LARASATI #2


Sudah hampir 5 tahun aku diasingkan di tempat orang. Tapi, selama 5 tahun juga aku ndhak berdiam diri seperti orang bodoh di Sumatera. Aku bukanlah Kang Masku, yang saat diperintah untuk diam, maka aku akan benar-benar diam. Atau, saat aku diperintah untuk menjulurkan lidah, aku akan benar-benar menjulurkan lidah.

Aku bukan binatang peliharaan siapa pun. Aku manusia, Adhimas dari manusia pun anak dari manusia. Yang kebetulan, Romo dari anak itu adalah Romo... biadab.

Rasanya ndhak perlu kujelaskan di sini bagaimana sikap Romoku. Kurasa, sudah cukup jelas bagaimana bangsatnya dia dari apa-apa yang telah diceritakan Larasati. Dia, bukan hanya menyiksaku, bukan pula hanya membuat Biungku disebut sebagai orang gila. Bahkan, dia juga telah merenggut satu-satunya orang yang paling dekat denganku. Yaitu... Kang Masku, Juragan Adrian.

Alasanku dulu kuliah di Jawa bukan untuk apa-apa. Hanya saja, aku ingin sekedar bertemu dengan Biungku yang sejak dari kepergianku ke Jambi, beliau dipasung.

Percayalah, Biung bukan gila seperti apa yang dituduhkan oleh Marji di cerita terdahulu. Aku lebih tahu Biung, bahkan lebih dari Kang Masku sendiri.

Biung dibuat seolah-olah gila, oleh laki-laki jahanam yang telah menikahinya. Hanya untuk apa? Agar harta warisan Biung semua jatuh ke tangannya. Dan, agar dia bisa dengan leluasa menikahi pun menjamah para perempuan jalang yang dia suka. Ndhak... ndhak, kurasa ndhak begitu. Sebab, bagiku... suka dari kaca mata Romo bukanlah jenis suka ingin menjaga. Namun, perasaan suka yang ingin menjamah dan menikmati saja. Setelah puas, mereka akan dilempar seperti sampah.

Dan, itu adalah satu-satunya alasan terbesarku untuk ndhak mau jatuh hati. Dan membenci apa pun yang berhubungan dengan kata 'cinta'. Sebab, cinta yang dikenalkan Gusti Pangeran kepadaku adalah, cinta Romo yang menghancurkan kehidupan Biungku. Cinta yang dikenalkan Gusti Pangeran padaku adalah, cinta Kang Mas yang tega membuang Adhimasnya sendiri. Lalu, apakah aku masih harus percaya dengan cinta?

Ck! Sialan jika aku masih percaya! Semua orang mengatas namakan cinta untuk menyakiti orang lain. Dan, aku sangat membencinya!

Jika pun nanti, aku menikah. Aku ndhak akan peduli dengan urusan hati. Sebab, bagiku... hal pertama yang harus pada diri calon istriku adalah, dia perempuan baik-baik. Dia bukan seorang simpanan atau pun jenis perempuan jalang lainnya. Untuk masalah hati, itu urusan nanti. Hati pasti akan bisa saling mengerti seiring berjalannya waktu, tanpa ada yang harus disakiti. Sebab prinsipku, aku ndhak ingin memiliki banyak istri. Karena, aku ndhak ingin mengulang kesalahan yang dibuat oleh Romoku. Meski aku harus menentang hukum sialan yang mengharuskan seorang Juragan memiliki lebih dari seorang perempuan.

"Seharusnya, Juragan Muda ndhak harus seperti ini," ujar Marji.

Saat ini, aku sedang berada di belakang gubug kediamanku. Menyamar menjadi seorang abdi dalem Romo hanya untuk bertemu dengan Biung. Mana mungkin aku datang langsung sebagai Nathan. Aku tahu pasti, bukan hanya Romo, bahkan... Kang Mas pun pasti akan mengusirku, dan aku ndhak mau itu.

Aku rindu Biung, salahkah jika aku merindukannya? Merindukan orang tua yang dipaksa gila demi sebuah kesenangan orang lain semata? Terlebih... sudah beberapa tahun ini kabarnya Biung dipasung. Sungguh biadap Romoku itu, aku bersumpah akan membalaskan apa yang telah dia lakukan pada Biungku. Dan, untuk memenuhi sumpahku itu, aku harus menjadi seorang Juragan Besar, aku harus berkuasa. Agar aku bisa membalaskan semua dendam yang telah ia tanam di dalam hatiku sedari dulu.

"Tangan Juragan berdarah." kata Marji lagi. Mengagetkanku saat ia berusaha menyentuh tanganku. Segera, kutarik tanganku dari genggamannya. Iya, tadi... tatkala aku bersimpuh untuk pamit dari kediaman Romo, salah satu istri sialannya menginjak tanganku dengan sengaja. Biarkan, ndhak apa-apa, aku ndhak peduli asal aku bisa bertemu dengan Biungku!

"Siapa yang mengurus Biung?" kutanya Marji, dia sejenak diam.

"Ada orang kepercayaan Juragan Adrian, Juragan... panjenengan ndhak usah cemas. Ndoro Putri akan baik-baik saja, percayalah."

"Jika Kang Mas bisa membuat Biung baik-baik saja, seharusnya beliau bisa membuat agar Biung ndhak diperlakukan seperti binatang!" marahku. Marji menunduk takut.

"Ngapunten, Juragan Muda... ngapunten!" ujarnya menunduk semakin dalam.

Kuusap wajahku dengan kasar, mencoba untuk menahan emosi. Aku ndhak mau, Marji takut kepadaku, kemudian dia buru-buru pergi dan ndhak memberiku informasi apa pun. Sebab, ndhak ada orang lain yang kupercaya sekarang selain dirinya.

