LARASATI #2

*Maaf kalau update-an kali ini garing dan nggak ngena di hati ya, sorry. Kepalanya masih pusing dibuat mikir tapi ide sudah memenuhi, jadi aku tulis saja. semoga suka, dan semoga part selanjutnya lebih bagus.

*Juragan Adrian itu sama dari dulu sampai sekarang (sebelum revisi) cuma diedit dan kalian enggak ngenalin? ya ampun, gitu ngakunya lope2 Juragan. gak setia ih, jadinya sekarang kagak aku edit lagi, jadi bayangin aja tuh mukanya pakek surgan n blangkon muahahahaha...

*Jika ada kata/kalimat double, bukan salah saya. Tolong refresh atau logout dan login lagi akunnya ya? karena terjadi dibeberapa readers gitu dan gak di readers lainnya, itu karena aku publish di tempat lama kali, aku juga gak faham. sangkyu.

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

                Pagi ini, mungkin ndhak seperti biasanya. Kedatangan Juragan baru sepertinya sudah sedikit banyak merubah warga kampungku. Lihat saja, beberapa pekerja kebun yang mayoritas perempuan sudah datang memenuhi kebun teh yang hijau ini. Aku, Arum, Amah dan kawan-kawanku yang lain kebetulan baru datang ikut keheranan, biasanya, Saraswati adalah pemetik teh pertama yang selalu datang di sini, nampaknya sekarang hal itu sudah ndhak berlaku lagi.

"Iki piye toh (bagaimana ini), pagi-pagi sudah pada kumpul semua, ada apa?" Saraswati kaget, dia langsung bersuara, bertanya pada Bulek Ireng, salah satu pekerja di sini juga.

"Nanti, Juragan baru akan mengawasi kita. Ndhak baik toh, kalau pekerjanya ndhak berangkat pagi-pagi. Jadi, kalian segera bekerja, agar Juragan baru ndhak marah."

"Memangnya Juragan Adrian itu galak toh Bulek?" Kini Arum bertanya, aku hanya diam saja, mengamati di balik capingku ini.

"Ndhak tahu, tapi takut saja kalau nanti seperti Juragan Naufal. Kan bahaya, upah kita bisa dipotong, ndak bisa makan nanti kita." Takut Bulek Ireng. Beliau langsung buru-buru mengambil capingnya kemudian kembali lagi ke tempatnya.

Apa iya toh kalau Juragan Adrian itu galak? Kok aku ndhak yakin, ndhak tahu kenapa aku berfikir jika beliau itu adalah sosok yang bijaksana, yang bisa mengerti kesusahan warganya. Ini bukan karena aku sudah disekolahkan sama beliau, endhak. Tapi ini jujur, dari pengamatanku yang belum cukup matang ini.

Aku berjalan bersama yang lainnya untuk segera memetik pucuk teh yang sehat dan terbaik, karena dari tangan kamilah nantinya daun-daun teh ini diolah menjadi bentuk yang berguna lagi, dan dinikmati banyak orang, meski mereka-penikmat kadang buta dengan bagaimana kerja keras kami untuk memetiknya, di tengah hujan, dingin yang bahkan membuat kami hampir masuk angin karenanya, tapi biarlah, apa toh urusanku, kok fikiranku sampai sejauh itu. Memangnya kamu ini siapa toh Laras? Mau menjadi pahlawan emansipasi wanita? Ndhak cocok.

"Sekarang urutan siapa?"

"Urutanku toh, aku kan sudah menang 'suit' tadi." Amah ngotot, aku ndhak ngerti apa yang mereka bicarakan.

"Aku bertaruh, Juragan ndhak akan tergoda sama kamu, kamu itu krempeng lho Amah."

"Lho, ndhak apa-apa toh, krempeng ndhak jadi masalah, yang jelas cintaku ini tulus sama Juragan." Aku kok semakin bingung, aku menatap Amah dan Saraswati serta kawan-kawanku yang lain, rupanya, mereka ndhak memetik daun teh malah berdebat.

