LARASATI #4
*Semoga kita masih diijinkan saling menyapa di dunia orange. Kalau toh di blokir karena terlalu banyak cerita fulgar, semoga semua pihak pintar menyikapinya. dan pandai memilah, sehingga kaum minoritas bukan menjadi mayoritas yang mendapatkan dampak buruk karena hal ini. Sangkyu.
------------------------------------------------------------------------------------------------------
Aku hanya bisa diam, memperhatikan tubuhku. Ku tarik ujung kerah kembenku, takut jika Simbah tahu, kalau aku sudah ndhak perawan lagi. Masak toh, hal itu bisa diketahui? Dari mana? Bahkan, aku yang punya tubuh saja ndhak tahu, selain merasakan tubuhku yang sakit semua. Aku jadi takut, dekat-dekat dengan Simbah sekarang.
"Perawan itu, ndhak baik tubuhnya mekar (gendut). Nanti setelah melahirkan bagaimana? Mau tubuhmu jadi seperti gentong?"
"Ya ndhak mau toh Mbah." Jawabku, menunduk takut, ndhak berani membantah.
"Ya sudah, sekarang istirahat saja, ndhuk. Kamu pucet sekali lho hari ini, kalau sakit nanti kan repot. Siapa yang bantuin Simbah."
"Inggeh." Aku segera berdiri kemudian masuk ke dalam kamar.
Memang, tubuhku rasanya aneh, meriang. Mungkin akan sakit. Ku sisir rambutku di depan cermin, tiba-tiba kejadian yang aku alami bersama Juragan Adrian melintas di otakku. Dadaku ini miliknya, tubuhku ini juga miliknya, katanya. Tapi, apakah aku ini pantas? Diriku, bukanlah wanita kaya dari kalangan bangsawan, bukan juga anak dari saudagar. Aku takut, ndhak bisa menyenangkan hati Juragan Adrian, sebagai simpanannya. Jujur, untuk mendapatkan cintanya aku ndhak bisa muluk-muluk. Siapa toh aku ini? Hanya Larasati, tapi biarkan saja aku yang mencintainya, aku yang tahu itu, dan juga Gusti Pangeran.
*****
Pagi ini sekitar jam 10.00, aku berangkat ke rumah Juragan Adrian untuk pertama kali, sendiri. Rasanya takut, jika harus bertemu dengan Ndoro Ayu dan Ndoro Dini. Istri-istri beliau, Kang Masku. Bukan, tapi Kang Mas mereka.
Ku tata penampilanku, meski aku ndhak yakin jika ini adalah penampilan yang apik. Tapi, ini adalah penampilan terbaikku. Semoga, aku ndhak melakukan kesalahan di sana. Aku hanya ingin menjual susu ini, ndhak lebih.
"Lho, ada Laras toh. Ada apa, Ndhuk? Ke sini?" Surinah, Bulek dari Saraswati yang kebetulan menjadi abdi dalem di sini menyapaku, buru-buru Bulek Surinah meletakkan sapunya, sambil menyincing jariknya beliau berjalan cepat ke arahku, membantuku membawa salah satu botol yang berisi susu.
"Ini lho Bulek, aku mau menjual susu ke Ndoro Ayu. Apa beliau ada di rumah?"
"Ndoro Ayu toh, kalau jam segini ya belum ada di rumah, Ndhuk. Beliau sedang pergi, bersama Ndoro Dini, belanja."
"Ada apa toh? Kok rame?" Aku menoleh, cepat-cepat aku menunduk. Ada Juragan Adrian toh di rumah, aku ndhak tahu.
Beliau berdehem, kemudian berjalan mendekat, sambil mengikat kedua tangannya di belakang, salah satu kebiasaan Kang Masku rupanya.
"Surinah, tolong ke dalam sebentar. Aku lihat Saripah tadi bingung mencarimu."
"Masak toh Juragan? Tadi dia yang menyuruhku nyapu di sini."
"Lho, lha wong aku yang baru dari dalam kok ndhak percaya. Coba saja kamu ke sana, pasti dia mencarimu. Katanya, piringnya kamu bawa."
"Piring apa toh Juragan? Ngapunten, saya ndhak bawa piring. Masak nyapu bawa piring toh. Yang ada bawa sapu."
"Aku ya ndhak tahu, ke sana saja. Kok cerewet." Aku jadi bingung, sepertinya Bulek Surinah ini ndhak faham maksud Juragan, sama, aku juga ndhak faham.