"Jaga Biung... jaga Biungku." lirihku. Marji mengangguk kuat-kuat.

"Sebenarnya, Juragan... ada kabar yang belum Juragan tahu tentang Juragan Adrian beserta istri dan anak-anaknya."

"Apa itu?"

"Juragan Adrian pindah ke Karanganyar, Juragan. Tepatnya, di Kemuning."

Kukerutkan keningku ndhak paham. Kemuning? Di mana itu? Sepertinya, tempat itu ndhak asing? Lalu, bagaimana dengan nasib Biungku jika Kang Mas pergi ke Kemuning? Bagaimana bisa, Biungku ditinggal sendirian di sarang orang-orang jahat seperti ini?

"Lalu Biungku?"

"Sudah ada beberapa abdi dalem pribadi Juragan Adrian, Juragan Muda. Jadi, panjenengan ndhak usah khawatir. Jika Juragan Adrian masih berada di sini, beliau akan diatur-atur terus oleh Juragan Besar. Itu bahaya."

"Oh." kujawab. Memang, harus kujawab apa? Bagiku, hanya lelaki pengecutlah yang selalu lari dari masalah. Namun bukan berarti, aku ndhak pengecut. Sebab, aku lebih pengecut dari itu. Karena selalu memendam masalah... sendiri.

"Di Kemuning, Juragan Adrian tengah berusaha."

"Usaha?" kutanya. Marji mengangguk semangat.

"Larasati." dijawab.

Seketika, mendengar nama itu, memori lamaku berputar kembali. Ya, Larasati... perempuan ayu itu. Dia berada di Kemuning, tapi, omong-omong bagaimanakah parasnya sekarang? Bagaimana kehidupannya sekarang setelah disekolahkan Kang Masku?

Entah kenapa, aku jadi rindu. Dan, ingin bertemu dengan Larasati. Ah... sial! Memangnya siapa perempuan itu sampai lancang telah membuatku rindu!

"Bagaimana dia?" kutanya lagi. Tampaknya, Marji sedikit bingung. "Tentang hal-hal yang harus diperhatikan Kang Mas untuk Larasati, apa kamu sudah sampaikan semua pada Kang Masku?" kujelaskan. Dia manggut-manggut, tampaknya paham.

"Sudah, Juragan... maklumlah, Juragan Adrian ndhak bersekolah. Jadi, ndhak paham hal-hal semacam itu kalau Juragan Muda ndhak memberitahuku. Bahkan, Juragan Adrian sempat curiga, bagaimana bisa aku tahu hal-hal semacam itu."

"Lalu?"

"Aku pura-pura saja, tahu dari saudara jauhku, Juragan. Hehehe."

"Oh." jawabku lagi.

Aku hendak pergi, tapi, Marji buru-buru menyamai langkahku. Seolah-olah, dia masih ingin berbincang denganku. Untuk apa? Aku harus segera kembali ke Jambi. Sebab, masih banyak urusan yang belum selesai di sana. Aku harus jadi orang besar, aku harus menjadi seorang Juragan Besar. Agar aku bisa segera mengajak pergi Biung dari sini.

Aku ndhak tega setiap kali melihat air matanya, kemudian beliau berkata lirih kepadaku; "Nathan, Biung ndhak kuat... bawa pergi Biung dari sini, Nathan."

Duh Gusti, satu-satunya hal yang membuat hatiku diremas adalah melihat air mata Biung jatuh. Melihat derita Biung yang teramat sangat dan bodohnya, aku ndhak bisa melakukan apa pun.

"Nanti, kapan-kapan... Juragan Adrian ingin mempertemukan Juragan Muda dengan Larasati!" seru Marji yang telah kutinggal jauh.

Aku berhenti, segera kubalik badanku dan menatap ke arah Marji. Apa maksudnya semua ini? Aku sama sekali ndhak mengerti?

"Juragan Adrian sedang berusaha untuk Larasati, Juragan." ulang Marji yang semakin ndhak aku mengerti.

"Bicara langsung, ndhak usah banyak ucap!" sentakku. Marji menunduk dalam-dalam.

"Juragan Adrian dan Larasati, saling jatuh hati."

Aku tertegun untuk beberapa saat mencoba mencerna apa yang baru saja diucapkan Marji. Menjaga hati? Kang Masku dan... Larasati?

Kukepal kuat-kuat jemariku sampai kuku-kukunya memutih, sontak semua rasa memenuhi dadaku. Rasa kecewa karena Kang Masku, terlebih... oleh perempuan ayu bernama Larasati.

Bisakah kusebut jika aku kecewa? Atau patah hati karena sikap jalangnya itu? Maksudku, perempuan yang awalnya kupikir adalah perempuan Kampung yang hebat. Memiliki pola pikir maju untuk bersekolah tinggi. Perempuan ayu yang bisa menjaga martabatnya untuk suaminya. Ah, sial! Rupanya, aku terlalu mengagung-agungkannya. Faktanya, semua anganku tentangnya adalah dusta belaka.

Dia ndhak ubahnya seperti istri-istri Romoku, pun dengan simpanan Romoku. Dia hanyalah perempuan yang mengandalkan paras ayu serta tubuhnya untuk merebut hati seorang Juragan. Dia... sama saja seperti Biungnya. Perempuan murahan!

Aku sama sekali ndhak mengerti tentang cara pikir para laki-laki. Bagaimana bisa, mereka merendahkan perempuan sampai seperti itu? Ndhak sadarkah mereka jika mereka lahir dari rahim perempuan? Ndhak sadarkah mereka jika mereka dikandung selama 9 bulan di rahim perempuan? Dan saat lahir, dibesarkan dengan penuh kasih sayang. Namun, bagaimana bisa mereka tega menjadikan perempuan sebagai pemuas dari nafsu sialan mereka?