"Pasti Saraswati yang bisa merayunya, dia kan gadis yang paling cantik di kampung, setelah Laras." Kini Amah melirikku, aku diam saja saat tahu arah pembicaraan ini, pembicaraan aneh, menurutku.

"Ndhak mungkin mau, kan. Juragan Adrian sama Laras, dia kan anak haram. Ya kan Laras?" Tanya Saraswati, aku tersenyum saja meski hatiku sakit. Mereka itu memang begitu, ndhak pernah merasa jika ucapannya sering menyakiti hati, tapi mereka fikir itu hal yang biasa.

Aku rasa ndhak ada anak di dunia ini mau disebut sebagai anak haram, ataupun anak ndhak sah dari seorang simpanan, kan? Kok mereka ndhak pernah mau ngerti, toh lahir seperti ini bukan keinginanku, semuanya sudah diatur oleh Gusti Pengeran. Tapi, biarkan. Asal mereka senang, aku ndhak apa-apa, itung-itung amal, buat mereka bahagia.

"Juragan datang, Juragan datang!" Mereka saling senggol, ndhak sengaja tubuhku juga ikut kesenggol, saat Arum dan Amah lewat, Duh Gusti bokongku sakit nubruk tanah, mereka ini kadang-kadang ndhak bisa hati-hati.

Tanah basah seperti ini kan membuat jarikku kotor. Ku lihat ternyata iya, bagaimana ini, aku bersihkan juga ndhak akan bisa kalau ndhak aku cuci di kali. Biarkan saja, setelah memetik teh, aku akan ke kali, sekalian nyuci bajunya Bulek dan Simbah.

"Laras, kamu ndhak mau ikut taruhan?" Arum membisikiku, ndhak lihat apa aku kesakitan, habis jatuh didorong, kok ndhak minta maaf.

"Kawan-kawan kita, saling bertaruh untuk menjerat hati Juragan. Buat jadi simpanan Juragan Adrian." Lanjutnya, aku memandang Arum kaget, ndhak percaya, kok bisa mereka berfikiran seperti itu. Bukannya mereka menjelek-jelekkan Biungku sebagai simpanan?

"Aku ndhak ingin Arum." Jawabku, dia menyenggol lenganku, kok rasanya sedikit perih toh.

"Ndhak mau atau ndhak mau? Aku yakin, Biungmu mengajarimu menggoda Juragan-Juragan, bakatmu sebagai simpanan itu alami lho Laras, ndhak seperti kawan-kawan lainnya. Kan lumayan, jadi simpanannya Juragan, sudah ganteng, uangnya banyak."

Bisa dikatakan, hampir seluruh perawan di sini sudah diperawani, maksudnya, mereka yang kebetulan belum menikah, suka mencari tambahan uang dengan melayani orang-orang kaya di kampung, bahkan ndhak jarang juga wanita-wanita yang bersuami, begitupun sebaliknya. Seolah melakukan hubungan itu, ndhak ada rasa malunya. Meski hal itu ndhak terpampang nyata, yang mata awam tahu, orang kampung itu hanyalah orang-orang kuno, yang lugu. Meski ndhak dipungkiri, ada juga yang ndhak seperti itu.

Cintaku sekonyong-konyong koder...

Karo kowe cah ayu, seng gawe kemben...

(sama kamu gadis cantik, yang memakai kemben. Yg atas artikan sendiri XD)

Hampir semua kawanku menjerit histeris saat Juragan Adrian berjalan sambil melantunkan tembang itu di depan kami. Memang, di balik kaus-kaus kebesaran ini, pastilan kawan-kawanku sedang memakai kemben, tapi aku ndhak tahu yang dimaksud itu siapa. Walaupun, aku berharap itu aku. Duh Laras, mikir apa toh kamu ini.

