LARASATI #3
Kehilangan yang paling menyakitkan di dunia ini adalah... kehilangan yang disebabkan oleh kematian. Sebab... kita ndhak bisa memohon agar dia bisa kembali. Yang bisa kita lakukan hanyalah... mendoakannya dalam diam. Dan, dengan rasa sakit yang mendalam.
Aku ndhak tahu harus berkata apa, saat aku berada di Kemuning. Meyaksikan tubuh Kang Mas yang terbujur kaku di dalam kamarnya. Bahkan... banyak orang yang berusaha untuk merawat mayat Kang Mas pun percuma. Sebab, istrinya---Larasati, melarang keras siapa pun mendekatinya.
Apakah dia itu bodoh? Ndhak melihatkah tubuh Kang Mas yang sudah kaku itu? Ndhak bisa melihatkah tubuh Kang Mas yang sudah membiru itu? Bahkan... perut Kang Mas membesar mengalahkan perutnya. Bau ndhak enak tercium sangat kentara dari sana.
Bangsat! Tua bangka itu telah berlaku begitu menjijikkan dengan Kang Masku. Beraninya dia membunuh Kang Masku dengan cara seperti ini!
Bajingan! Beraninya dia memperlakukan Kang Masku seperti ini? Kang Mas adalah orang yang baik! Beliau Juragan yang baik kepada siapa pun! Tapi, kenapa tua bangka itu berlaku semena-mena!
Ndhak sadar, kedua tanganku mengepal. Segera kusuruh Marji dan Wisnu untuk keluar. Bukannya aku ndhak ingin mereka membantu. Lihatlah, betapa beringas Larasati saat ini. Dia terus saja menolak jika suaminya sudah mati. Terlebih... aku ndhak mau, tubuh polosnya tanpa busana menjadi tontonan setiap orang. Biar bagaimanapun, Larasati adalah istri Kang Mas. Juragan di Kemuning, yang secara ndhak langsung... dia adalah seorang Ndoro terhormat di sini.
Terlebih, mengingat pesan terakhir Kang Mas, untuk menjaganya bagaimanapun caranya. Meski di mataku, dirinya tetap ndhak akan berubah. Sebab sekali simpanan... selamanya akan menjadi, simpanan.
Setelah kejadian di kamar Kang Mas, tentunya kalian sudah bisa tahu sendiri apa yang selanjutnya terjadi. Sebab, Larasati sudah menceritakannya dengan apik meski mungkin kalian akan sedikit bingung.
Kami menikah, dinikahkan oleh dukun yang ada di Kampung juga sesepuh Kampung. Ketahuilah, di sini... aku bercerita tanpa menyangkut—pautkan keyakinan mana pun. Kehidupan kami cukup primitif, sehingga pemikirian primitif itulah yang memaksa kami untuk mempercayai hal-hal yang bersifat... mistis.
"Juragan—" ucap Marji setelah aku pulang dari kuburan.
Setelah membawa Larasati di kamarnya, aku segera keluar kemudian, melarang Marji untuk mengucapkan sepatah kata pun.
Aku sudah cukup lelah, sungguh. Jadi aku ndhak butuh ceramah dari siapa pun termasuk Marji.
"Juragan..." ucapnya lagi yang kini membuntutiku masuk ke dalam kamar.
Kulepas surjan hitamku, jarikku pun slop serta blankonku kemudian kuberikan padanya.
"Seharusnya Juragan Muda berada di kamar Ndoro Larasai, bukan di—"
"Buang surjan ini atau bakar." potongku. Memberikan surjanku kepadanya.
Dia tampak kaget, lihatlah matanya yang lebar terbelalak semakin lebar. Tapi, aku ndhak peduli.
"Kenapa, Juragan?"
"Aku ndhak sudi, memakai pakaian yang telah disentuh oleh Larasati."
"Tapi—"
"Tinggalkan aku sendiri, Marji."
"Inggeh, Juragan Muda."