Atau bahkan, perempuan-perempuannyalah yang terlalu murahan. Sehingga mereka menjual tubuhnya dengan harga yang sangat murah hanya karena, uang? Sial! Otakku mendidih hanya memikirkan masalah itu.

Fakta sekarang adalah, Larasati akan kuhapus dari angan-angan sebelum tidurku. Faktanya, Larasati sudah dimiliki Kang Masku. Dengan cara baik atau pun ndhak, itu bukan urusanku. Dan lagi... aku harus mengalah, kepada Kang Masku. Ah, dunia... memang memuakkan.

=000=

Setelah kejadian itu, semua kejadian demi kejadian sudah dijelaskan dengan apik oleh Larasati. Jadi, tidak usah kujelaskan lagi pada kalian. Semuanya, aku tidak menampik sama sekali. Aku membencinya, sejak hari itu... dan kebencianku semakin bertambah setiap kali melihatnya. Maka, dulu... aku lebih memilih untuk berada di tempat yang jauh darinya, dari pada harus berdekat-dekatan dengannya. Tapi, siapa sangka jika sekarang kami tidak bisa dipisahkan. Kami adalah pasangan suami isti. Dunia, memang lucu, kan?

Sekarang akan kuceritakan hal yang mungkin sedang kalian tunggu. Tentang kepergiannya Kang Masku pun aku di kediaman Mbakyu Ayu setelah kematian Mbakyu Ayu. Banyak hal yang terjadi di sana. Hal-hal yang membuatku membenci kata keluarga. Namun demikian, percayalah, jika selain hal-hal bodoh yang Romo dan keluarganya lakukan. Hal yang paling bodoh lainnya adalah... keputusan Kang Mas mengantar nyawanya untuk pengganti nyawa istrinya tercinta. Ah sial! Kenapa harus ada cinta semacam itu? Jika cinta itu harus bersama, bukan berkorban. Jadi, kutekankan kepada kalian. Jatuh hatilah, bersatulah dengan orang yang kalian sayang. Asal jangan ada hati yang dikorbankan. Jangan menjadi perebut, dan jangan menjadi bodoh dengan mengatas—namakan cinta. Mengerti?

"Lihatlah, apa yang telah kamu perbuat hanya demi seorang simpanan itu, Yan?" ucap Romo, setelah pemakaman Mbakyu Ayu.

Aku memilih diam, ndhak ikut campur urusan Romo—anak kesayangan itu. Sebab, bagiku... Romo hanyalah sebuah sebutan. Untuk hubungan, ndhak ada artinya sama sekali.

"Kamu telah membuat Dini mati, mengusir Intan dan Rian, sekarang telah membunuh Ayu!" marah Romo.

Ada Romejo, abdi dalem kepercayaan Romo yang memapah tubuh tuanya saat ndhak kuat berdiri. Sementara aku, lebih memilih tersenyum kecut menanggapi ucapan ndhak jelas tua bangka itu.

Kang Mas masih diam, beliau ndhak mengatakan sepatah kata pun. Aku tahu, sejatinya beliau ndhak mencintai Mbakyu Ayu, tapi rasa bersalah dan terpukul pasti ada. Aku mengenal Mbakyu Ayu juga, terlepas dari siapa pun laki-laki yang menghamilinya, dia tipikal perempuan yang melambangkan seorang Ndoro Putri. Begitu angkuh dan anggun. Kurasa, dulu... aku berpikir jika Kang Mas adalah pasangan paling serasi jika disandingkan dengan Mbakyu Ayu. Namun nyatanya, Kang Mas menjatuhkan pilihan yang lain. Dan mirisnya, pilihan itu telah mematikan semua orang.

Lalu, apakah aku masih harus percaya dengan kata 'cinta'? Ck! Cinta hanya akan membuat orang menderita. Itu sudah pasti!

"Nyawa harus dibalas dengan nyawa, Yan... usir perempuan binal itu dari rumahmu atau kubunuh dia dengan cara yang sama sebagaimana dia membunuh Ayu!"

"Romo!" akhirnya, Kang Mas bersuara. Terlebih, dengan nada yang begitu tinggi.

Aku tertegun, saat melihat matanya yang memerah, menatap tajam ke arah Romo tanpa ada rasa takut pun di sana. Lagi, aku tersenyum kecut. Sebesar inikah perjuangan Kang Mas demi membela perempuan rendahan seperti Larasati? Sementara demi Biung, Kang Mas ndhak melakukan apa pun!

"Ayu mati itu karena ulahnya sendiri, dan tolong... ndhak usah sangkut—pautkan Larasati di dalam masalah ini!"

"Lalu siapa, Tan? Siapa! Siapa yang membuatmu gila kalau bukan perempuan jalang itu!"

"Panggil dia Larasati! Istriku! Istri sahku, Romo!"

Hening, semuanya diam. Baik Romo dan Kang Mas kini menutup mulut mereka rapat-rapat. Kang Mas mengusap kasar wajahnya, kemudian menggenggam pundakku. Kugenggam kembali tangannya yang bergetar, dingin. Dan, aku takut jika Kang Mas jatuh sakit lagi.

"Beberapa hari yang lalu Ayu bertandang ke rumahku, dia membawa Rian untuk memasang syarat dari dukun untuk membunuh Larasati. Apa aku ndhak tahu jika kelakuan jahat itu ada dukungan penuh dari Romo? Apa Romo pikir selama ini aku bodoh? Ndhak, Romo... aku diam bukan berarti aku selalu harus mengalah pada Romo!"