Aku menunduk takut, saat Juragan Adrian berhenti di depanku, jujur, ingin rasanya aku mengangkat wajahku. Tapi aku malu, karena sudah mengata-ngatai beliau dengan kata ndhak sopan kemarin.

"Ndhuk, nang pipimu enek telek ceceke. (Nduk di pipimu ada tahi cicaknya)" Spontan ku pegang kedua pipiku, tapi Juragan Adrian malah tertawa, kawan-kawanku juga ikut tertawa, dan Pak Lek Marji yang kebetulan bersama Juragan juga tertawa.

Ono opo toh (ada apa toh) di pipiku sampai membuat semua orang tertawa. Aku yakin, tadi sebelum berangkat ke kebun aku melihat cermin, dan wajahku bersih ndhak ada tahi cicaknya, aku yakin itu. Ku lihat Juragan berjalan pergi, kemudian Arum mendekatiku.

"Juragan hanya bergurau, eh malah tanganmu yang kotor kamu buat megang wajahmu yang bersih, ya jadi kotor toh Laras. Kamu ini kok lucu, mudah sekali ditipu." Katanya, Juragan itu benar-benar dendam sama aku rupanya.

Ku lihat beliau berjalan menjauh, sambil mengikat kedua tangannya di belakang pungkung. Niat hati ingin marah, tapi yang ada aku malah curi-curi pandang ke arahnya sambil mengsam-mengsem (senyam-senyum). Laras, kamu ini gendheng.

"Ngapunten (maaf) Juragan, ngapunten!" Kami semua langsung berlarian, menuju suara itu.

Bu Dhe Sekar, memegangi kaki Juragan Adrian dengan takut-takut, sementara ku lihat tenggok beserta isinya, jatuh memenuhi jalanan setapak di kebun. Juragan Adrian masih diam, ndhak menampakkan reaksi apapun, sementara pemetik teh lainnya ikut duduk di bawah kaki Juragan, termasuk aku.

"Maafkan Bu Dhe Sekar Juragan, beliau sudah sepuh (tua)." Bulek Ireng mencoba membela Budhe Sekar.

"Ndhak apa-apa kalau Juragan ndhak membayar saya hari ini, tapi tolong jangan berhentikan saya Juragan." Aku ikut sedih, Budhe Sekar ini, usianya sudah lebih dari kepala 8, tapi beliau masih bekerja sebagai pemetik teh. Karena anak Budhe Sekar ndhak mau merawat beliau, itu sebabnya beliau harus bertahan hidup, mencari uang sekedarnya untuk makan sehari-hari.

"Ini apa toh Bulek. Ndhak pantes, sampean (kamu) ini meminta maaf sama aku. Sampean ini ndhak salah lho, ayo berdiri," Perintah Juragan Adrian, tapi Budhe Sekar masih takut, aku bisa melihat dengan jelas, karena kedua tangan beliau bergetar hebat.

"Aku ndhak akan menyuruh Bulek untuk berhenti, memangnya aku ini siapa toh? Gusti Pengeran? Ndhak toh, jadi kenapa Bulek setakut ini sama aku? Sekarang berdiri Bulek, ndhak enak dilihat sama yang lain." Katanya lagi, kini Juragan Adrian membantu Budhe Sekar untuk berdiri, kemudian dituntun untuk duduk di sebelah beliau.

"Marji, ambilkan Bulek air. Pasti beliau ini kaget."

"Inggeh (iya) Juragan."

"Bulek, memang ndhak seharusnya orang sepuh seperti sampean ini bekerja seperti ini. Ndhak bagus buat kesehatan Bulek, kenapa toh Buleh ndhak duduk di rumah saja, biar anaknya yang bekerja, mana? Nanti ndhak apa-apa, biar aku yang menjatahnya lebih, buat upah Bulek di rumah." Semuanya diam, ndhak ada yang berani bilang, jika Budhe Sekar, sudah ndhak ada anak, ditinggal anaknya minggat.