"Ya sudah, Ndhuk. Aku bayar ya susumu ini," Katanya, kemudian Bulek Surinah undur diri, kemudian Juragan melangkah semakin dekat.
"Maunya, aku bayar susu yang mana saja? Ada empat lho ini." Lho, aku ini bawa cuma dua botol. Kok beliau bilang empat ini gimana toh?
"Susunya cuma dua Juragan."
"Lha yang kamu bawa terus itu, ada dua. Gumandul ning dhodhomu cah ayu (menggantung di dadamu, cantik. Pokoknya itu XD)," Tanpa sadar ku pegang kembenku, saat tahu, apa yang dimaksud Juragan Adrian. Beliau tersenyum, kemudian merogoh uang yang ada di sakunya.
"Ini, selebihnya buat jajan." Katanya, menaruh selembar uang di dadaku.
"Ini kebanyakan Juragan."
"Hmmm?"
"Kang Mas." Ralatku, saat ku lihat sorot marah di matanya. Jika sudah berdua seperti ini, beliau ndhak mau dipanggil Juragan.
"Ndhak akan pernah ada yang namanya kebanyakan untuk Larasatiku, lha wong mati saja aku mau." Katanya, aku menunduk malu. Duh Gusti, wajahku pasti sudah merah sekarang.
"Ya sudah, Laras pulang dulu Kang Mas. Takutnya, Bulek Surinah datang."
"Tunggu, masih ada yang kurang."
"Apa?"
"Itu lihat, ada sekar melati (bunga melati)."
"Mana toh?" Aku mencoba mencari, beliau menunjuk dengan jari telunjuknya. Belum sempat aku menoleh, bibir beliau sudah menempel manis di pipiku. Kok ndhak takut orang tua ini ketahuan abdi dalemnya yang banyak itu toh.
"Sekar melatine ayu, koyok sliramu." (Bunga melatinya cantik, seperti dirimu) Duh wajahku merah lagi pasti. Kenapa toh, orang tua ini pandai merayu.
"Ada apa ini Kang Mas?" Aku terjingkat kaget. Ku undur tubuhku menjauh dari Juragan Adrian, kemudian menunduk lagi semakin dalam.
"Ini lho, Larasati. Mau menjual susunya." Jawab Juragan Adrian, saat ada 2 wanita memakai kebaya cantik dengan wajah ayu mereka.
"Kamu toh, iya aku ndhak ada di rumah. Malah Kang Mas yang harus memberimu uang, merepotkan."
"Ndhak apa-apa Ndoro," Jawabku, ku lihat kedua istri Juragan Adrian mencium tangan suaminya, Duh Gusti. Kapan, aku bisa melakukan hal yang sama seperti mereka.
"Saya pamit dulu Juragan, Ndoro." Ucapku, ndhak enak lama-lama di sini.
"Iya, hati-hati pulangnya." Ndoro Dini mengingatkan, aku mengangguk kemudian segera mungkin keluar dari rumah itu.
*****
Sepuluh ribu lagi, banyak sekali uang yang diberikan Kang Masku ini. Ndhak takut bangkrut apa toh.
"Dari mana Ndhuk? Kok sendirian?"
"Dari rumah Juragan Pak Lek, jual susu."
"Hati-hati pulangnya."
"Inggeh."
Mungkin, baru kali ini aku keluar rumah, maksudku, selain pergi ke pasar dan ke kebun. Itu sebabnya, penduduk kampung bertanya padaku. Maklum saja, aku lebih suka menghabiskan waktu di rumah. Ndhak tahu nanti, jika aku kuliah. Apa aku akan betah? Meninggalkan Simbah dan Bulekku lama-lama, rasanya kok ndhak kuat.
"Ndhuk?"
"Pak Lek?!" Pekikku setengah kaget. Saat Pak Lek Marji memanggilku setengah berteriak, di dalam mobil. Aku yakin, di belakang ada Juragan.
Aku menoleh ke belakang, rupanya benar. Kang Masku itu sudah duduk manis sambil tersenyum lebar. Kok ndhak bisa diam di rumah orang tua ini.
"Dari mana, atau mau ke mana Pak Lek?" tanyaku, mengabaikan Kang Masku, dia marah, biarkan.