"Adrian! Lancang kamu!" marah Romo. Berkali-kali Arimbi—istri kedua Romoku itu berusaha menenangkan. Tapi percayalah, dia adalah racun yang paling mematikan di balik wajah ayu—nya itu. Dia adalah, perempuan paling jalang di antara perempuan-perempuan jalang.

"Jangan melampaui batasmu, Adrian... kalau kamu ndhak mau...." ucapan Romo terhenti. Matanya melotot seolah dia ingin menjinakkan anak kecil.

Sial! Siapa yang dianggap kecil sekarang? Semua anaknya adalah pembangkang. Sebab, dia adalah Romo yang kurang ajar!

"Ndhak mau apa, Romo? Membunuh Adrian juga?" tantang Kang Mas. Dan, itu berhasil membuat Romo makin murka.

"Kamu nantang Romo, Yan? Kamu pikir Romo ndhak tega untuk membunuh anak kurang ajar sepertimu?!"

"Silakan, Romo... silakan! Bunuh Adrian jika Romo ingin! Akan tetapi, jika sekali saja Romo mencoba untuk menyentuh Larasati, akan kupastikan, hidup Romo ndhak akan tenang!"

Romo mendekati Kang Mas, dia menunjuk tepat di wajah Kang Mas. Namun, kurasa... ego keduanya sama-sama tinggi, itulah sebabnya mereka terlihat begitu saling membenci.

"Lihat nanti, Le... sebentar lagi, mulut besarmu ndhak akan mampu melonong saat maut sudah ada di depan matamu." desisnya.

"Ck!" decakku pada akhirnya. Kutepis telunjuk Romo yang berada di depan Kang Masku kemudian kutatap tajam lelaki tua bangka itu.

"Kamu ini memang manusia yang ndhak pantas disebut manusia. Sudah ndhak punya hati menyiksa istri sendiri demi perempuan-perempuan binal yang ndhak tahu diri, sekarang mau melenyapkan nyawa anakmu sendiri? Dasar, manusia laknat!"

"Nathan, diam kamu!"

"Kamu yang diam, tua bangka!" kini, Kang Mas menggenggam pundakku semakin erat, seolah beliau melarangku untuk berucap. "Ck! Ck! Ck! Kamu ini, sudah ndhak tahu diri, ndhak punya malu, lagi... kamu pikir selama ini kamu Juragan Besar yang paling berkuasa di Negeri ini, iya? Ck!" aku berjalan, mendekat ke arah Romo. Matanya menatapku penuh kebencian. Dan, itu bukan hanya sekarang. Tapi, sudah dari dulu seperti itu.

"Tapi faktanya, kamu adalah Juragan yang paling bodoh di Negeri ini. Uang memang bisa membeli kekuasaan, tapi uang ndhak bisa membeli kesetiaan juga kasih sayang. Kamu pikir, abdi dalem dan istri-istrimu tulus berada di sampingmu? Berada di samping tua bangka yang sudah bau tanah ini? Kamu salah, Romo... mereka hanya patuh pada uangmu. Mengerti!"

"Nathan, jangan lancang kamu!" kini Arimbi buka suara, dan itu adalah saat yang paling kusuka. Agar kebusukannya kepada Romo juga Biung bisa kuungkapkan segera.

"Berani menyela ucapanku, kurobek mulut busukmu itu!" desisku.

Kang Mas langsung menarikku pergi, sementara Romo dan antek-anteknya masih bergeming di tempat. Syukur jika mereka sadar, jika ndhak... berarti kepalanya harus diganti dengan kepala binatang.

==000==

Malam ini jangkring begitu gemar mengerik, suaranya disambut seirama dengan desiran angin malam yang berisik. Langit malam pun sama, penuh bintang dan itu sangat membingungkan.

Aku ndhak pandai untuk melukiskan bagaimana indahnya malam ini. Atau pun ndhak bersyukur atas apa yang telah diciptakan Gusti Pangeran. Hanya saja, malam ini perasaanku ndhak seindah suasana malam ini. Pula ndhak seindah bolam kristal raksasa yang memancarkan sinar paling kuatnya.

Hatiku resah, memikirkan ucapan-ucapan sialan tua bangka itu. Ya... siapa lagi kalau bukan Romo. Dia itu tipikal manusia yang ndhak punya hati, aku tahu itu. Sudah banyak orang yang dibunuhnya dengan keji, dirampas haknya terlebih... diperbudak layaknya binatang jalang.

Bajingan memang. Tapi, itulah Romoku... seorang laki-laki yang spermanya telah menjadikan aku lahir di bumi ini. Andai saja bisa, aku ingin lahir bukan dari keluargaku. Aku ingin lahir dari keluarga lain. Setidaknya, aku ndhak perlu memakan uang-uang yang ndhak benar dari manusia bangsat itu!

"Kamu ini kenapa, toh, Tan... kok melamun terus. Minta kawin?" tegur Kang Mas.

Beliau berjalan dari dalam rumah, kemudian duduk bersamaku di dipan belakang. Rumah yang kami diami ini, ndhak jauh dari rumah Mbakyu Ayu. Memang, Kang Mas sengaja membeli rumah ini, untuk Rian kelak. Namun entah, Rian mau apa endhak aku ndhak peduli.

Aku diam, ndhak menjawab. Hanya orang ndhak waras yang menanggapi ucapan ndhak waras Kang Mas. Seperti Larasati atau Marji, misalnya. Bukan aku.

"Jangan mengajak bicara singa hutan, Juragan... nanti dimakan." celetuk Marji.

Sialan. Aku disamakan dengan singa hutan oleh seorang abdi dalem rendahan. Aku masih diam, enggan menjawab. Bagiku, ucapan mereka itu ndhak penting. Yang terpenting saat ini adalah, memastikan jika memang semuanya baik-baik saja.