"Budhe tinggal sendiri Juragan." Seruku, hati kecilku ndhak bisa diam saja, Juragan Adrian harus tahu.

"Maksudnya? Bulek janda toh?" Tanya Juragan bingung.

"Ndhak Juragan, Budhe ditinggal anaknya merantau, jadi beliau tinggal sendiri di rumah. Kalau bukan beliau yang bekerja, untuk makan sehari-hari dapat dari mana toh? Meski sudah sepuh, tapi perut juga butuh makan."

"Lalu kenapa kok ndhak ada yang bilang ini sama aku?" Ku lihat semuanya diam lagi, sambil menundukkan kepala mereka dalam-dalam.

"Mungkin takut, kalau Juragan galak." Jawabku lagi, aku lihat mata Juragan yang sipit itu melotot. Duh Gusti, mati aku.

"Iya seperti itu?" Tanyanya, ndhak percaya sama jawabanku rupanya. Mereka masih diam,

"Kalau ndhak jawab, ndhak akan aku beri upah buat hari ini, mau?" Semuanya menggeleng kompak, aku menunduk lagi.

"Inggeh Juragan, karena Juragan sebelumnya seperti itu. Ndhak mau tahu kesalahan pekerjanya, jadi kami takut, jika Juragan juga sama."

"Kalian ini kok lucu, masak iya berfikiran sekolot itu. Aku paling ndhak suka disama-samakan, apalagi disamakan dengan hal buruk seperti ini. Semoga ini menjadi hal yang terakhir, ndhak akan terulang lagi. Mengerti?"

"Inggeh Juragan."

"Bulek, ndhak usah lagi ke kebun. Lebih baik, Bulek duduk di rumah, buat anyaman bambu. Beberapa abdi dalemku sedang butuh, Bulek bisa membuatkannya, kan?"

"Terimakasih Juragan, terimakasih!" Aku tertaru melihat pemandangan itu, saat Budhe Sekar memeluk erat tubuh Juragan Adrian. Bahkan Juragan Adrian, ndhak marah atau jijik saat surjannya kotor semua karena baju Budhe Sekar yang kotor. Duh Gusti, terbuat dari apa toh Juragan satu ini, kok ada manusia sebaik beliau.

*****

"Ndhuk, Laras." Ku hentikan langkahku saat Paklek Marji memanggil. Ada apa ini? Apa Juragan marah karena sikapku tadi? Atau marah karena hal kemarin?

"Ada apa Pak lek?"

"Disuruh Juragan menghadap."

"Ndhak mau Pak lek, aku takut." Tolakku, aku takut jika beliau memarahiku, dan memukulku.

"Ndah usah takut, Ndhuk. Juragan Ndhak galak."

"Tapi aku sudah ndhak sopan Pak lek. Ohya Pak lek, beliay toh yang menyekolahkanku selama ini?" Pertanyaan ini yang sudah sejak lama ingin sekali ku tanyakan pada Paklek Marji. Pak lek mengangguk.

"Iya." Jawabnya.

"Kenapa Pak lek? Kok beliau mau menyekolahkan aku?"

"Kalau itu tanya beliau langsung."

"Tapi__"

"Ndhuk."

"Inggeh Paklek." Aku ndhak bisa membantah lagi, kok membantah sekarang sudah jadi hobiku toh.

Ku tata lagi kembenku sedikit malu, ini masih kemben yang tadi lho, masih kotor, kausnya juga, belum sempat aku memakai kebayaku. Lagi pula, aku juga belum sempat mencuci muka. Wajahku masih belepotan, duh Gusti, kok jadi gini toh aku, pingin terlihat cantik di depan Juragan. Ndhak boleh Laras, ingat, siapa kamu.

Sedikit terkejut melihat pondok kecil yang letaknya agak masuk ke lereng gunung, kok ada ya? Aku baru melihatnya, jika dilihat-lihat, pondok kecil ini berada tepat di atas perkebunan teh, tapi dari arah sebaliknya ndhak akan kelihatan.