Aku tahu Marji enggan meninggalkanku, namun... siapa yang peduli? Aku sama sekali ndhak peduli dengan Marji. Aku juga ndhak peduli dengan Larasati. Aku ndhak sudi untuk tidur di ruang yang sama dengannya, terlebih... di dipan yang sama dengannya.
Cih! Lebih baik aku tidur dengan kambing yang ada di kandang!
"Nathan...."
Kuedarkan pandanganku, mencari asal suara itu. Aku sangat hapal itu suara siapa. Itu adalah... suara orang yang begitu kurindu, suara orang yang baru saja meninggalkanku.
Mataku terasa panas, saat kulihat bayangannya yang berdiri di pojokan kamar. Sambil memakai surjan berwarna hitamnya. Beliau melipat kedua tangannya seperti biasa di belakang punggung, dengan senyuman yang seperti biasa. Senyuman jenakanya.
Dan, entah bagaimana... air mataku luruh begitu saja. Aku yakin... itu hanyalah bayangan. Namun, aku selalu berharap jika itu adalah benar-benar beliau. Kang Masku.
"Kang Mas..."
Aku langsung luruh. Entah kenapa, kedua kakiku ndhak mampu untuk menopang tubuh. Rasanya aku kembali hancur, terlebih... ketika bayangan itu menghilang dari pandangan. Dan untuk kali kedua, aku kembali ditinggalkan oleh orang yang kusayang. Lalu, bagaimana nasibku setelah ini?
Aku ndhak punya siapa-siapa, terlebih... aku harus mengemban beban yang begitu berat sebelum aku siap. Aku belum sanggup, mengatur Kampung-Kampung layaknya seorang Juragan. Terlebih... aku belum sanggup menerima kenyataan jika perempuan simpanan itu adalah istriku.
Aku masih mengingat, memori beberapa waktu yang lalu. Saat Kang Mas memintakan Asih untuk kupersunting. Beliau tampak lebih bahagia dari pada aku, beliau sampai membelikanku surjan baru.
Duh Gusti... andaikan waktu itu bisa diulang lagi. Maka, akan kuhentikan waktu agar Kang Masku ndhak akan pernah pergi. Bagiku, Kang Mas bukan hanya sekedar Kang Mas... namun beliau juga adalah Romo—dan—Biungku.
==000==
Dan sebulan setelah kejadian mengerikan itu, sebulan juga semuanya berubah. Kemuning ndhak seperti Kemuning yang dulu. Kemuning seperti Kampung mati. Seperti pejalan yang kehilangan arah, seperti orang yang kehilangan pelitanya, dan seperti perawan yang kehilangan senyuman.
Apa yang bisa kulakukan? Aku hanya diam, aku ndhak tahu harus berbuat apa untuk Kampung ini. Sebab aku merasa, apa pun yang kulakukan semuanya salah. Semuanya ndhak pernah cocok untuk Kampung ini. Untung ada Wisnu juga Marji, pula dengan Sobirin... mereka-merekalah yang selalu ada di sampingku. Membantuku.
Terlebih di kediaman Kang Mas. Maksudku... di kediamanku. Masuk ke sana ibarat kata seperti masuk ke dalam neraka. Semuanya berantakan, ndhak ada canda—tawa. Yang ada hanya... teriakan dan tangis pilu oleh para abdi dalem rumah.
Ya... jelas, siapa penyebabnya kalau bukan Larasati. Ndoro dari para abdi dalem itu seolah sudah kehilangan jiwanya. Bagai sekar yang kehilangan sari pun aroma, dan bagai tubuh yang kehilangan nyawa.
Dia gila, dia kehilangan kewarasannya. Bahkan, tubuhnya yang molek dengan perut besar itu, sering sekali tanpa busana.
Dia meraung kesetanan, dia menjerit—bahkan—tertawa. Tatkala memorinya mengingat kenangan-kenangan bersama Kang Mas. Terlebih... di setiap fajar mulai menyingsing, dia selalu menyelipkan sekar melati di telinganya. Berjalan ke arah makam atau perempatan jalan, sambil menembangkan tembang-tembang kenangannya bersama Kang Mas.