Tadi, sore-sore, sengaja kusuruh Sobirin untuk bertandang ke kediaman Romo. Untuk sekadar mengintai, dan mencari tahu. Barang kali ada suatu hal yang mengganjal, untuk berjaga-jaga jika benar mereka akan melakukan hal nekat dengan melenyapkan nyawa Kang Mas. Jika memang benar, aku adalah orang pertama yang akan membantai keluarga terkutuk itu!

"Apa kamu kepikiran ucapan Romo siang tadi?" tebak Kang Mas. Seketika aku terkejut, beliau malah tersenyum lebar.

Cih! Senyuman macam apa itu? Apakah mati, bukan merupakan hal yang mengerikan baginya? Dasar, tua bangka sok perkasa!

"Manusia itu pasti mati, toh, Tan... jadi ndhak usah dipikir."

"Bagaimana aku ndhak mikir, toh, Kang Mas... jika Kang Mas mati, aku dengan siapa?"

"Kan ada Marji."

"Tapi Kang Mas keluargaku."

"Ya sudah, nanti kukawinkan dengan Marji, biar kalian jadi keluarga, bagaimana?"

Aku diam, mulutku terkatup rapat-rapat. Guyonan macam apa itu? Benar-benar ndhak lucu. Aku ini sedang serius, bukan sedang melucu. Tapi, Kang Mas ndhak pernah tahu.

"Cukup Biung, aku ndhak mau ada siapa pun lagi yang menjadi korban kebiadaban tua bangka itu." dengusku. Kang Mas tersenyum.

"Kita ndhak bisa membantah orang tua."

"Itu kamu, Kang Mas... bukan aku!"

"Nathan."

"Di Dunia ini, yang kupedulikan hanya dua orang. Yaitu kamu dan Biung, sekarang aku ndhak bisa melakukan apa pun untuk Biung, jadi kumohon, Kang Mas... biarkan aku melakukan sesuatu untukmu."

Pak Lek Marji memberiku secangkir wedang ronde, setelah kuambil, kemudian kuletakkan di sampingku. Sementara, Kang Mas tampak menikmati itu dengan santai.

Bukan... beliau ndhak menikmatinya dengan santai. Lihatlah tatapan kosongnya, lihatlah tangannya yang bergetar seolah ketakutan. Dan, beliau begitu apik menutupi itu semua.

"Jika Kang Mas benar-benar mati, apa kamu benar-benar akan menuruti semua permintaan Kang Masku ini?"

"Duh Gusti, Juragan... ndhak ilok* bilang seperti itu. Kalau ada setan lewat, bahaya, Juragan... bahaya!" (pamali) sela Marji. Untuk sekarang, aku menyetujui ucapan Marji.

"Marji, diam kamu... kenapa kamu ini cerewet sekali, toh? Apa kamu ini sedang datang bulan? Dasar! Aku ini sedang bicara serius, sontoloyo!"

"Ngapunten, Juragan... maafkan saya."

"Ya sudah, sana... carikan aku mendoan anget-anget."

"Inggeh, Juragan." jawab Marji patuh.

Sepertinya, Kang Mas benar-benar ingin berbicara berdua denganku suatu perkara yang penting. Itu sebabnya Marji disuruh pergi. Dan semoga, itu bukanlah firasat buruk dari ucapan Romo.

"Ada apa, Kang Mas? Kang Mas mau aku melakukan apa? Katakan." ucapku.

Aku sudah berjanji dengan diriku sendiri untuk melawan egoku, untuk melawan setiap emosiku di depan Kang Mas. Aku sudah cukup trauma melihat Kang Mas terkapar karena sakitnya beberapa hari yang lalu. Aku ingin, membuat Kang Mas tersenyum selamanya.

"Kamu tahu, Tan... ada dua orang yang begitu ingin kulindungi bahkan aku sampai rela mengorbankan nyawaku sendiri," Kang Mas tersenyum, tapi... jenis senyumannya berbeda dengan tadi. "Orang itu kamu, dan juga... Larasati,"

Entah kenapa hatiku rasanya aneh, seolah ada jarum yang menghujamnya. Sakitnya tiada terkira. Apa yang akan diucapkan Kang Mas, sampai raut wajahnya sesedih itu?

"Kamu itu tahu Romo, toh... beliau tipikal orang yang apa pun ucapannya adalah perintah wajib yang harus dilakukan. Jika beliau berkata akan membunuhku, pasti beliau akan melalukan itu meskipun aku ini putra pertamanya, Tan... asal kamu tahu."

"Tapi, kamu darah dagingnya, Kang Mas."

"Itu ndhak ada dalam kamus hidup Romo, Tan... tapi, bukan itu yang ingin kubicarakan denganmu malam ini. Melainkan sebuah pesan terakhir jika aku benar-benar mati."

"Kang Mas—"

"Jaga Larasati dan bayiku."

Lidahku kelu, saat ucapan itu keluar dari Kang Masku. Apakah beliau benar-benar akan pergi? Meninggalkanku seorang diri?

Aku menunduk, mencoba sekuat tenaga untuk menahan emosi. Kuremas erat-erat dipan yang ada di bawah, bahkan... sampai kayu-kayu kasar itu melukai tanganku dan membuatnya berdarah.

"Aku akan menjaga mereka. Keduanya adalah orang-orang terpenting bagi Kang Mas, bagaimana bisa aku ndhak menjaganya."

"Tapi Larasati?" aku diam, saat pertanyaan itu dilontarkan. Tampaknya, beliau takut jikalau nanti aku akan menjahati istri kesayangannya itu seperti biasa.

"Aku akan menganggapnya sebagai Mbakyu, dan menjaganya."

"Bukan... bukan sebagai Mbakyu, Tan." sela Kang Mas lagi.