"Mau ke Puntuk Rejo, melihat keadaan di sana, Ndhuk. Kamu sendirian? Ndhak ikut sekalian?"
"Ndhak Pak Lek, ndhak enak dilihat orang." Memang sengaja, Pak Lek Marji mendekatkan mobilnya, dan berjalan pelan, mungkin mengimbangi langkahku berjalan.
"Kok cuma Marji yang ditanya, aku ndhak?" Kang Masku ini memang ndhak mau kalah.
"Mau ke mana Kang Mas?" Tanyaku, biar beliau hatinya senang.
"Mau jalan-jalan."
"Ke Puntuk Rejo?" Tebakku, beliau menggeleng.
"Yo jelas endhak toh," Jawabnya, ku tarik sebelah alisku, bingung.
"Mau jalan-jalan di hatinya Laras, pasti lebih menarik." Di kedipkan mata nakalnya, membuatku menunduk lagi. Orang tua ini.
Wingi nate janji, tak keloni, ora bakal lali..
(kemarin telah berjanji, ku ajak bercinta, tidak akan lupa)
Tur kelingan, jroning ati, sak bedahing bumi...
(terus terbayang, di dalam hati, sedalam bumi, *gak ngerti sak bedhahing bumi saya XD)
Aku tersenyum, mendengar beliau nembang. Ada-ada saja, kok ya fikirannya pintar sekali, ngerubah bait-bait itu. Bagaimana ceritanya.
"Sudah, ndhak usah tersenyum." Katanya, aku menatap ke arahnya bingung.
"Kenapa kok ndhak boleh Kang Mas?"
"Senyummu iku, ngangeni. Aku takut ndhak bisa tidur nanti malam karena kangen sliramu, cah ayu." (senyummu itu ngangenin) (sliramu=kamu)
"Ngapusi." (bohong)
"Lho, temenan iki. Langit lan bumi jadi saksi, Marji juga jadi saksi." (serius ini).
"Iya Kang Mas, Laras tahu."
"Ya sudah, Kang Masmu ini mau mengemban tugas. Laras pulang hati-hati, cepat masuk rumah, jangan keluar-keluar. Aku ndhak mau, ada laki-laki lain yang melihat kecantikan Larasku, nanti aku bisa cemburu. Ngerti?"
"Inggeh Kang Mas."
"Pinter. Sekarang mana, sun jauhnya? Biar lebih romantis, seperti orang pacaran," Mataku melotot, bingung. Ada Pak Lek Marji, jujur aku sungkan.
"Ndhak usah hiraukan Marji, anggap saja dia itu reco (patung), atau sapi." Lanjutnya, tahu saja jika aku sungkan.
Ku lakukan saja, agar beliau cepat pergi. Karena banyak orang yang memandang ke arah kami. Aku takut jika mereka akan curiga.
"Pinter kalau begitu, yasudah, sampai ketemu di TPK ya, Ndhuk."
"Apa itu Kang Mas?"
"TPK, tempat pacaran kita. Masak iya mau aku sebut TMK, tempat mesum kita, ndhak baik, nanti diintip Marji."
"Kang Mas ini."
*****
"Laras, mau ke kebun?" Danu, tumben sekali pagi ini dia berada di sini. Biasanya, dia sedang sibuk dengan sapi-sapi di kampung sebelah.
Aku mengangguk, Amah dan Sari menyikutku, sepertinya mereka salah faham, tentang kedekatanku dengan Danu.
"Duh Danu, kamu kok ndhak ke kebun saja setiap pagi. Biar mata kami ini bening, lihat yang bagus di kebun. Lihatnya hanya Juragan, beliau kan sudah punya istri. Kalau kamu kan belum, Nu."
"Lha apa bedanya toh, Sar? Kan mau dipandang saja. Aku ini ndhak pemandangan lho."
"Ndhak baik ketus (jutek) sama perawan lho, Nu. Nanti bisa-bisa ndhak payu rabi (laku nikah)."
"Itu kamu Mah, suka milih." Sari dan Saraswati tertawa, membuat Amah cemberut. Memang, Amah ini ndhak ingat dirinya sendiri, kok bisa berbicara seperti itu sama Danu. Bisa dibilang, Danu ini salah satu jejaka paling diminati di kampung. Sudah ganteng, juga dari keluarga berada. Tapi, kami sendiri ndhak tahu, kenapa sampai sekarang, Danu ndhak juga mau menikah.