"Masuklah, beliau di dalam." Kata Pak Lek Marji, sebenarnya aku ndhak berani, tapi orang tua ini terus saja memaksaku. Mau ndhak mau aku masuk juga.

Di sana, aku lihat Juragan Adrian sudah duduk dengan angkuh, di atas kursi kayu yang terbuat dari jati. Beliau menatapku, kemudian matanya seolah menyuruhku untuk mendekat, auranya kok bikin takut, ndhak seramah biasanya.

"Ada apa Juragan? Manggil saya?" Tanyaku, sambil jauh-jauh dari beliau, ndhak berani mendekat, nanti dicakar.

"Mreneo, Ndhuk (kesini nduk)," Perintahnya, aku maju selangkah lagi, sambil ku tundukkan wajahku.

"Ndhak mau mendekat aku paksa kamu duduk di atas pangkuanku."

"Ngapunten Juragan!" Aku langsung duduk di bawah sambil menggenggam kakinya. Takut, beliau benar-benar marah rupanya.

"Maaf kalau saya lancang kemarin, juga tadi Juragan. Maaf, kemarin saya benar-benar ndhak tahu kalau Njenengan (anda) ini seorang Juragan. Saya benar-benar ndhak tahu."

"Orang salah itu harus dihukum lho." Ku angkat wajahku memandang ke arahnya, dihukum apapun, aku siap, aku salah.

"Inggeh Juragan, saya siap." Kataku yakin.

"Ini kesalahan berat, jadi hukumannya banyak," Katanya lagi, aku mengangguk.

"Pertama, ndhak usah terlalu kaku sama aku, bisa? Aku ndhak suka kamu memanggilu Juragan, atau Njenengan, itu ndhak sopan."

"Lho, kok ndhak sopan bagaimana toh? Lalu yang sopan bagaimana?" Tanyaku bingung, beliau tersenyum. Haduh, penyakit jantungku tiba-tiba muncul lagi ini, suaranya itu lho, kok keras sekali. Apa Juragan mendengarnya ya? Jangan sampai, nanti aku malu.

"Yang sopan itu, panggil aku Kang Mas," Mataku melebar ndhak percaya, apa itu?

"Ini hukuman, wajib dilaksanakan." Tegasnya. Belum sempat aku membantah, beliau sudah berkata seperti itu.

"Inggeh Juragan." Jawabku, lagi-lagi matanya melotot, kemudian beliau turun, ikut duduk di bawah bersamaku.

"Hmmmm?" Tanyanya,

"Eh Kang, Mas." Ucapku kaku, baru kali ini aku memanggil seseorang dengan sebutan 'Kang Mas' rasanya ndhak enak sekali, apalagi yang ku panggil ini seorang Juragan.

"Ndhak boleh salah lagi, kalau salah dihukum."

"Kok dihukum terus, seperti anak sekolah." Gerutuku, beliau berdecak kemudian aku menunduk lagi.

"Kedua kamu harus sekolah lagi. Itu cita-citamu, kan?" Aku kembali menatap wajah tampannya. Orang tua ini?

"Itu bukan hukuman, tapi hadiah. Kenapa toh Kang Mas ini mau menyekolahkan aku, dari dulu sampai sekarang? Toh kenal aku juga endhak lho, apa untungnya untuk Kang Mas ini. Lalu kalau aku sudah pintar, toh aku juga bakal lupa sama Kang Mas ini juga, kok ya buang-buang uang untuk orang yang ndhak dikenal."

"Dulu, aku sedang merawat krisanku, menyiraminya sampai mekar. Sekarang krisanku sudah berbunga, dan siap untuk aku petik." Jawabnya, aku mengerutkan keningku ndhak faham.

"Aku ndhak faham, omongannya Kang Mas ini ruwet."

"Kamu mau tahu apa imbalan yang aku inginkan, Ndhuk?" Aku mengangguk lagi, ndhak mungkin aku hanya berterimakasih saja, toh beliau sudah sangat membantu.