Kukerutkan keningku, bingung. Jika bukan sebagai Mbakyu? Lantas, aku harus menjaga Larasati sebagai siapa? Simpanan Kang Masku, begitu?

"Lalu?" kutanya. Kang Mas menghela napas panjang. Pandangannya tertuju pada langit malam yang penuh bintang-bintang yang merusak pemandangan.

"Sebagai istrimu."

Aku terdiam, mencoba mencerna ucapan yang baru saja dilontarkan oleh Kang Mas padaku. Apa maksudnya, aku sama sekali ndhak mengerti. Larasati... menjadi istriku?

"Aku ndhak paham dengan apa yang Kang Mas bicarakan. Sebab, jelas jika aku akan menikah dengan Asih bulan depan, kemudian setelah itu aku akan menikah dengan Wiji Astuti. Lalu, apa maksudnya Kang Mas mengatakan hal seperti itu? Atau maksud Kang Mas, Kang Mas menyuruhku untuk menikahkan Laras dengan Wisnu?" tanyaku kebingungan.

"Jadikan Laras sebagai istri pertamamu." ulangnya, seolah menjelaskan perkataannya yang menurutku kurang jelas.

Hatiku terasa dipalu. Napasku mendadak terasa sesak. Ndhak... ndhak mungkin. Mana mungkin aku menikahi perempuan simpanan? Aku ndhak sudi!

"Ndhak, Kang Mas... apa pun itu asal jangan menikahi Larasati. Aku ndhak sudi menikahi perempuan sampah bekas banyak lelaki. Ndhak... aku ndhak sudi!"

"Nathan, dia Mbakyumu!" bentak Kang Mas.

Aku masih diam, emosiku terasa meluap-luap ndhak karuan. Demi Gusti Pangeran, aku ndhak menyetujui hal semacam ini. Sebab di mataku, Larasati ndhak ubahnya seperti sampah, seperti barang bekas yang telah dipakai bergilir para lelaki. Meski, salah satunya adalah Kang Masku sendiri.

"Bagaimana bisa Kang Mas memperlakukanku seperti ini," ucapku frustasi, entah kenapa mataku tiba-tiba terasa panas. "Bagaimana bisa aku yang selalu membencinya, kemudian Kang Mas paksa untuk menganggapnya sebagai seorang Mbakyu, aku butuh waktu, Kang Mas... waktu yang sangat panjang. Dan, belum siap aku memanggilnya Mbakyu, Kang Mas lagi-lagi memaksaku menikahinya. Aku ini manusia, aku bukan binatang yang bisa berkawin dengan betina mana pun dan mengabaikan perasaanku. Mana mungkin perasaan benci harus kupaksa untuk menerimanya dalam hubungan suami—istri! Dan, aku sudah bersumpah, aku ndhak akan menikahi perempuan seperti Larasati. Simpanan dari seseorang meskipun itu Kang Masku sendiri!"

"Tan—"

"Aku mencintai Wiji Astuti, tapi Kang Mas memaksaku untuk menikahi perempuan lain aku mau. Lalu sekarang?"

"Kamu ndhak mencintai Wiji Astuti, benar, toh?"

Lagi, Kang Mas menusukku di titik yang ndhak pernah kutahu. Bagaimana bisa, beliau menebak dengan seperti itu. Tahu apa beliau tentangku?

"Aku tahu kamu dari kecil, Tan... kamu ndhak mencintai Wiji Astuti. Kamu bersikeras bersamanya seolah-olah ingin menunjukkan kepada Dunia jika kamu bisa memiliki perempuan sempurna seperti Wiji Astuti. Keras kepalamu membuatmu buta, mana cinta dan obsesi dari rasa angkuh yang kamu miliki,"

Aku ndhak peduli jikalau memang ucapan Kang Mas benar adanya. Sebab bagiku, cinta hanyalah sebuah ucapan klise yang menjadi bumbu dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Menurutku, menikah ndhak harus dengan cinta. Yang penting, seorang lelaki harus tahu dengan kewajibannya. Dan, kurasa... ndhak akan ada satu perempuan di Dunia ini menolak laki-laki bagus dan kaya raya. Benar, toh?

"Aku ndhak memaksamu jatuh hati dengan Larasati, mengertilah... aku hanya memintamu untuk menjadikannya istri pertama. Setelah menikah, tetaplah anggap dia sebagai Mbakyumu, lindungi dia sebagaimana kamu melindungiku dan Biung. Sebab, jika memang aku benar akan mati, kedudukan Larasati ndhak akan tertolong, Tan... dia pasti akan menjadi sasaran atas kekejaman Romo beserta istri-istrinya, kamu tentu pasti tahu itu, toh? Apa kamu mau, ada perempuan yang bernasib sama seperti Biung lagi? Disiksa seperti binatang dan dipisahkan dari anak-anaknya sendiri, apa kamu mau seperti itu, Tan?"

Duh Gusti, apa yang harus aku lakukan? Sesungguhnya, ini adalah perkara yang sangat sulit. Aku ndhak bisa menikahi Larasati. Aku ndhak bisa menganggapnya sebagai istri meski Kang Mas terus meyakinkanku jikalau aku bisa menganggapnya sebagai Mbakyu. Demi apa pun, aku ndhak sudi menikahi Larasati.

"Jika nanti rasa bencimu yang teramat sangat kepada istriku—Larasati tiba-tiba berubah menjadi cinta. Maka, aku akan turut bahagia untuk kalian berdua. Bahkan, aku sudah bertanya kepada Dukun untuk mencocokkan weton kalian. Dan alangkah terkejutnya aku saat tahu jika weton kalian adalah jodoh. Kalian ditakdirkan untuk bersama."

"Cih! Mustahil!" bantahku ndhak percaya. Aku segera berdiri, kemudian memandang ke arah Kang Mas yang tampak penuh beban.