"Laras, aku pergi ke Dukuh dulu. Besok ketemu lagi."
"Iya." Jawabku, semuanya langsung bersiul-siul. Kenapa toh? Ada yang aneh?
"Jadi Danu suka toh sama Laras, pantes saja, dia pagi-pagi di sini. Ndhak heran."
"Kepincut anak dhemenan (terjerat anak simpanan)." Kata Saraswati. Aku tersenyum saja, pura-pura ndhak dengar.
"Ayok ah, ndhak baik bilang seperti itu, apalagi sama kawan sendiri. Toh selama ini Laras ndhak ada salah sama kita, jadi yang lalu, mbok ya biarkan berlalu." Sari berucap, dia menggandeng tanganku dengan percaya diri. Nampaknya, dia ndhak risih sama aku.
"Iya, lagi pula. Itu kan bukan salah Laras toh, jadi ndhak usah seperti itu," Tambah Amah.
"Alok, bakale melok." (orang yang suka mencela, akan ikut kejelakannya, *maybe)
Jujur, aku sedih. Melihat Amah dan Sari membelaku seperti ini. Seolah membodohi mereka, karena sekarang aku, adalah seorang simpanan. Seperti Biung. Tapi, aku ndhak apa-apa, mungkin ini jalan yang salah, bukan mungkin, tapi memang salah. Meski begitu, hatiku ndhak bisa dibohongi, jika aku mencintai Juragan Adrian, dan rasa itu, semakin kuat ketika melihat Saraswati kemarin.
Saraswati berjalan cepat, mendahului kami. Membuat Amah dan yang lain terlihat bingung, dia bukan seperti Saraswati biasanya, dia sekarang lebih gampang tersinggung.
"Kenapa toh dia?" Arum, bertanya, mungkin dia juga bingung.
"Ndhak tahu, setelah bertemu Juragan dia langsung seperti itu. Apa dia ditolak jadi simpanannya Juragan?"
"Wah ya jelas itu!" Sari berseru, membuat Arum dan Amah menatapnya semangat.
"Juragan Adrian kan ndhak punya simpanan, masak dia mau jadi simpanannya, ndhak bakal mau. Juragan itu setia sama istri-istrinya, ndhak akan punya simpanan."
"Kok kamu tahu, Sar?"
"Iya, aku banyak tahu, dari Romoku, kebetulan salah satu dari abdi dalem beliau." Jelas Sari.
Jika memang iya demikian, lantas, kenapa aku dijadikan simpanan untuk Juragan? Apakah aku ini simpanan pertama dan satu-satunya? Ku genggam dadaku, rasanya sedikit nyeri, terasa ada lubang di sana. Jujur, aku sedikit merasa senang. Tapi, aku juga semakin ndhak enak sama Ndoro Ayu dan Ndoro Dini, jika aku menjadi wanita jahat yang ada pada hubungan rumah tangga mereka.
*****
Hari ini Juragan Adrian belum datang ke pondok. Masih sibuk mengurus beberapa pekerja di kebun teh. Hanya ada aku, juga Pak Lek Marji, yang bercakap di dipan samping pondok.
"Pak Lek, sebenarnya bagaimana awal Juragan tahu aku? Kok sampai beliau mau menyekolahkanku." Tanyaku, setelah memancing beberapa pertanyaan basa-basi. Jujur, aku masih penasaran dengan hal ini.
"Dulu, Juragan pernah ke sini. Saat Mariam, Biungmu itu meninggal. Beliau hendak meninjau kebun teh ini. Kebetulan, beliau melihatmu menangis sendiri di kuburuan. Beliau bertanya tentangmu, lalu aku ceritakan semuanya. Awalnya, beliau kasihan, itulah sebabnya beliau menyekolahkanmu. Tapi, setelah melihatmu tumbuh dewasa, beliau jadi punya fikiran lain."
"Fikiran lain apa Pak Lek?" Tanyaku, saat Pak Lek Marji menghentikan ucapannya.
"Ndhak usah aku jelaskan. Nanti, kamu juga akan tahu, tentang fikiran lain itu. yang jelas, Juragan Adrian sangat ingin menjagamu, Ndhuk. Jadi, bersikaplah baik padanya. Ndhak usah banyak membantah, cukup nurut saja. Mengerti?"