Lihatlah... betapa dulu tubuhnya yang putih tampak bersinar dan bersih karena selalu memakai mangir setiap hari. Kini... tubuh itu sudah ndhak terawat. Tubuh itu penuh dengan kotoran dan membuatnya kumuh.
Lihatlah... betapa dulu rambutnya yang hitam berkilauan panjang itu tercium begitu harum karena selalu memakai merang dan wangi-wangian. Kini, rambut itu tampak kumal. Bahkan aku yakin, banyak kutu yang bersarang di sana.
Lihatlah... betapa dulu giginya yang berjajar rapi tampak putih dan terlihat segar karena sering disikat dengan arang. Kini... gigi itu tampak kekuningan karena ndhak pernah diurus siempunya.
Bahkan... ndhak jarang, perempuan yang dulunya menjadi kembang Kampung itu berak dan buang air kecil di sembarang tempat yang dia inginkan. Atau kalau ndhak begitu, dia melakukannya di kamar.
Kini, apa yang tersisa dari seorang Larasati? Seorang perempuan Kampung yang begitu dibangga-banggakan Kang Masku. Kini, apa yang mampu dibanggakan dari seorang Larasati? Bahkan... sekarang, rasa kasihan bercampur jijiklah yang dia terima setelah kepergian Kang Masku.
Lalu, apa yang harus kulakukan setelah itu semua? Aku ndhak mampu melakukan apa-apa.
Aku hanya bisa diam, saat dia dengan senyuman lebar berlari ke arahku dan menganggap aku sebagai suaminya—Kang Mas.
Memelukku dan melompat-lompat seolah dia ndhak sadar jika sedang hamil besar. Atau bahkan, dia memaksaku untuk tidur dengannya di atas dipan dan memelukku erat-erat di sana. Dan, yang lebih ndhak masuk akalnya lagi... dia sering merajuk minta kelon. Namun setelah itu, dia menangis kesetanan dan mendorongku pergi.
Aku ndhak bisa mengasarinya seperti dulu. Pun aku ndhak mungkin mau jika harus bercumbu dengan perempuan ndhak waras seperti itu. Bukan karena dia menjijikkan dan bau. Hanya saja, aku ndhak akan bisa melanggar prinsipku tentang Larasati. Tentang kebencianku yang teramat sangat kepadanya. Meski untuk sebulan ini, semua kebencian dan rasa jijikku selalu kutahan.
"Ini ndhak baik, Juragan," ucap Marji pada suatu sore di dipan belakang rumah.
Aku baru saja dari kamar Larasati, dan menyuruhnya untuk tidur. Meski aku ndhak yakin, apakah dia di sana akan benar-benar tidur. Tapi, setidaknya... kusuruh Amah dan Sari untuk selalu mengawasinya.
"Kandungan Ndoro Larasati sudah tua. Bahkan, menurut dukun bayi... tinggal beberapa minggu lagi Ndoro Larasati akan melahirkan. Tapi, jika seperti ini terus... maka ndhak akan baik untuk bayi serta beliau, Juragan Muda."
"Lalu?" kutanya, Marji tampak berpikir keras.
"Ndhak akan mempan jika dukun yang Juragan Muda suruh untuk mengobati Larasati. Lihatlah, Juragan... berapa puluh dukun saja yang panjenengan panggil untuk mengobatinya namun berakhir sia-sia," Marji semakin mendekatkan duduknya denganku, kemudian... dia menunduk semakin dalam.
"ngapunten, Juragan Muda... Ndoro Larasati ini bukan ndhak waras karena disebabkan oleh dukun, toh... beliau ini, yang tergoncang batinnya. Ibaratnya, beliau ini kejiwaannya ndhak mau menerima kepergian Juragan Adrian. Itulah sebabnya Ndoro Larasati seperti ini, Juragan. Seandainya bisa, seharusnya... kita memerlukan orang-orang yang dekat dengannya, untuk berbicara baik-baik kepada Ndoro Larasati. Siapa tahu, Ndoro Larasati mau menerima semua ini setelah berbincang dengan orang yang dianggapnya aman, Juragan."