"Kamu harus jadi simpananku. Bagaimana?" Aku langsung berdiri, aku yakin wajahku sudah merah sekarang.

"Ndah sudi aku! Apa itu, kalau ngomong mbok ya difikir dulu! Aku tahu, kalau aku ini anak simpanan, tapi ndhak usah bawa-bawa masa lalu Biungku seperti ini. Aku yakin, Juragan pasti tahu dari warga kampung toh, kalau aku ini anak simpanan, makanya Juragan berkata seperti itu. Ndhak baik Juragan, melecehkan seorang perempuan karena latar belakangnya. Aku fikir Juragan ini baik lho, ternyata dugaanku salah. Juragan ternyata sama saja dengan orang-orang kaya lainnya, yang memandang perempuan dengan sebelah mata."

"Kamu fikir simpanan bernilai seperti itu? Jadi, kamu juga berfikir jika Biungmu seperti yang difikirkan warga kampung?" Aku diam, bingung. Tentu saja toh ndhak, Biungku itu mencintai Juragan Zafaz, beliau bahkan rela ndhak menikah lagi meski sudah ditendang oleh Juragan Zafaz, aku tahu itu.

"Kalau kamu berfikir seperti itu, Nduk. Dan ndhak mau, aku juga ndhak akan maksa. Itu hak kamu, tapi hakku juga untuk berusaha merebut hatimu toh? Jangan larang aku."

"Tapi__"

"Sekarang duduk, aku ingin mengobati lukamu," Aku hanya bisa diam, saat beliau menuntunku untuk duduk di dipan. Membersihkan sikuku yang terluka karena terjatuh tadi. Sejak kapan Juragan Adrian memperhatikan? Bahkan aku saja ndhak tahu kalau sikuku luka.

"Perih, tahan." Perintahnya, aku mengangguk.

"Perih."

"Sebentar, biar endhak infeksi, biar cepat sembuh. Karena aku ndhak mau kamu ini kenapa-napa, ngerti? Mbok ya kalau apa-apa itu lebih hati-hati, jangan grusa-grusu (buru-buru), kalau kamu terluka seperti ini, bukan hanya kamu yang merasakan sakit, tapi aku juga."

"Yang punya tubuh aku kok Juragan yang terluka, kok lucu." Ketusku.

"Mungkin kamu ndhak sadar, tapi kamu itu berkali-kali sudah menorehkan luka padaku Ndhuk."

"Di mana? Ndhak ada."

"Di sini," Kali ini beliau menggenggam tanganku, menuntunnya kemudian diletakkan di dadanya.

"Di hatiku, ada luka menganga yang kamu torehkan, sejak dulu."

"Ngapusi!" Bantahku, ku tarik tanganku dari genggamannya, aku ndhak mau beliau tahu jika aku sedang grogi.

"Sak tenane aku ora ngapusi, aku tresno sliramu. (Sejujurnya aku tidak berbohong, aku cinta kamu)."

"Nembang." Cibirku. Beliau tertawa kecil kemudian mengelus rambutku, seperti seorang Bapak yang mengelus sayang rambut puterinya.

"Laras pinter kok sekarang, makanya ndhak bisa dirayu." Katanya, aku tersenyum melihatnya tersenyum ke arahku.

"Lagi pula Kang Mas ini lucu kok, masak iya ada luka menganga di hati tapi Kang Mas masih hidup, yang ada seharusnya Kang Mas ini sudah mati."

"Lho ya, sudah manggil aku Kang Mas toh? Wah sebentar lagi, kamu akan jatuh cinta sama aku Laras, pasti itu," Wajahku memerah, aku menunduk lagi, sambil memukul-mukul bibirku. Duh keceplosan.

"Jangan dipukul pakai tangam bibirnya," Katanya, aku menatapnya sambil merengut.