"Iya Pak Lek." Aku ndhak bisa bertanya lagi, jika memang Pak Lek Marji sudah bilang seperti itu. Aku ndhak mau dibilang cerewet.
"Ya sudah, aku pergi dulu. Juragan datang, nanti aku ke sini lagi." Aku mengangguk, saat Pak Lek Marji mulai beranjak pergi, dan berganti Juragan Adrian mendekat.
Ku tatap wajah tampan Kang Masku yang tersenyum lebar itu, Duh Gusti, lelaki tua ini benar-benar tampan, ndhak nyangka sekali jika aku bisa menjadi salah satu wanitanya.
"Kenapa? Kagum dengan kegantengan Kang Masmu ini?" Tanyanya percaya diri, aku tersenyum saja, beliau duduk di sebelahku.
"Kang Masku ini memang ganteng, ndhak ada duanya."
"Lho ya jelas, Juragan Adrian kok dilawan. Ndhak bakal bisa," Beliau menggosok kedua telapak tangannya, kemudian kepalanya direbahkan di pundakku.
"Dingin, butuh pelukan," Katanya, aku bingung, harus berbuat apa, apa iya aku memeluknya?
" Butuh dipeluk Larasatiku." Lanjutnya, seolah menjelaskan padaku.
"Laras peluk Kang Mas?" Tanyaku masih bingung, beliau mengangguk, kemudian tersenyum setelah aku memeluknya. Bagaimana bisa, seseorang memakai surjan setebal itu bisa kedinginan. Toh ini sudah siang.
"Ndhuk, apa tujuan hidupmu setelah ini?" Tanyanya, aku tersenyum. Jika ditanya seperti itu, tujuan hidupku pastilah banyak, ndhak akan bisa ku jabarkan satu-satu.
"Kalau Kang Mas?" Tanyaku sebelum menjawab, aku ingin mendengar tujuan hidupnya seperti apa, pastilah sangat indah dibandingkan denganku.
"Aku sudah menemukan tujuan hidupku, jadi aku ndhak perlu tujuan hidup lagi." Jawabnya, ku toleh beliau, bingung.
"Apa?" Tanyaku, ndhak mungkin toh dia sudah secepat itu punya tujuan hidup, anak-anaknyapun masih kecil-kecil, kan?
"Tujuan hidupku bertemu denganmu, dan menghabiskan sisa hidupku denganmu, Ndhuk."
"Sekarang aku juga punya tujuan hidup baru."
"Apa itu?" Beliau menatapku, dahinya berkerut-kerut.
"Menemani Kang Masku menghabiskan sisa hidupnya."
"Mana buktinya?" Tantangnya,
"Bukti apa toh, Kang Mas?"
"Kalau mau menghabiskan sisa hidup bersamaku, buktinya apa? Aku mau tahu."
"Aku ndhak ada bukti, tapi aku janji."
"Ya sudah, kalau begitu tak kasih sedikit hadiah. Tapi, Larasku harus merem."
"Buat apa?"
"Nurut saja." Ku pejamkan mataku, menuruti ucapannya.
Beliau mencium keningku sekilas, kemudian membuka kebayaku. Masak iya, beliau mau melakukannya di sini? Ndhak mungkin toh? Ku buka mataku saat aku merasakan sesuatu yang dingin ada di belahan dadaku. Aku terkejut, saat benda itu ada di sana,
"Kalung?!" Pekikku, beliau tersenyum, mengangguk kuat.
"Benda cantik untuk Laras cantikku," Katanya, kemudian mengambil kalung itu, dan dipakaikan di leherku. Bukan kalung besar, ini hanya kalung kecil, tapi bagiku sangat mahal, karena diberikan oleh seseorang yang sangat istimewa dalam hidupku.
"Bagaimana? Suka?" Aku mengangguk kuat kemudian ku peluk tubuh Kang Masku.
"Terimakasih, Kang Mas."
"Sudah, gitu saja?" Tanyanya, ku jauhkan tubuhku, agar aku bisa melihat wajah jailnya.
"Terimakasihnya, harus dikasih jatah toh. Jatah kelon," Bisiknya, ku pukul dada bidangnya, dia tertawa. Membawaku ke dalam gendongannya dan masuk ke dalam pondok.
"Aku ajari lagi, bagaimana menjadi kesayangannya Juragan Adrian." Serunya semangat. Duh orang tua ini, kok suka sekali melakukan hal ini.
--Entenono Terusane--
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top