"Jadi menurutmu, apa yang kulakukan selama ini untuk menyembuhkannya itu salah?"
"Ngapunten, Juragan... bukan seperti itu, hanya saja—"
"Iya, apa yang panjenengan lakukan selama ini salah, Juragan. Yang menderita itu batin Ndoro Larasati, beliau bukan gila karena ulah dukun. Lagi pula... perlakuan dingin Juragan juga malah semakin membuatnya terpuruk. Jikalau Juragan ingin membuat Larasati sembuh, cobalah untuk mendekatinya dengan hati, Juragan... dengan perasaan. Bukan dengan rasa jijik atau marah yang Juragan Nathan berusaha untuk pendam. Sebab, batin Larasati akan tahu... mana yang ikhlas dan mana yang ndhak ikhlas merawatnya."
Cih! Pemuda sok tahu ini, berusaha memberiku ceramah juga, rupanya! Siapa yang peduli dengan ucapan Wisnu. Dia juga sama saja dengan Marji. Dia bilang agar aku merawat Larasati dengan hati dan perasaan? Ndhak punya otak, dia. Merawat orang, ya... harus pakai tangan!
"Ck! Tahu apa kamu tentang aku? Dasar pemuda ndhak tahu malu!" ketusku. Wisnu malah tertawa.
"Aku cukup tahu, toh... terlebih, saat Juragan Nathan membuang surjan-surjan Juragan atau membakarnya setelah mendekati Ndoro Larasati. Memangnya, Juragan Nathan ndhak takut surjannya habis? Atau... pasar yang menjual surjan juga habis? Beliau itu sakit, Juragan... dan sakitnya ndhak menular. Bagaimana bisa Juragan memperlakukannya seperti orang yang memiliki penyakit menular. Pura-pura baik, itu ndhak akan menjadikan dirimu menjadi baik."
"Jika kamu lebih peduli dengan Larasati, dan lebih tahu bagaimana cara merawatnya. Lalu, kenapa ndhak kamu saja yang menikahinya?"
Semua diam, bahkan... mulut Marji menganga lebar. Sementara mulut Wisnu terkatup rapat-rapat karena ucapan pedasku. Aku berdiri, kemudian menebas surjanku yang terasa lebih kotor dari pada tadi. Sebelum pergi, kulirik keduanya yang tampak takut.
"Seleraku bukanlah sampah bekas orang lain, Wisnu... itulah yang membedakanku denganmu."
==000==
Seminggu ini, aku mengutus Marji mengundang Simbah dan Bulek Larasati untuk bertandang. Bahkan, kadang-kadang... aku menyuruh Amah dan Sari untuk sekedar bercakap dengan Larasati.
Aku paham, jikalau sakit Larasati disebabkan karena guncangan mental. Atau bahkan, akibat karena ndhak rela jika orang yang paling dicintainya mati. Dan, bukankah aku sudah cukup peduli untuk mengurusi Larasati? Lalu... kurang peduli apa aku dengannya?
Apakah jika Larasati sampai saat ini masih ndhak waras, masih gila, itu karena salahku? Tentu saja bukan! Itu karenanya sendiri! Karena dirinya sendiri yang ndhak mau menerima kenyataanlah yang membuatnya seperti ini! Karena dia ndhak peduli dengan orang lain lah yang membuatnya seperti ini. Lalu kenapa aku yang menjadi salah atas semua yang dilakukan Larasati? Perempuan sampah itu? Ck! Sialan!
Pagi ini aku tengah bersiap, sengaja aku ndhak berangkat ke kebun. Urusan kebun untuk hari ini kuserahkan sepenuhnya kepada Wisnu dan Sobirin. Hanya ada aku, Marji, Amah dan Sari, pula dengan beberapa abdi dalem yang bertugas di dapur yang berada di rumah. Sebab, aku menginginkan keadaan sepi. Tanpa ada abdi dalem laki-laki yang ada di sini.