"Pukul saja dengan bibirku, gimana? Mantep toh?"

"Ndhak mau, jijik liurnya Juragan."

"Lho, vitamin iku Ndhuk."

"Nanti Laras kena rabies."

"Ya ndhak mungkin, itu menyehatkan lho. Dicari banyak wanita."

"Ngapusi!"

"Mau bukti? Sini tak sun!"

"Ndhak ah Kang Mas, mesum!"

"Hahaha Larasatiku isin (malu) toh."

"Kang Mas!!"

*****

Seharian ini aku seperti orang edhan (gila), duh Gusti aku ini kenapa toh ya? Kok bisa senyum-senyum terus seperti ini. Apa yang salah dari aku toh? Apa aku ini kebanyakan minum jamu ademan dari Simbah? Masak iya, efek sampingnya jadi edhan seperti ini, bahaya ini.

"Ndhuk, kok mengsam-mengsem itu ada apa toh? Kayak orang kasmaran saja." Simbah menegurku, aku menunduk malu, kemudian mengikuti langkah Beliau. Duduk di depan rumah sambil membantu beliau mengambil kerikil yang ada di beras, untuk dimasak nanti.

"Iya, Mbah. Cucumu ini mungkin lagi kasmaran, sama Danu." Tambah Bulek, kok Danu toh.

"Kasmaran sama siapa toh Bulek, Simbah. Ada-ada saja. Ndhak ada laki-laki yang buat Laras kasmaran, ini mungkin karena kebanyakan minum jamu ademan itu lho Mbah, makanya Laras jadi kayak orang edhan."

"Edhan kok nyalahin jamunya, yo ndhak bisa. Mungkin kamu ini belum kawin-kawin, makanya kamu edhan, Ndhuk."

"Duh Simbah ini, doanya jelek sekali." Gerutuku, kok ada Simbah yang mendoakan cucunya gila hanya karena ndhak nikah-nikah.

"Makanya toh, cepat kawin. Cari sana anak kampung lain, kami ndhak butuh kok yang kaya, cukup yang pekerja keras saja, ya kan Mbah?" Kali ini Bulek bersuara, aku menunduk lagi, aku belum siap nikah, tapi ndhak ada yang mau mengerti.

"Sebenarnya, Laras ini belum ingin nikah lho. Laras masih ingin sekolah." Kataku jujur, ku lihat Simbah dan Bulek terdiam, kemudian keduanya saling pandang.

"Walah Ndhuk-ndhuk, kamu ya tahu toh kalau Simbahmu ini ndak punya apa-apa, orang kere (miskin), untuk makan saja harus ngutang di Supinah, kok mau minta kuliah. Kalau saja Simbahmu ini Juragan, pasti kamu sudah Simbah kuliahkan, biar pinter, biar jadi guru."

"Ngapunten Mbah, aku ndhak bermaksud buat Simbah dan Bulek sedih. Tapi, tolong, ndhak usah paksa Laras kawin, Laras belum siap."

"Iya, kami ndhak akan memaksamu kawin lagi. Bekerja saja yang bener, nanti uangnya dikumpulkan, untuk melunasi hutang-hutang kita, bagaimana?" Aku mengangguk meng-iyakan ucapan Bulek. Hutang kami banyak, dan kami harus membayarnya segera, karena Bulek Supinah sudah sering menagihnya, mencicil hutang itu juga seperti ndhak ada gunanya. Karena sampai sekarang ndhak lunas-lunas, kamu juga ndhak tahu kenapa.

Biarlah aku ndhak kuliah, ndhak apa-apa, sekarang aku sudah mulai melepaskan mimpiku itu. Mungkin aku ingin membagi sedikit ilmuku, dengan anak-anak kecil yang ada di kampung. Semoga saja orang tua mereka mengijinkan. Setidaknya ilmuku ini berguna, meski ndhak untukku berkerja, tapi setidaknya bisa berguna untuk orang lain.


Mariam, Biung Larasati

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top