"Jika Gusti Pangeran menakdirkan jodoh di weton—ku dan Larasati, maka aku akan mengubah takdir Kang Mas. Aku ndhak akan membiarkan Kang Masku mati dibunuh oleh tua bangka ndhak tahu diri!"

==000==

Paginya, aku segera menuju ke kediaman Romo. Untuk memastikan jika kabar yang dibawa Sobirin benar adanya. Beberapa hari ini Kang Mas ndhak mau pulang ke Kemuning. Bukan karena beliau ndhak merindukan istri yang begitu dicintai itu. Hanya saja, beliau merasa jika badannya sedang ndhak enak semua. Dan, itu membuatnya memilih diam di kediaman Mbakyu Ayu. Sebab, beliau ndhak mau Larasati kepikiran.

Menurut kabar yang diberikan Sobirin, Romo rupanya menggunakan Dukun dari Banyuwangi. Kota yang terkenal dengan santet, pelet serta ilmu-ilmu yang begitu mengerikan, yang menurut kepercayaan, jika santet yang berasal dari Banyuwangi adalah santet yang sulit untuk dihilangkan, oleh Dukun mana pun.

"Jadi bagaimana?" tanyaku tatkala Wardoyo—salah satu dari abdi dalem Romo secara diam-diam menemuiku.

Dia menunduk dalam-dalam, seolah-olah menunjukkan rasa hormat yang teramat sangat.

"Sudah ndhak bisa, Juragan Muda... sudah susah. Santet itu sudah dikirim dari Dukun, dan sewaktu-waktu akan menyelakai Juragan Adrian." Wardoyo mengusap air matanya, dia tampak terpukul dengan apa yang telah dilakukan Romo.

Tanpa sadar kugenggam erat tanganku, rahangku mengeras mendengar penuturan Wardoyo. Terbuat dari apa manusia seperti Romo, sampai tega membunuh anaknya sendiri hanya untuk sebuah kata tinggi hati.

"Romo ada di rumah?" kutanya. Wardoyo mengangguk.

Aku segera masuk ke dalam rumah, mencari keberadaan tua bangka bajingan itu di mana pun dia berada.

Bahkan, ndhak jarang... beberapa abdi dalem laki-laki pun perempuan mencoba untuk melarangku pergi. Memangnya, siapa yang berani? Aku punya hak penuh atas rumah ini. Ini, adalah rumahku juga!

"Romo! Romo! Di mana kamu, Romo!"

Teriakku kesetanan, saat kucari tapi ndhak kutemui orang tua itu. Sialan! Bajingan! Darahku mendidih dan ingin sekali kubunuh tua bangka itu sekarang juga!

"Balai tengah, Juragan... ruang tengah." ucap Sulikah setengah berbisik.

Aku berhenti, setelah menata surjanku yang mungkin berantakan pun aku langsung menuju balai tengah kediaman ini.

Rupanya benar, di sana tengah ada Romo, beserta perempuan-perempuan sampah dan beberapa Juragan yang ada di Jawa Timur. Mereka tertawa, dan entah apa yang mereka tertawakan yang jelas aku ndhak suka.

Bajingan! Anjing! Bisa-bisanya tua bangka itu tertawa setelah ia mengirim santet untuk putra pertamanya. Bangsat!

"Cih! Para anjing dan Tuannya sedang melucu di sini." ucapku setelah masuk.

Semuanya tampak terkejut, takut-takut mereka hormat kepadaku. Pula dengan istri-istri Romo. Tapi, aku masih diam, kuikat kedua tanganku di belakang punggung, sambil memandangi mereka satu—per—satu. Entahlah, ketika melihat Juragan-Juragan ini, ketika melihat istri-istri Romo. Di mataku, mereka bukan manusia. Mereka binatang dengan wujud manusia.

"Ada apa kamu ke sini, Tan? Apa kamu mau mencari gara-gara denganku lagi?" tanya Romo.

Aku tersenyum, kemudian mendekat ke arahnya. Lalu, kutarik ujung surjannya sampai tubuhnya setengah terangkat. Juragan-Juragan yang lain langsung berdiri, mereka mencoba untuk menjauhkanku dari Romo.

"Tua bangka bangsat! Apa yang kamu lakukan pada Kang Masku, hah!" bentakku.

Aku sudah ndhak bisa berpikir jernih. Yang ada di otakku adalah... bagaimana caranya untuk menyelamatkan Kang Masku, bagaimana!

"Kamu ini bicara apa, toh, Tan? Ndhak usah bicara ngawur!"

"Jika kamu ingin membunuh, maka... bunuh aku! Jangan Kang Masku!" teriakku.

Romo seolah memberi isyarat pada para Juragan untuk meninggalkan kami. Dan akhirnya, hanya ada aku dan Romo... juga Arimbi, istri sialannya Romoku.

"Jika bisa... sudah kubunuh kamu dari dulu. Aku ndhak butuh anak-anak seperti kalian untuk menjadi seorang Juragan Besar. Aku ndhak butuh anak-anak pembangkang yang ndhak mau menuruti perintah Romonya."

"Romo macam apa yang harus dituruti? Apakah, Romo yang merampas tanah orang lain dengan paksa? Apakah Romo yang memperkosa semua perempuan-perempuan Kampung? Ataukah Romo yang telah menyiksa istrinya sendiri dan membuatnya gila? Atau Romo yang telah mengirim santet untuk putranya sendiri! Jelaskan padaku, tua bangka!"

"Nathan!"

"Apa!" bentakku. Tua bangka itu terdiam, ndhak mengucapkan kata lagi. "Dari aku kecil, kamu selalu membeda-bedakanku dengan Kang Masku. Sejak aku kecil, kamu selalu menyebutku sebagai anak haram, dan ndhak pernah menganggapku anak. Jadi, untuk apa aku harus mengurusi Romo yang bukan Romoku?"

