka sedang sibuk mencoba motor barunya, sambil tertawa dan berkata umpatan-umpatan kasar.

"Lonte..! Lonte!! Datang lagi." (pelacur) Teriak Hilal, sialnya aku, bertemu dengan mereka, lagi.

Langkahku terhenti saat kawan-kawan Juragan Naufal dan Juragan Aldhino sudah mengepungku, di depanku ada Juragan Naufal, sementara saat aku mundur, di belakangku sudah dihadang Juragan Aldhino.

"Tinggalkan kami, akan kami urus dendam kami dengan anak simpanan ini." Juragan Naufal memerintah kawan-kawannya.

"Bagaimana kalau kita jadikan dia simpanan Kang Mas? Seperti Biungnya gatelnya dulu yang merayu Romo sampai melahirkan dia!" Juragan Adlhino berseru membuat tubuhku bergetar hebat.

"Buat hamil lalu kita tinggalkan, kita pakai bergilir." Tubuhku gemetar, botol-botol susu yang sedari tadi ku gendong langsung terjatuh.

"Mau apa? Mau menamparku lagi? Ndhak bisa." mataku terasa panas. Aku merasa, hari inilah aku merasa menjadi perempuan paling kotor di Dunia, dijamah kakak-kakak tiriku dan aku ndhak bisa melakukan apa-apa.

Aku bisa apa? Teriak? Meminta tolong? Bahkan ada warga kampung berlalu-lalang hanya lewat sambil melihat kejadian ini, seolah aku ini sampah, seolah aku ini binatang yang sering mereka lihat di sawah. Sakit, sangat menyakitkan.

"Kalian sedang apa!!" Juragan Naufal dan Juragan Aldhino melepaskanku, setelah menciumiku dan meremas-remas tubuhku dengan kasar, terimakasih Gusti Engkau telah mengirim Paklek Marji.

"Ndhak, hanya main-main, guyonan." (bercandaan) Kilah Juragan Naufal, keduanya langsung pergi sementara aku sudah luruh dengan semua air mataku, bajuku sudah compang-camping bahkan kembenku sudah hampir terbuka, segera ku ikatkan lagi.

Ku raih susu-susu yang sudah berjatuhan, satu botol susu itu tumpah, dan jatah belanja keluargaku pasti berkurang hari ini. Rasanya aku ingin menjerit dan memukuli kedua lelaki biadab itu, tapi aku ndhak berdaya, yang ada nanti aku akan di pancung oleh warga kampung karena menyebar fitnah. Pihak keluarga Juragan adalah yang paling benar, sesalah apapun mereka.

Dengan sabar Pak Lek Marji mengantarku ke rumah Juragan Adrian yang jaraknya sudah ndhak jauh dari tempatku berada, di sana hanya ada beberapa abdi dalem Juragan Adrian serta Ndoro Ayu, istri pertama Juragan Adrian.

Aku ragu hendak masuk terlebih dengan pakaianku seperti ini, aku menggenggam kebayaku yang kancingnya sudah lepas entah ke mana, untuk menutupi kembenku yang membalut dadaku.

"Ada apa kamu ke sini?" Tanya Ndoro Ayu, mungkin terdengar sedikit angkuh di telingaku, beda sekali saat pertama kali kami bertemu.

"Mau memberikan susu ini Ndoro." Jawabku, dia melirik sekilas.

"Susu tumpah seperti itu kamu suruh aku beli? Lantas pakaian kamu itu? kamu mau merayu Juragan Adrian dengan tubuh molekmu? Dasar anake Lonte." (anak pelacur)

"Tolong Ndoro beli susu ini." Pintaku, tubuhku masih bergetar hebat karena kejadian tadi ditambah Ndoro Ayu ndhak mau membeli susuku, mau makan apa aku dan keluargaku nanti?

"Susu ini bisanya diminum pengemis sepertimu!" Dia langsung menendang susu itu sampai tumpah, betapa jahat wanita ini, batinku.

"Ayu! Apa yang kamu lakukan!" Suara Juragan Adrian menggema, ndhak lama Juragan Ardian keluar dengan tatapan tajamnya.

"Bagaimana bisa anak ini menjual susu kotor kepada kita Kang Mas, benar-benar anak kurang ajar!" Jelas Ndoro Ayu, Juragan Ardian menatapku, sedikit terkejut kemudian beliau bejongkok, agar bisa sejajar denganku yang duduk di plester teras rumahnya.

"Kamu kenapa bisa seperti ini Ndhuk?" Tanyanya, aku menunduk ndhak berani menjawab, aku takut terlebih ada banyak orang yang sudah melihatku.

"Putera-putera mantan Juragan sudah melecehkannya tadi Juragan." Jawab Paklek Marji, Juragan Ardian langsung berdiri kemudian dia menatap Ndoro Ayu dengan galak.

"Hargai usaha seseorang untuk berjualan, jangan sampai kamu lupa dari mana asalmu Ayu!" Bentaknya, beliau masuk kedalam kemudian kembali keluar.

Mataku, dan mungkin mata orang di sekitar sama kagetnya denganku. Juragan Adrian keluar sambil membawa parang.

"Marji, tunjukkan padaku siapa yang sudah melecehkan Ndhuk Larasati!!! Wani ndemek berarti wani mati!!" (berani menyentuh berarti berani mati),

--Terusane Minggu ngarep yo, ojo bosen ngenteni----

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top