"Marji, jika urusanmu sudah selesai... pergilah," perintahku. Berjalan ke arah kamar Larasati. Namun rupanya, laki-laki tua itu terlalu sayang kepada Larasati. Lihatlah, betapa dia khawatir jika Ndoro tercintanya akan aku sakiti.
"Bagaimana, apakah sudah ada perubahan setelah kamu memanggil Simbah juga Buleknya bertandang ke sini?" kutanya, sembari masih berjalan dan menilai apakah surjanku sudah terpasang dengan sempurna.
Sedikit terseok Marji mengikuti langkahku, dengan setengah membungkuk dia memandangku takut-takut.
"Juragan... semuanya butuh proses, toh... ndhak mungkin orang sakit langsung akan sembuh dalam waktu seminggu. Apalagi ini—"
"Jadi," kataku bersamaan denganku menghentikan langkah. Raut wajah Marji tampak cemas. "Larasati ndhak sembuh?"
"Juragan—"
"Larasati ndhak sembuh." jawabku sendiri. Marji menunduk semakin takut.
Aku sudah hilang akal, apalagi yang bisa kuperbuat untuk menyembuhakan perempuan gila itu. Aku sudah hilang sabar, terus pura-pura peduli padanya. Seharusnya... Kang Mas ndhak menimggalkanku dengan beban seberat ini.
"Kang Mas!"
Seruan itu kembali memekakan telinga. Tatkala kubuka pintu kamar ini dan aku mulai memasukinya. Senyum merekah dari bibirnya yang merah, serta gerakan gusar yang ditampilkan dari pemilik suara. Ada setangkai bunga mawar merah terselip manis di antara telinga dan rambutnya yang ndhak terawat. Tubuh lusuhnya bergerak-gerak gelisah bersamaan dengan aroma ndhak sedap yang tercium begitu tajam.
"Kang Mas!" teriaknya lagi.
Setengah berlari dia menghampiriku, memeluk tubuhku dengan begitu erat. Lihatlah, bagaimana kotornya jarik yang digunakan sebagai kemben itu. Terlihat jelas ada bekas ompol di sana. Tapi, sipemilik seolah ndhak peduli. Sebab baginya, dia sudah berdandan cantik hari ini.
"Ngapunten, Juragan..." ucap Sari takut-takut, setelah dia berlari dengan cepat menuju ke arahku, mencoba untuk menarik tubuh Larasati dariku.
"Saya ndhak bisa membujuk Ndoro Larasati untuk mandi lagi. Sedari pagi, saya dan Amah mencari Ndoro Larasati. Rupanya, beliau sedang berada di makam, Juragan" jelasnya, yang sudah sering kudengar. Sebab, alasan itu adalah alasan yang dilontarkan selama sebulan lebih ini.
"Sari, kamu ini bagaimana, toh! Bagaimana bisa, kamu menyuruhku untuk ndhak memeluk Kang Mas? Beliau ini Kang Masku! Kang Masku Juragan Adrian!" marah Larasati. Mencakar tangan Sari, kemudian kembali memelukku.
Ingin rasanya kubuang tubuh itu saat ini juga, namun... logikaku sebagai manusia menolak. Dia perempuan gila, dan bersikap sedikit baik haruslah kulakukan. Dan aku sudah mulai terbiasa dari sebulan yang lalu. Namun, aku juga ndhak dapat memastikan, sampai kapan semua rasa jijik dan muakku terus tertimbun di dalam hati. Aku takut, jika rasa itu meledak sewaktu-waktu.
"Ndhuk... mandilah, aku akan menunggumu di sini." perintahku, tapi aku sudah tahu... apa jawaban yang akan diberikan oleh perempuan gila itu.
"Ndhak! Aku ndhak mau mandi! Kalau aku mandi, Kang Mas pasti akan pergi lagi, toh? Kang Mas pasti akan meninggalkan Larasati lagi! Laras ndhak mau, Kang Mas! Rasanya ditinggalkan itu sangat menyakitkan."