"Nathan."

"Diam kamu perempuan jalang! Atau mau aibmu kubongkar di sini!" desisku. Mulut Arimbi terkatup sempurna, saat jari telunjukku menunjuk padanya. Ya... dia ndhak akan berani padaku. Jika berani, hancur adalah akhir dari kehidupannya.

"Pergi kamu dari rumahku."

"Aku akan pergi setelah melihat kamu mati."

"Nathan!"

"Sobirin! Keluarkan Biung dari tempat terkutuk ini dan bawakan aku parang!"

Sobirin dan beberapa orangku datang, mereka menggeledah kediaman Romo untuk mencari keberadaan Biung. Setelah memberiku sebilah parang.

Aku melangkah lagi, kuletakkan ujung parang tepat di kaki Romo yang lumpuh. Dia tampak takut, tapi masih bergeming di tempat. Sementara, para abdi dalem yang menyaksikan keributan ini pun berteriak, mencoba melarangku untuk melakukan perbuatan nekat.

"Cepat, suruh Dukun sialanmu itu untuk menarik santetnya pada Kang Masku!" ancamku.

Aku sama sekali ndhak tahu, apakah ini akan berhasil untuk menakuti tua bangka itu. Yang aku harapkan hanyalah, dia mau mengabulkan permintaanku.

"Batu yang sudah dilempar ndhak mungkin diambil lagi." jawabnya cukup jelas di telingaku.

JREP!

"Juragan!!" teriak para abdi dalem bersamaan.

Arimbi berlutut di kakiku, dia berusaha memegangi kakiku tapi segera kudorong dia jauh-jauh. Aku ndhak sudi, disentuh perempuan kotor sepertinya.

"Jangan bunuh Romomu, Juragan Muda... saya mohon, jangan bunuh beliau."

"Diam kamu binal!" bentakku. Dia menangis, menyatukan kedua tangannya kemudian menyembahku berkali-kali.

"Hentikan kegilaanmu ini, Romo! Tarik santetmu pada Kang Masku, kumohon!"

Aku terduduk, berlutut tepat di hadannya beharap jika dia luluh. Berharap dia memiliki sedikit saja rasa simpatik terhadapku. Atau paling ndhak, pada Kang Masku. Putra yang begitu dia cintai. Meski hatiku menentang untuk dianggap rendah oleh Romo, meski harga diriku hancur, aku ndhak peduli... asalkan Kang Masku selamat. Itu sudah lebih dari cukup.

"Kumohon, Romo... tarik kembali santet Kang Mas. Aku akan melakukan apa pun kalau Romo mau menariknya. Kumohon...." pintaku lagi.

Romo terbahak, dia menamparku berkali-kali kemudian menghunus parang yang sedari tadi kupegangi. Kemudian, dia meletakkan parangnya tepat di leherku.

"Aku mau kamu mati, Nathan."

"Silakan." kujawab.

Tapi, jawabanku malah semakin membuatnya emosi. Setelah dia menyayat lenganku, parang itu pun langsung dilempar sampai terdengar bunyi yang sangat menyakitkan.

Bau anyir dan rasa perih mulai merebak di lenganku. Tapi, aku ndhak peduli. Yang kupedulikan hanyalah nasib Kang Masku. Beliau akan menjadi seorang Romo... dan aku ndhak ingin beliau mati sebelum itu terjadi.

"Pergi dari rumahku!"

"Tarik santet yang Romo berikan pada Kang Mas!"

"Pergi!"

"Ndhak akan!"

"Pergi kamu, Nathan! Mati adalah pilihannya, percuma kamu mengemis dan mencium kakiku semuanya ndhak akan ada gunanya!"

"Jadi, itu keputusan Romo?"

Romo diam, dia ndhak menjawab ucapanku. Kuusap air mataku yang kurasa telah percuma menetes. Aku bangkit, kemudian berdiri membelakangi Romo. Dia lumpuh, dia ndhak akan pernah bisa bergerak semudah itu.

"Sobirin... buat lumpuh kedua tangannya juga."

"Romejo! Tangkap Nathan beserta antek-anteknya, jangan biarkan mereka keluar hidup-hidup!"

Dan, begitulah akhirnya sampai pertumpahan darah yang seharusnya ndhak terjadi pun terjadi. Semua abdi dalem serta istri-istri dari Romo berlarian mencari tempat teraman. Ndhak ada yang mati, bahkan... Romo berhasil selamat karena Romejo dengan cepat membawanya bersembunyi. Aku ndhak peduli, bagiku... mau dia hidup pun mati ndhak ada gunanya. Yang terpenting sekarang adalah, Biungku aman. Beliau berada dalam pengawasanku. Dan setelah ini, aku harus cepat-cepat pulang ke Kemuning. Untuk melakukan apa pun agar Kang Mas bisa diselamatkan.

"Juragan Muda, bahaya, Juragan... bahaya!" teriak Sobirin yang tergopoh menghampiriku.

Ada salah satu pemuda lain yang sedang bertelanjang dada. Kata Sobirin, pemuda itu dari Kemuning, kiriman dari Wisnu untuk mengabariku suatu hal yang penting.

"Ada apa?" kutanya.

Sobirin menangis, begitupun dengan pemuda itu. Entah kenapa, aku seolah tahu, kenapa mereka menangis saat ini.

"Katakan padaku ada apa!" marahku. Sobirin dan pemuda itu bersimpuh di kakiku, menyembahku seolah aku ini adalah recco*. (patung)

"Ngapunten, Juragan Muda... Juragan Adrian sedho." (meninggal)

==Entenono Baliku==

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top