Dan, entah bagaimana... ucapan terakhir Larasati mampu membuat hatiku hancur. Aku juga merasakan sakit, sama sepertinya. Lantas, apakah yang membuatnya sampai seperti ini? Apakah rasa sakitnya lebih dari yang aku alami? Ndhak... tentu saja itu ndhak mungkin terjadi.
"Sari... Amah, tinggalkan kami sendiri."
"Tapi, Juragan—"
"Siapkan arang, merang, dan sabun pelok* aku akan memandikannya." (seperti sabun kodok, tahu? XD)
Kutarik tangan Larasati, kemudian kuajak dia keluar dari kamar. Sedikit tertatih dia berusaha untuk mengikuti langkah besar-besarku. Kuabaikan teriakan Marji, yang seolah takut jika Larasati kubunuh, atau kukuburkan dia hidup-hidup. Aku manusia, meski aku sangat membencinya, aku ndhak akan sekejam itu membunuh Larasati.
Yang aku ingin lakukan hanyalah, menyelamatkan keponakanku. Dari rahim perempuan ndhak waras seperti dia. Keponakanku adalah titipan Kang Mas, dan aku ndhak mau menyakitinya.
"Juragan... mau dibawa ke mana, toh, Ndoro Larasati... Juragan, Ndoro ini ndhak bisa dikasari, Juragan... saya mohon—"
"Diam kamu, Marji! Diam dan menyingkirlah dari sini!
"Tapi, Juragan—"
"Aku mau memandikannya." jelasku. Marji berhenti, dia pun terdiam di tempatnya. Dengan kasar dia mengusap air matanya, kemudian dia menunduk lagi. Begitu kejamkah aku di matanya? Begitu jahatkah aku pada Larasati di matanya?
"Tolong jangan sakiti Ndoro Larasati, Juragan... beliau sudah sangat menderita karena kepergian Juragan Adrian. Tolong, jangan sakiti Ndoro Larasati lagi."
Marji, Sari dan Amah berlutut di depanku. Menangis seolah memohon untuk dikabulkan apa yang mereka minta. Dadaku sesak, kenapa harus seperti ini? Seolah-olah aku di matanya, seperti Romo biadab yang telah menyakiti Biung di mataku.
Aku diam, ndhak membalas permohonan mereka. Kutarik tangan Larasati, kemudian kumasukkan dia di dalam kiwan* (kamar mandi zaman dahulu kala). Dia berdiri, menghadapku dengan tatapan bingung. Mata hitamnya yang mati, seolah-olah mencari tahu untuk apa aku membawanya ke sini.
"Kang Mas—"
"Duduk!" perintahku, dia pun duduk dengan patuh. Duduk di bawah sambil memeluk kedua kakinya yang aku yakin, jika itu sangatlah sulit. Mengingat, perutnya yang begitu besar.
"Lepaskan pakaianmu. Aku akan memandikanmu."
"Ndhak... aku ndhak mau mandi! Aku mau dengan Kang Mas, aku ndhak mau ditinggal Kang Mas! Aku takut, jika aku mandi... Kang Mas akan pergi! Aku takut, jika aku memejamkan mata, maka Kang Mas ndhak ada di sini lagi!"
"Larasati!"
Dia diam, matanya mengisyaratkan keterkejutan. Terlihat memerah dan berkaca-kaca, dan itu sangat menyakitkan. Dia takut, aku tahu jika dia takut.
"Kamu bukan Kang Masku, kamu bukan Juragan Adrian! Kang Masku ndhak mungkin membentakku seperti itu!"
"Aku memang bukan Kang Masmu! Aku bukan Juragan Adrianmu! Aku Nathan! Aku Juragan Nathan dan berhentilah memanggilku sebagai Kang Masmu!"
Dia menutup kedua telinganya dengan tangan, seolah-olah, menolak ucapanku jika itu benar. Lihatlah, betapa mata merahnya mencari-cari kebenaran.
"Ndhak...." lirihnya.
"Kang Masmu itu sudah mati!"
"Ndhak! Kang Masku belum mati!"
BRAK!
Kubanting gayung yang sedari tadi kubawa sampai hancur, dan itu berhasil membuat Larasati kaget. Dia langsung diam, air matanya luruh begitu saja di kedua pipinya.
"Berhentilah bermimpi! Berhentilah mengatakan hal memuakkan! Berhentilah berbicara omong kosong dan bangun! Lihatlah kenyataan! Kang Mas Adrian itu sudah mati! Beliau mati meninggalkan kita, dan berhentilah menyakiti dirimu sendiri dengan seperti ini, Larasati!"
Kuacak rambutku, aku ndhak tahu harus berbicara apa agar perempuan ndhak waras ini mengerti. Agar dia mau menerima kenyataan yang memang menyakitkan ini.
"Yang kehilangan beliau itu bukan hanya kamu! Yang merasa kehilangan dan sakit juga bukan hanya kamu! Aku juga merasakan sakit yang sama denganmu! Marji, Sobirin, dan abdi dalem yang lain pun sama! Jadi berhentilah bersikap seperti ini, Larasati. Berhenti!"
"Kang Mas...."
"Beliau memilih jalan ini untukmu, untuk melindungimu... jadi hargailah apa yang telah menjadi keputusannya. Jangan sia-siakan apa yang telah beliau berikan padamu."
"Aku ndhak mau seperti ini! Aku ndhak mau Kang Mas melindungiku dengan cara seperti ini! Aku ndhak mau! Lebih baik aku mati, jika lara ini aku genggam sendiri. Lebih baik aku yang mati, bukan Kang Masku! Kamu ndhak akan pernah tahu, rasanya kehilangan itu sangat menyakitkan! Kamu ndhak akan pernah tahu bagaimana jadi aku!"
"Aku tahu!"
Aku duduk, kugenggam kedua bahunya yang bergetar. Mata hitam itu, perlahan tampak hidup. Mata hitam itu, perlahan mulai mengenaliku.
"Jika Kang Mas adalah suamimu, maka... Kang Mas adalah satu-satunya keluarga yang kumiliki. Jika Kang Mas adalah belahan jiwamu, maka itu pun berlaku untukku juga, Larasati... percayalah. Dan kumohon, berhenti bertingkah seperti ini. Jika itu bukan untuk dirimu, setidaknya... lakukan untuk calon bayimu. Buah hatimu bersama dengan Kang Masku, suamimu. Calon keponakanku. Apakah kamu mau melihat titipan satu-satunya dari Kang Mas menderita karena ulah bodohmu? Apakah kamu mau buah cinta kalian akan terancam nyawanya hanya karena Biungnya yang memiliki mental lemah seperti ini? Apakah kamu mau jika buah hatimu bersama Kang Mas mati? Jika kamu ingin mati... itu sama saja kalau kamu membunuh buah hatimu bersama dengan Kang Masku. Apa itu yang kamu inginkan, Larasati? Benar kamu mau seperti itu? Ndhak, toh?"
Dia diam, ndhak lagi menjawab ucapanku. Tapi, air matanya yang mungkin dipendam selama ini semuanya tumpah begitu saja. Dan semoga, dia sadar tentang salahnya. Dan semoga, dia mau bangkit demi calon bayi yang tengah berada di rahimnya.
"Kang Mas..." lirihnya lagi. Dan itu, terdengar begitu menyakitkan.
"Bukalah kembenmu, aku akan memandikanmu."
Dia melakukan apa yang kuperintahkan, kemudian mulai kusiram tubuhnya yang kotor. Namun, belum sempat kukeramasi Larasati, lagi-lagi, perempuan itu memelukku. Tangisannya terpecah sambil meraung-raung menyebutkan nama Kang Masku.
Ndhak apa-apa, untuk sekarang aku akan menerima apa saja yang akan dia lakukan padaku. Namun setelah ini, jangan harap aku mau disentuh olehnya. Ndhak... ndhak akan lagi.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top